***

***

Ads

Senin, 26 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 045

“Bukan itu, enci. Subo pernah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Aku melarikan diri dari rumah ayah karena tidak sudi dibawa ke Lhasa untuk dipersembahkan kepada pangeran dan di dalam hutan, aku hampir menjadi korban harimau. Subo datang menyelamatkan aku dan aku lalu diambil murid, diajak pergi setelah kuceritakan riwayatku kepadanya. Aku telah hutang budi, bahkan hutang nyawa, begaimana aku dapat meninggalkannya begitu saja, sungguhpun aku... amat... tidak suka kepadanya?”

Yalima menundukkan muka dengan sedih dan In Hong diam-diam memuji gadis yang biarpun tidak terpelajar dan hanya seorang dusun namun telah tahu apa artinya hutang budi.

Mereka lalu kembali ke pondok karena hawa makin dingin dan In Hong melihat Yalima mulai kedinginan. Tanpa disengaja lagi, mereka bergandeng tangan kembali ke pondok dan memasuki kamar masing-masing, In Hong di kamarnya sendiri dan Yalima di sebuah kamar besar bersama subonya yang masih bercakap-cakap dengan orang-orang itu.

Sukar bagi In Hong untuk pulas. Bermacam-macam hal mengaduk pikirannya. Teringat dia akan kakaknya dan sukar dia membayangkan bagaimana keadaan kakaknya yang kematian isteri. Dia tidak perduli akan kematian isteri kakaknya itu, hanya ingin sekali melihat bagaimana keadaan kakak kandungnya itu setelah isterinya meninggal dunia.

Diapun diganggu dengan persoalan Lima Bayangan Dewa yang kini seorang daripada mereka berada di pondok ini. Dia ingin sekali tahu dimana mereka menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam dan ingin melihat pedang itu, bahkan kalau ada kesempatan dia ingin merampas pedang itu untuk dirinya sendiri!

Yang terakhir dia terkenang kepada Yalima, terngiang semua pertanyaan Yalima dan dia merasa suka dan kasihan kepada dara ini. Dia membanding-bandingkan dirinya sendiri dengan Yalima. Ada persamaannya. Biarpun Yalima masih mempunyai ayah bunda, namun dia tahu bahwa ayah bundanya itu seolah-olah sudah mati baginya karena dia tentu tidak akan berani pulang selama hidupnya. Seperti juga dia, Yalima seorang diri saja. Hanya sedikit perbedaannya, kalau dia masih ada subonya dan Giok-hong-pang yang selalu bersikap baik kepadanya, Yalima hanya mempunyai satu harapan, yaitu pada diri kekasihnya itu, Cia Bun Houw.

“Aku harus membantunya bertemu dengan pemuda itu,” dengan keputusan hati ini In Hong mulai tertidur. Lapat-lapat masih terdengar suara Go-bi Sin-kouw dan yang lain-lain bercakap-cakap, kadang-kadang terus tertawa sambil minum arak di ruangan tengah.

“Tidak... tidak... ah, teecu tidak mau, subo...”

“Bocah tolol! Engkau muridku dan engkau harus menurut perintahku. Hayo keluar!”

In Hong lapat-lapat mendengar suara ini, disusul suara lirih, “...enci In Hong!” dan kalau sekiranya tidak ada suara Yalima yang memanggil namanya dengan lirih itu, bukan memanggil bahkan seperti orang mengeluh kepadanya saja, agaknya dia tidak akan terbangun.

Namun suara Yalima lirih menyebut namanya itu, cukup membuat semua urat syaraf di tubuhnya menegang. Dia bangkit duduk, mengenakan sepatunya dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dengan pendengarannya, dia dapat mengikuti gerakan guru dan murid itu keluar dari kamar sebelah dan kemudian dia mendengar Go-bi Sin-kouw sudah tertawa-tawa lagi dengan teman-temannya di ruangan tengah.

Dia terheran. Apa yang terjadi? Agaknya, melihat suara orang-orang tua itu di ruangan tengah, tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi kemana perginya Yalima? Mengapa dara itu tadi keluar dari kamar bersama gurunya dan tidak kembali lagi ke kamar sebelah?

“...jangan...! Tidak mau...!”






Suara ini lirih, agaknya mulut yang mengeluarkan bunyi ini dibungkam dan terdengar jauh, bukan dari kamar sebelah. Namun cukuplah bagi In Hong untuk melompat turun dari bangkunya, membuka jendela dan bagaikan seekor burung walet saja tubuhnya sudah melayang keluar, lalu dia berindap-indap ke arah dari mana datangnya suara yang tidak jelas tadi.

Suara napas terengah-engah terdengar dari sebuah kamar, disusul bisikan seorang laki-laki.

“Diamlah, manis, menurutlah saja... subomu sudah memberikan engkau kepadaku... heh-heh, diamlah...”

Suara Toat-beng-kauw Bu Sit! In Hong merasa betapa mukanya panas seperti dibakar, menjalar dari dada terus ke atas, sampai ke telinganya dan tubuhnya tiba-tiba saja menerjang jendela kamar itu.

“Bruukkkk!”

Daun jendela jebol dan dia melihat Bu Sit sedang menindih dan merobek baju Yalima sehingga nampak dada gadis itu tidak tertutup lagi.

“Keparat busuk!”

Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut, mengutuk dan meloncat turun, kemudian menghadapi tamparan In Hong dia cepat merendahkan tubuh sambil menangkis.

“Desss... plakkk...!”

Biarpun sudah ditangkis, tetap saja tangan In Hong berhasil membobolkan tangkisan itu dan tamparannya masih hinggap di pundak Bu Sit sehingga orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini terlempar dan tubuhnya terbanting pada dinding.

“Brukkkk!”

Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa serangan tamparan yang dilakukan seenaknya saja itu mampu membobolkan tangkisannya, bahkan tamparan itu membuat tubuhnya yang kebal itu terasa panas dan membuat dia terlempar dan terbanting!

“Engkau layak mampus!”

In Hong berkata, suaranya dingin sekali, mulutnya tersenyum dan tertimpa sinar lampu membuat Bu Sit ketakutan dan ngeri. Tiba-tiba dia berseru keras dan tubuhnya sudah melesat keluar dari kamar itu melalui pintu. Cepat sekali gerakannya ini sehingga In Hong tidak sempat mencegahnya.

Namun dengan kemarahan meluap In Hong mengejar keluar dari kamar itu menuju ke ruangan tengah kemana Bu Sit tadi melarikan diri. Dengan mata berapi-api In Hong sudah mencabut pedangnya dan kini dia menudingkan pedangnya ke arah muka Bu Sit yang berlindung di belakang orang-orang tua itu sambil membentak,

“Jahanam busuk Bu Sit, majulah untuk menerima kematian!”

“Eh, eh, nona In Hong. Apakah yang terjadi?” Go-bi Sin-kouw bertanya, tongkat melintang di depan dada.

In Hong tersenyum mengejek.
“Apa yang terjadi? Seperti kalian tidak tahu saja! Monyet busuk itu hendak memperkosa Yalima! Karena itu dia harus mampus di tanganku!”

“Yap-kouwnio, aku tidak memperkosa... aku... aku...”

Toat-beng-kauw Bu Sit adalah orang kelima dari Lima Bayangan Dewa, ilmu kepandaiannya tinggi dan dia malah terkenal sebagi iblis pencabut nyawa, malah julukannya Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa), akan tetapi kini menghadapi gadis yang sikapnya begitu dingin membayangkan maut sendiri, dan melihat betapa dalam satu gebrakan saja gadis itu mampu membuatnya terbanting di tembok, dia menjadi gentar.

“Sabarlah, nona Yap In Hong!” Go-bi Sin-kouw berkata. “Dia tidak memperkosa, tidak ada perkosaan di sini. Yalima memang melayaninya atas permintaanku dan muridku yang baik itu sudah mau.”

“Bohong! Mana ada guru menyuruh muridnya berlaku sehina itu!”

“Heh-heh-heh, kau anak kecil tahu apa, nona? Ketahuilah, dahulu aku mempunyai dua orang murid perempuan yang kucinta seperti anak-anakku sendiri, akan tetapi apa jadinya? Yang seorang menyerahkan diri tanpa seijinku kepada Ouwyang Bouw bocah setan itu, yang kedua menyerahkan diri di luar kehendakku, kepada Yap Kun Liong, kakakmu! Sekarang aku mempunyai murid ini dan aku tidak ingin terjadi seperti dulu, kini aku yang mengatur dia harus menyerahkan diri kepada siapa, dan malam ini untuk merayakan perkenalanku dengan Toat-beng-kauw Bu Sit, aku menyuruh muridku menyerahkan diri kepadanya, mengapa engkau mencampuri urusan antara guru dan murid?”

“Bagus, nenek iblis! Wanita jalang dan kotor! Kalau begitu engkaupun akan mampus di tanganku bersama monyet tengik itu!”

In Hong sudah menerjang maju, Go-bi Sin-kouw marah sekali, tongkatnya juga bergerak dan menangkis. Juga Toat-beng-kauw Bu Sit sudah mendapat hati melihat ada yang membantunya. Dia bukan pengecut, dan tadi dia hanya terkejut saja. Kini dia berseru keras, mengeluarkan senjatanya, sebatang joan-pian (pecut baja) yang panjang dan terdengar suara meledak-ledak ketika dia menggerakkan senjatanya itu.

“Tar-tar-tarrrr... cring-trakkk-singg...!”

Toat-beng-kauw Bu Sit dan Go-bi Sin-kauw terkejut bukan main. Ternyata dalam bentrokan pertama itu, sinar pedang di tangan In Hong meluncur kuat bukan main, membuat tongkat di tangan Go-bi Sin-kauw tergetar hebat dan pecut baja di tangan Bu Sit membalik, sedangkan gulungan sinar pedang masih terus meluncur ke arah leher mereka.

“Plak! Plakk!”

Sinar pedang itu bertemu dengan sinar putih dua kali dan ternyata Bouw Thiasu telah menangkis sinar pedang itu dengan ujung lengan bajunya yang mengandung getaran hawa kuat sekali.

“Tahan dulu, nona...!” Bouw Thaisu berseru.

In Hong meloncat ke belakang, pedangya melintang di dada, tangan kiri dengan jari terbuka dipasang di atas kepala.

“Aku akan membunuh Go-bi Sin-kouw dan Toat-beng-kauw Bu Sit. Siapa yang hendak melindungi mereka boleh maju sekalian!”

“Enci In Hong...! Jangan bunuh dia...!”

Tiba-tiba Yalima lari dari dalam dan dia sudah membetulkan bajunya yang robek, mengikatnya dengan saputangan dan kemudian menyusul keluar.

In Hong mengerutkan alisnya, heran sekali mendengar ini,
“Siapa maksudmu?”

“Go-bi Sin-kouw itu, jangan dibunuh. Dia pernah berbuat baik sekali dengan menolongku, kini dia melakukan perbuatan jahat sekali dengan mengumpankan aku kepada manusia yang lebih ganas dari harimau, berarti sudah tidak ada hutang budi lagi. Kalau dia dibunuh, berarti aku masih hutang budi. Sekarang aku bisa ikut bersamamu, enci.”

In Hong memandang ke depan dengan muka dingin, dan suaranya juga dingin menggiris jantung ketika dia berkata,

“Engkau sudah mendengar Go-bi Sin-kouw! Boleh kalian pilih, aku melupakan perkara tadi akan tetapi Yalima ikut bersamaku, atau kalian boleh maju semua untuk mati di ujung pedangku!”

“Siancai... bocah bermulut lancang! Pinto tidak boleh membiarkan engkau menantang kami!” Hwa Hwa Cinjin berkata halus dan sebuah kebutan kuning telah berada di tangannya.

“Bocah sombong, kau kira kami takut kepadamu?” Hek I Siankouw juga sudah mengeluarkan pedangnya yang berkilauan tajam.

“Tidak perlu banyak cakap, majulah kalian semua orang-orang berhati busuk!”

In Hong menantang lagi, siap dengan pedangnya, berdiri tegak dan bersikap tenang, akan tetapi matanya melirik ke arah calon-calon lawannya dengan penuh kewaspadaan. Sedikitpun dara ini tidak merasa jerih sungguhpun dia maklum bahwa dia menghadapi lima orang yang ilmu kepandaiannya tinggi.

Akan tetapi Go-bi Sin-kouw tertawa dan memberi isyarat kepada teman-temannya untuk tidak turun tangan.

“Heh-heh-heh, nona In Hong. Di antara kita orang-orang sendiri, perlu apa ribut-ribut hanya untuk urusan kosong belaka? Kita menghadapi urusan yang lebih besar, kalau saling gempur sendiri, bukankah merugikan kita sendiri? Yalima ini belum mempelajari sejuruspun ilmu dariku, maka kalau dia memang tidak suka menjadi muridku dan lebih suka denganmu, silakan. Akupun tidak perlu memperebutkannya.”

Melihat sikap mengalah dan ucapan yang nadanya ramah itu, In Hong merasa tidak enak sendiri. Betapapun juga, yang menyelamatkan nyawa Yalima adalah nenek ini dan dara itu telah diambil murid oleh nenek ini. Jadi sesungguhnya dialah yang melanggar aturan, mencampuri urusan guru dan murid yang tidak ada bedanya dengan mencampuri urusan antara anak dan orang tuanya.

“Akupun tidak mempunyai permusuhan dengan kalian,” katanya dengan teguran halus. “Dan andaikata urusan antara Yalima dan engkau baik-baik saja, akupun tidak akan berani mencampuri, Go-bi Sin-kouw. Akan tetapi melihat seorang dara hendak diperkosa oleh seorang laki-laki, sampai matipun aku tidak rela dan siapapun laki-laki itu, pasti akan kutentang!”

“Heh-heh-heh, Toat-beng-kauw, sekali ini engkau harus mengalah!” Go-bi Sin-kouw berkata sambil tertawa. “Kita lupa bahwa disini hadir seorang tokoh Giok-hong-pang yang terkenal sebagai pembenci kaum pria. Sudahlah, nona In Hong. Aku mengalah dan menyerahkan Yalima kepadamu, akan tetapi engkaupun harus berjanji bahwa kita adalah segolongan dan kalau kelak kita membutuhkan bantuan, kuharap engkau tidak menolak membantu kami menghadapi lawan-lawan tangguh.”

“Aku tidak akan berjanji apa-apa, Sin-kouw. Akan tetapi akan kuingat bahwa kalian bukan musuh-musuhku di saat ini dan telah memperlibatkan sikap bersahabat. Mudah-mudahan kelak kalianpun akan tetap bersikap demikian. Nah, aku hendak pergi bersama Yalima sekarang.”

“Aih, nona muda yang gagah perkasa. Urusan kecil itu mengapa masih membuat nona marah? Maafkanlah aku yang tidak tahan melihat gadis cantik jelita yang telah diserahkan oleh gurunya kepadaku ini. Harap engkau dan nona Yalima bermalam di sini dan besok baru melanjutkan perjalanan.”

Toat-beng-kauw Bu Sit juga berkata membujuk. Orang termuda dari Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa) ini cukup cerdik untuk mengerti maksud hati Go-bi Sin-kouw, maka dia mengalah pula, menghapuskan kekecewaan hatinya, karena urusan kehilangan calon korban gadis itu hanyalah merupakan hal kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan permusuhan mereka terhadap golongan Cin-ling-pai yang amat kuat.

Gadis ini lihai sekali dan andaikata mereka berlima dapat mengalahkannya dan membunuhnya, hal itu hanya akan membikin mereka rugi besar saja. Menurut cerita nenek itu, gadis ini biarpun menjadi adik kandung Yap Kun Liong, bahkan tadinya hendak dijadikan calon mantu oleh ketua Cin-ling-pai, akan tetapi gadis ini tidak mau bahkan telah memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Cin-ling-pai, sudah bentrok pula dengan puteri ketua Cin-ling-pai, maka dapat dijadikan sebagai sekutu untuk kelak jika mereka telah berhadapan langsung melawan Cin-ling-pai.

Akan tetapi In Hong masih merasa panas hatinya sehingga bujukan dan sikap manis dari Bu Sit ini diterimanya dengan senyum mengejek dan dia menngeleng kepala.

“Kami berdua harus pergi sekarang juga. Selamat tinggal. Mari, Yalima!”

Setelah berkata demikian, In Hong menyarungkan pedangnya, menyambar lengan Yalima dan dara Tibet ini menjerit ngeri ketika tiba-tiba tubuhnya dibawa “terbang” keluar dari tempat itu dan menghilang di dalam kegelapan.

Setelah In Hong bersama Yalima menghilang, nenek berpakaian serba hitam Hek I Siankow menyarungkan pedang sambil bersungut-sungut,

“Ihh, Sin-kouw, sungguh keterlaluan sekali. Tentu kita dianggap takut melawan dia! Betapa memalukan!”

Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh dan memukul-mukul tongkatnya di atas lantai.
“Siankouw, sabar dan tenanglah, pikir baik-baik. Siapa takut terhadap anak ayam itu? Akan tetapi kita harus bersikap cerdik. Urusan antara dia dan kita, hanya mengenai diri Yalima yang belum menjadi muridku dan kalau Toat-beng-kouw menghendaki gadis cantik, apa sih sukar nya bagi dia? Mengapa urusan perawan Tibet, bocah dusun itu, harus merugikan kita semua? Yap In Hong adalah murid terkasih dari ketua Giok-hong-pang, sebaiknya bersahabat dengan dia daripada bermusuh. Cin-ling-pai saja sudah merupakan musuh yang harus kita hadapi dengan pengerahan tenaga kita yang bergabung, apalagi kalau harus ditambah dengan Giok-hong-pang sebagai musuh, betapa akan beratnya bagi kita.”

“Go-bi Sin-kouw sungguh benar, dan tepat sekali!” Toat-beng-kauw berkata. “Nona itu memang lihai sekali, kalau kita bisa menarik dia, apalagi gurunya dan seluruh Giok-hong-pang berdiri di fihak kita untuk menghadapi Cin-ling-pai, tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat lagi.”

“Hemmm, kalau begitu biarlah aku bersabar hati. Besok kalau kita tidak membutuhkan dia lagi, aku pasti akan mencarinya untuk membalas tantangannya yang amat merendahkan hati ini, baru hatiku akan puas!”

Hek I Siankouw mengomel dan mereka lalu kembali ke ruangan untuk menyiram hati yang panas dengan arak sebelum pergi beristirahat.

Sementara itu, setelah keluar dari Giok-kee-san, In Hong mengajak Yalima melanjutkan perjalanan dan baru mereka berhenti setelah tiba di sebuah tempat perhentian di pinggir jalan yang kecil dan atapnya sudah banyak rusak. Mereka duduk di atas bangku kayu yang sudah reyot pula.

“Enci In Hong, engkau telah menjadi banyak repot karena diriku,” kata Yalima.

Tempat itu amat gelap dan mereka hanya saling dapat melihat bayangan mereka di dalam penerangan remang-remang dari cahaya bintang-bintang di langit.

In Hong menghela napas panjang.
“Yang membikin aku repot bukanlah engkau, Yalima, melainkan kaum pria macam Toat-beng-kauw itulah. Selama dunia masih terdapat banyak laki-laki macam dia, aku akan selalu repot karena aku akan berusaha untuk menentang dan membasmi mereka.”

“Enci In Hong, sekarang kita hendak pergi ke mana?”

“Kita beristirahat di sini sampai malam lewat. Besok kita ke Cin-ling-san menyusul pacarmu dan engkau akan kuserahkan pada mereka.”

“Dan engkau...?”

“Aku akan pergi. Sudahlah, kau boleh tidur melepaskan lelah di lantai ini, dan jangan ganggu aku.”

In Hong lalu duduk bersila di sudut tempat itu, tidak bicara lagi. Yalima juga tidak berani mengganggu dan dara Tibet ini lalu rebah melingkar di atas lantai mencoba untuk menidurkah tubuhnya yang sudah amat lelah itu.

In Hong melamun. Sebetulnya, hanya pada lahirnya saja dia kelihatan tidak perduli akan keadaan kakaknya, karena dia memang sejak kecil dilatih untuk bersikap dingin. Namun, di lubuk hatinya, dia merasa amat kasihan kepada kakak iparnya, dan kasihan kepada kakak kandungnya yang tentu akan hancur hatinya kalau melihat isterinya tewas secara menyedihkan itu.

Maka dia sudah mengambil keputusan, di dalam hatinya. Setelah dia mengantar Yalima ke Cin-ling-pai, menyerahkan dara itu kepada Cia Bun Houw yang sudah sepatutnya mengawini gadis ini, dia akan pergi untuk melakukan penyelidikan, mencari pembunuh kakak iparnya yang tadinya dia sangka tentulah Go-bi Sin-kouw akan tetapi yang belum ada buktinya itu.

Dia akan mencari pembunuh itu sampai ketemu, dan membalaskan dendam kematian kakak iparnya. Dan diapun akan menyelidiki Lima Bayangan Dewa, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit yang dibencinya, bersama kawan-kawannya, dan mencoba untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam dan menyerahkan pedang pusaka itu kepada gurunya. Dengan demikian barulah dia akan mengangkat nama gurunya, dan gurunya tentu akan merasa bangga sekali.

**** 045 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: