***

***

Ads

Rabu, 21 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 033

Seperti telah diceritakan di bagian depan, peristiwa pencurian Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai dan pembunuhan atas diri anggauta-anggauta Cap-it Ho-han menggegerkan dunia kang-ouw dan tentu saja ada fihak yang membela Cin-ling-pai, ada pula yang membela Lima Bayangan Dewa!

Melihat ketegangan dan bahaya perpecahan secara terbuka ini di dunia kang-ouw. Phoo Lee It sendiri menjadi cemas, maka timbullah niat di hatinya untuk mengadakan perayaan ulang tahun perusahaannya yang sudah dua windu (enam belas tahun) lamanya dengan selamat, dan mengundang semua tokoh kang-ouw dan liok-lim (para perampok) baik dengan undangan khusus atau dengan undangan umum untuk hadir dalam perayaan itu.

Di samping untuk membuyarkan suasana tegang di antara orang kang-ouw di daerahnya yang akan mengganggu pekerjaannya, juga pendekar yang menjadi piauwsu ini ingin sekali bertemu dengan sahabat-sahabat lama, para tokoh besar di dunia persilatan dengan maksud mencarikan jodoh bagi kedua orang puteranya yang sudah lebih dari dewasa.

Phoa Lee It adalah seorang duda dengan dua orang anak laki-laki yang mewarisi ilmu kepandaiannya, bahkan selama bertahun-tahun ini kedua orang puteranya itulah yang mewakili dia melakukan pengawalan terhadap barang-barang kiriman yang berharga.

Yang pertama bernama Phoa Kim Cai, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, tampan dan gagah seperti tokoh sejarah Bu Siong, sikapnya kasar, terbuka dan jujur. Adapun putera kedua bernama Phoa Kim Sui, tubuhnya sedang dan wajahnya tampan halus seperti mendiang ibunya, juga seperti kakaknya, amat lihai bermain silat pedang Go-bi Kiam-sut, hanya sikapnya berbeda dengan kakaknya, dia halus dan agak pendiam.

Pada hari yang ditentukan untuk perayaan itu, sejak pagi sekali dua orang pemuda itu sudah menyambut datangnya para tamu di ruangan depan, sedangkan ayah mereka menyambut di bagian dalam, mempersilakan para tamu duduk dan tentu saja hanya para tokoh besar yang dipersilakan duduk di bagian kehormatan, yaitu tempat teratas di dekat tempat duduk tuan rumah.

Beberapa orang pimpinan piauw-kiok itu, para pembantu keluarga Phoa, menerima sumbangan-sumbangan yang diatur di atas meja. Dan tepat seperti diduga semula, banyak sekali tamu yang datang, dan kedatangan mereka itu bukan semata-mata karena hubungan perkenalan mereka dengan Phoa piauwsu, akan tetapi terutama sekali terdorong oleh keinginan mereka menemui tokoh-tokoh dari dua golongan berhubung dengan terjadinya peristiwa mengegerkan di dunia kang-ouw itu, terutama sekali ketika terdapat berita angin bahwa Phoa-piauwsu juga mengundang keluarga darl Cin-ling-pai!

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, Si Malaikat Copet yang banyak akal itu pagi-pagi telah mengajak In Hong datang ke tempat pesta. In Hong mengenakan pakaian bekalnya yang agak baru dan meninggalkan buntalan pakaiannya di rumah penginapan, hanya membawa pedangnya saja dan memakai burung hong kemala di kepalanya.

Can Pouw yang kelihatan gembira sekali itu mengenakan pakaian baru yang dibelikan oleh In Hong dan sebelum berangkat dia berkata,

“Bagus sekali! Tanpa kuperkenalkan, tentu semua orang mengenal burung hong di rambutmu itu, lihiap.”

“Hemm, aku tidak hendak membawa-bawa Giok-hong-pang untuk berlagak,” In Hong berkata. “Perhiasan ini kupakai karena ini pemberian subo dan aku suka memakainya. Harap kau jangan menyebut-nyebut Giok-hong-pang kepada orang lain, paman.”

“Baik, baik... engkau memang seorang dara yang luar biasa dan aneh, lihiap, mari kita berangkat.”






Phoa Kim Cai dan Phoa Kim Sui menyambut mereka dengan penuh hormat dan kedua orang pemuda itu tentu saja mengenal Jeng-ci Sin-touw.

“Selamat pagi, Sin-touw,” Phoa Kim Cai menyambut dengan senyum gembira. “Kami girang sekali menerima kunjungan Malaikat Copet, asal seribu jari tanganmu jangan gatal-gatal disini, Sin-touw!”

Can Pouw tersenyum dan menoleh kepada In Hong.
“Lihat, betapa gagah dan ramahnya putera-putera tuan rumah, lihiap!”

In Hong hanya membalas penghormatan mereka dengan mengangkat kedua tangan di depan dada dan memandang tak acuh.

“Sin-touw, harap kau suka memperkenalkan nona ini kepada kami!” tiba-tiba Phoa Kim Cai berkata.

“Ha-ha-ha, dia ini adalah... keponakanku bernama Yap In Hong. Lihiap, ini adalah putera pertama tuan rumah. Phoa Kim Cai kongcu dan ini adiknya, Phoa Kim Sui kongcu.”

Kembali In Hong membalas penghormatan mereka dan Phoa Kim Sui berkata dengan sikap hormat dan halus,

“Silakan siocia duduk di dalam!”

In Hong hanya mengangguk dan diiringkan oleh Can Pouw yang berjalan di sebelahnya dengan lagak bangga, membusungkan dadanya yang kerempeng, tidak tahu bahwa topinya agak miring di atas kepalanya sehingga dia kelihatan lucu sekali.

In Hong bersikap dingin ketika tadi melihat betapa dua pasang mata tuan rumah itu memandang kepadanya dengan penuh kekaguman. Hemm, biar kalian sepuluh kali lebih gagah dan tampan, aku tidak perduli, bisik hatinya yang merasa tidak senang melihat pandang mata mereka itu.

“Paman, engkau masih saja menyebutku lihiap,”

In Hong berbisik. Mereka sudah bersepakat untuk mengaku keponakan dan paman, akan tetapi karena pencopet itu selalu menyebut lihiap kepadanya, tentu saja mengertilah dua orang pemuda tadi bahwa hubungan paman dan keponakan itu hanya aku-akuan saja. Apalagi pencopet tua itu jelas begitu membanggakan dara yang luar biasa cantiknya itu.

Phoa Lee It menyambut mereka dan karena piauwsu ini sudah lama tidak pernah keluar, dia tidak mengenal Jeng-ci Sin-touw yang datang bersama seorang nona muda yang cantik. Melihat gerak-gerik Can Pouw dan karena tidak mengenalnya sebagai tokoh besar, maka dia lalu mempersilakan pencopet itu duduk di ruangan biasa bersama tamu-tamu lain.

In Hong menganggapnya biasa saja, akan tetapi diam-diam Can Pouw mengomel panjang pendek.

“Aku boleh dia suruh duduk di sini, akan tetapi engkau? Ruangan kehormatan itupun masih kurang layak bagimu!”

“Ssttt... paman, mengapa mengomel tidak karuan? Aku tidak ingin duduk disana,” In Hong menegur dengan hati geli “Eh, kemana bungkusan hadiah sumbangan kita?”

Can Pouw mengeluarkan bungkusan itu dari balik jubahnya.
“Kalau kita tidak diberi tempat di sana, aku juga tidak akan menyerahkan ini!”

“Hushh, paman Can, engkau membikin kita malu saja. Hayo cepat berikan barang sumbangan itu kepada penjaganya. Lihat, setiap orang yang datang, menyerahkan bungkusan, akan tetapi kita sendiri tidak! Si penjaga sudah sejak tadi memandang ke arah kita saja.”

Ucapan gadis ini memang benar. Tiga orang penjaga dan penerima sumbangan sejak tadi memandang ke arah mereka akan tetapi bukan karena mereka belum menyerahkan sumbangan, melainkan karena mereka kagum dan menduga-duga siapa gerangan dara cantik jelita yang datang bersama Si Malaikat Copet itu.

Sambil bersungut-sungut Can Pouw bangkit berdiri, akan tetapi pada saat itu terdengar suara berisik mengikuti masuknya sepasang tamu baru yang menarik perhatian.

Semua orang memandang penuh perhatian ketika laki-laki dan wanita itu memasuki ruangan depan, disambut penuh penghormatan oleh kedua orang putera tuan rumah lalu diantar masuk. In Hong juga memandang penuh perhatian.

Wanita itu cantik luar biasa, cantik dan gagah penuh semangat dan agak angkuh memandang ke kanan kiri dengan cara menggerakkan matanya melirik dan menyambar-nyambar penuh selidik. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir indah, pakaiannya juga dari sutera indah dengan bentuk yang ketat sehingga mencetak tubuhnya yang sudah matang dengan lekuk lengkung sempurna itu.

Wanita itu sebetulnya sudah berusia tiga puluh lima tahun, namun bentuk tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh gadis remaja saja. Di sampingnya berjalan seorang pria yang bertubuh tinggi besar seperti tokoh Kwan Kong, sikapnya pendiam, wajahnya tampan, tampan dan ganteng, pakaiannya sederhana dan di pinggangnya juga tergantung sebatang pedang.

Dari sikap dan gerak-gerik mereka mudah saja diduga bahwa suami isteri ini adalah orang-orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi dan nama besar.

“Mereka siapa...?”

In Hong tertarik sekali dan bertanya kepada Can Pouw ketika rombongan suami isteri ini menyerahkan sebuah bingkisan kepada para penjaga penerima sumbangan.

“Engkau tidak mengenalnya...? Eh, ya, sampai lupa aku siapa engkau yang sama sekali belum mengenal orang-orang kang-ouw. Wanita gagah itulah puteri ketua Cin-ling-pai, kepandaiannya hebat bukan main dan pria itu adalah suaminya, seorang yang lihai bernama Lie Kong Tek. Mereka tinggal di dekat kota ini, yaitu di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Bukit Tapie-san, terhitung tetangga dengan kota ini. Merekalah yang menjadi sumber perhatian karena mereka keluarga Cin-ling-pai.”

In Hong tidak mendengarkan lagi dan memandang kepada wanita itu penuh perhatian. Kiranya itulah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia teringat akan pertemuannya dengan kakak kandungnya. Dia dijodohkan dengan putera Cin-ling-pai? Tentu adik dari wanita cantik ini! Siapa namanya? Dia mengingat-ingat dan akhirnya teringat juga, nama putera Cin-ling-pai itu adalah Cia Bun Houw!

“Siapa namanya...?” Dia berbisik lagi.

“Nama siapa? Ah, puteri Cin-ling-pai itu? Dia hanya terkenal sebagai nyonya Lie, akan tetapi aku tahu bahwa nama aslinya adalah Cia Giok Keng. Ilmu pedangnya dan ilmunya mainkan sabuk merah tidak ada tandingannya di dunia, bahkan suaminya sendiri kalah jauh dalam ilmu silat dibandingkan dengan dia!”

Phoa Lee It menyambut suami isteri keluarga Cin-ling-pai itu dengan penuh penghormatan, membungkuk-bungkuk dan mempersilakan mereka duduk di tempat kehormatan!

“Huh, menjilat-jilat...!” In Hong berkata lirih tanpa disengaja.

“Hemm... memang, akan tetapi biarlah, tunggu saja!” Malaikat Copet itu membawa bungkusan hadiahnya dan melangkah.

“Kemana kau?”

“Menyerahkan hadiah, kau tunggu disini!”

Dia lalu pergi, diikuti pandang mata In Hong. Gadis ini menduga bahwa si pencopet tentu akan melakukan sesuatu, entah apa, karena dia dapat melihat ini dalam sikapnya yang begitu bersungguh-sungguh dan agaknya dia mendongkol atau marah sekali melihat betapa tuan rumah menyambut tamu lain begitu menghormat dan menjilat sedangkan mereka berdua “dilempar” ke tempat tamu biasa.

Dia melihat Can Pouw menghampiri meja tempat penerima hadiah, bahkan setelah dicatatkan namanya lalu menumpuk sendiri bungkusan itu di atas meja di antara hadiah-hadiah lain, dan pencopet itu bercakap-cakap dan beramah-tamah dengan para piauwsu yang menjaga di situ, menuding dan agaknya memeriksa nama-nama pada kartu nama yang terdapat di bungkusan-bungkusan hadiah itu.

Kemudian, sambil tersenyum-senyum ramah ia mengangguk, kemudian meninggalkan meja itu, bukan untuk kembali kepada In Hong, melainkan untuk menuju ke ruangan kehormatan di atas!

Phoa Lee It memandangnya, akan tetapi dia mengangguk dan menuding ke arah seorang nenek tua yang duduk juga di ruangan kehormatan itu bersama seorang gadis remaja cantik yang melihat pakaiannya adalah seorang gadis Suku Bangsa Tibet. Phoa Lee It mengangguk karena si pencopet itu menyatakan hendak menemui nenek itu yang tentu saja adalah seorang tokoh besar yang dikenal baik oleh tuan rumah.

Nenek itu bukan lain adalah Go-bi Sin-kouw! Seorang tokoh di Go-bi-san yang terkenal sekali sebagai seorang datuk golongan hitam. Nenek ini usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya sudah agak bongkok, pakaiannya dari sutera serba hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut, wajahnya bengis penuh keriput dan sepasang matanya hampir tidak nampak bersembunyi di dalam rongga mata yang cekung, mulutnya seringkali bergerak-gerak seperti orang makan dan bibirnya sudah “nyaprut” karena mulut itu tidak bergigi lagi.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: