***

***

Ads

Senin, 19 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 025

“Twako, harap maafkan kami! Kami berhasil menahan sebuah perahu besar, akan tetapi ketika kami minta pajak kepada mereka seperti biasa, lima orang piauwsu yang mengawal perahu melawan dan memaki kami. Terpaksa kami turun tangan menggulingkan perahu karena piauwsu-piauwsu itu lihai. Kami berhasil menawan tiga ekor anak ayam untuk twako dan kepala piauwsu yang menjadi biang keladinya ini kami seret ke sini. Sayang bahwa sebagian besar harta di perahu itu ikut tenggelam.”

Si tahi lalat menjadi merah mukanya.
“Bodoh! Kenapa harus menggulingkan perahu?”

“Piauwsu-piauwsu itu lihai, terutama kepalanya ini. Tanpa menggulingkan perahu kami tidak mampu mengalahkan mereka.”

“Plakk!” Si tahi lalat menampar dan pelapor itu tergelimpang kena ditampar pipinya. “Memalukan saja, di depan tamu bicara memperlihatkan kelemahan!” Dia menoleh kepada In Hong sambil berkata, “Coba nona lihat, apakah tidak memalukan mempunyai anggauta seperti ini?”

“Maafkan kami, twako...”

“Hayo buka ikatannya!”

Si tahi lalat memerintah sambil menuding ke arah piauwsu yang sudah mulai siuman itu. Pakaian piauwsu itu basah kuyup dan mukanya pucat karena tadi dia dikeroyok ketika tercebur ke air dan di dalam air dia sama sekali tidak mampu menandingi ilmu renang para bajak sungai ini, sehingga akhirnya dia pingsan dan diikat.

“Tapi... twako...” anggauta bajak itu terkejut karena maklum akan kelihaian piauwsu ini.

“Buka...!”

Si tahi lalat membentak lagi lalu tertawa bergelak sambil minum araknya. Sejak tadi dia sudah minum arak terlalu banyak sampai mukanya menjadi merah dan dia sudah agak mabok.

“Hendak kulihat sampai dimana kelihaiannya sehingga dia berani melawan anak buah Fen-ho Su-liong!”

In Hong memandang dengan tenang saja dan bibirnya membentuk senyum mengejek menyaksikan lagak si tahi lalat itu. Dia tidak perduli dan tidak merasa kasihan kepada piauwsu itu karena merasa bahwa yang dihadapinya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dangan dirinya, dan diam-diam diapun ingin sekali menyaksikan sampai di mana kelihaian Empat Naga Sungai Fen-ho yang sombong ini dan yang menganggap sebagai “sahabat” dari Giok-hong-pang.

Piauwsu itu dibebaskan dan sejenak dia duduk sambil mengumpulkan napas dan kekuatannya. Dia maklum bahwa dia berada di sarang bajak dan tidak ada harapan baginya untuk dapat hidup. Akan tetapi setidaknya dia akan mempertahankan diri sebagai seorang gagah.

“Hayo bangun, jangan pura-pura mampus!” Si muka pucat menghardiknya.

Piauwsu itu sudah berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya gagah. Dihardik demikian, dia mengangkat muka, memandang kepada empat orang itu satu demi satu dan dia tercengang ketika melihat seorang gadis cantik jelita duduk bersama empat orang kepala bajak itu.






Akan tetapi pandang matanya kepada In Hong juga tidak ada bedanya dengan ketika dia memandang bajak-bajak itu karena dia mengira bahwa tentu wanita muda yang cantik inipun kaki tangan bajak! Dengan perlahan dia pun bangkit berdiri dan langsung menghadapi si tahi lalat yang dia tahu adalah ketuanya karena tadi disebut twako.

“Kalau tidak salah, su-wi (kalian berempat) adalah yang disebut Su-liong (Empat Naga) dari Fen-ho. Sungguh mengherankan sekali, biasanya antara su-wi dan kami golongan piauwsu tidak ada permusuhan, bahkan ada kerja sama baik. Seingat saya, Pek-eng Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Garuda Putih) tidak pernah menolak permintaan sumbangan dari semua sahabat di sekitar Fen-ho. Mengapa hari ini su-wi mengganggu kami?”

“Ha-ha-ha, piauwsu busuk! Bicara manispun tidak ada gunanya! Tak perlu kau merengek-rengek karena kami tidak akan mengampunimu!” kata si jenggot pendek.

Piauwsu itu membusungkan dadanya.
“Saya tidak mengharapkan pengampunan. Setelah kami gagal mengawal, pemilik barang tewas tenggelam dan barang-barangnya hilang, isteri dan anak-anaknya perempuan kalian culik, kamipun tidak mengharapkan hidup lagi. Kami hanya ingin tahu mengapa terjadi perubahan ini di fihak kawan!” Suaranya tegas dan tidak menghormat lagi.

“Ha-ha-ha-ha!” si tahi lalat tertawa. “Kalau kami merobah sikap, kalian mau apa? Boleh panggil semua jagoan kang-ouw, pendekar-pendekar yang sakti di kolong langit! Apakah mau minta bantuan ketua Cin-ling-pai, ataukah Cap-it Ho-han? Ha-ha-ha!”

Piauwsu itu mengerutkan alianya. Dia mengerti. Kiranya berita yang menggegerkan dunia kang-ouw tentang kematian tokoh-tokoh Cin-ling-pai, tentang tercurinya pedang Siang-bhok-kiam itulah yang merobah sikap para golongan hitam!

“Bagus! Kami bukanlah pengecut-pengecut yang suka minta bantuan siapapun. Untuk pekerjaan kami, kami sendiri yang bertanggung jawab. Setelah kalian membebaskan ikatanku, apakah kehendak kalian?”

“Ha-ha-ha, piauwsu cerewet!”

Si tahi lalat tertawa dan segera menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah kepala piauwsu itu.

“Dukkk...!”

Plauwsu itu menangkis dan keduanya terpental ke belakang, tanda bahwa tenaga mereka seimbang.

“Haii, kau berani melawanku!”

Si tahi lalat membentak marah dan terus menyerang dengan ganas. Ternyata si tahi lalat yang tinggi besar itu memiliki gerakan yang cepat juga, serangannya bertubi-tubi, susul-menyusul dengan pukulan dan tendangan kedua kaki tangannya, tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang sehingga piauwsu itu terhuyung-huyung ke belakang dan berusaha untuk mengelak dan menangkis.

Akan tetapi tubuhnya memang sudah lemah dan tangannya belum pulih kembali dan orang pertama dari Fen-ho Su-liong itu memang lihai bukan main, maka piauwsu itu segera terdesak hebat.

“Bukk!”

Tiba-tiba orang kedua dari Fen-ho Su-liong menendang dari belakang dan tepat mengenai pinggul si piauwsu yang tentu saja terhuyung ke samping dengan kaget.

“Plakkk!”

Si jenggot pendek menampar dari samping. Biarpun piauwsu itu sudah mengelak, tetap saja serangan tiba-tiba ini mengenai pundaknya, membuat dia hampir terpelanting.

“Desssss!”

Dengan gaya yang gagah si muka pucat menghantam dari belakang, tepat mengenai punggung piauwsu itu sehingga muntah darah.

“Bagus, kalian pengecut-pengecut hina! Jangan kira aku takut!”

Piauwsu itu membentak dan dia menjadi nekat menyerang empat orang itu dengan niat untuk mengadu nyawa. Akan tetapi karena tingkat kepandaian empat orang itu rata-rata lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan dia, sedangkan dia sudah lelah dan empat orang itu mengeroyoknya, tentu saja dia menjadi permainan mereka, dipukul dan ditendang ke sana ke mari sampai akhirnya sebuah tonjokan si tahi lalat yang mengenai perutnya membuat dia terjungkal dan tak dapat bangkit kembali.

In Hong melihat ini semua dan dia kini berkata perlahan,
“Bagus! Jadi begini gagahkah yang berjuluk Empat Naga? Mengeroyok orang yang sudah tak bertenaga lagi?”

Empat orang yang sudah hendak memukuli piauwsu yang tak dapat melawan lagi itu mundur dan menyeringai agak malu.

“Ha-ha-ha, biar ada sepuluh orang seperti dia, mana mampu melawan kami? Nona, kau lihat tonjokanku dengan jurus Naga Sakti Mencuri Mustika tadi bagaimana, hebat tidak?” Si tahi lalat bertanya kepada In Hong.

“Ha-ha-ha, twako lebih pandai lagi mencuri hati wanita!” si kurus pucat berkata sambil tertawa-tawa, tidak tahu betapa In Hong sudah mulai merasa mual dan panas perutnya.

In Hong mengambil keputusan untuk segera pergi saja meninggalkan orang-orang yang menjijikkan itu, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara tangis wanita dan melihat tiga orang wanita diseret-seret menuju ke tempat itu.

Yang seorang adalah selir saudagar yang menjadi korban pembajakan, seorang wanita berusia tiga puluhan tahun yang masih cantik dan berkulit putih sekali, sedangkan yang dua orang adalah gadis-gadis berusia tujuh belas dan lima belas tahun, puteri-puteri saudagar itu. Dengan kasar para bajak mendorong tiga orang wanita itu sehingga jatuh berlutut di depan Fen-ho Su-liong.

“Ah, inikah anak-anak ayam itu?”

Si tahi lalat menghampiri mereka seorang demi seorang, memegang dagu mereka dan mengangkat muka itu untuk dilihat.

“Bagus, lumayan, masih mulus! Biarlah untuk kalian bertiga, sute! Sedangkan aku sudah mempunyai nona Giok-hong-pang ini. Nona, mari kita bersenang-senang di dalam kamarku, kita adalah orang sendiri dan sahabat, engkau nanti kupersilahkan memilih simpanan benda-benda perhiasan yang paling berharga dariku dan...”

“Manusia biadab! Keluarlah karena saat ini adalah saat kematian kalian semua di tanganku!”

In Hong tak dapat menahan kemarahannya lagi. Suaranya dingin, seperti bukan suara orang marah dan anehnya, bibir yang biasanya diam dan dingin, agak cemberut itu kini membayangkan senyum manis. Dia telah melempar buntalannya ke atas tanah dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke depan pondok itu. Dia tidak mau turun tangan di dalam pondok karena dia ingin mengalihkan perhatian mereka kepadanya agar tidak sempat mengganggu tiga orang wanita itu.

Andaikata di situ tidak ada peristiwa penculikan tiga orang wanita yang dihina itu, agaknya belum tentu In Hong akan menjadi marah dan turun tangan. Bahkan dia tadi sudah ingin cepat-cepat pergi. Akan tetapi, melihat tiga orang wanita itu akan dihina merupakan puncak bagi kesabaran In Hong.

Empat orang Fen-ho Su-liong saling pandang lalu tertawa.
“Wah, kiranya dia juga seekor kuda binal yang tidak mau ditunggangi begitu saja dengan jinak, twako!” kata si muka pucat.

“Ha-ha-ha, lebih baik lagi kalau begitu. Aku memang lebih suka kuda betina yang binal, yang melawan sebelum menjadi jinak penurut. Hayo kalian bantu aku menangkapnya dan menjinakkannya, sute bertiga!”

Empat orang laki-laki itu sambil tertawa-tawa lalu berlompatan keluar. Tugas untuk mengurung dan menjinakkan dara cantik jelita ini tentu saja diterima dengan gembira oleh tiga orang sute itu, karena memang kecantikan In Hong amat mempesona hati mereka dan sama sekali tidak dapat dibandingkan dangan tiga orang wanita yang dibajak itu.

In Hong berdiri tegak tanpa bergerak sedikitpun, kedua tangannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, hanya matanya yang melirik ke kanan kiri ketika empat orang itu mengurungnya dari kanan kiri sambil tertawa-tawa.

“Haaai-hooohhh!”

Si tahi lalat menggertak dan pura-pura menggerak-gerakkan kedua tangannya seperti orang mau menangkap, akan tetapi In Hong tidak bergerak karena tahu bahwa itu hanyalah gertakan saja.

Empat orang Fen-ho Su-liong tertawa-tawa dan beberapa kali menggertak, lalu tiba-tiba mereka berempat menubruk secara berbareng dan menerkam tubuh In Hong seperti empat ekor harimau menerkam seekor domba dari empat penjuru.

“Bressss...!!”

Mereka berteriak kesakitan dan bingung karena mereka saling bertubrukan sedangkan dara yang mereka tubruk itu telah lenyap. Cepat mereka meloncat mundur dan melihat In Hong berdiri dengan tenangnya di sebelah sambil memandang mereka dengan sikap mengejek.

Sementara itu, para anggauta bajak sudah keluar semua dari pondok-pondok mereka ketika mendengar bahwa empat orang pimpinan mereka sedang “menjinakkan” seorang wanita cantik yang pandai ilmu silat, yang tadi menjadi tamu terhormat. Mereka semua sudah mendengar bahwa tamu itu adalah anggauta Giok-hong-pang yang diam-diam dimusuhi oleh pimpinan mereka karena mendengar bahwa wanita-wanita Giok-hong-pang membasmi Kwi-eng-pang dan mendengar pula betapa wanita-wanita itu pembenci kaum pria!

Dewi Maut







Tidak ada komentar: