***

***

Ads

Senin, 26 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 042

Akan tetapi, tiba-tiba air sungai bergelombang dan perahu itu terbalik! Dia melihat isterinya hanyut dibawa air sungai. Sia-sia saja dia berusaha berenang mendekati, makin lama isterinya makin jauh.

“Hong Ing...!” dia menjerit.

“Suamiku... kau cari Mei Lan...! Cari Mei Lan...!”

Hanya suara teriakan isterinya menyuruh dia mencari Mei Lan itu yang terdengar kini. Dia tidak ingat lagi bahwa tadi Mei Lan juga ikut di dalam perahu.

“Taihiap... bangunlah... kita perlu mencari nona Mei Lan...! Kita harus mencari nona Mei Lan...!”

Kun Liong menggerakkan tubuhnya dan menoleh, matanya silau oleh sinar lentera itu dan dia melihat wajah Giam Tun di atas lentera, wajah yang penuh iba dan yang berkata dengan suara penuh permohonan,

“Pulanglah, taihiap, nona Mei Lan belum juga datang, kita perlu mencarinya...!”

“Hong Ing... Mei Lan...!”

Kun Liong mengeluh, teringat akan “mimpinya” dan dia lalu bangkit duduk di atas tanah yang becek. Pakaiannya basah kuyup dan kotor penuh lumpur, juga mukanya berlepotan lumpur.

Kini dia sadar sepenuhnya dan diam-diam dia berterima kaaih kepada Giam Tun. Kakek ini biasanya amat takut akan setan-setan, dan kini sampai matipun dia tidak akan berani disuruh memasuki tanah kuburan seorang diri di waktu malam dan hujan itu.

Pernah Hong Ing menggoda kakek ini saking penakutnya terhadap setan, malam-malam menggunakan kepandaiannya. Hong Ing meloncat ke atas genteng dan memakai kerudung putih menakut-nakuti Giam Tun sehingga kakek ini hampir terkencing-kencing saking takutnya, mengira ada setan. Memang kadang-kadang di waktu gembira Hong Ing suka bermain-main seperti anak kecil.

Akan tetapi kini kakek itu menempuh segala rasa takutnya, datang mencarinya. Kun Liong merasa betapa sikapnya terlalu menuruti hati sedih. Kesadarannya mulai timbul.

“Paman Giam Tun, aku memang hendak menemani nyonya majikanmu di malam pertama yang gelap dan dingin ini. Kasihan dia, paman... kasihan sekali dia, bukan?”

Giam Tun mengangguk dan dari balik lentera dia hanya mengangguk-angguk, akan tetapi sedu-sedannya terdengar melalui kerongkongannya.

“Sudahlah, paman. Sudah berlebihan aku menyedihi dan menangisi diriku sendiri, sekarang aku harus ingat kepadanya. Kau pulanglah. Aku tidak apa-apa, biar aku malam ini menjaga di sini. Besok kita bicarakan tentang Mei Lan, dan yang lain-lain.”






Giam Tun mengusap matanya dengan ujung lengan baju. Hatinya lega juga. Biarpun keadaan majikannya demikian menyedihkan dan mengharukan, namun suara dan kata-kata yang keluar dari mulut majikannya menunjukkan bahwa pendekar itu sudah sadar kembali, suaranya tenang dan penuh wibawa seperti biasanya.

“Apa taihiap tidak perlu ganti pakaian? Ini sudah saya bawakan... dan makanan... sejak dua hari yang lalu taihiap belum makan atau minum apa-apa...”

Dengan jari-jari gemetar kakek itu hendak membuka bungkusan yang tadi dikempitnya.

Kun Liong menggeleng kepalanya.
“Bawa kembali saja, paman. Apa gunanya berganti pakaian sekarang? Pakaian kering akan basah lagi, pakaian bersih akan kotor lagi dan dalam keadaan seperti sekarang ini, bagaimana aku mampu menelan makanan atau minuman? Pulanglah dan biarkan aku sendiri untuk menghadapi dan merenung segala kepahitan hidup ini, paman.”

Giam Tun memandang majikannya, beberapa kali menelan ludah, dan tidak mampu mengeluarkan perkataan. Dia merasa menjadi sepuluh tahun lebih tua daripada biasanya semenjak terjadinya peristiwa mengerikan tiga hari yang lalu itu. Kakek itu mengangguk-angguk, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi, akan tetapi berhenti lagi, menengok dan berkata,

“Apakah perlu lentera ini saya tinggalkan di sini, taihiap?”

“Bawa pergi saja, paman. Sinarnya tidak akan mampu menerangi kegelapan hatiku, malah menyilaukan mata saja.”

Bibir kakek itu bergerak-gerak, dia sendiri tak tahu apa yang hendak dikatakan lalu dia pergi tersaruk-saruk dengan langkah pendek-pendek dan punggung agak membongkok, meninggalkan tempat itu menuju ke pintu gerbang kuburan yang dari jauh tampak tinggi besar hitam seperti setan raksasa mementang kedua lengannya dan amat mengerikan kalau tampak tertimpa sinar kilat.

Setelah kakek Giam Tun pergi, Kun Liong merasa betapa tubuhnya dingin sekali. Baru sadarlah dia betapa selama ini dia telah mengabaikan kewajibannya yang terutama sebagai manusia hidup, yaitu menjaga kesehatan tubuhnya. Dia telah membiarkan dirinya terbuka terhadap semua serangan lahir batin, terlalu menenggelamkan diri ke dalam perasaan duka sengsara. Teringat akan ini, dia lalu duduk bersila di depan kuburan isterinya, mengerahkan sin-kang menghangatkan tubuhnya.

Setelah tubuhnya terasa sehat kembali, dia mulai menggunakan mata batinnya untuk memandang keadaan dirinya, untuk menyelidiki semua keadaan yang telah menimpa dirinya.

Setelah kini dia tidak lagi dijadikan permainan hati dan pikirannya, tampaklah oleh kesadarannya betapa dia hampir gila oleh rasa iba diri, bahwa selama ini dia menangisi diri sendiri, berkabung atas keadaan dirinya sendiri yang direnggut kesenangan hidupnya.

Dia tidak perlu menangisi kematian Hong Ing. Mengapa? Hong Ing sudah terbebas dari segala ikatan duniawi dengan suka dukanya, dengan kesenangan yang singkat dan kesengsaraannya yang panjang. Terbayang dia akan wajah mayat isterinya yang demikian penuh damai dan ketenangan, lalu membandingkan dengan keadaan dirinya.

Mungkin sudah sepatutnya kalau Hong Ing di “sana” menangisi dia karena keadaannya yang sengsara itu. Akan tetapi dia tidak patut menangisi Hong Ing yang sudah tidak terseret oleh arus kesengsaraan duniawi lagi.

Setelah sadar akan ini, yang tinggal hanya penyesalan dan penasaran. Mengapa isterinya yang dia tahu amat jenaka, lemah lembut, baik budi dan ramah itu sampai dibunuh orang? Dan yang membunuhnya Giok Keng! Tidak salah lagi. Tidak mungkin orang-orang seperti dua orang pembantunya itu, terutama sekali Giam Tun, akan membohong! Dia harus mencari Giok Keng. Membuat perhitungan!

Kini lain perasaan mengaduk hati Kun Liong, digerakkan oleh pikiran yang bekerja keras. Dan meloncat dan mengepal tinjunya.

“Giok Keng, kau perempuan keji! Aku akan membalaskan kematian Hong Ing!”

“Darrr...!”

Kilat menyambar sebagai penutup dari hujan yang mulai berhenti. Sekejap mata tempat itu menjadi terang menyilaukan mata dan Kun Liong terkejut, tersadar lagi dan menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan sambil menutupkan kedua tangan yang kotor berlumpur di depan mukanya.

Terbayanglah dia akan wajah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng, ayah dan ibu Giok Keng, terbayang dia akan wajah Giok Keng di waktu gadis dahulu, terbayang pula akan semua hal, perhubungannya dengan keluarga Cia. Dan dia baru saja mengeluarkan ancaman untuk membunuh Giok Keng!

Bodoh! Dia memaki diri sendiri. Dia tidak boleh menurutkan nafsu yang didorong oleh pikiran yang menduga-duga. Dia harus menyelidiki sebabnya, tidak terpengaruh begitu saja oleh peristiwa yang hanya akibat. Kalau dia menuruti nafsunya, maka peristiwa yang menimpa dirinya ini akan dia jadikan sebab untuk menimbulkan akibat lain, misalnya dia membunuh Giok Keng! Dan akibat itu tentu akan menjadi sebab pula dari urusan yang berkepanjangan, dendam yang bertumpuk-tumpuk dan tiada habisnya.

Tidak, dia harus dapat melihat kenyataan. Isterinya mati terbunuh orang! Anaknya lari pergi tanpa diketahui sebabnya pula. Dan satu-satunya orang yang kiranya dapat dijadikan terdakwa, hanya Giok Keng. Kalau dia mendatangi Giok Keng, pertemuannya dengan wanita itu mungkin akan menyalakan api kedukaan dan dendam di hatinya dan dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Tidak, dia tidak bokeh melakukan hal yang sembrono. Dia harus memikirkan dengan baik dan tidak bertindak ceroboh.

Carilah Mei Lan, demikian pesan isterinya dalam mimpi di waktu dia tidak tidur tadi. Benar! Yang terpenting memang mencari Mei Lan. Hong Ing sudah mati, apapun yang akan dilakukannya, dia tidak akan dapat merobah kenyataan itu, bahkan mungkin dendam kebencian akan menimbulkan hal-hal baru yang lebih hebat lagi. Tentu saja dia tidak akan tinggal diam dan dia harus berusaha untuk menangkap pembunuh isterinya.

Akan tetapi hal itu akan dilakukan bukan karena dendam, melainkan karena sudah sepatutnya kalau pembunuhan itu diselidiki sebab-sebabnya dan si pembunuh diadili sebagaimana layaknya! Terutama sekali, “pesan” isterinya, Mei Lan harus ditemukan.

**** 042 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: