***

***

Ads

Rabu, 21 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 036

“Engkau sudah mempunyai keluarga sendiri, jangan mencampuri urusan ini, anakku, agar kelak tidak berlarut-larut dan terseret,” demikianlah kata ayahnya, sehingga terpaksa dia pulang kembali bersama suaminya membawa perasaan penasaran dan kemarahan.

Kini, di tempat pesta ini dia dibikin marah oleh kata-kata yang mengejek Cin-ling-pai, dan seorang pencopet mempermainkannya dengan menukar barang sumbangan, tentu saja kemarahannya meledak dan dia menyinggung nama Cin-ling-pai tanpa disadarinya untuk mengangkat nama ayahnya.

Karena tidak ada jawaban, nyonya ini menjadi makin marah.
“Pho-lo-enghiong, mengapa engkau mengundang para pengecut datang menghadiri perayaanmu? Jeng-ci Sin-touw adalah seorang maling, seorang copet yang pengecut dan hina, dan teman-temannyapun orang-orang rendah!”

“Eh-eh, nanti dulu, toanio!”

Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih meloncat ke depan. Orang ini pakaiannya serba hitam, dengan ikat pinggang kuning emas, kepalanya dibungkus kain kuning dan di punggungnya terdapat sebatang golok besar.

Para tokoh golongan hitam segera mengenalnya sebagai Twa-sin-to Kui Liok Si Golok Besar Sakti, seorang perampok tunggal yang sudah puluhan tahun malang melintang di lembah Sungai Yang-ce-kiang, seorang yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu goloknya.

Cia Giok Keng menghadapi laki-laki yang tubuhnya besar pendek ini dengan pandang mata meremehkan.

“Mengapa engkau menahanku? Apakah hendak menyangkal bahwa Jeng-ci Sin-touw adalah maling hina?”

“Toanio adalah seorang gagah perkasa, bahkan puteri ketua Cin-ling-pai yang amat terkenal, akan tetapi toanio terlalu memandang rendah orang lain! Kalau toanio memaki Jeng-ci Sin-touw karena dia menukar barang sumbangannya, hal itu adalah hak toanio, akan tetapi toanio membawa-bawa semua temannya yang tidak bersalah apa-apa.”

“Hemm, aku ulangi lagi, dia seorang hina dan teman-temannyapun orang-orang rendah. Nah, kau mau apa?” Cia Giok Keng yang memang sudah amat marah itu membentak.

“Toanio, aku adalah Twa-sin-to Kui Liok dan terus terang saja aku mengenal baik Jeng-ci Sin-touw sehingga boleh dibilang aku juga temannya. Apakah dengan begitu engkau hendak mengatakan bahwa aku seorang rendah?”

“Tentu saja, semua maling dan copet dan sebangsanya adalah orang-orang yang paling rendah dan pengecut di dunia!”

Bentak Cia Giok Keng yang sebetulnya menujukan makian itu bukan langsung kepada orang yang berdiri di depannya, bahkan hanya sedikit menyinggung Jeng-ci Sin-touw yang tidak dikenalnya, melainkan ditujukan kepada orang-orang yang telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Sejak terjadinya peristiwa itu, di dalam hatinya, dia mengutuk dan membenci semua golongan hitam, terutama pencuri dan perampok!

Kui Liok menjadi marah.
“Toanio terlalu menghina orang! Jangan mengira bahwa aku takut mendengar nama Cin-ling-pai!!”






Wajah Cia Giok Keng menjadi makin merah.
“Huh, tikus macam kau berani menentang Cin-ling-pai? Majulah!”

“Wanita sombong!” Kui Liok membentak dan akan menyerang.

“Tahan... tahan...!” Tiba-tiba Phot Lee It maju dan berdirl di antara mereka. “Cia-lihiap, harap bersabar dan memaafkan orang yang telah menukar barang sumbangan itu. Dan kau, Twa-sin-to, harap kau sabar dan mengalah.”

“Phoa-loenghiong harap kau minggir, jangan menghalangi aku. Di manapun dan kapanpun aku harus selalu menghajar golongan sesat yang berani kurang ajar!”

Sikap dan ucapan Cia Giok Keng ini membuat Phoa Lee It menjadi serba salah dan terpaksa dia mundur sambil menggeleng kepala dan mengangkat bahu, bingung dan cemas.

“Pencoleng hina, majulah kalau kau berani!” puteri ketua Cin-ling-pai itu menantang dan Kui Liok yang merasa dihina di hadapan banyak sekali orang, segera menerjang maju dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat.

Akan tetapi yang diserangnya ini adalah puteri sulung Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang biarpun tidak berhasil mewarisi seluruh kepandaian ayahnya dan ibunya, namun dia telah memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi tingkatnya.

Dengan jurus-jurus dari San-in-kun-hoat yang gerakannya aneh, lihai dan dahsyat, dia menangkis dan begitu tangannya balas menampar, jari-jari tangannya mengenai pundak Kui Liok, membuat perampok tunggal yang tubuhnya kebal ini terhuyung dan menyeringai kesakitan!

Dalam segebrakan saja dia telah dibuat terhuyung dan tulang pundak kirinya seperti patah-patah rasanya! Tentu saja dia menjadi penasaran, mengeluarkan bentakan keras dan menubruk maju lagi, menggunakan kedua lengannya yang dikembangkan dan kedua tangan yang terbuka seperti seekor harimau menubruk. Dan memang perampok tunggal ini telah menggunakan jurus Go-houw-pok-ma (Macan Kelaparan Menubruk Kuda), dia menerkam setengah meloncat dan kedua tangan dipentang lebar itu menerkam dari kanan kiri sehingga sukar sekali untuk dielakkan.

Namun cia Giok Keng sama sekali tidak mengelak. Dengan tenang dia menanti datangnya serangan itu, lalu tiba-tiba mementang kedua tangannya ke kanan kiri, menggunakan telunjuk kanan kiri menusuk ke arah pergelangan kedua tangan lawan, dan pada saat jari-jari tangannya itu mendahului menyerang pergelangan tangan lawan sebelum serangan lawan tiba, kaki kirinya menendang dengan kecepatan seperti kilat. Semua ini dilakukan tanpa merobah kedudukan tubuhnya.

“Dess... auukkk...!”

Tubuh yang pendek besar itu terjengkang dan terguling-guling, lalu meloncat bangun dan tangan kirinya memegangi perutnya yang mendadak menjadi mulas setelah dicium ujung sepatu Giok Keng.

Kini semua orang terkejut. Bukan main hebatnya nyonya itu, demikian mudahnya menghadapi serangan Kui Liok, dan sakaligus membuatnya terhuyung kemudian roboh dalam dua gebrakan saja.

Padahal mereka tahu bahwa Kui Liok bukanlah seorang lemah kalau tidak boleh dibilang seorang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja Kui Liok sendiri menjadi marah bukan main. Habislah nama besarnya kali ini! Dia diperlakukan seperti seorang murid tolol yang baru belajar ilmu silat oleh seorang guru besar!

“Srattttt!”

Golok besarnya telah dicabutnya, akan tetapi dia masih merasa terlalu besar namanya untuk menyerang seorang wanita tanpa senjata begitu saja, maka dengan suara parau dan tangan kiri mengusap darah yang mengalir dari ujung bibirnya dia membentak.

“Keluarkan pedangmu!”

Cia Giok Keng tersenyum mengejek.
“Hemm, siapa takut menghadapi golok jagal babimu itu? Majulah!”

Kemarahan Kui Liok sudah naik ke ubun-ubun dan dengan gerengan seperti harimau terluka, golok besarnya diputar-putar di atas kepala, sehingga lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara berdesingan. Kemudian dia menerjang ke depan dan sinar putih itu menyambar dahsyat ke arah leher Giok Keng.

Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tubuh nyonya itu lenyap dari depannya. Kui Liok terkejut, cepat dia memutar tubuh sambil mengayun goloknya. Benar saja, musuhnya sudah berada di belakangnya dan kini Giok Keng yang terkejut menyaksikan kecepatan gerakan lawan.

Kiranya julukan Golok Besar Sakti itu tidak percuma begitu saja dan amat berbahaya kalau dia terlalu memandang rendah dan menghadapinya dengan tangan kosong. Akan tetapi dia telah terlanjur memandang rendah golok lawan, kalau sekarang dia mencabut pedangnya, hal itu akan memalukan sekali. Cepat dia mempergunakan gin-kangnya yang sudah hampir sempurna itu sehingga kembali tubuhnya berkelebat mendahului gerakan golok dan mengelak.

Akan tetapi dengan kemarahan meluap-luap, Kui Liok sudah menyerang, terus dan gulungan sinar putih dari goloknya terus mengejar bayangan Giok Keng.

Sampai lima jurus Kui Liok terus meyerang dan selalu dapat dielakkan oleh Giok Keng. Pada jurus keenam, ketika Kui Liok membacok dari atas ke bawah dengan jurus Petir menyambar Atas Kelapa, tiba-tiba nampak sinar merah terang yang kecil panjang meluncur dan tahu-tahu golok itu telah terbelit sabuk merah dan ujung yang lain dari sabuk itu telah meluncur dan menotok pundak kanan Kui Liok.

Perampok tunggal ini terkejut bukan main, berusaha mengelak dari totokan, namun pada saat perhatiannya tercurah kepada sinar merah yang menyambar pundak itu, tiba-tiba tangan kiri Giok Keng sudah menampar keras dan tepat mengenai punggungnya, karena Kui Liok tadi mengelak miring.

“Plakkk...!”

Kui Liok mengaduh, goloknya terlepas dan dia sendiri terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali karena dia sudah terkena tamparan tangan yang mengandung Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun), ilmu kepandaian mengerikan dari ibu nyonya ini, isteri ketua Cin-ling-pai!

“Ini makanlah golokmu!”

Cia Giok Keng yang sudah marah itu menggerakkan ujung sabuk merah yang melibat dan merampas golok dan senjata itu terbang meluncur ke arah tubuh Kui Liok yang masih terhuyung-huyung.

Golok terbang itu berdesing cepat sekali dan tubuh Kui Liok pasti akan menjadi korban goloknya sendiri kalau saja pada saat itu tidak tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita telah menyambar golok terbang itu dengan jepitan jari tangannya, kemudian dengan senyum menghina dia melempar golok itu ke atas lantai, dekat kaki Kui Liok yang cepat mengambilnya dan mengundurkan diri untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya yang cukup hebat.

Gadis itu adalah In Hong. Dia memang kagum menyaksikan kehebatan enci dari Cia Bun Houw itu, akan tetapi karena pandangannya sudah berobah sejak dia mengetahui tentang penghinaan Cia Bun Houw kepadanya, dia kini menghampiri Giok Keng dengan pandang mata tajam, dingin dan senyumnya mengejek.

Giok Keng sendiri terkejut bukan main. Melihat gerakan dara muda ini tadi mengulur tangan menjepit golok yang diterbangkannya seperti orang menjepit bulu saja ringannya, dia maklum bahwa dara muda ini memiliki kepandaian yang luar biasa, maka dia memandang heran dan menduga-duga.

Go-bi Sin-kouw yang tadi sudah merasa penasaran dan marah, kini memandang penuh perhatian. Diapun dapat menduga bahwa dara cantik itu lihai sekali. Dia tadi masih ragu-ragu untuk maju menghadapi puteri ketua Cin-ling-pai, bukan ragu-ragu takut kalah karena dia percaya bahwa dia mampu menandingi puteri ketua Cin-ling-pai itu, hanya dia masih merasa tidak enak dan serba salah. Betapapun juga, muridnya, Pek Hong In, telah menjadi isteri Yap Kun Liong yang mempunyai hubungan dekat dengan Cin-ling-pai.

Dia memang tidak suka kepada keluarga itu dan sudah berjanji akan membantu Lima Bayangan Dewa, akan tetapi permusuhan ini akan dilakukan secara sembunyi, kecuali kalau tiba saatnya kedua fihak berdiri berhadapan dalam pertandingan besar yang sudah direncanakan oleh Lima Bayangan Dewa.

Betapapun juga, dia merasa sayang kalau sampai perbuatannya yang memusuhi Cin-ling-pai itu akan mendatangkan akibat tidak enak bagi Pek Hong In. Maka kini, biarpun tangannya sudah gatal-gatal untuk menandingi Cia Giok Keng, dia menahan diri dan melihat majunya gadis muda yang cantik, aneh dan lihai itu, dia hanya menonton dengan penuh perhatian setelah dia melemparkan sebungkus obat bubuk kepada Kui Liok sambil berkata lirih,

“Minum ini untuk menolak hawa beracun!”

Sementara itu, In Hong sudah melangkah maju dan berhadapan dengan Giok Keng. Setelah kurang lebih dua menit dua orang wanita muda dan setengah tua yang sama cantik dan sama gagahnya itu saling memandang penuh selidik dan seperti saling mengukur kecantikan dan kelihaian melalui pandang mata, terdengar In Hong berkata, suaranya dingin,

“Kiranya keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong yang terlalu menghina orang lain dan menganggap bahwa mereka sendirilah orang-orang terbaik, paling bersih dan paling gagah di dunia ini, padahal kenyataannya sungguh tidak seperti yang dibanggakan itu!”

Cia Giok Keng mengerutkan alisnya yang hitam melengkung bagus itu.
“Engkau seorang dara muda yang begini cantik jelita, apakah juga sudah menjadi anggauta golongan maling dan pencoleng? Sungguh patut disayangkan!”

Dewi Maut







Tidak ada komentar: