***

***

Ads

Jumat, 09 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 005

“Berhati-hati dan bersiasat bukanlah tanda takut, In Hong, melainkan tanda kecerdikan. Kiang Ti dan anak buahnya tidak perlu ditakuti, akan tetapi kedudukan Telaga Setan benar-benar amat berbahaya. Tidak ingatkah kau akan cerita Lui Hwa betapa mereka menjadi tidak berdaya karena perahu-perahu mereka digulingkan? Kita sendiri, bahkan aku sekalipun, akan dapat berbuat apa kalau sampai terjatuh ke dalam air yang dalam dan kita tidak pandai renang? Tentu semua ilmu kita tidak akan banyak gunanya! Kesukaran kita menyerbu Kwi-eng-pang adalah pada penyeberangannya. Kalau sudah mendarat di pulau itu, tidak ada kesulitan apa-apa lagi. Karena itu kita harus menggunakan siasat.”

In Hong kembali mengangguk-angguk membenarkan. Dia merasa ngeri juga kalau mengingat betapa sebelum berhasil mendarat di pulau sarang musuh itu, dia sudah terjatuh ke dalam air yang amat dalam!

Bi Kiok lalu mengumpulkan semua anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang. Ketika mereka semua diberi tahu akan keputusan ketua mereka untuk menyerbu Kwi-eng-pang, wanita-wanita itu bersorak girang karena semua telah mendengar akan kematian Lui Hwa dan empat orang temannya yang mengerikan dan mereka semua merasa sakit hati ingin membalaskan kematian teman-teman mereka.

Dengan penuh perhatian mereka mendengarkan siasat yang diatur oleh ketua mereka dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah semua anggauta Giok-hong-pang ini dengan berpencar merupakan kelompok-kelompok kecil agar tidak menarik perhatian orang, menuju ke Telaga Setan.

Ketika semua anggauta tiba di hutan di tepi telaga itu sebagaimana yang telah ditentukan semula. Bi Kiok dan In Hong telah lebih dulu tiba dan menanti di tempat itu. Guru dan murid ini sekali lagi merundingkan siasat dengan para anak buah Giok-hong-pang, kemudian Yo Bi Kiok mengajak muridnya untuk menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke tepi telaga sebelah utara dan perjalanan ini biarpun dilakukan dengan cepat sekali masih memakan waktu sampai setengah hari lamanya!

Pada menjelang tengah hari, seperti yang direncanakan pagi tadi sebelum ketua mereka pergi meninggalkan mereka, lima puluh orang anggauta Giok-hong-pang mulai bersolek, menambah pupur dan yanci (pemerah pipi) dan membereskan pakaian mereka, kemudian beramai-ramai mereka memperlihatkan diri di pantai sambil berteriak-terlak menantang Kwi-eng-pang!

Para anggauta Kwi-eng-pang yang bertugas menjaga di sekeliling telaga itu tentu saja sudah tahu akan kedatangan rombongan wanita Giok-hong-pang ini, dan ketika para anggauta mereka yang bertugas mencari ikan juga telah mendengar ribut di tepi telaga.

Dengan jantung berdebar penuh keteganqan, juga penuh gairah ketika melihat lima puluh orang wanita yang hampir semua cantik-cantik dan muda-muda itu, para anggauta Kwi-eng-pang cepat melaporkan hal ini kepada ketua mereka dengan harapan mereka itu akan kebagian kelak kalau wanita-wanita itu dapat ditawan seperti yang telah terjadi dengan lima orang tawanan tempo hari. Kini melihat banyaknya anggauta Giok-hong-pang yang cantik-cantik itu, mereka semua tentu akan memperoleh bagian!

Kiang Ti tertawa bergelak ketika mendengar laporan bahwa di tepi selatan telaga itu telah datang lima puluh orang wanita cantik para anggauta Giok-hong-pang yang berteriak-teriak, memaki-maki dan menantang.

“Ha-ha-ha-ha, mereka datang dan hanya menantang di tepi telaga? Ha-ha-ha, mereka tidak dapat menyeberang, akan tetapi akan memalukan sekali kalau kita tidak menyambut tantangan mereka. Apa sih kemampuan wanita-wanita itu kecuali menghibur kita dalam kamar? Kita berjumlah lebih banyak! Sambut mereka dengan seratus orang dan sedapat mungkin tawan mereka hidup-hidup. Mereka cantik-cantik dan muda-muda? Bagus, berarti kalian tidak perlu repot-repot menculiki gadis-gadis dusun lagi, ha-ha-ha!”






Kiang Ti mengerahkan anggauta-anggauta perkumpulannya dan memerintahkan seorang pembantunya untuk membawa seratus orang menghadapi para anggauta Giok-hong-pang. Dia bukan seorang bodoh. Dulu sebelum menjadi ketua Kwi-eng-pang, dia telah lama menjadi ketua Ui-hong-pang dan sudah berpengalaman, maka ketika mendengar laporan bahwa lima puluh orang wanita Giok-hong-pang itu datang tanpa ketua mereka, dia merasa curiga.

Karena itu, dia hanya mengirim seratus orang anggauta yang dianggapnya sudah cukup untuk menghadapi lima puluh wanita itu, sedangkan dia sendiri bersama sisa anggauta perkumpulannya, kurang lebih tiga puluh orang, tetap berada di pulau menjaga kalau-kalau ketua Giok-hong-pang menggunakan siasat “memikat harimau meninggalkan sarang”.

Berbondong-bondong seratus orang anggauta Kwi-eng-pang meninggalkan pulau, menggunakan perahu-perahu besar kecil menuju ke tepi telaga di mana para wanita itu masih berteriak-teriak menantang.

Kiang Ti sendiri, dengan sebuah teropong di tangannya, mengamati dari tepi Pulau. Dia bangga sekali dengan teropong ini, teropong kepunyaan seorang asing dari barat, seorang yang bermata biru berambut kuning, yang pernah menjadi tamu gurunya di pulau itu dan yang meninggalkan teropong itu di situ sehingga kini menjadi miliknya. Dengan alat ini yang masih langka pada waktu itu, dia dapat mengjkuti gerakan orang-orangnya di tepi telaga.

Sambil berteriak-teriak penuh kegarangan, seratus orang anggauta Kwi-eng-pang itu sudah menyerbu ke darat, disambut oleh para wanita Giok-hong-pang dan segera terjadi pertempuran kacau-balau yang amat seru di tengah-tengah debu yang mengebul tinggi dan teriakan-teriakan mereka yang bercampur aduk.

Karena jumlah orang-orang Kwi-eng-pang dua kali lipat lebih banyak, maka boleh dibilang setiap orang wanita Giok-hong-pang dikeroyok oleh dua orang pria. Namun dengan gerakan pedang yang cepat dan rapi, para anggauta Giok-hong-pang itu membela diri dengan baik sekali dan dengan kagum Kiang Ti melihat betapa wanita-wanita itu sama sekali tidak terdesak oleh jumlah lawan yang lebih banyak.

“Kiang Ti manusia hina, bersiaplah engkau untuk mampus!”

Suara yang halus akan tetapi nyaring dan menggetar aneh ini membuat Kiang Ti terkejut sekali, cepat dia membalikkan tubuhnya dan dengan kaget melihat bahwa di depannya telah berdiri dua orang wanita yang amat luar biasa cantiknya, terutama sekali yang muda!

Biarpun sudah belasan tahun tak pernah bertemu, namun dia masih dapat mengenal Yo Bi Kiok, yang dahulu merupakan seorang gadis yang cantik sekali dan pernah tinggal di pulau sebelah utara. Dia tersenyum mengejek. Dugaannya ternyata tepat. Yo Bi Kiok hendak menggunakan siasat memancing orang-orangnya dan dia meninggalkan pulau dan diam-diam wanita ini mendarat di pulau melalui utara yang tentu saja tidak terjaga karena semua perhatian ditujukan kepada wanita-wanita Giok-hong-pang yang sengaja mengacau di tepi selatan.

Akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanyalah Yo Bi Kiok seorang bersama seorang gadis muda, hatinya menjadi besar dan cepat dia bersuit memberi tanda. Berserabutan datanglah tiga puluh orang yang telah dipersiapkan dan dalam sekejap mata saja Yo Bi Kiok dan In Hong sudah dikepung!

Yo Bi Kiok tersenyum mengejek.
“Kiang Ti, engkau sudah tahu akan dosa-dosamu terhadap lima orang anggauta kami, lekas berlutut dan menyerah!” kembali Yo Bi Kiok berkata halus, akan tetapi di dalam kehalusan suaranya itu terkandung sesuatu yang menyeramkan karena senyum mengejek dan pandang mata seperti ujung pedang itu mengandung ancaman maut.

“Ha-ha-ha-ha! Bukankah engkau Giok-hong-cu Yo Bi Kiok yang dulu itu? Hemm, sudah belasan tahun tidak jumpa, engkau menjadi makin matang dan cantik saja! Giok-hong-cu, jangan persalahkan aku tentang lima orang anggautamu itu. Engkaulah sendiri yang bersalah. Di antara kita masih ada ikatan, engkau murid Siang-tok Mo-li dan aku murid Kwi-eng Nio-cu, mengapa engkau mengirim orang-orang menyelidiki tempatku dan melakukan penghinaan serta membunuh empat orangku? Kalau memang engkau ingin pindah dengan para anggautamu ke sini, mengapa tidak datang secara baik-baik dan berdamai saja? Kalau kita bersatu, bukankah kita akan merupakan kekuatan yang hebat? Engkau menjadi isteriku, dan para anggautamu boleh memilih suami di antara anggautaku, bukankah itu baik sekali?”

“Tutup mulutmu yang busuk!” Yo Bi Kiok memaki marah, akan tetapi Kiang Ti hanya tertawa mengejek.

“Yo Bi Kiok, tidak perlu engkau bersikap sombong seperti ini. Orang-orangmu hanya berjumlah lima puluh orang dan sekarang tentu telah ditawan semua oleh seratus orang anggautaku, dan engkau sendiri bersama nona jelita ini telah dikepung...!”

“Engkau yang buta dan tidak tahu bahwa kematian sudah berada di depan hidung! Lihatlah baik-baik apa yang terjadi di seberang sana.” Yo Bi Kiok menunjuk ke arah tepi telaga di mana terjadi pertempuran.

Kiang Ti cepat menengok ke arah seberang telaga dengan teropongnya dan seketika mukanya berubah. Dengan jelas dia melihat betapa sebagian dari orang-orangnya telah roboh dan sebagian lagi kini telah menyerah, ditodong pedang dan tidak ada seorangpun di antara anggautanya yang berani melawan lagi! Tak disangkanya pertempuran berjalan secepat itu dengah kekalahan fihaknya yang berjumlah dua kali jumlah lawan banyaknya.

“Pengecut...!”

Dia berteriak, lalu menurunkan teropongnya dan membalik menghadapi dua orang wanita itu sambil berseru kepada para pembantunya,

“Tangkap mereka berdua!”

Melihat kekalahan fihaknya, timbul keinginan di hati Kiang Ti untuk menawan hidup-hidup ketua Giok-hong-pang ini dan menjadikannya sebagai sandera untuk menaklukkan semua anggauta Giok-hong-pang.

Tiga puluh orang anak buah Kwi-eng-pang mengepung ketat dan mereka sudah siap untuk menangkap dua orang wanita itu. Hati mereka besar karena mereka yang tidak menggunakan teropong tentu saja masih belum tahu apa yang terjadi dengan kawan-kawan mereka yang menyerbu ke darat. Kini, menghadapi hanya dua orang wanita cantik saja, tentu mereka memandang rendah.

“In Hong, kau hajar anjing-anjing itu, biar aku yang menangkap srigalanya!”

Yo Bi Kiok berkata sambil tersenyum kepada muridnya, sikap mereka berdua tenang sekali seolah-olah yang mengepung dan mengancam mereka itu bukan manusia, hanya boneka-boneka hidup belaka yang tidak perlu dikhawatirkan!

Kiang Ti yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan jumlah banyak, menjadi marah sekali. Dia ingin menangkap hidup-hidup dua orang musuh ini, maka diapun berkata nyaring,

“Kalian semua tangkap nona muda itu, awas jangan sampai kulitnya yang halus itu lecet-lecet! Kalian berempat membantu aku menghadapi iblis cantik ini!”

Perintah terakhir dia tujukan kepada empat orang pembantunya yang merupakan tokoh-tokoh terpandai sesudah dia di Kwi-eng-pang.

In Hong tanpa menjawab mentaati perintah gurunya, sekali meloncat tubuhnya sudah mencelat ke kiri, menjauhi gurunya sehingga para pengepung yang kini juga berpencar dan terpecah menjadi dua itu cepat mengepung gadis ini dengan ketat, dengan pandang mata bersinar-sinar penuh gairah karena biarpun mereka ini tahu bahwa gadis secantik ini tentu akan diambil sendiri oleh sang ketua, namun setidaknya dalam menangkapnya mereka memperoleh kesempatan untuk memuaskan tangan-tangan mereka.

Dua puluh enam orang laki-laki yang merupakan pasukan inti dari Kwi-eng-pang, pengawal-pengawal setia dari Kiang Ti karena mereka ini semua adalah bekas anggauta Ui-hong-pang, kini mengepung seorang dara remaja yang kelihatannya tenang berdiri di tengah kepungan, sedikitpun tidak kelihatan gentar, bahkan tidak mau mencabut pedangnya, berdiri dengan kedua kaki agak terpentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri tubuh, renggang dari badan, tegak dan muka menghadap ke depan, sama sekali tidak bergerak, dan hanya sepasang mata yang indah seperti mata burung hong itu saja yang bergerak, meleret ke kanan kiri dengan lambat, dan ada bayangan senyum tersembunyi di balik sepasang bibir yang merah membasah itu.

Demikian pula dengan Yo Bi Kiok. Wanita inipun berdiri seperti sikap muridnya, hanya bedanya kalau In Hong berdiri dengan wajah dingin dan senyum yang seolah-olah membayang atau bersembunyi di balik bibirnya itu hanya tampak karena memang bentuk mulutnya amat manis seolah-olah selalu bersenyum, sebaliknya Bi Kiok tersenyum, senyum mengejek dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh semangat, atau mungkin itu adalah suatu kemarahan yang terselubung di balik ejekan sikapnya. Matanya melirik ke arah Kiang Ti dan empat orang pembantunya itu berganti-ganti dan di dalam telinganya berdengung kembali ucapan terakhir Lui Hwa

“...harap pangcu tidak melupakan mereka, Kiang Ti si jahanam dan empat orang pembantunya...”

“Tidak, Lui Hwa, aku tidak akan melupakannya!”

Tiba-tiba dia berkata pada saat Kiang Ti dan empat orang pembantunya menerjangnya dari lima penjuru. Kiang Ti yang dahulu pernah mengenal Yo Bi Kiok, memandang rendah. Maka dia dan empat orang pembantunya tidak menggunakan senjata, melainkan menerjang dengan tangan kosong.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: