***

***

Ads

Kamis, 15 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 015

Pengalaman orang she Tio ini hebat sekali, karena dia telah mengikuti perantauan Panglima The Hoo yang menjelajahi banyak negara aneh di seberang lautan, mengalami banyak pertempuran dan sudah menghadapi banyak sekali orang-orang yang memiliki kepandaian aneh dan hebat di bagian-bagian dunia lain di seberang lautan itu.

Maka dia telah memiliki pandangan yang awas dan diapun maklum bahwa tingkat kepandaian tokouw dan tosu tadi amat tinggi dan andaikata terjadi bentrokan antara mereka dengan dia, dia tidak berani memastikan apakah dia akan keluar sebagai pemenang. Itulah sebabnya dia bersikap hati-hati dan membiarkan dua orang itu pergi, sungguhpun dia maklum bahwa dua orang itu tentulah musuh-musuh dari sahabatnya, Cia Keng Hong.

Sebagai besan dari ketua Cin-ling-pai, Hong Khi Hoatsu lalu dipersilakan duduk bersama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Kakek berbaju kembang itu lalu bertanya apa yang telah terjadi di Cin-ling-pai. Lalu menceritakan tentang semua melapetaka yang terjadi dan menimpa perkumpulan itu.

Terkejut juga hati kedua orang kakek itu mendengar bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam dicuri orang dan bahwa pembunuh-pembunuh itu adalah Lima Bayangan Dewa yang memiliki kepandaian tinggi. Ketika mendengar bahwa pencuri pedang itu mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Tio Hok Gwan mengepal tinjunya.

“Ahh, pantas...! Aku pernah mendengar nama Dewa Tua Berlengan Delapan itu! Dia adalah sute dari datuk kaum sesat Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun) Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia-taihiap! Tentu dia datang mengacau Cin-ling-pai untuk membalas dendam kematian suhengnya. Akan tetapi, siapakah empat orang temannya yang bersama dia memakai nama Lima Bayangan Dewa itu?”

Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara para murid Cin-ling-pai yang tahu.
“Yang mengetahui tentu hanya ketujuh orang suheng yang menjumpai mereka di restoran Koai-lo di Han-tiong, akan tetapi enam di antara mereka tewas dan yang seorang lagi luka parah...” murid Cin-ling-pai menerangkan.

“Dimana dia yang terluka itu? Biar kami memeriksanya,” Hong Khi Hoatsu berkata.

Dengan hati girang dan penuh harapan, para murid Cin-ling-pai lalu mengantarkan Hong Khi Hoatsu dan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan ke dalam kamar di mana Coa Seng Ki rebah dalam keadaan empas-empis napasnya dan mukanya pucat kebiruan, matanya terpejam.

Beberapa orang murid Cin-ling-pai menjaga di kamar itu dengan muka penuh kekhawatiran karena biarpun mereka sudah berusaha sedapatnya untuk mengobati korban ini, tetap saja keadaan Coa Seng Ki tidak kelihatan menjadi baik. Mereka sudah menjadi putus asa dan mereka kini hanya menanti datangnya ketua mereka cepat-cepat dan mengharapkan Coa Sang Ki akan dapat bertahan sampai ketua mereka pulang. Orang termuda dari Cap-it Ho-han itu masih belum sadar, masih pingsan sejak dia rebah di ruang atas rumah makan Koai-lo sampai saat itu.

Hong Khi Hoatsu dan Tio Hok Gwan bergantian memeriksa keadaan Coa Sang Ki, akan tetapi mereka berdua segera maklum bahwa keadaan orang itu sudah tidak ada harapan lagi, bahwa luka-luka yang diderita oleh orang itu amat hebat dan tidak dapat disembuhkan lagi karena di sebelah dalam tubuhnya sudah terluka parah selain darahnya sudah keracunan. Paling lama Coa Seng Ki hanya akan bertahan sampai dua tiga hari lagi saja.

“Bagaimana pendapatmu, Hoatsu?” tanya Tio Hok Gwan kepada temannya.






Hong Khi Hoatsu menggeleng kepalanya.
“Seperti telah kau ketahui, dia tidak dapat disembuhkan lagi, luka-luka di sebelah dalam terlampau parah.”

Tio Hok Gwan menarik napas panjang.
“Dan nama-nama empat orang di antara Lima Bayangan Dewa hanya dia yang mengetahui.”

Hong Khi Hoatsu mengerutkan alisnya.
“Dengan kekuatan sihir mungkin aku dapat membuat dia sadar dan membantunya untuk menceritakan siapa adanya empat orang itu, akan tetapi pengerahan tenaga paksaan itu mungkin akan membuat luka-lukanya makin parah.”

Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan berpikir sejenak, lalu berkata,
“Betapapun juga, dia tidak dapat disembuhkan dan nama-nama empat orang penjahat itu amat penting untuk diketahui. Kalau dia dibiarkan demikian sampai mati, tidak ada gunanya sama sekali. Kurasa Hoatsu tentu mengerti akan hal ini.”

Hong Khi Hoatsu mengangguk.
“Memang akupun berpikir demikian. Eh, bagaimana pendapat kalian?” tanyanya kepada para murid Cin-ling-pai yang menunggu di kamar itu.

Mereka saling pandang. Mereka tadi telah mendengarkan percakapan antara dua orang kakek itu dan mengerti apa yang mereka maksudkan. Kemudian seorang di antara mereka berkata,

“Karena Ketua tidak ada dan Cap-it Ho-han yang mewakili suhu juga tidak ada lagi, yang ada hanya Coa-suheng yang sakit ini, maka kami semuapun tidak dapat mengambil keputusan. Terserah kepada Ji-wi locianpwe saja yang kami percaya sepenuhnya.”

“Baik, dan kamipun bertanggung jawab penuh terhadap cinke (besan) atas perbuatan kami ini. Nah, mundurlah kalian, biarlah aku mencoba untuk menyadarkan dia. Siapa namanya tadi?”

Seorang murid memberitahukan nama si sakit kepada kakek aneh itu. Hong Khi Hoatsu lalu mendekati si sakit, mengurut-urut dan memijit-mijit kepala dan punggung orang sakit itu, kemudian dengan kedua tangan terbuka, menggetar dan digerak-gerakkan di atas kepala si sakit, terdengar dia berkata, suaranya penuh wibawa dan mengandung getaran amat kuat sehingga semua orang yang berada di situ merasa seram dan ikut tergetar batinnya, terbawa oleh pengaruh yang terkandung di dalam suara itu.

“Coa Seng Ki...! Dengarkan baik-baik... dengar dan lakukan apa yang kuminta...! Aku mewakili suhumu, aku adalah besan suhumu, engkau harus taat kepadaku. Dengarkah engkau? Jawablah...!”

Semua mata ditujukan ke arah wajah Coa Seng Ki yang pucat membiru, wajah yang diam tidak bergerak seperti mayat. Perlahan-lahan tampaklah cahaya kemerahan membayang pada wajah itu, mula pada lehernya, terus naik ke atas pipi sampai ke dahinya, lalu bulu mata itu menggetar, bibir itu bergerak-gerak!

“Jawablah, Coa Seng Ki, jawablah... demi kesetiaan dan kebaktianmu kepada suhumu dan Cin-ling-pai, jawablah...!”

Hong Khi Hoatsu berkata lagi, suaranya makin kuat dan kedua tangannya menggigil, mukanya penuh dengan keringat. Dia telah mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya yang membutuhkan penyaluran tenaga sakti dari dalam pusarnya dan dia harus menyatukan seluruh kemauannya untuk memaksa si sakit, seperti membangunkannya, seperti membangkitkan lagi orang yang sudah tiga seperempat mati ini untuk hidup kembali.

Hal ini membutuhkan tenaga mujijat yang amat kuat sehingga kakek itu kelihatan berkeringat dan mukanya menjadi pucat, dari kepala yang tertutup kopyah itu mengepul uap putih.

Diam-diam Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan memandang penuh kekhawatiran. Biarpun dia tidak mengenal ilmu hoatsut, akan tetapi dia maklum betapa kakek itu mengerahkan sin-kang sekuatnya, hal yang amat berbahaya, namun dia tidak berani membantu kalau-kalau malah mengacaukan usaha Hong Khi Hoatsu.

“Jawablah, Coa Seng Ki...! Apakah engkau mendengarku?”

Bibir yang bergerak-gerak dari si sakit itu kini bergerak makin lebar dan terdengar jawaban seperti bisikan,

“...teecu (murid) mendengar...”

“Bagus, Coa Seng Ki, sekarang jawablah baik-baik semua pertanyaanku ini. Amat penting bagi suhumu kelak untuk mengetahui siapakah adanya empat orang yang membunuh enam orang suhengmu di restoran Koai-lo di kota Han-tiong. Siapakah Lima Bayangan Dewa itu?”

Hening sejenak. Bibir pucat itu tergetar hebat, menggigil seperti orang sakit kedinginan, kemudian terdengar jawaban yang lemah dan gemetar, namun cukup dapat dimengerti,

“...iblis-iblis itu... Liok-te Sin-mo Gu Lo It... Sin-cian Siauw-bin-sian Hok Hosiang... Hui-giakang Ciok Lee Kim... ahhhh...” Suara itu kini berobah menjadi seperti suara orang mengeluh dan mengerang.

“Pertahankan, Coa Seng Ki. Siapa yang seorang lagi?”

Dada itu turun naik, terengah-engah dan akhirnya bibir itu dapat juga mengeluarkan suara lagi,

“...Toat... beng... kauw... Bu Sit... dan orang pertama adalah... adalah... Pat-pi.... uhhhhh...!”

Kini kepala itu terkulai lemas dan Hong Khi Hoatsu menurunkan kedua tangannya, cepat memeriksa nadi tangan dan meraba dada. Dengan muka pucat dan tubuh basah kuyup oleh peluhnya sendiri dia menggeleng kepala dan memandang kepada Ban-kin-kwi.

“Berakhirlah sudah...” katanya.

Tio Hok Gwan lalu menggunakan jari tangannya untuk menutupkan mata dan mulut yang agak terbuka itu dan terdengar isak tangis dari para anak murid Cin-ling-pai ketika mereka maklum bahwa Coa Seng Ki sudah menghembuskan napas terakhir!

“Harap kalian tidak terlalu berduka.” Hong Khi Hoatsu berkata setelah dia mengatur kembali pernapasannya. “Dia memang tidak dapat disembuhkan lagi dan kematiannya yang lebih cepat ini hanya mengurangi penderitaannya dan kalian harus berterima kasih kepadanya karena sebelum mati dia masih sempat meninggalkan nama para musuh besar itu.”

Dua orang kakek itu lalu keluar dari kamar, dan duduk di ruangan depan, sedangkan para anak murid segera mengurus jenazah Coa Seng Ki. Kini semua murid Cin-ling-pai tahu sudah siapa nama lima orang musuh besar itu, yang menamakan diri mereka Lima Bayangan Dewa.

Karena biarpun orang pertama tidak sempat disebutkan namanya oleh Coa Seng Ki, namun mereka semua tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam.

“Sayang bahwa Cia-taihiap tidak berada di sini. Andaikata dia ada, tidak mungkin terjadi hal yang menyedihkan ini,” Tio Hok Gwan berkata. “Aku sudah terlalu tua, sudah malas untuk bertanding, akan tetapi mengingat akan malapetaka yang menimpa keluarga Cin-ling-pai, biarlah aku akan menyuruh puteraku untuk membantu, menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa itu dan membantu untuk menghadapi mereka. Aku akan pulang kembali ke kota raja, Hoatsu.”

Hong Khi Hoatsu mengangguk dan dia berkata,
“Baiklah, Tio-taihiap. Dan aku sendiri akan pergi mengunjungi murid dan mantuku di Sin-yang. Siapa tahu kalau-kalau lima iblis itu akan mengganggu mantuku sebagai puteri cinke Cia Keng Hong.”

Yang dimaksudkan oleh Hong Khi Hoatsu itu adalah Cia Giok Keng, puteri Cia Keng Hong yang kini telah menjadi isteri Lie Kong Tek muridnya, dan suami isteri itu tinggal di kota Sin-yang di kaki Pegunungan Tapie-san.

Maka berangkatlah dua orang kakek itu meninggalkan Cin-ling-san, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan menuju ke utara untuk pergi ke kota raja dimana dia hidup bertiga dengan putera tunggalnya dan isterinya yang jauh lebih muda darinya karena dia memang menikah agak terlambat, hidup di kota raja sebagai seorang pensiunan pengawal yang terhormat dan terjamin.

Sedangkan Hong Khi Hoatau menuju ke timur untuk mengunjungi Sin-yang, tempat tinggal muridnya. Mereka berangkat setelah lebih dulu menghadiri pemakaman delapan jenazah murid-murid Cin-ling-pai itu.

**** 015 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: