***

***

Ads

Senin, 19 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 021

Bagaikan disambar halilintar Bi Kiok melempar kitabnya dan meloncat bangun, menghadapi Kun Liong yang sudah muncul di situ, berdiri di depannya sambil tersenyum, dengan senyum dan pandang matanya yang masih seperti dulu, begitu jenaka dan nakal!

“Kau...? Bagaimana kau...”

Bi Kiok berseru dengan kaget dan heran sekali bukan hanya karena dia bertemu kembali dengan Kun Liong secara begitu mendadak, juga bagaimana orang ini dapat muncul di situ tanpa diketahui penjaga, padahal tempat itu dijaga ketat dan penuh dengan tempat-tempat rahasia penuh perangkap.

“Hemm, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah pernah menyerbu ke tempat ini ketika tempat ini masih dikuasai oleh Kwi-eng Niocu. Apakah engkau sudah lupa lagi, Bi Kiok?”

Bi Kiok memandang dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Suara itu, pandang mata itu, masih seperti dulu, penuh sikap bergurau!

“Aku berterima kasih kepadamu, Bi Kiok. Ternyata, engkau merawat adikku baik-baik sehingga dia telah menjadi seorang dara yang cantik jelita dan gagah. In Hong, engkau tentu tidak lupa kepada kakak kandungmu, bukan?”

Akan tetapi In Hong hanya memandang dengan wajah pucat. Dia tahu siapa laki-laki gagah dan gembira ini. Biarpun baru satu kali dia bertemu dengan kakak kandungnya, akan tetapi wajah kakaknya tak pernah dapat dia lupakan. Akan tetapi dia tahu harus bersikap bagaimana karena dia tahu betapa bencinya wanita yang menjadi gurunya itu terhadap kakak kandungnya, maka dia hanya berdiri mematung dan memandang dengan wajah pucat.

Akan tetapi Bi Kiok sudah dapat menenangkan lagi hatinya yang tadi berguncang dan panik tidak karuan karena pertemuan yang begitu tiba-tiba dengan satu-satunya pria yang pernah dicintanya itu. Wajahnya kembali menjadi dingin dan suaranya dingin menyeramkan ketika dia berkata,

“Bagus sekali, Yap Kun Liong! Aku belum sempat mencarimu untuk mencabut nyawamu, sekarang engkau sendiri telah datang mengantar nyawa!”

Kun Liong merasa betapa suara itu amat dingin mengandung kebencian mendalam. Dia menarik napas panjang dan berkata, “Aihh, Yo Bi Kiok, urusan belasan tahun yang lalu antara kita hanyalah urusan orang-orang muda yang masih belum matang dalam hidupnya. Kini kita telah sama-sama hampir tua, apakah engkau masih saja menyimpan urusan itu di hatimu?”

“Sejak dahulu engkau memang pandai membujuk. Aku tidak perlu banyak bicara lagi denganmu karena aku yakin bahwa kedatanganmu ini tentu berniat buruk. Nah, kau bersiaplah untuk mampus!”

“Bi Kiok, nanti dulu! Lupakah engkau akan persahabatan antara kita yang amat akrab di waktu muda dahulu? Aku datang bukan dengan niat buruk. Aku hanya datang untuk menengok adik kandungku yang hanya satu-satunya ini dan untuk bicara dengan dia. Aku tidak akan mengganggu ketenangan di sini dan...”

Akan tetapi Bi Kiok sudah bertepuk tangan dan muncullah belasan orang murid, atau pengawalnya.

“Kalian bodoh dan lengah! Lihat, ada orang jahat masuk ke sini dan kalian sama sekali tidak tahu. Hayo serbu dan bunuh dia!”






Kun Liong tidak dapat banyak protes lagi karena dia telah dikurung dan diserbu oleh lima belas orang wanita dengan pedang di tangan. Karena mereka menerima perintah ketua atau guru mereka, tentu saja lima belas orang wanita yang kesemuanya pembenci pria itu segera menyerang kalang kabut dengan pedang mereka.

Biarpun kelihatannya kalang kabut penuh dengan semangat dan nafsu membunuh, namun gerakan mereka itu teratur karena lima belas orang ini semua adalah anggauta-anggauta Ngo-heng-tin, yaitu barisan pedang yang diciptakan oleh Bi Kiok terdiri dari masing-masing lima orang yang dapat bekerja sama dengan lihai sekali. Karena mereka berjumlah lima belas, otomatis di situ terdapat tiga kelompok barisan pedang Ngo-heng-tin dan lima belas batang pedang itu berkelebatan dan menyerang dengan bertubi-tubi dan sambung-menyambung dengan kecepatan yang makin lama makin hebat sehingga tubuh Kun Liong lenyap terbungkus gulungan sinar pedang-pedang itu.

Sambil mengelak ke kanan kiri, Kun Liong masih berusaha mengingatkan Bi Kiok dengan suara nyaring,

“Yo-pangcu (ketua Yo), aku datang sebagai tamu yang tidak mencari permusuhan, pantaskah kalau disambut seperti ini?”

Dia sengaja menyebut Yo-pangcu untuk menghormati Bi Kiok di depan para anak buahnya.

Namun Bi Kiok hanya berdiri dengan wajah dingin, menyaksikan gerakan anak buahnya, sedangkan In Hong berdiri meremas-remas tangannya sendiri, tidak tahu harus berbuat apa melihat kakak kandungnya dikeroyok belasan orang dengan barisan Ngo-heng-tin yang dia tahu amat lihai itu.

Melihat betapa seruannya tidak diperdulikan lima belas orang wanita itu menyerang makin hebat dengan tusukan dan bacokan maut yang benar-benar menghendaki nyawanya, Kun Liong terpaksa memperlihatkan kelihaiannya.

Dia mengeluarkan pekik melengking yang amat keras. In Hong terkejut bukan main dan cepat dia mengerahkan sin-kangnya untuk bertahan karena mendengar suara ini, jantungnya berdebar telinganya terngiang-ngiang dan kedua kakinya menggigil. Setelah dia mengerahkan sin-kang baru dia dapat bertahan, akan tetapi dia melihat dengan penuh kekagetan betapa lima belas orang wanita yang mengeroyok kakak kandungnya itu semua robon bergulingan dan seperti lumpuh kaki tangannya!

Kun Liong berdiri dengan sikap tenang dan baru menghentikan lengking suaranya setelah melihat semua pengeroyoknya terguling. Suasana menjadi sunyi sekali setelah pendekar itu menghentikan suaranya, sunyi yang amat tidak enak setelah suara mujijat tadi dihentikan.

Mengertilah In Hong bahwa kakaknya itu tadi menggunakan Ilmu Sai-cu Ho-kang, semacam bentakan yang mengandung khi-kang seperti gerengan seekor singa yang dapat melumpuhkan calon korban dan mangsanya. Di dalam hutan, singa-singa dan harimau-harimau cukup menggereng saja untuk membuat korbannya lumpuh dan tidak mampu lari, dan sekarang Kun Liong mempergunakan ilmu itu merobohkan lima belas orang pengeroyoknya. Bukan main kagumnya hati In Hong!

Ketika para wanita itu merangkak bangun kembali dan mengumpulkan pedang, siap hendak mengeroyok lagi, dengan muka merah Bi Kiok membentak,

“Pergilah kalian manusia-manusia tak berguna!”

Setelah para anak buahnya itu dengan muka pucat dan tunduk menyingkir, Bi Kiok menggerakkan tangannya.

”Singgg...!”

Tampak sinar berkilauan dan tangan kanan ketua Giok-hong-pang ini sudah memegang sebatang pedang yang menggetar-getar dan mengeluarkan dengung menggema.

Kun Liong terkejut.
“Bi Kiok, nanti dulu! Sungguh mati jauh-jauh aku datang ke sini bukan untuk memusuhimu. Maafkan aku kalau terpaksa aku tadi merobohkan anak buahmu, habis... hemm, aku ngeri sih dikeroyok demikian banyaknya wanita cantik!”

In Hong mengerutkan alisnya. Kakak kandungnya ini memang pandai sikapnya lincah jenaka dan lucu.

“Kun Liong, bersiaplah untuk mengadu nyawa. Aku tahu engkau lihai, akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut menghadapimu!”

“Aih... aihh... Bi Kiok, mengapa engkau berkeras hendak membunuhku? Ingat, dahulu engkau sudah menolong nyawaku, masa sekarang engkau tega hendak mencabutnya? Lupakah engkau dahulu? Engkau baru berusia delapan tahun, aku seorang bocah gundul sepuluh tahun. Engkau dan kakek Yo Lokui menyelamatkan aku dari air sungai dan aku berhutang nyawa kepadamu. Kemudian engkau lagi-lagi menyelamatkan aku dari kejaran para datuk hitam. Dan aku menyelamatkan engkau dari Toat-beng Hoat-su. Eh, Bi Kiok, ingatkah engkau ketika kita bersembunyi di dalam guha itu? Aihh, dan sekarang engkau tega hendak membunuhku?”

Gemetar tangan wanita yang memegang pedang itu. Dia memejamkan matanya, terbayang semua pengalamannya bersama pemuda ini (baca Petualang Asmara), terbayang betapa ketika mereka bersembunyi di guha terancam bahaya maut, pemuda itu telah mencium matanya yang selalu dipuji-puji keindahannya oleh Kun Liong!

Hatinya tertusuk rasanya, kebekuan dan kekerasannya bobol dan dia mengejap-ngejapkan mata, menahan air mata namun tetap saja dua butir air mata menitik turun ketika dia membuka matanya yang indah. Mata itu kini memandang kepada Kun Liong penuh permohonan.

“Yap Kun Liong, tentu saja aku masih ingat dan karena itulah aku menderita kesengsaraan hidup yang tetap kupertahankan sampai detik ini. Kun Liong, katakanlah bahwa engkau akan suka menemani aku hidup di sini... setahun saja... dan aku akan menurut segala perintahmu, akan kembali ke jalan benar dan aku akan mengusahakan agar adikmu kembali kepadamu...”

“Bi Kiok, aku sudah menikah...”

“Kun Liong, setahun saja, kuminta padamu...”

“Betapa mungkin itu...”

“Setengah tahun saja, agar... terobati penyakit batinku... kemudian, matipun aku akan rela... Kun Liong, aku mohon kepadamu, setengah tahun saja...”

In Hong yang melibat dan mendengar itu semua, tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menggigit bibirnya dan matanya terasa panas. Betapa besar rasa cinta di hati gurunya terhadap kakaknya! Alangkah akan bahagianya hati gurunya kalau dapat menjadi isteri kakak kandungnya. Dan dia sendiripun akan merasa bahagia! Terimalah dia, koko! Terimalah dia! Demikian bisik hatinya.

Akan tetapi Kun Liong berkata dengan suara sungguh-sungguh,
“Yo Bi Kiok, kau tidak nanti mau menggunakan kesempatan berbuat seperti itu, dan aku tahu bahwa engkaupun adalah seorang wanita yang mulia dan terhormat. Engkau hanya terseret oleh keadaan sekelilingmu setelah engkau menjadi murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci. Kita tinggal menjadi sahabat dan biarpun engkau sekarang tidak begitu muda lagi, kiranya engkau akan dapat memilih seorang pria yang bebas, yang tepat menjadi jodohmu. Insyaflah, Bi Kiok, kita berdua tidak berjodoh dalam penghidupan ini, entah di lain kebidupan kelak.”

“Kau... kau... tetap menolak?”

Kun Liong menarik napas panjang.
“Tidak ada jalan lain, Bi Kiok. Kau kasihanilah aku dan dirimu sendiri, kita bukan jodoh...”

“Cukup! Manusia keji, laki-laki kejam! Setelah engkau mencuri hatiku, menjatuhkan hatiku, engkau mengingkari! Setelah engkau dahulu bermanis-manis kepadaku, bahkan... menciumku di dalam guha, sekarang mengatakan tidak jodoh! Engkau manusia rendah, Kun Liong! Aku masih menanti-nanti, bahkan sampai kini aku tadi telah memohon kepadamu, bukan selamanya melainkan setahun saja, setengah tahun saja, aku telah merendahkan diriku, mengemis cinta sedikit saja, namun engkau tetap menolak. Kini, engkau atau aku yang harus mampus!”

Bi Kiok berkata-kata setengah menjerit dan pedangnya lalu meluncur karena dia sudah mulai menyerang.

“Bi Kiok...!”

Kun Liong memprotes akan tetapi percuma saja, pedang itu sudah menyerangnya dengan kecepatan yang amat mengejutkan sekali sehingga biarpun dia sudah mengelak cepat, tetap saja bajunya di pundak terobek ujung pedang!

“Ah, engkau terlalu memaksaku, Bi Kiok.”

Kun Liong berkata, meloncat tinggi ke belakang. Bi Kiok mengejar dengan geseran-geseran kaki cepat sekali, lalu pedangnya menusuk ke arah dada Kun Liong yang masih meloncat itu.

“Cringgg...!”

Bunga api berpijar ketika pedang Bi Kiok yang menusuk itu ditangkis oleh pedang di tangan Kun Liong yang mencabutnya ketika meloncat tadi.

Kini kedua orang yang memiliki kepandaian hebat itu mulai bertanding. Mula-mula Kun Liong hanya menggunakan pedangnya untuk membela diri saja, akan tetapi dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa gerakan Bi Kiok benar-benar luar biasa cepat dan anehnya, juga tenaga sin-kangnya kini amat kuat. Hampir dia tidak percaya bahwa ini adalah Bi Kiok yang dahulu itu!

Dewi Maut







Tidak ada komentar: