***

***

Ads

Senin, 19 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 022

Untuk mempercepat pertandingan itu dan menyudahinya, Kun Liong lalu menggerakkan pedangnya mainkan Siang-liong-kiam yang diimbangi dengan totokan-totokan tangan kirinya, ilmu silat tinggi yang dia pelajari dari kakek Bun Hwat Tosu.

Akan tetapi ternyata ilmu pedang ini sama sekali tidak dapat mengatasi ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Kiok, bahkan dia terdesak karena ilmu yang dimainkannya itu sebetulnya aselinya adalah Siang-liong-pang atau Tongkat Sepasang Naga yang harus dimainkan dengan tongkat sepasang, maka kini dimainkan dengan sebatang pedang dibantu tangan kiri masih kurang kuat atau kehilangan keaseliannya, sedangkan ilmu pedang yang dimainkan oleh Bi Kiok adalah ilmu silat pedang aseli yang amat tinggi mutunya.

Setelah lewat lima puluh jurus, Kun Liong malah terdesak! Hal ini adalah karena dia mengirim serangan-serangan balasan hanya untuk mengurangi gelombang serangan Bi Kiok sama sekali bukan dengan niat melukai wanita itu. Cepat Kun Liong merobah permainan pedangnya, kini pedangnya berkelebat merupakan bianglala atau sinar pedang melengkung panjang yang seperti seekor naga menyambar ke manapun sinar pedang lawan berkelebat.

Inilah ilmu pedang gabungan yang diciptakannya sendiri, diambil dari gerakan semua ilmu pedang yang dikenalnya lalu dihimpun dengan dasar Ilmu Sakti Keng-lun Tai-pun, yaitu kitab peninggalan Bun Ong yang terjatuh ke tangannya.

“Aihhh...!”

Bi Kiok berseru, kaget dan kagum sekali. Sinar pedang melengkung itu lihai bukan main, semua desakannya menghadapi benteng sinar yang amat kuatnya, bahkan beberapa kali pedangnya menyeleweng dan mengancam dirinya sendiri!

Kalau saja tidak sedemikian besar bencinya terhadap Kun Liong yang dianggapnya manusia yang telah menghancurkan hidupnya, tentu tidak malu-malu lagi dia mengaku kalah. Dia maklum bahwa kalau Kun Liong menghendaki, pendekar sakti itu akan mampu merobohkannya dengan ilmu pedang mujijat yang amat kuat ini namun Kun Liong tidak pernah melakukan serangan maut.

“Mampuslah!” teriaknya dan ketika terdapat lowongan, pedangnya menusuk dengan cepat sedangkan tangan kirinya melakukan pukulan tangan kosong dengan jari terbuka didorongkan ke arah dada Kun Liong.

“Cringgg...!”

Pedangnya terpental dan lagi-lagi bertemu dengan sinar pedang yang seperti bianglala itu, akan tetapi hantaman jarak jauh tangan kirinya berhasil karena Kun Liong agaknya tidak menyangka bahwa pukulan sin-kang itu akan sehebat itu.

“Desss...!”

Hawa pukulan yang amat kuat dan dahsyat menghantam dada Kun Liong dan pendekar ini terjengkang roboh bergulingan. In Hong menggigit jari tangannya, membayangkan kakak kandungnya akan dibunuh di depan matanya. Dia tidak tahu harus membantu siapa!

“Hebat sekali engkau...!”






Kun Liong memuji dan telah meloncat bangun dan kembali sinar pedangnya membentuk benteng kokoh kuat. Dia benar-benar kagum karena tak disangkanya tamparan atau dorongan telapak tangan kiri dari Bi Kiok itu sedemikian dahsyat dan kuatnya, agaknya tidak kalah dibandingkan dengan ilmunya Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih)!

Kun Liong mulai merasa bingung. Bagaimana dia akan dapat menyudahi pertandingan ini tanpa melukai Bi Kiok kalau wanita ini sedemikian lihainya? Tidak ada jalan lain, pikirnya, kecuali mempergunakan Ilmu Mujijat Thi-khi-i-beng!

Ilmu Thi-khi-i-beng ini merupakan ilmu mujijat yang berdasarkan tenaga sin-kang yang amat kuatnya, dipelajarinya dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong, puluhan tahun yang lalu, ilmu ini menjadi ilmu yang diperebutkan di dunia persilatan, akan tetapi akhirnya hanya pendekar Cia Keng Hong seorang yang menguasainya.

Kemudian, karena melihat puterinya, Cia Giok Keng, kurang kuat untuk mewarisi ilmu ini, dan melihat bakat pada diri Kun Liong, Cia Keng Hong lalu mengajarkannya kepada Yap Kun Liong. Kehebatan ilmu ini, selain membuat tubuh kebal terhadap segala macam senjata juga dapat menyedot tenaga sin-kang lawan pada saat bagian tubuh mereka saling bersentuhan sehingga tubuh lawan melekat dan tenaga sin-kangnya disedot habis!

Kun Liong yang tidak ingin melukai Bi Kiok, menanti kesempatan baik ketika pedang lawan itu menyambarnya, dia menindih pedang itu dari atas dan mengerahkan sin-kangnya sehingga pedang itu melekat dengan pedangnya, tidak dapat dilepaskan kembali.

Betapapun Bi Kiok mengerahkan tenaganya, namun pedangnya tetap melekat pada pedang Kun Liong. Hal ini membuat dia makin marah, sambil berseru keras tangan kirinya yang kuat itu menghantam lagi, kini mengarah lambung Kun Liong.

“Bhukkkk!”

Kun Liong sengaja menerima pukulan tangan kiri itu dengan lambungnya sambil mengerahkan Thi-khi-i-beng. Tangan Bi Kiok melekat, dan biasanya dalam keadaan begini, melalui bagian tubuh yang dipukul itu, Kun Liong dapat menyedot tenaga lawan.

“Huhhhh...!”

Tiba-tiba Bi Kiok mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya, kakinya menekan tanah dengan keras, tubuhnya memutar dan tangannya yang melekat pada lambung Kun Liong terlepas! Di lain saat, pedangnya yang juga sudah terlepas itu sudah menyambar lagi menusuk ke arah mata Kun Liong, disusul tamparan maut yang menyerang perut!

“Ehhh...?”

Kun Liong terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali, baru dia dapat menyelamatkan diri dari serangan yang susul-menyusul itu. Bukan main! Bi Kiok malah sudah menguasai ilmu yang merupakan tandingan dari Thi-khi-i-beng! Tidak mempan lagi diserang dengan ilmu itu!

Diam-diam Kun Liong menjadi makin kagum. Kiranya bokor emas itu telah memberi ilmu-ilmu yang sedemikian hebatnya kepada Bi Kiok. Namun, tetap saja wanita ini hidupnya sengsara karena... dia! Padahal, menjadi pewaris bokor emas yang ternyata merupakan pusaka luar biasa itu sebetulnya merupakan hal yang amat hebat dan beruntung sekali.

Kini dia maklum bahwa mengalahkan Bi Kiok tanpa melukainya adalah hal yang sama sekali tidak mungkin. Tingkat kepandaiannya tidaklah terlalu jauh selisihnya dengan tingkat kepandaian Bi Kiok, dan andaikata dia akan memaksakan kemenangan dengan melukai wanita inipun agaknya bukanlah merupakan hal yang amat mudah. Dan hal itu sama sekali tidak dikehendakinya, karena tentu akan membuat Bi Kiok makin sakit hati kepadanya.

Kun Liong lalu memperhebat gerakan pedangnya. Hanya dengan ilmu pedang ciptaannya yang berdasar pada ilmu dari kitab Keng-lun Tai-pun saja dia dapat menahan semua serangan Bi Kiok, bisa menutupi tubuhnya dengan benteng sinar pedangnya yang melengkung panjang seperti bianglala.

“In Hong, demi mendiang ayah dan bunda kita, engkau harus menemui aku! Kita harus saling bicara... demi masa depanmu... ingatlah kepada orang tua kita, adikku...!”

Kun Liong berkata dan In Hong yang mendengar ini tidak menjawab, hanya berdiri dengan muka pucat.

“In Hong, hayo cabut pedangmu dan bantu aku!” Bi Kiok berseru, suaranya penuh dengan wibawa.

“Subo...!” Suara In Hong terdengar gemetar dan matanya terbelalak.

“Kau melawan perintah subomu? Hayo pilih kau bantu aku atau bantu dia!” Bi Kiok membentak sambil terus menyerang Kun Liong.

“Baik, subo!” In Hong mencabut pedangnya dan menyerang ke depan.

“Cringgg... tranggg...!”

Kun Liong terkejut bukan main. Ketika In Hong menyerang, kini terdapat dua kekuatan yang menerjang gulungan sinar pedangnya dan ternyata dara itu gerakannya sama cepatnya dan sama kuatnya dengan Bi Kiok sehingga pertahanan gulungan sinar pedangnya bobol dan dua kali dia menangkis pedang Bi Kiok dan In Hong sehingga dia terdesak mundur!

Celaka, pikirnya. Kalau adik kandungnya sudah sehebat ini kepandaiannya dan betul-betul mengeroyoknya, bukan tidak mungkin dia akan tewas di ujung pedang dua orang wanita itu!

“In Hong, engkau adik kandungku... engkau menyerang aku...?”

Kun Liong membentak, akan tetapi sebetulnya dia tidak begitu heran melihat ini, mengingat betapa sejak kecil dara itu dipelihara dan dididik penuh kasih sayang oleh Bi Kiok.

“Kau penuhilah permintaan subo!” In Hong berkata, lirih dan gemetar suaranya.

Kun Liong segera meloncat jauh ke luar dari tempat itu, dikejar oleh Bi Kiok.
“Keparat, engkau hendak lari ke mana? Jangan harap akan dapat terlepas dari tanganku! In Hong, mari kita kejar!”

Akan tetapi sekali ini In Hong tidak memenuhi perintah subonya. Dia memang bergerak juga, akan tetapi tidak cepat dan tertinggal jauh oleh Kun Liong dan Bi Kiok yang berlari cepat menuju ke pantai telaga.

“Kun Liong, berhenti kau! Seorang di antara kita harus mampus sekarang juga!”

Bi Kiok berteriak-teriak dan beberapa kali dia telah menyerang dengan Siang-tok-swa, yaitu senjata rahasia pasir harum yang beracun, dan juga beberapa kali dia menimpukkan hui-kiam (pedang terbang), yaitu pedang-pedang pendek yang disambitkan dan tidak kalah oleh anak panah, cepat dan bahayanya.

Namun semua itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Kun Liong yang terus melarikan diri. Untung baginya bahwa dalam hal ilmu berlari cepat, agaknya Bi Kiok masih belum mampu menandinginya, maka dia dapat meninggalkan wanita itu, kembali ke pantai, meloncat ke perahu dan mendayung perahu dengan cepat meninggalkan pulau.

Bi Kiok membanting-banting kaki di pinggir telaga, lalu berteriak-teriak memanggil anak buahnya, memerintahkan mereka untuk melakukan pengejaran. Namun, perahu Kun Liong sudah meluncur jauh sekali karena pendekar itu menggunakan tenaga saktinya untuk mendayung sehingga perahunya meluncur luar biasa cepatnya.

Sambil membanting-banting kaki di tepi telaga, Bi Kiok memandang ke arah perahu Kun Liong yang makin menjauh.

“Subo, biarkan saja dia pergi dan mari kita melupakan dia.”

Bi Kiok membalikkan tubuhnya, memandang muridnya dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan.

“Kenapa engkau tidak ikut mengejar tadi?”

“Subo, betapapun juga, dia adalah kakak kandungku sendiri...” In Hong menjawab dengan muka tunduk.

Tiba-tiba Bi Kiok menangis, In Hong terkejut bukan main dan cepat dia memeluk pundak subonya.

“Aku... aku... aku mencintainya... aku cinta padanya...” demikian keluhan dan rintihan yang terdengar oleh In Hong.

Peristiwa itu berkesan dalam sekali di hati In Hong, membuat dia makin ngeri akan hubungan pria dan wanita yang dianggapnya hanya mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan belaka, membuat dia makin tidak suka kepada pria, sungguhpun dia tidak dapat melihat kesalahan kakak kandungnya terhadap Bi Kiok.

Kakak kandungnya sudah berterus terang bahwa tidak berjodoh dengan gurunya ini, bahkan sudah menikah dengan orang lain, dan kakak kandungnya tidak mau menerima uluran tangan Bi Kiok karena menjaga kehormatan mereka berdua. Dan dia tahu pula bahwa kalau kakaknya menghendaki, bukan tidak mungkin kalau subonya akan terluka atau tewas. Diam-diam dia amat kagum akan kelihaian kakak kandungnya itu.

Dua hari kemudian, ketika In Hong berpamit kepada subonya, Bi Kiok yang masih pucat dan lemah seperti orang yang baru saja menderita sakit keras itu memandangnya dengan wajah muram. Karena sudah memberi persetujuan sebelumnya, dia tidak mau menarik kembali, hanya dia minta In Hong berjanji kepadanya untuk tidak kembali kepada kakaknya dan pulang ke Kwi-ouw setahun sekali. Dan In Hong dengan hati tulus berjanji kepada subonya, karena memang tidak ada niat di hatinya untuk ikut kakaknya.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: