***

***

Ads

Rabu, 21 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 032

In Hong memasuki pasar di kota I-kiang itu sambil melihat-lihat orang berjual beli. Pasar itu cukup ramai, penuh dengan orang berdagang sayur-mayur dan buah-buahan. Terutama sekali di bagian ikan, bukan main ramainya dan juga baunya amis karena pasar itu merupakan pusat perdagangan ikan hasil kaum nelayan di Sungai Yang-ce-kiang karena kota I-kiang itu memang merupakan kota pelabuhan sungai besar itu.

Mungkin telah menjadi watak seluruh wanita di dunia ini, mereka suka sekali untuk mengunjungi pasar, berbelanja atau hanya melihat-lihat saja! In Hong agaknyapun tidak terkecuali. Dia suka sekali memasuki pasar untuk sekedar melihat-lihat dan kadang-kadang membeli buah-buahan atau apa saja yang menarik hatinya.

Demikian pula ketika perantauannya membawa dia ke I-kiang dan kebetulan dia melewati sebuah pasar yang ramai, dia tertarik dan memasuki pasar itu, berdesak-desakan dengan orang-orang lain yang sebagian besar adalah wanita-wanita berbelanja.

Setelah membeli beberapa biji buah apel yang merah dan kelihatan segar, In Hong lalu memasuki bagian perdagangan ikan yang ramai dan penuh orang. Kiranya, di situ memang pusatnya, bukan hanya perdagangan eceran, melainkan partai besar dan di sini terdapat banyak pedagang dari luar kota yang datang untuk memborong banyak ikan dan akan dibawa keluar kota.

Ratusan keranjang ikan ditimbang dan ramai orang bercakap-cakap. Mereka semua sibuk dengan urusan mencari untung sehingga kemunculan seorang dara cantik seperti In Hong pun tidak begitu menarik perhatian secara menyolok.

Tiba-tiba In Hong menahan senyumnya. Dia mengenal seorang laki-laki tua bertopi, yang menyelinap di antara banyak orang yang sedang menimbang ikan-ikan dalam keranjang itu. Dia lalu mendekati sambil menyelinap di belakang orang-orang dan mengikuti gerak-gerik laki-laki tua bertopi itu dengan pandang matanya.

Hampir saja dia tertawa geli ketika melihat pemandangan itu. Seorang laki-laki gendut berpakaian mewah, agaknya seorang juragan ikan yang kaya, agaknya seorang pendatang dari kota lain yang sengaja memborong ikan-ikan di situ, mengalahkan lain pedagang karena dia berani membayar lebih tinggi, berdiri di antara orang banyak dengan lagak sombong seorang yang merasa lebih berkuasa daripada orang lain dan memang di pasar itu dia berkuasa dengan uangnya.

Laki-laki tua bertopi itu longak-longok, menyelinap ke belakang pedagang gendut itu dan dia bersembunyi di belakang beberapa orang yang berada di belakang si pedagang gendut. Akan tetapi lucunya, lengan kakek bertopi itu dapat menyusup seperti seekor ular melalui belakang tubuh orang lain dan tahu-tahu tangannya telah tersembul di atas kantong baju si pedagang gendut!

In Hong tersenyum dan hampir terbatuk-batuk karena saat itu dia sedang makan apel yang manis. Karena geli hatinya hampir saja buah apel yang digigitnya itu salah masuk.

Sambil memandang dan mengikuti gerak-gerik kakek bertopi itu, In Hong menjepit biji apel yang kecil dengan jari tangannya, menanti sampai tangan yang seperti kepala ular itu merayap memasuki kantong baju si pedagang gendut, kemudian tiba-tiba dia menyentil dengan jari tangannya.

“Tukk... auuhhh...!”






Pencopet tua itu menjerit akan tetapi cepat menahan suaranya dan menutupi mulutnya sambil menggosok-gosok punggung tangannya yang menjadi merah dan terasa panas dan nyeri sekali.

Semua orang menengok, akan tetapi mereka hanya melihat seorang kakek bertopi terbatuk-batuk, menutupi mulutnya, agaknya kumat batuknya karena bau ikan yang amis itu, maka dia tidak lagi menjadi perhatian orang.

Kakek bertopi itu bersungut-sungut dan dengan mulut cemberut dia menoleh ke kanan dari mana tadi sebuah benda kecil menyambar tangannya. Matanya terbelalak dan tiba-tiba dia tertawa, lalu mendesak orang di kanan kirinya untuk lari menghampiri In Hong. Banyak orang memakinya gila, tadi terbatuk-batuk keras dan kini lari mendorong orang ke kanan kiri.

Entah bagaimana, melihat wajah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, tiba-tiba saja hati In Hong terasa gembira dan tadi dia memang menggoda pencopet lihai itu.

“Hemmm... si seniman kembali mempertunjukkan kemahiran seninya!” In Hong mengejek.

“Sssttt... lihiap, mari kita bicara di luar pasar...”

Kakek itu mendahului dan melihat sikapnya yang sungguh-sungguh itu, biarpun hatinya merasa geli, In Hong mengikutinya juga. Mereka tiba di tempat sunyi dan kakek itu memandang In Hong sambil menghela napas panjang.

“Wah, aku telah gagal total! Lihiap tahu apa yang berada di kantongnya itu? Seuntai kalung mutiara yang mahal, agaknya dibelinya dari toko untuk diberikan kepada isteri mudanya yang entah keberapa.”

In Hong menggeleng kepala.
“Paman Can Pouw, kulihat engkau adalah seorang yang cerdik dan pintar, apakah engkau tidak bisa bekerja lain untuk mendapat penghasilan kecuali mencopet dan mencuri?”

“Tentu saja bisa, akan tetapi, ahh... seninya itu! Lihiap tidak dapat merasakan betapa nikmat rasa hatiku di waktu mencopet. Tegang, penuh harapan, penuh hal yang tak terduga-duga, penuh dugaan apa gerangan yang akan disentuh tangan setelah memasuki saku, apa yang akan dihasilkan dari jari-jari tangan yang penuh getaran perasaan, pendeknya... wah, ada seninya! Tetapi, sekali ini aku memang butuh sekali, butuh uang...”

“Untuk memberi makan isterimu dan belasan orang anakmu yang kelaparan?” In Hong menggoda.

Pencopet lihai itu menggeleng kepala.
“Ah, bukan... bukan...! Aku tidak pernah beristeri dan tidak punya anak...” Dia teringat dan menyambung cepat, “memang kadang-kadang perlu juga berbohong untuk menyelamatkan nyawa. Akan tetapi sekali ini lihiap benar-benar merugikan aku! Aku perlu mendapatkan uang untuk membeli pakaian dan membeli barang sumbangan untuk hari ulang tahun Phoa-taihiap.”

“Hemm, Phoa-taihiap?” In Hong tidak mengerti.

“Ah, benar! Lihiap sebaiknya ikut bersamaku ke sana! Phoa-taihiap dikenal oleh semua golongan, baik golongan putih maupun golongan hitam. Tentu kedua golongan akan bertemu di sana dan akan terjadi hal-hal yang menarik, apalagi setelah terjadinya geger di Cin-ling-pai itu. Siapa tahu kalau-kalau fihak Cin-ling-pai dan fihak Lima Bayangan Dewa, setidaknya kerabat-kerabat mereka, akan hadir di Wu-han.”

“Wu-han?”

“Aihhhh, aku lupa. Lihiap yang luar biasa lihainya ini ternyata masih belum berpengalaman apa-apa. Ketika aku berpisah dari lihiap dan kutanya-tanyakan, tidak ada seorangpun tokoh kang-ouw yang mengenal nama lihiap, padahal kepandaian lihiap sudah setinggi langit! Phoa-taihiap adalah Phoa Lee It, seorang tokoh Go-bi-pai yang tersohor dengan ilmu pedangnya Go-bi Kiam-sut, juga dua orang puteranya terkenal gagah perkasa dan tampan. Kini Phoa-taihiap merayakan hari ulang tahun dan mengundang semua orang gagah dari kedua golongan, agaknya selain untuk mempererat perkenalan, juga untuk mencarikan jodoh bagi kedua orang puteranya, demikian agaknya. Kesempatan baik bagi lihiap, mari bersamaku pergi mengunjungi perayaan itu di rumahnya, yaitu di kota Wu-han.”

In Hong mengerutkan alisnya. Dia sama sekali tidak tertarik.
“Akan tetapi aku tidak diundangnya.”

“Akupun tidak, lihiap! Siapa yang membutuhkan undangan? Sudah menjadi lazim dalam perayaan seorang tokoh, kaum kang-ouw berdatangan dan membawa sekedar sumbangan untuk ditukar dengan hidangan, ha-ha-ha!”

“Paman Can, jangan kau main-main. Ceritakan yang sebenarnya, bagaimanakah kebiasaan itu dan mengapa pula paman mengajak aku untuk mengunjungi perayaan itu?”

“Lihiap, mari kita bicara sambil makan di rumah makan itu. Ayam panggangnya enak sekali dan perutku sudah lapar. Kita duduk makan sambil bercakap-cakap, lebih enak daripada berdiri begini, bukan?”

In Hong mengangguk dan setelah tiba di dekat restoran, Can Pouw berbisik,
“Bekal uang emas dan perak lihiap itu masih ada, bukan?”

In Hong memandang tajam dan mengangguk.

“Syukurlah, aku sedang tidak mempunyai uang sama sekali,” si pencopet berkata menyeringai.

In Hong tersenyum. Hidup menjadi ramai dan gembira kalau dekat dengan tukang copet ini.

Mereka makan minum sambil bercakap-cakap atau lebih tepat lagi, In Hong mendengarkan penuturan tukang copet itu.

“Wah, banyak yang terjadi semenjak kita berpisah, nona,” katanya, kadang-kadang menyebut siocia (nona) dan kadang-kadang menyebut lihiap (pendekar wanita). “Lima Bayangan Dewa telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam, agaknya hendak memperkuat kedudukannya. Mereka malah tidak tampak berada di sarang mereka yang dikosongkan, tentu sedang pergi ke sana-sini mengumpulkan kekuatan. Dan belum terdengar ada gerakan apa-apa dari Cin-ling-pai!

Akan tetapi keadaan dunia kang-ouw panas dan tegang, seolah-olah menanti terjadinya bentrokan yang hebat sebagai akibat dicurinya Siang-bhok-kiam dari golongan putih oleh gologan hitam. Maka, perayaan di rumah Phoa Lee It ini merupakan kesempatan baik untuk melihat-lihat! Nona lihai sekali, sayang kalau tidak bertemu dengan tokoh-tokoh dan datuk-datuk dunia kang-ouw. Marilah pergi bersamaku, lihiap, asal engkau suka menanti sebentar. Aku akan mencari uang dulu untuk membeli pakaian baru dan barang hantaran.”

“Dengan mencuri?”

Can Pouw menggeleng.
“Hanya menggunakan seni memindahkan barang orang yang lengah.”

In Hong tersenyum.
“Aku mau pergi bersamamu untuk melihat-lihat, akan tetapi dengan janji bahwa selama engkau melakukan perjalanan dengan aku, engkau dilarang mencopet atau mencuri, dengan istilah apapun hendak kau namakan. Aku mempunyai cukup uang untuk membeli pakaianmu dan sekedar barang hantaran.”

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw menjadi berseri mukanya dan matanya bersinar-sinar.
“Bagus...! Aku girang sekali, lihiap! Soal berhenti bekerja sementara waktu tidak mengapa. Akan tetapi melakukan perjalanan dengan lihiap, hadir disana bersama lihiap merupakan kehormatan besar sekali bagiku!”

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang perantau yang selamanya hidup membujang. Mudah mencari uang dengan jalan menggunakan kepandaiannya yang lihai, akan tetapi mudah pula membuangnya. Dia sudah bosan akan segala macam kesenangan, dan kebiasaannya mencopet atau mencuri hanya untuk memenuhi kegatalan tangannya saja. Bahkan seringkali, hasil dari pencuriannya itu dia bagi-bagikan kepada orang miskin tanpa mereka ketahui pula, dan dia tetap tinggal miskin.

Kini, bertemu dengan seorang dara yang memiliki kepandaian amat hebat dan dia sudah menyaksikan ini, dia menjadi tertarik dan suka serta sayang sekali seperti rasa sayang seorang ayah kepada anaknya. Ada sesuatu yang menarik pada diri gadis ini, entah sikapnya yang dingin, ketidak acuhannya terhadap dunia, kecantikannya yang luar biasa atau kepandaiannya yang amat tinggi itu.

Pendeknya, Can Pouw merasa girang sekali dapat berkenalan dengan dara ini, apalagi mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan bersama dan mengunjungi perayaan bersama.

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw selain memiliki “seribu jari tangan” juga mempunyai ketajaman pandangan dan pendengaran yang luar biasa, di samping hubungannya memang banyak dan erat dengan semua tokoh di dunia kang-ouw. Maka segala keterangan yang diberikannya kepada In Hong mengenai Phoa Lee It di Wu-han itu tidak banyak selisihnya dengan kenyataan.

Phoa Lee It adalah seorang tokoh dari partai Go-bi-pai yang besar dan terkenal. Sudah belasan tahun dia tinggal di Wu-han, membuka perusahaan piauw-kiok (pengawal barang kiriman atau pelancong) yang memakai nama Go-bi Sam-eng (Tiga Pendekar Go-bi) dan karena hubungannya dengan semua fihak di dunia kang-ouw, baik dari kalangan pendekar maupun golongan penjahat amat eratnya, maka selama dia menjalankan pekerjaannya ini tidak ada yang mau mengganggu.

Para penjahat tidak ada yang mau mengganggu semua barang kawalannya, karena selain amat berbahaya bermusuhan dengan Phoa Lee It dan dua orang puteranya yang memiliki kepandaian tinggi, juga setiap kali mereka minta sumbangan kepada piauw-kiok ini pasti akan dipenuhi. Juga orang she Phoa ini selalu membuka tangannya terhadap para tokoh kang-ouw yang membutuhkan bantuan, maka diapun terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul dan gagah perkasa.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: