***

***

Ads

Kamis, 29 Desember 2016

Dewi Maut Jilid 056

Mendengar sambaran angin dahsyat dari atas, In Hong terkejut sekali. Pedangnya sedang bergulat dengan sinar pedang Giok Keng, maka menggunakan pedangnya berarti membuka diri untuk serangan pedang dari depan, maka kini tangan kirinya yang bergerak ke atas hendak menangkap lengan nenek yang menyerangnya dari atas secara hebat itu.

“Dukkk!”

Tubuh In Hong tergetar akan tetapi nenek Sie Biauw Eng juga terlempar dan begitu kakinya tiba di atas tanah, dia sudah melolos senjatanya yang amat ampuh yaitu Pek-in Sin-pian, sabuk sutera putih yang dahulu pernah mengangkat namanya di dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun Siu-li (baca cerita Siang-bhok-kiam)!

In Hong moloncat ke belakang, melintangkan pedangnya di depan dada, dan dia memandang dengan mata mengejek dan senyum memandang rendah.

“Bagus, kiranya beginikah Cin-ling-pai yang tersohor itu, menyambut tamu dengan serangan-serangan senjata? Apakah engkau ketua Cin-ling-pai? Kalau begitu, mengapa tidak sekallan maju mengeroyok aku biar ramai?”

Wajah Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Pertama-tama, dia marah kepada isteri dan puterinya yang terburu nafsu, dan kedua dia marah kepada gadis yang mulutnya amat tajam, lebih tajam dari pedangnya itu. Juga dia terkejut menyaksikan gerakan ilmu pedang dari gadis itu, yang selain aneh juga amat lihai, bahkan tenaga sin-kang dari gadis ini sudah tentu lebih kuat daripada tenaga isterinya!

“Kalian mundurlah! Sungguh tidak semestinya menuruti hati panas!”

Ditegur dengan suara keren ini, Sie Biauw Eng dan Cia Giok Keng mundur, akan tetapi tidak menyimpan senjata mereka dan mata mereka masih memandang ke arah In Hong dengan penuh kemarahan. Cia Keng Hong lalu manghadapi In Hong yang masih memegang pedang dan dengan halus dia berkata,

“Harap nona maafkan puteri kami. Menurut laporan, nona hendak bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, nah, akulah ketua Cin-ling-pai. Nona siapa dan ada keperluan apa nona datang ke sini?”

Biarpun tadi mendengar puterinya menyebut nama dara ini, dan kini melihat wajah In Hong yang persis dengan wajah mendiang sumoinya, Gui Yan Cu yang cantik jelita dia tidak meragu lagi bahwa dara ini adalah adik kandung Kun Liong, namun Cia Keng Hong bersikap keren karena melihat sikap dara itupun dingin dan garang.

In Hong sejenak memandang kepada dua orang wanita yang tadi menyerangnya, kemudian menoleh kepada Cia Keng Hong, menarik napas panjang dan menyarungkan kembali pedangnya, kemudian dia menjura kepada ketua Cin-ling-pai itu.

“Harap locianpwe yang memaafkan saya karena kelancangan saya. Sudah lama saya mendengar akan nama besar ketua Cin-ling-pai dan ternyata memang sikap locianpwe amat mengagumkan hati saya. Saya bernama Yap In Hong dan... kiranya locianpwe telah tahu siapa saya...”

“Hem, kalau tidak salah, engkau adalah puteri dari mendiang sumoi Gui Yan Cu dan suaminya, sahabatku yang baik Yap Cong San. Engkau adalah adik kandung dari Yap Kun Liong, bukan?”

“Dugaan locianpwe benar, dan karena ibuku adalah sumoi dari locianpwe, semestinya locianpwe adalah supek saya. Akan tetapi karena sejak lahir tidak ada hubungan, maafkan kalau saya menyebut dengan sebutan locianpwe.”






Cia Keng Hong menarik napas panjang. Tak disangkanya bahwa anak perempuan dari sumoinya yang lenyap sejak kecil itu kini bersikap seperti itu, kaku dan dingin, sama sekali berbeda dengan sikap Gui Yan Cu dahulu yang ramah, lincah, jenaka dan gembira serta hangat, seperti sinar matahari pagi.

“Kalau demikian yang kau kehendaki, terserah kepadamu, nona. Kemudian, urusan apakah yang kau bawa ke sini dan siapa pula gadis asing ini?”

“Locianpwe, kedatangan saya ini adalah untuk membicarakan soal ikatan jodoh yang diusulkan antara saya dan putera locianpwe, seperti yang pernah saya dengar dari kakak kandung saya Yap Kun Liong.”

Kembali Cia Keng Hong menyesal sekali mengapa gadis ini menyebutkan nama kakak kandungnya tanpa perasaan bersaudara sama sekali, seolah-olah yang bernama Yap Kun Liong adalah seorang asing baginya.

“Memang demikianlah tadinya hasrat hati kami, untuk menyambung kembali hubungan antara orang tuamu dengan kami. Lalu bagaimana kehendakmu?”

“Saya datang untuk membatalkan perjodohan itu. Ikatan yang dilakukan di luar tahu saya itu harus diputuskan.”

“Perempuan sombong! Siapa kesudian mempunyai adik ipar seperti engkau?” Tiba-tiba Giok Keng membentak, marah sekali.

“Hemm, gadis ini benar-benar lancang mulut dan tidak memandang mata kepada kita.” Sie Biauw Eng berkata kepada suaminya, “Sungguh tidak patut menjadi puteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu!”

Cia Keng Hong mengangkat tangan memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk diam, kemudiam dia menghadapi In Hong, berkata dengan suara keren

“Tidak ada yang akan memaksamu berjodoh dengan putera kami, nona.”

In Hong merasa tidak enak juga, karena kata-kata dan sikapnya seolah-olah merendahkan keluarga ini, maka cepat-cepat dia berkata,

“Harap locianpwe maafkan. Tidak ada maksud lain dalam penolakanku itu kecuali adanya kenyataan bahwa putera locianpwe itu yang bernama Cia Bun Houw, sudah mempunyai calon isteri, maka amatlah tidak baik kalau dijodohkan lagi kepada saya.”

“Eh, lancang mulut! Apa maksudmu menghina puteraku?” Sie Biauw Eng berseru.

“Hemm, nona. Apa maksud kata-katamu itu?” Cia Keng Hong juga bertanya, heran dan mulai tidak senang.

“Locianpwe, saya hanya mengatakan apa adanya dan tidak bermaksud menghina. Adik Yalima dari Tibet ini adalah calon isteri Cia Bun Houw dan mereka sudah saling mencinta, oleh karena itu tidaklah semestinya kalau Cia Bun Houw dijodohkan dengan orang lain. Demi keadilan, saya menuntut agar adik Yalima dijodohkan dengan Cia Bun Houw...”

“Lancang! Siapa kau yang hendak menentukan jodoh puteraku? Keparat!” Sie Biauw Eng memaki.

“Sudahlah, isteriku, jangan membikin ruwet urusan. Nona Yalima, benarkah apa yang diceritakan oleh nona Yap In Hong ini?”

Cia Keng Hong kini memandang kepada Yalima. Seorang dara yang manis sekali dan tidak aneh kalau puteranya itu suka kepada nona ini, akan tetapi nona ini masih terlalu muda, masih kekanak-kanakan, sungguhpun harus diakuinya bahwa Yalima amat cantik jelita dan penuh semangat.

Muka Yalima menjadi merah sekali akan tetapi karena dia sudah bertekad untuk mencari Bun Houw, maka dia lalu dengan suara lancar namun agak kaku, menceritakan tentang keadaan dirinya, betapa dia dan Bun Houw sudah saling mencinta, betapa Bun Houw menolong dia ketika dia hendak diserahkan kepada pangeran di Lhasa oleh ayahnya dan betapa setelah Bun Houw pulang, kembali dia hendak dipaksa ayahnya untuk menjadi selir pangeran di Lhasa. Maka dia lalu minggat dan ditolong oleh Go-bi Sin-kouw, betapa kemudian dia hampir diperkosa oleh orang jahat dan ditolong oleh In Hong.

“Demikianlah, locianpwe, karena satu-satunya orang di dunia ini yang saya percaya dan saya cinta adalah Houw-koko, maka saya berusaha untuk menemuinya dan untuk menghambakan diri selama hidup saya kepadanya.”

Yalima menutup ceritanya dengan kata-kata yang diucapkan dengan suara penuh harapan ini.

Sie Biauw Eng mengerutkan alisnya, hatinya kecewa dan tidak senang sama sekali mendengar semua itu. Tidak jadi bermantukan Yap In Hong tidak apa-apa baginya, bahkan menyaksikan sikap nona itu diapun tidak sudi lagi untuk mengambil mantu, akan tetapi kalau puteranya harus berjodoh dengan gadis Tibet ini, tanpa campur tangan dia dan suaminya, sungguh dia merasa terhina dan tidak setuju!

Akan tetapi, Cia Keng Hong yang bijaksana melihat betapa Yalima benar-benar setia dan mencinta Bun Houw, sungguhpun gadis itu masih terlalu muda dan dia sendiri bukan berarti suka mempunyai mantu gadis Tibet ini, akan tetapi untuk menyudahi urusan yang bisa menimbulkan keruwetan dengan In Hong yang sikapnya keras itu, dia berkata kepada In Hong.

“Nona Yap In Hong, urusan jodoh adalah urusan pribadi keluarga kami. Hubungan antara kami dengan nona hanyalah tentang jodoh antara nona dan putera kami. Karena jelas bahwa nona tidak menerima ikatan jodoh itu, maka mulai saat ini rencana perjodoban itu kita batalkan saja. Adapun mengenai jodoh putera kami selanjutnya, tidak ada orang lain yang boleh mengaturnya. Harap saja engkau maklum akan hal ini!”

Suara Cia Keng Hong ketika mengatakan kalimat terakhir itu bernada keras dan sejenak dia dan Yap In Hong saling beradu pandang mata. Akhirnya In Hong menundukkan matanya, tak tahan menghadapi sinar mata yang tajam dan penuh wibawa itu dan dia berkata.

“Saya tidak hendak mencampuri perjodohan orang lain, akan tetapi bagaimana dengan adik Yalima? Sebagai sesama wanita saya harus memperhatikan nasib dirinya yang terlunta-lunta karena mencari putera locianpwe.”

“Itupun adalah urusan kami sendiri. Yalima sebagai sahabat putera kami tentu kami terima sebagai tamu dan biarlah dia menanti di sini sampai putera kami pulang. Saya ulangi lagi, hal jodoh di antara mereka adalah urusan kami sekeluarga sendiri!”

Yap In Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia bersikeras, berarti dialah yang tidak benar, maka dia hanya mengangguk pendek dan berkata,

“Baik, saya akan pergi sekarang. Saya percaya bahwa adik Yalima berada di tangan keluarga baik-baik. Akan tetapi kelak saya masih akan menyelidiki tentang nasibnya di sini. Selamat tinggal dan maafkan saya, locianpwe.”

Setelah berkata demikian, Yap In Hong membalikkan tubuhnya pergi dari situ dengan sikap angkuh.

“Setan...!”

Giok Keng dengan pedang terhunus hendak mengejar, juga Sie Biauw Eng memandang dengan kemarahan meluap.

“Bocah itu kurang ajar benar!”

Akan tetapi Cia Keng Hong meloncat dan menghadang mereka.
“Ingat, dia adalah puteri mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dan sikapnya seperti itu bukanlah pembawaan wataknya. Tidak mungkin keturunan mereka berwatak demikian. Dia seperti itu tentulah karena gemblengan gurunya yang sejak kecil diikutinya. Sungguh kasihan dia...”

Yalima yang melihat ini semua menjadi bingung. Dia merasa kehilangan ketika ditinggalkan In Hong, akan tetapi diapun tidak mau meninggalkan orang-orang tua yang dia tahu adalah ayah dan ibu Bun Houw itu.

“Enci In Hong adalah seorang yang amat baik budi, dia telah melawan dan menentang Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya yang jahat untuk menolong saya. Memang sikapnya dingin, akan tetapi hatinya dari emas...”

Ucapan Yalima ini diterima oleh Cia Keng Hong dengan mengangguk-angguk, akan tetapi Sie Biauw Eng dan Cia Giok Keng tidak setuju sungguhpun mereka hanya menyimpan rasa mendongkol dan tak senangnya di dalam hati saja.

“Ayah dan ibu, sayapun mohon diri untuk pergi sekarang juga!” Tiba-tiba Giok Keng berkata.

Ayah dan ibunya terkejut, menoleh dan memandang penuh selidik.
“Keng-ji, sudah kukatakan bahwa tidak perlu engkau melanjutkan permusuhanmu yang tidak ada artinya itu terhadap In Hong. Dia marah kepada Bun Houw karena mendengar bahwa Bun Houw telah mencinta gadis lain, hal itu adalah lumrah!”

Ayahnya menegur, menyangka bahwa puterinya akan mengejar In Hong, padahal dia tahu benar bahwa puterinya itu sama sekali bukan lawan In Hong yang dia tahu amat lihai.

“Tidak, ayah. Aku bukan hendak mengejar dan memusuhi In Hong. Aku ingin pergi melakukan penyelidikan dan menangkap pembunuh isteri Kun Liong. Sebelum pembunuhnya tertangkap, tidak akan lega hatiku dan hidupku selalu akan menderita batin. Seolah-olah roh suamiku mendesak kepadaku untuk mencari pembunuh itu, ayah dan ibu. Maka, boleh atau tidak, aku harus pergi mencari pembunuh Hong Ing, karena hanya dengan tertangkapnya pembunuh itulah maka nama keluarga kita akan tercuci dari noda.”

Sie Biauw Eng memegang lengan puterinya dan terisak.
“Engkau benar, anakku, dan andaikata ayahmu memperbolehkan, aku akan menemanimu.”

“Tidak! Biarkan dia pergi sendiri. Dan akupun setuju dengan tekadmu itu, Keng-ji. Bahkan aku bangga dengan keputusanmu itu, karena engkaupun bertanggung jawab atas kematian Hong Ing.”

“Aku hanya titip... titip anak-anakku... ibu...”

Kedua orang wanita itu saling berpelukan.
“Jangan khawatir, anakku. Aku akan menjaga cucu-cucuku...” kata Sie Biauw Eng.

“Keng-ji, niatmu itu baik sekali. Akan tetapi ingat baik-baik akan pesanku ini. Suamimu sudah mati dan tidak ada orang lain yang membunuhnya. Kun Liong dan Kok Beng Lama hanya menuntut keadilan dan sama sekali tidak memaksa suamimu membunuh diri. Oleh karena itu, kalau engkau kelak menaruh dendam dan memusuhi mereka, hal itu berarti bahwa engkau telah menanam bibit permusuhan yang akan mendatangkan akibat yang panjang.”

“Aku mengerti, ayah.”

“Dan In Hong, diapun bukan musuhmu. Dia bersikap marah-marah kepada Bun Houw karena dia menganggap Bun Houw menyia-nyiakan Yalima dan mempermainkannya. Tidak ada permusuhan pribadi antara dia dan kita. Jangan engkau memusuhi dia pula.”

Agak berat kini Giok Keng menjawab, akan tetapi akhirnya keluar juga dari bibirnya.
“Baik, ayah.”

Maka berangkatlah Giok Keng diantar tangis ibunya yang merasa kasihan sekali kepada puterinya itu. Namun kepergian Giok Keng memang perlu dan penting sekali, bukan hanya untuk menebus kesalahan tindakannya akan tetapi juga untuk mencuci bersih noda yang mengotori keharuman nama keluarga mereka.

Tak lama, hanya dua hari setelah Giok Keng pergi, muncul Hong Khi Hoatsu, guru dari Lie Kong Tek di Cin-ling-pai! Kakek yang biasanya gembira dan jenaka ini telah mengunjungi muridnya di Sin-yang, akan tetapi mendengar dari para tetangga bahwa semua keluarga pergi ke Cin-ling-pai, maka dia cepat menyusul ke Cin-ling-pai.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hatinya ketika dia mendengar akan kematian muridnya! Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun ini menjatuhkan diri di atas kursi, mukanya pucat dan dia mendengarkan seperti kehilangan semangatnya akan penuturan Cia Keng Hong yang menceritakan semua dengan sejelas-jelasnya sehingga mengakibatkan Lie Kong Tek membunuh diri untuk mewakili isterinya yang disangka membunuh orang itu.

Namun, sebagai seorang ahli kebatinan yang bertingkat tinggi, akhirnya kakek ini menarik napas panjang dan mengoyangkan pundak.

“Aihhh, begitulah hidup! Ribut-ribut di kala masih hidup, kalau sudah mati habislah kesemuanya! Kematian datang tanpa disangka-sangka... ahhh, keadaanmu jauh lebih hebat daripada penderitaan batinku mendengar kematian muridku yang seperti anakku sendiri, Cia-taihiap. Baru saja delapan orang muridmu tewas, pusaka dicuri orang, kini puterimu kehilangan suami secara menyedihkan. Ahhh, dimana adanya cucu-cucuku?”

Ketika Lie Seng dan Lie Ciauw Si yang diberi tahu datang berlarian lalu menangis sambil memeluk kakek yang mereka kenal baik dan yang mereka sayang karena Hong Khi Hoatsu juga sering sekali mengunjungi mereka, amat menyayang mereka dan kakek yang lucu ini pandai menghibur mereka, tak dapat kakek itu menahan keharuan hatinya dan air matanya bertitik di atas kedua pipinya yang penuh keriput!

Beberapa hari kemudian, Hong Khi Hoatsu minta dengan sangat kepada Cia Keng Hong agar diperkenankan membawa Lie Seng bersamanya, kembali ke Sin-yang menempati rumah muridnya itu sampai kembalinya Giok Keng.

Dia merasa kesunyian setelah muridnya meninggal dan mantunya pergi, padahal kakek yang suka merantau ini menganggap rumah muridnya di Sin-yang sebagai tempat peristirahatan terakhir di hari tuanya. Dia ingin ditemani oleh cucunya yang disayangnya itu.

Cia Keng Hong maklum akan penderitaan kakek itu, maka setelah bersepakat dengan isterinya, dan melihat betapa Lie Seng juga suka ikut bersama kakek itu, mereka menyetujui dan berangkatlah Hong Khi Hoatsu bersama Lie Seng kembali ke Sin-yang.

Suasana berkabung masih meliputi Cin-ling-pai. Semenjak terjadi peristiwa yang bertubi-tubi menimpa keluarganya itu, Cia Keng Hong lebih sering berada di dalam kamarnya dan bersamadhi.

Kalau dia teringat akan nasib yang menimpa suami isteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dua orang yang paling dikasihinya disamping isteri dan anak-anaknya sendiri, dia merasa terharu dan kasihan sekali. Peristiwa-peristiwa menyedihkan menimpa suami isteri itu (baca cerita Siang-bhok-kiam), kemudian mereka berdua itu terbunuh musuh-musuh di waktu usia mereka masih muda (baca cerita Petualang Asmara), dan kini putera mereka juga mengalami nasib yang buruk, kematian isterinya yang tercinta secara tidak wajar karena terbunuh orang dengan menggelap, dan puteri mereka berobah menjadi seorang dara yang biarpun berkepandaian sangat tinggi akan tetapi wataknya dingin dan menyeramkan!

Sie Biauw Eng juga mengalami pukulan batin yang berat, akan tetapi berkat adanya cucunya, Lie Ciauw Si, dia memperoleh hiburan dan setiap hari dia tidak pernah terpisah dari cucunya ini yang digemblengnya sendiri dengan ilmu-ilmu bun (tulis) dan bu (silat). Cin-ling-pai berada dalam keadaan prihatin!

**** 056 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: