***

***

Ads

Kamis, 15 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 017

“Hemm, kau lebih suka tetap menjadi seorang petani miskin di sini...?”

“Biar! Aku lebih suka menjadi petani miskin di sini!”

“Dan... kelak menikah dengan seorang petani miskin pula, selama hidup menderita kurang makan dan pakaian?”

“Tidak! Ayahku kepala dusun, dia sudah cukup...”

“Tetap saja kelak engkau akan menikah dengan seorang petani...”

“Tidak! Aku tidak sudi menikah dengan petani!”

“Habis, dapat pangeran tidak mau, petani tidak mau...”

“Pendeknya aku tidak mau pergi meninggalkan tempat ini, tidak mau pergi meninggalkan engkau, koko!”

Bun Houw tersentak kaget, sejenak termenung memandang langit yang sudah mulai gelap, cahaya kemerahan sudah mulai menipis. Dara itu terisak lagi.

“Moi-moi, bagaimana... aku dapat menolongmu?”

“Hu-hu-huuuk...aku sudah tahu...kau tak dapat menolongku...hu-huuh!” Yalima menangis lagi.

“Tenang dan dengarlah, moi-moi. Aku akan berusaha. Besok aku akan menemui ayahmu dan membujuknya. Akan tetapi lebih dulu ceritakan, mengapa ayahmu yang telah menjadi kepala dusun, yang tidak kekurangan sesuatu, hendak mempersembahkan engkau kepada seorang pangeran?”

Yalima menyusuti air matanya dan menghentikan tangisnya, kemudian setelah berulang kali menghela napas dia berkata,

“Seperti telah kau ketahui, koko, aku mempunyai dua orang kakak laki-laki. Ayah ingin agar kedua orang kakakku berhasil memperoleh kedudukan baik kelak di Lhasa dan jalan satu-satunya hanyalah memasukkan mereka bekerja membantu seorang pangeran yang berpengaruh. Untuk mengambil hati pangeran itu, uang tidak ada gunanya karena kekayaan ayah hanya sedikit dan pangeran itu tidak membutuhkan uang. Maka ayah lalu mengambil keputusan untuk mempersembahkan aku kepadanya. Pangeran itu amat berpengaruh sehingga kalau aku dapat berada disana tentu semua keluarga akan terangkat dan terutama kedua orang kakakku akan mudah memperoleh kedudukan yang baik. Pangeran itu kabarnya tua sekali, akan tetapi kedudukannya tinggi. Aku tidak suka, koko, sungguh mati, aku tidak suka!”

Bun Houw menarik napas panjang.
“Moi-moi, ingatkah engkau bahwa kita pernah membicarakan nasib wanita disini? Disini, bahkan juga di negeriku sana, wanita seperti barang dagangan saja, tidak seperti manusia. Wanita tidak mempunyai hak untuk menentukan nasib dirinya sendiri, hanya menurut saja kepada orang tua untuk diberikan atau dijual kepada siapapun juga. Jelas bahwa demi kemakmuran keluargamu, engkau hendak dikorbankan, dijual dengan cara halus kepada pangeran itu oleh ayahmu. Dan tentu ayahmu menganggap hal itu wajar dan baik saja, karena kebiasaan itu telah berjalan ratusan tahun. Kaulah yang aneh dan dianggap salah kalau kau menolak, hal itu dianggap sebagai suatu pemberontakan terhadap kebiasaan yang sudah turun-menurun dan dianggap tidak berbakti terhadap orang tua.”






“Akan tetapi aku tidak suka meninggalkan... engkau, koko!”

Bun Houw menggigit bibirnya, hatinya terguncang tanpa dia tahu mengapa. Ucapan itu seperti menusuk hatinya.

“Moi-moi, aku akan menemui ayahmu besok pagi. Sekarang pulanglah agar engkau tidak dicari dan dimarahi ayahmu. Biasanya dia sangat suka dan hormat kepadaku, siapa tahu dia akan mendengar bujukanku dan merobah niatnya itu.”

“Ah, terima kasih, koko! Malam ini aku tidak akan tidur, aku akan bersembahyang semalan suntuk agar ayah suka menurut kata-katamu.”

Setelah berkata demikian, dara itu bangkit berdiri, melepaskan tangan Bun Houw perlahan-lahan dan ragu-ragu seolah-olah dia merasa sayang melepaskannya, kemudian dia barlari dari situ dengan lincahnya.

Sampai lama Bun Houw mengikuti bayangan dara itu menuruni puncak. Setelah bayangan itu menghilang di balik batu besar, barulah dia bangkit berdiri dan dengan gerakan cepat sekali dia berlompatan dan berlari-lari pulang ke kuil. Hatinya terasa tidak enak sekali sehingga malam itu dia tidak bisa makan dan setelah berada di dalam kamarnya dia tidak dapat tidur nyenyak.

Sepanjang malam dia gelisah dan kalau dapat pulas terganggu oleh mimpi buruk tentang Yalima. Hatinya gelisah dan penuh penasaran mengingat betapa Yalima akan diberikan sebagai sebuah benda berharga kepada seorang pangeran tua. Terbayang olehnya betapa dara muda itu dengan penuh kengerian harus menyerahkan diri dijadikan barang permainan seorang pangeran tua! Betapa mengerikan!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah keluar dari kuil dan berlatih silat pedang di belakang kuil. Hatinya penuh dengan rasa penasaran yang mendekati kemarahan. Bayangan betapa Yalima menangis dan meronta-ronta dalam pelukan seorang pangeran tua, merintih dan minta tolong kepadanya, membuat Bun Houw seperti diamuk api yang panas hatinya.

Dia bersilat pedang dengan amat ganasnya. Pedang di tangannya lenyap berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung amat panjang dan lebarnya, menimbulkan angin yang mengeluarkan bunyi bercuitan memekakkan telinga, dan daun-daun pohon tergetar bahkan ujungnya berhamburan ke bawah seperti dibabat senjata tajam ketika pedang itu bergerak dengan sinarnya ke atas. Berkali-kali Bun Houw meneriakkan bentakan-bentakan nyaring seolah-olah dia sedang merobohkan semua orang yang sedang memaksa Yalima menuju ke pelukan pangeran tua.

Akan tetapi, betapapun kemarahan menguasai dirinya, dia tidak melupakan ilmu pedang yang diajarkan oleh gurunya, bahkan dengan semangat meluap-luap dia mencoba mainkan jurus simpanan yang amat sukar dilatih, yaitu jurus rahasia yang oleh suhunya dinamakan jurus Hong-tian-lo-te (Angin dan Kilat Mengacau Bumi).

Tiba-tiba terdengar bunyi berdesing, pedang itu melayang ke udara dan pada saat itu, kedua tangan Bun Houw terkepal, dengan tenaga sin-kang yang dahsyat kepalan kirinya menghantam ke arah pohon besar dan kepalan tangan kanannya melayang ke arah batu di tempat itu.

“Krakkk...! Pyarrrr...!”

Pohon itu tumbang dan batu pecah berhamburan, sedangkan pedang itu sudah melayang turun kembali, cepat disambar oleh tangan kanan pemuda itu dan empat kali pedang berkelebat maka sisa batang pohon terbabat putus dua kali dan sisa batu juga pecah dua kali oleh pedang itu!

Mata Bun Houw terbelalak dan mukanya agak pucat, terkejut bukan main dia menyaksikan akibat latihannya mainkan jurus ampuh itu. Bukan saja jurus itu dapat dia mainkan dengan baik, juga sesaat tadi dia lupa sama sekali, lupa diri sehingga dia merusak pohon dan batu yang sama sekali tidak bersalah, bahkan yang merupakan penghias tempat itu. Dengan mata kosong dia memandang bekas tempat pohon dan batu besar dan merasa malu kepada diri sendiri. Dia mengerti bahwa kebingungan dan kemarahan membuat dia lupa diri dan bertindak seperti orang gila.

“Omitohud... mengerikan sekali engkau mainkan Hong-tian-lo-te!”

Bun Houw membalikkan tubuhnya dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama.

“Harap suhu sudi memaafkan teecu. Teecu telah berhasil melatih Hong-tian-lo-te, akan tetapi teecu telah merusakkan batu dan pohon ini.”

“Siancai...engkau pinceng (aku) lihat seperti sedang kemasukan setan. Muridku, ayo cepat katakan kepada gurumu, mengapa engkau tiba-tiba berubah menjadi pemarah seperti ini!”

Bun Houw tidak sanggup mengelabui pandang mata gurunya yang biarpun tua masih amat tajam itu, dan iapun berpendapat bahwa mungkin gurunya dapat memberi jalan yang baik bagaimana agar Yalima tidak sampai dipaksa menjadi selir pangeran tua di Lhasa.

“Memang teecu sedang merasa penasaran sekali, suhu, mendengar cerita seorang sahabat teecu bernama Yalima puteri kepala dusun di bawah puncak. Dia hendak dipersembahkan kepada seorang pangeran tua di Lhasa, padahal anak itu tidak mau dan dia kemarin telah menemui teecu dan sambil menangis minta tolong kepada teecu. Karena merasa tidak sanggup menolongnya, maka teecu menjadi penuh penasaran sehingga ketika berlatih tadi tanpa disadari teecu telah melampiaskan kemarahan dan rasa penasaran teecu...”

“Terhadap sebatang pohon dan sebongkah batu yang tidak berdosa. Ha-ha-ha! Betapa lucunya! Coba ceritakan dengan jelas kepada pinceng.”

Bun Houw lalu menceritakan kepada suhunya tentang diri Yalima dengan suara penuh semangat. Gurunya mendengarkan sambil tersenyum. Setelah Bun Houw selesai bercerita, dia bertanya,

“Lalu, apa yang hendak kau lakukan untuk menolong gadis itu?”

“Teecu hendak menjumpai ayahnya yang telah teecu kenal dengan baik dan teecu hendak membujuknya agar dia mengurungkan niatnya itu.”

Kembali Kok Beng Lama tertawa bergelak, kemudian dia meninggalkan muridnya setelah berpesan agar muridnya melanjutkan latihannya pagi hari itu, setelah selesai latihan baru boleh pergi.

Bun Houw lalu berlatih penuh semangat dan latihan yang sungguh-sungguh ini membuat tubuhnya lelah dan tidak memberi kesempatan kepada pikirannya untuk membayangkan hal yang amat tidak disukanya, yaitu bayangan Yalima dalam pelukan pangeran tua!

Setelah selesai berlatih, barulah dia bertukar pakaian sehabis mandi bersih, lalu dia meninggalkan kuil, turun dari puncak menuju ke dusun tempat tinggal Yalima dan langsung mendatangi rumah kepala dusun yang merupakan rumah terbesar di dusun itu.

Kepala dusun menyambutnya dengan ramah dan mempersilakannya duduk di ruangan dalam, Bun Houw sudah amat dikenal di dusun itu, dan sudah beberapa kali dia datang di rumah kepala dusun ini untuk bercakap-cakap. Ketika dia duduk, dia melihat Yalima dengan muka masih pucat namun mata bersinar penuh harapan berkelebat di ruangan belakang, memandang kepadanya.

Keraguan hatinya lenyap dan ketika tuan rumah menanyakan keperluannya datang di rumah itu, dengan suara tenang Bun Houw berkata,

“Harap paman memaafkan saya. Kedatangan saya ini ada hubungannya dengan berita yang saya dengar bahwa paman hendak mempersembahkan adik Yalima kepada seorang pangeran tua di Lhasa, benarkah berita itu?”

“Wahai orang muda! Urusan ayah dengan anak perempuannya sebetulnya adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Akan tetapi karena engkau adalah orang Han, maka biarlah tidak mengapa, apalagi memang engkau adalah murid tunggal yang mulia Kok Beng Lama dan sahabat baik puteriku. Memang benar berita itu, Cia-kongcu (tuan muda Cia).”

“Maaf, paman. Akan tetapi, Yalima tidak suka dipersembahkan kepada pangeran tua itu, mengapa harus demikian?”

Orang tua itu menarik napas panjang.
“Ahh, kongcu tidak mengerti keadaan kami di sini. Satu-satunya harapan bagi rakyat Tibet untuk dapat hidup terpandang dan kecukupan hanyalah apabila bisa memperoleh kedudukan di Lhasa dan jalan satu-satunya untuk itu hanya melalui orang-orang yang mempunyai pengaruh seperti para pangeran. Saya hanya seorang kepala dusun yang miskin dan tidak ada cara lain untuk dapat mendekati seorang pangeran kecuali melalui anak perempuanku yang kebetulan terlahir cantik menarik. Hanya itulah modal kami, kongcu. Kalau kami melakukan persembahan itu, yang kuyakin akan diterima karena Yalima amat cantik menarik, maka kami sekeluarga akan hidup bahagia. Yalima akan menjadi seorang wanita bangsawan yang terhormat dan kaya raya, orang tuanya juga akan terangkat derajatnya sedangkan dua orang kakaknya akan memperoleh kedudukan mulia di sana.”

“Tapi... tapi... kesenangan keluarga paman didapatkan dengan mengorbankan Yalima! Itu tidak adil namanya! Yalima akan hidup menderita tekanan batin karena dia tidak suka menjadi selir pangeran tua.”

“Sebagian besar gadis muda juga begitu sebelum mereka tiba di Lhasa. Akan tetapi setelah berada di sana, mereka akan merasa bangga dan gembira sekali. Pula, apakah kongcu melihat jalan lain agar keluarga kami dapat hidup baik sampai keturunan kami kelak?”

Bun Houw tidak mampu menjawab. Sampai lama dia mengerutkan keningnya, lalu dia berkata,

“Betapapun juga, perbuatan ini tidak adil dan kejam, paman!”

Dewi Maut







Tidak ada komentar: