***

***

Ads

Jumat, 09 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 001

Telaga itu amat luas sekali, dari tepinya tampak seolah-olah lautan bebas, dengan pulau-pulau di tengahnya yang kelihatan subur penuh dengan pohon-pohon lebat. Telaga itu dikelilingi pegunungan yang kaya akan hutan sehingga merupakan cermin besar yang menampung bayangan pohon-pohon di dalamnya, membuat air telaga kadang-kadang kelihatan hijau jernih.

Di waktu matahari naik tinggi, jika kita memandang ke telaga itu, seolah-olah kita berhadapan dengan sebuah dunia ajaib di mana segala-galanya nampak terbalik, dan telaga itu seperti sebuah mangkok wasiat yang menelan seluruh dunia, pohon-pohon, gunung-gunung, bahkan langitpun ditelannya!

Amat indah pemandangan di sekitar telaga, indah tenteram, penuh suasana damai, sunyi-senyap dan tenang. Sepantasnya tempat seperti itu menjadi contoh penggambaran taman sorga. Akan tetapi tidak demikianlah kenyataannya. Keadaan di situ amat sunyi senyap karena memang orang-orang, para penghuni dusun-dusun di sekitar daerah itu, tidak berani mendekati telaga ini. Telaga Kwi-ouw (Telaga Setan), demikianlah telaga ini dinamakan orang!

Tidak ada yang tahu bagaimana riwayatnya mengapa telaga seindah itu dinamakan Telaga Setan, akan tetapi puluhan tahun yang lalu, telaga ini merupakan sumber nafkah bagi ratusan orang penghuni di sekitar daerah itu yang setiap hari dan terutama malam mencari ikan yang banyak terdapat di dalam air telaga.

Akan tetapi semenjak pulau di Telaga Setan itu, sebuah di antara pulau-pulau itu, yang terbesar, menjadi sarang para hek-to (golongan jalan hitam), yaitu kaum sesat yang membentuk perkumpulan yang dinamakan Kwi-eng-pang (Perkumpulan Bayangan Setan), maka tempat itu menjadi sepi, menjadi tempat yang amat berbahaya sehingga tidak ada lagi penduduk yang berani mendekatinya.

Belasan tahun yang lalu, perkumpulan Kwi-eng-pang yang bersarang di atas pulau itu seolah-olah menjadi pemilik dan menguasai Telaga Kwi-ouw, diketuai oleh pendirinya, yaitu seorang datuk kaum sesat wanita yang amat terkenal dengan julukannya Kwi-eng Nio-cu (Nona Bayangan Hantu).

Akan tetapi perkumpulan yang terdiri dari kaum sesat dan amat ditakuti rakyat ini, kurang lebih lima belas tahun yang lalu, telah dihancurkan oleh Pasukan Pemerintah yang dibantu oleh orang-orang gagah (baca cerita Petualang Asmara).

Si Bayangan Hantu yang menjadi ketuanya tewas, para pembantu-pembantunya yang merupakan pimpinan Kwi-eng-pang terbasmi habis, bahkan sebagian besar anggauta Kwi-eng-pang tewas dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah, sedangkan sisanya melarikan diri cerai berai meninggalkan pulau di Telaga Setan itu.

Bertahun-tahun pulau itu kosong, akan tetapi Telaga Setan tetap menyeramkan, dan tetap saja sunyi senyap karena rakyat masih tidak berani mendekati telaga yang terkenal angker dan berbahaya ini. Apalagi sekarang, setelah rakyat melihat betapa pulau di tengah telaga itu “hidup” kembali, terdapat berita bahwa Kwi-eng-pang yang pernah dihancurkan pemerintah itu kini dibangun kembali, bahkan kabarnya lebih ganas dan lebih jahat daripada dahulu sebelum dibasmi pemerintah!

Sukar memang menentukan mana yang lebih ganas dan kejam antara Kwi-eng-pang yang dahulu dan yang sekarang karena berita seperti itu biasanya memang dilebih-lebihkan oleh mereka yang ketakutan.

Akan tetapi memang benar bahwa orang-orang Kwi-eng-pang sekarang telah kembali ke pulau di tengah Telaga Setan itu! Sisa para anggauta Kwi-eng-pang yang sempat menyelamatkan diri, kini kembali bersama banyak anggauta baru, diketuai oleh seorang laki-laki, berusia hampir lima puluh tahun yang memiliki kepandaian tinggi dan berjuluk Hek-tok-ciang (Si Tangan Beracun Hitam).






Hek-tok-ciang ini bernama Kiang Ti dan dia adalah murid dari mendiang Si Bayangan Hantu. Ketika subonya (ibu gurunya) masih menjadi ketua Kwi-eng-pang, Kiang Ti ini telah menjadi ketua dari perkumpulan Ui-hong-pang yang berada di lembah Sungai Huang-ho, di lereng Bukit Ui-tiong-san.

Kini, melihat betapa pulau bekas sarang gurunya itu kosong, dan banyak anggauta Kwi-eng-pang yang berhasil lolos dari pembasmian pemerintah, sebagai murid kepala, Kiang Ti lalu mengumpulkan mereka, digabung dengan para anggautanya sendiri, kemudian setelah lewat belasan tahun pemerintah tidak lagi menaruh perhatian kepada Telaga Setan, Kiang Ti memboyong anak buahnya pindah ke pulau di tengah Telaga Setan dan tempat itu menjadi sarang mereka yang kembali memakai nama Kwi-eng-pang untuk melanjutkan perkumpulan yang pernah dipimpin gurunya.

Dasar mata pencaharian mereka adalah menangkap ikan yang banyak terdapat di telaga, juga bertani di tepi telaga dan di pulau yang tanahnya subur. Akan tetapi di samping pekerjaan yang halal ini, mereka tidak segan-segan untuk melakukan pekerjaan sampingan apa saja asal menguntungkan, termasuk membajak, merampok dan mengganggu dusun-dusun di sekitar daerah itu!

Dengan “pekerjaan” yang banyak macamnya ini, Kiang Ti berhasil mengumpulkan kekayaan dan bangunan-bangunan di pulau itu diperbaiki bahkan ditambah, dan para anggautanya mulai membentuk keluarga-keluarga dengan isteri-isteri yang rata-rata cantik karena wanita-wanita ini adalah pilihan-pilihan mereka yang mereka culik dari dusun-dusun sekitarnya dan dari mana saja!

Pagi hari itu pemandangan di tepi telaga amatlah indahnya. Matahari yang baru timbul menyinarkan cahaya keemasan, belum menyilaukan pandangan mata dan daun-daun muda di puncak pohon-pohon bermandikan cahaya keemasan, membuat puncak-puncak pohon menjadi berkilauan penuh seri bahagia, penuh nikmat hidup.

Sebagian dari cahaya yang terlampau banyak sehingga tidak tertampung oleh daun-daun di puncak pohon, menerobos melalui celah-celah pohon, melalui ranting dan dahan, membentuk sinar-sinar keputihan dengan garis-garis lurus penuh kekuatan dan daya cipta, sempat menyentuh rumput dan lumut yang tumbuh di bawah pohon-pohon yang lebat daunnya itu.

Dua ekor burung kecil berbulu biru putih berloncatan di atas dahan pohon, lalu berhenti di bagian yang tertimpa cahaya matahari pagi, menggoyang-goyang tubuh sehingga semua bulu di tubuhnya mekrok berdiri, membersihkan bulu sayap dan ekor dengan paruhnya yang kecil kemerahan.

Terdengar kicau burung teman-teman mereka di kejauhan dan mereka segera melupakan lagi pekerjaan mereka yang mengasyikkan itu, membalas kicauan itu dan terbang menuju ke arah suara teman-teman mereka, lincah dan gembira karena hidup baru telah mulai pagi itu, penuh kebahagiaan dan keindahan yang dapat dinikmati setiap saat.

Rumput-rumput di tepi telaga yang jarang diinjak kaki manusia itu tampak segar berseri-seri pagi itu, dihias dengan mutiara-mutiara air embun pagi yang masih belum mau menyerah kalah oleh sinar matahari yang masih terlalu lembut, belum cukup kuat untuk mencairkan kekentalan air embun dan memaksanya turun meresap ke dalam tanah dihisap akar-akar rumput yang tidak pernah kekeringan.

Air telaga itu sendiri tenang, sama sekali tidak bergerak, tidak ada keriput, seperti sebuah cermin besar yang menampung segala keindahan di sekelilingnya, dan matahari sendiri langsung terjun ke dalam air telaga, bundar kemerahan, mulai menyilaukan mata dan sinarnya membentuk cahaya memanjang di atas permukaan air.

Kicau burung bertambah riuh gembira. Dua ekor burung berbulu putih yang agak besar berkejaran di atas rumput dekat telaga, semacam burung meliwis putih yang agaknya bercumbuan di pagi hari itu, menyambut keindahan pagi dengan pernyataan cinta berahi yang tiba-tiba mendesak di seluruh syaraf dan perasaan.

Dengan gerakan indah dan ringan, burung jantan menyambar hinggap di atas punggung yang betina, yang mengelak manja dan seolah-olah mentertawakan menambah gairah, berlari setengah terbang di antara rumput membuat embun-embun mutiara beterbangan, dikejar oleh yang jantan sambil mengeluarkan pekik kemenangan.

“Wirrrr... plokkk!”

Tiba-tiba burung jantan itu terpelanting dan roboh terlentang tak bergerak lagi. Burung betina menjerit dan terbang ketakutan, menghilang di antara daun-daun pohon.

Keindahan tak dapat dinikmati lagi, dan kekerasan serta keganasan yang kejam selalu muncul apabila terdapat manusia, mahluk yang merasa dirinya paling suci dan paling unggul. Lima orang wanita sambil tertawa-tawa muncul dari balik pohon-pohon, melangkah ringan mendekati burung jantan yang telah mati.

“Hi-hi-hik, bidikanmu tepat sekali, adik Lui Hwa! Selagi dia mengejar betina yang patut dikasihani itu, engkau menyambitnya tepat menghancurkan kelakiannya. Hi-hik!” berkata seorang di antara mereka setelah memungut bangkai burung itu dan memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa burung itu terkena sambitan batu tepat pada bawah ekornya sehingga bagian itu hancur dan mati seketika.

“Sudah, tidak perlu memuji, enci. Kalian berempat belum memperoleh seekorpun binatang untuk makan pagi kita!”

“Jangan khawatir, tempat ini banyak binatang dan burungnya.”

“Tapi hati-hati, jangan salah membunuh yang betina!”

“Mana mungkin salah! Aku tidak sudi makan daging binatang betina!”

Dengan gerakan yang amat cepat, empat orang di antara lima orang wanita ini berpencar, menyusup di antara pohon-pohon dan tak lama kemudian sambil tertawa-tawa mereka berkumpul lagi di tepi telaga, ada yang membawa bangkai seekor kelinci, ada yang membawa burung dan ada pula ayam hutan.

Akan tetapi hebatnya, semua binatang itu adalah jantan dan semua disambit tepat mengenai alat kelaminnya! Sambil tertawa-tawa mereka lalu membersihkan bangkai-bangkai itu, membuat api unggun, menggarami dan membumbui daging-daging itu dengan bumbu yang mereka bawa sebagai bekal, dan dipangganglah daging-daging itu. Mereka duduk mengelilingi api unggun sambil bercakap-cakap dan bersendau gurau.

Lima orang ini adalah wanita-wanita yang usianya paling banyak tiga puluh tahun dan berpakaian seragam atau sama semua. Rata-rata wajah mereka cantik-cantik dan gagah, dengan pedang di punggung dan rambut yang sanggulnya dihias sebuah mainan burung hong terbuat dari batu kemala!

Yang tadi disebut bernama Lui Hwa adalah yang termuda dan tercantik di antara mereka, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun dan biarpun dia merupakan orang termuda, akan tetapi agaknya dialah yang menjadi pimpinan rombongan wanita cantik yang aneh ini. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Mereka itu adalah lima orang anggauta perkumpulan Giok-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong Kemala) dan orang termuda bernama Lui Hwa itu merupakan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada empat orang yang lainnya.

Setelah makan bersama daging-daging panggang itu dan minum air telaga yang jernih, mereka lalu duduk di tepi telaga menghadap ke arah pulau besar di tengah telaga yang menjadi sarang perkumpulan Kwi-eng-pang.

“Bagaimana kita dapat menyeberang ke pulau itu?”

“Mengapa begini sepi, tidak ada seorangpun di tepi telaga?”

“Kita harus mencari tepi yang terdekat dengan pulau itu.”

“Lalu bagaimana kita dapat menyelidiki kalau tidak berada di sana?” Lui Hwa berkata sebagai jawaban keempat orang kawannya itu. “Keterangan yang kita peroleh dari penduduk daerah ini memang menyatakan bahwa tempat ini amat sunyi karena tidak ada penduduk yang berani mendekati. Dan kurasa kita hanya dapat menyeberang ke sana dengan perahu. Menurut penyelidikan, para anggauta Kwi-eng-pang suka mencari ikan, tentu nanti akan ada perahu yang mendekati pantai, dan kita boleh menyergapnya.”

“Hwa-moi (adik Hwa), tempat ini kelihatan penuh rahasia dan menyeramkan, tentu engkau sudah hafal benar dan tidak sampai terjeblos ke dalam perangkap, bukan?”

“Jangan khawatir, teman-teman!” Lui Hwa berkata. “Pangcu (ketua)sudah memberi keterangan sejelas-jelasnya. Dengar baik-baik agar kalian juga dapat mengenal keadaan. Pantai sini merupakan pantai terdekat dari pulau besar dan merupakan pantai teraman, sehingga mereka yang mencari ikan dari pulau itu tentu akan pergi ke sini. Arah perahu dari sini ke pulau harus lurus dari pantai ini dan mendarat di pulau itu tepat pada tonjolan teluk pulau yang ada pohon kembarnya yang tampak dari sini itu, sedangkan penunjuk pantai ini adalah batu besar berbentuk rumah di belakang kita ini.

Jalan ini paling aman, karena yang sebelah kiri penuh dengan kembang teratai putih itu, di bawahnya terdapat banyak tanaman air yang dapat melibat dan menahan lajunya perahu, bahkan dapat menahan perahu sehingga tidak dapat bergerak lagi. Di sebelah kanan yang penuh dengan kembang teratai merah itu, banyak terdapat batu-batu karang besar mendekati permukaan air yang tertutup daun-daun teratai sehingga dapat merusak perahu yang membenturnya, juga banyak dipasangi alat rahasia di situ. Nah, cukup sekian dulu, nanti kalau kita sudah berhasil mendarat di antara dua pohon kembar di sana itu, akan kuberitahukan lagi rahasia memasuki pulau itu dengan aman.”

Empat orang wanita yang lainnya mendengarkan penuh perhatian dan memandang ke arah tempat-tempat yang ditunjukkan oleh Lui Hwa.

“Indah dan mengagumkan, juga aman sekali tempat ini kalau dapat menjadi sarang perkumpulan kita.”

“Pantas saja pangcu mengutus kita menyelidiki keadaan Kwi-eng-pang dan berniat mengajak kita semua pindah ke sini.”

“Akan tetapi bagaimana dengan para anggauta Kwi-eng-pang? Aku benci kalau harus hidup bersama laki-laki, di tempat yang betapa indahpun.”

“Akupun tidak sudi, bisa pendek umurku!”

Dewi Maut







Tidak ada komentar: