***

***

Ads

Jumat, 09 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 004

Wanita yang duduk di atas kursi itu usinya sudah tiga puluh lima tahun, akan tetapi wajahnya masih kelihatan cantik sekali dan bentuk tubuhnya masih seperti seorang gadis berusia belasan tahun.

Pandang matanya menyeramkan karena biarpun bentuk mata itu indah sekali, bahkan merupakan bagian yang paling menonjol keindahannya di antara semua kecantikan wajahnya, namun sepasang mata itu mengeluarkan sinar dingin menyeramkan.

Seperti juga bentuk tubuhnya yang padat dan masih seperti tubuh seorang gadis, rambutnya juga digelung seperti rambut gadis-gadis yang belum menikah, dan di atasnya dihias dengan sebuah permainan berbentuk burung hong yang terbuat dari batu kemala indah sekali.

Dan memang wanita yang usianya tiga puluh lima tahun ini adalah seorang gadis, seorang perawan yang belum pernah menikah selama hidupnya! Dia inilah ketua Giok-hong-pang, yang bernama Yo Bi Kiok dan berjuluk Giok-hong-cu!

Di dalam cerita Petualang Asmara diceritakan betapa Yo Bi Kiok ini dahulunya adalah murid dari seorang di antara para datuk kaum sesat yang bernama Bu Leng Ci dan berjuluk Siang-tok Mo-li, seorang iblis betina yang amat lihai.

Akan tetapi, gurunya itu tewas dalam perebutan pusaka bokor emas milik Panglima Sakti The Hoo, akan tetapi akhirnya, dengan menggunakan kecerdikan, yaitu membuat bokor emas palsu, bokor emas yang tulen, sebuah pusaka yang diperebutkan oleh semua tokoh dunia persilaten baik golongan putih maupun golongan hitam itu terjatuh ke dalam tangan Yo Bi Kiok tanpa ada yang mengetahuinya!

Yo Bi Kiok lalu melarikan diri dan menyembunyikan diri, akan tetapi diam-diam dia telah menemukan tempat penyimpanan kitab-kitab pusaka dan harta pusaka dari peta dan petunjuk di dalam bokor emas itu!

Setelah menemukan pusaka yang dijadikan perebutan ini, Bi Kiok memusnahkan bokor emas, kemudian diam-diam dia menggembleng dirinya dengan ilmu-ilmu yang terkandung di dalam kitab-kitab itu sehingga dia memperoleh kepandaian yang amat tinggi dan hebat!

Sungguh amat patut disayangkan bahwa seorang wanita yang demikian cantiknya, dan demikian tinggi ilmunya seperi Yo Bi Kiok, yang memang sejak kecilnya telah memiliki watak pendiam dan keras oleh pengaruh pendidikan gurunya, seorang datuk kaum sesat, telah mengalami patah hati dalam percintaan sehingga kini, biarpun dia masih amat cantik jelita, dia telah menjadi seorang wanita pembenci pria, yang kadang-kadang dapat melakukan kekejaman yang mengerikan!

Kekejaman yang hanya ditujukan kepada kaum pria. Semua ini, pembentukan watak seperti iblis ini, timbul dari rasa dendam dan sakit hatinya karena cinta pertamanya, bahkan satu-satunya pria yang pernah dicintanya dengan sepenuh hatinya, telah menolak perasaan cintanya itu.

Dalam cerita Petualang Asmara telah dkeritakan betapa Yo Bi Kiok jatuh cinta kepada Yap Kun Liong, akan tetapi pria ini dengan terang-terangan menolak cintanya dan kepatahan hatinya ini membuat Yo Bi Kiok selamanya tidak mau berbaik dengan kaum pria, apalagi bermain cinta atau menikah!

Kebenciannya terhadap pria ini pula yang membuat dia, ketika membentuk sebuah perkumpulan dan tinggal di lereng Bukit Liong-san, hanya menerima wanita-wanita yang pernah menjadi korban pria, yang bersakit hati kepada pria saja untuk menjadi anggauta perkumpulannya yang diberi nama Giok-hong-pang.






Kini, anak buahnya yang juga menjadi murid-murid itu dan semua terdiri dari wanita-wanita yang membenci pria, berjumlah lima puluh orang lebih. Dengan harta pusaka yang ditemukannya bersama kitab-kitab ilmu silat yang amat tinggi, dia mampu membiayai perkumpulannya, bahkan setiap orang anggauta perkumpulannya mempunyai hiasan kepala berbentuk burung hong dari batu kemala, sungguh pun batu kemala di kepala itu tidak seindah yang menghias kepala sang pangcu.

Di atas kursi yang lain, di sebelah kiri pangcu (ketua) dari Giok-hong-pang ini, duduk seorang wanita lain. Mata siapapun, terutama sekali mata kaum pria, pasti akan terpesona jika memandang wanita ini. Dia seorang gadis yang masih muda, tidak akan lebih dari delapan belas atau sembilan belas tahun usianya, dan wajahnya cantik sekali, seolah-olah tidak ada cacat celanya.

Wajah ketua Giok-hong-pang yang sudah amat cantik itu seolah-olah menjadi suram jika dibandingkan dengan kecantikan wajah gadis remaja ini. Setiap anggauta di tubuhnya seolah-olah memiliki daya tarik yang khas dan luar biasa, dan terutama sekali sepasang mata dan mulutnya, takkan ada jemunya mata memandang, dan setiap kerling mata dan gerak bibirnya mengandung sesuatu yang mampu membangkitkan gairah dan berahi pria yang mana pun.

Pendeknya, jaranglah ditemui seorang gadis secantik dia. Seperti juga sang ketua, di rambut gadis ini terdapat hiasan burung hong kemala yang amat bagus dan jauh lebih bagus daripada yang dipakai oleh para anggauta Giok-hong-pang, sungguhpun masih kalah indah kalau dibandingkan dengan hiasan yang menghias rambut kepala ketua Giok-hong-pang itu.

Dara jelita ini adalah Yap In Hong, murid dalam arti yang sesungguhnya dari Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, karena para anggauta Giok-hong-pang yang lain hanya menerima ilmu silat yang diseragamkan dan merupakan “kulitnya” saja, sedangkan In Hong seoranglah yang digembleng oleh gurunya secara sungguh-sungguh, bahkan dara ini telah hampir mewarisi semua ilmu yang dimiliki gurunya.

Yap In Hong ini sebetulnya adalah adik kandung satu-satunya dari Pendekar Sakti Yap Kun Liong yaitu pria yang menjadi gara-gara kepatahan hati Yo Bi Kiok. Ayah bunda Yap Kun Liong dan Yap In Hong ini terbunuh oleh para datuk kaum sesat, dan semenjak masih kecil sekali, Yap In Hong tak pernah berkumpul dengan kakaknya sampai dia ditolong oleh gurunya itu dan ketika melihat gurunya dan kakak kandungnya itu bertentangan, dia memihak gurunya atau penolongnya itu, tidak mau dibawa pergi oleh kakak kandungnya (baca cerita Petualang Asmara ).

Sejak kecil, Yap In Hong telah digembleng oleh Yo Bi Kiok yang mencintanya seperti keponakan atau seperti adik sendiri, bahkan seperti anak sendiri. Demikian pula In Hong mencinta gurunya dan sekaligus seperti menemukan pengganti ayah bundanya.

Akan tetapi, keadaan sekeliling kita selalu membentuk perwatakan kita! Bagi seorang wanita yang sudah menghayati kebebasan sejati, yaitu bebas dari segala bentuk ikatan, keadaan sekeliling tentu saja tidak mendatangkan pengaruh apa-apa, akan tetapi bagi kebanyakan dari kita, keadaan sekeliling merupakan guru yang paling berkuasa sehingga tanpa kita sadari, kita hanyut dan terbawa-bawa sehingga mau tidak mau kita menjadi “anggauta” dari keadaan sekeliling itu yang mgmbentuk watak dan kepribadian kita.

Demikian pula dengan In Hong, dara jelita itu. Karena semenjak kecil dia ikut dengan gurunya, seorang wanita yang membenci kaum pria kemudian setelah gurunya mendirikan perkumpulan, In Hong berada di tengah-tengah sekumpulan wanita yang amat membenci pria, maka secara otomatis In Hong menjadi dewasa dalam suasana seperti itu, dan wataknyapun terbentuklah sebagai seorang dara pembenci kaum pria!

Memang aneh kalau dipikir betapa dara ini sama sekali belum pernah berhubungan dengan pria, apalagi disakitkan hatinya! Akan tetapi, karena setiap hari melihat sikap dan mendengar cerita dan dongeng dari para anggauta Giok-hong-pang tentang kebusukan kaum pria dan betapa mereka membencinya, juga gurunya membencinya, maka diapun amat membenci kaum pria yang dianggapnya sebagai mahluk yang sejahat-jahatnya dan seganas-ganasnya!

Pada pagi hari itu, guru dan murid yang duduk di atas kursi itu memandang seorang wanita yang berlutut sambil menangis terisak-isak di depan sang ketua. Giok-hong-cu Yo Bi Kiok mengepal tangan kanannya, matanya mengeluarkan sinar berapi-api, sedangkan In Hong juga terbelalak memandang wanita itu, kedua tangan dikepal dan kemarahannya jelas nampak di wajahnya yang cantik.

“Lui Hwa, ceritamu sukar untuk dapat kupercaya!” terdengar Yo Bi Kiok berkata, suaranya halus, namun mengandung getaran yang mengiris jantung. “Coba kau ulangi lagi apa yang telah terjadi dengan kalian berlima!”

Wanita itu, Lui Hwa yang telah kita kenal, yaitu orang termuda di antara lima orang anggauta Giok-hong-pang yang menyelidik ke Telaga Setan, kini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus air matanya dan berusaha untuk bicara tanpa diganggu isak dan menuturkan dengan sejelas-jelasnya.

Dia menceritakan pengalaman mereka ketika merampas perahu sampai kemudian terpaksa mereka menyerah kalah karena kedua buah perahu itu digulingkan oleh para anggauta Kwi-eng-pang

Dengan suara terputus-putus dia mengulangi ceritanya betapa empat orang temannya direjang dan diperkosa oleh para anggauta Kwi-eng-pang seperti empat ekor domba yang diserbu segerombolan srigala di tempat terbuka, bahkan di depan matanya karena dia dipaksa untuk menonton oleh ketua Kwi-eng-pang, melihat betapa empat orang teman itu tak mampu melawan sama sekali dan keempatnya tewas dalam keadaan yang amat mengerikan, terhina secara memalukan sekali.

Kemudian betapa dia hanya dapat menangis ketika dia sendiri terpaksa melayani segala kehendak Kiang Ti yang mempermainkannya, memperkosanya, menghinanya bahkan kemudian menyerahkan dia untuk dipermainkan dan diperkosa oleh empat orang pembantu ketua itu sebagai balas jasa atas penangkapan lima orang wanita itu!

“Sepekan lamanya saya ditahan, mengalami penghinaan siang malam, dan akhirnya saya dibebaskan, diantar oleh empat orang pembantu ketua yang lihai itu, diantar dengan perahu ke tepi telaga. Dan di dalam perahu itupun saya harus mengalami penghinaan dan perkosaan yang sudah tak terhitung lagi banyaknya...” Lui Hwa menangis terisak-isak.

“Plakkk!”

Tubuh Lui Hwa terpelanting dan tangisnya makin mengguguk ketika dia bangkit berlutut lagi, bibirnya mengalirkan darah dan pipinya yang ditampar oleh Bi Kiok menjadi merah sekali.

“Perempuan tak tahu malu! Dan engkau masih ada muka untuk pulang dan menceritakan semua itu kepadaku, ya? Seratus kali mampus masih lebih baik daripada kau hidup mengenang penghinaan itu!”

“Ampun, pangcu...! Sama sekali saya tidak ingin hidup... sama sekali saya tidak sudi mengenangkannya... saya menyerah kepada mereka, saya mempertahankan hidup sampai saat ini... hanya.... hanya agar dapat melapor kepada pangcu... karena hanya itulah harapan saya supaya dendam kami terbalas... harap pangcu tidak melupakan mereka, Kiang Ti si jahanam dan empat orang pembantunya... kami.... kami berlima menanti pembalasan itu...”

Tiba-tiba Lui Hwa meloncat ke belakang, mencabut pedangnya dan sekali menggerakkan kedua tangan yang memegang gagang pedang, dia membalikkan pedangnya menusuk dada sendiri.

“Crotttttt...!” Pedang itu menembus ulu hatinya sampai ujung pedang keluar dari punggungnya!

Guru dan murid itu tidak bergerak sedikitpun. Mata mereka menerima kenyataan yang mengerikan itu tanpa berkedip dan hal ini saja sudah membuktikan betapa keras hati mereka, dan betapa kuat perasaan mereka.

Yo Bi Kiok tersenyum mengangguk, agaknya girang melihat bahwa anggauta atau muridnya itu bukanlah seorang wanita lemah yang takut mati. Sambil memandang tubuh yang tertembus pedang itu, dia berkata lirih,

“Tenangkan hatimu, Lui Hwa, mereka akan menebus semua ini!”

Dengan anggukan kepala ketua Giok-hong-pang ini memberi isyarat kepada para penjaga wanita yang berada di situ untuk menyingkirkan dan mengurus baik-baik jenazah Lui Hwa, setelah dia mencabut pedang Lui Hwa dan menyuruh In Hong menyimpan pedang itu.

“Pedang inilah yang akan menghukum mereka,” katanya. “Simpan baik-baik, In Hong.”

“Subo, mengapa kita tidak sekarang juga berangkat dan membasmi iblis-iblis Kwi-eng-pang?” In Hong sudah bangkit berdiri dan mengangkat pedang Lui Hwa itu ke atas kepala.

“Duduklah, In Hong. Ingat, hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin, itu merupakan syarat yang terutama bagi seorang ahli silat. Kalau menuruti perasaan amarah, pikiran menjadi kalut dan kita tidak dapat menguasai gerakan kita dengan sempurna dan hal ini berarti sudah kehilangan sebagian dari daya tahan dan kewaspadaan kita.”

In Hong menunduk, kagum dan harus membenarkan pendapat gurunya itu.
“Baik, subo, dan maafkan kesembronoan teecu (murid).”

“Tidak apa, muridku. Ketahuilah, si bedebah Kiang Ti yang kini menjadi ketua Kwi-eng-pang adalah murid kepala dari mendiang Kwi-eng Nio-cu pendiri Kwi-eng-pang. Ilmunya cukup hebat, terutama sekali Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang menjadi andalannya. Tangannya itu selain beracun juga amat kuat, bahkan dia berani menggunakan tangannya menangkis senjata tajam. Kiang Ti dengan sengaja melepas dan membebaskan Lui Hwa, tidak dibunuhnya seperti empat yang lain, tentu karena kesombongannya dan dia sengaja memberi kesempatan kepada Lui Hwa untuk melapor ke sini. Hal itu berarti suatu tantangan! Dan orang yang telah berani menantang tentu sudah percaya kepada kekuatan sendiri dan tentu telah siap sedia menanti kedatangan kita! Maka kita tidak boleh bodoh dan sembrono, muridku.”

“Perlukah kita takut, subo?” In Hong bertanya penasaran. “Biarkan teecu memimpin semua anggauta kita menyerbu dan membasmi Kwi-eng-pang sampai habis!”

Dewi Maut







Tidak ada komentar: