***

***

Ads

Senin, 02 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 072

Hwa Hwa Cinjin menarik napas panjang.
“Ucapan Thaisu sungguh tepat, Ciok-toanio. Pemuda ini tentu orang penting dan terus terang saja, pinto (aku) sendiri harus mengakui bahwa belum pernah pinto bertemu tanding semuda ini dengan kepandaian sehebat yang dimilikinya.”

Ciok Lee Kim mengangguk, dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengambil tali yang kuat dan membelenggu kaki tangan Bun Houw.

“Dia memiliki kekebalan yang melebihi Ilmu Kim-ciong-ko, semacam ilmu kekebalan yang hebat. Bayangkan saja, tangannya mampu menyambut pedangku!” Hek I Siankauw berkata. “Oleh karena itu, apa artinya tali ini, Ciok-toanio? Kalau dia sudah bebas dari totokan, biar dirangkap sepuluh tali ini akan putus olehnya. Tenaganya melebihi kekuatan seekor gajah. Jalan satu-satunya untuk mencegah dia lolos hanya dengan mengait tulang-tulang pundaknya!”

Toat-beng-kauw Bu Sit menjadi girang sekali dan dia cepat minta kepada anak buah Lembah Bunga Merah untuk mengambilkan dua batang kaitan baja dan dengan wajah beringas dia menghampiri Bun Houw.

Pemuda ini maklum bahwa dia tidak akan terlepas dari ancaman siksaan atau bahkan maut di tangan musuh-musuhnya ini, akan tetapi dia adalah seorang pemuda berjiwa gagah perkasa yang sejak kecil telah digembleng oleh orang tuanya maka sedikitpun dia tidak merasa jerih.

Sambil mengeluarken bentakan, Bu Sit yang kehilangan sebelah daun telinganya dan merasa malu dan marah sekali kepada pemuda itu, lalu menusukkan kaitan-kaitan itu di pundak Bun Houw.

Tentu saja hal ini mendatangkan rasa kenyerian yang amat hebat. Bun Houw memejamkan matanya dan mematikan rasa, akan tetapi karena besi-besi kaitan itu menembus kulit daging dan mengait tulang kunci pundaknya, dia tidak dapat bertahan lagi, mengeluh panjang dan pingsan!

Setelah dia siuman kemball, Bun Houw mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang kokoh kuat. Dia rebah di atas pembaringan batu, kedua tangannya terbelenggu dan kaitan yang mengait kedua tulang pundaknya itu disambung rantai panjang dan diikatkan pada dinding sehingga andaikata dia dapat menggunakan tenaga sin-kang untuk mematahkan belenggu, tentu gerakan ini akan membuat tulang-tulang pundaknya tertarik patah!

Dengan tulang pundak terkait baja-baja kaitan itu, dia benar-benar tidak berdaya dan biar dia memiliki kekuatan sepuluh kali lipatpun tidak mungkin dia dapat membebaskan diri tanpa mematahkan kedua tulang pundaknya dan kalau hal ini terjadi berarti kedua lengannya menjadi lumpuh.

Perasaan nyeri yang mengentak-entak dan berdenyut-denyut sampai ke ujung ubun-ubun kepalanya, membuat dia memejamkan matanya kembali. Lalu dia teringat akan ilmu yang dia pelajari dari Kok Beng Lama, yaitu ilmu untuk mematikan rasa.

Setiap orang pendeta yang suka bertapa dan melakukan upacara menyiksa diri seperti para pendeta Lama tentu mahir akan ilmu ini. Dengan ilmu mati rasa ini mereka mampu melakukan segala macam bentuk penyiksaan diri dan puasa tanpa terlalu sangat menderita.






Bun Houw memejamkan matanya dan “menutup” saluran pikiran dengan perasaan tubuh melalui urat syaraf. Tak lama kemudian dia sudah membuka matanya dan dia seperti dalam keadaan “lupa” bahwa tubuhnya tersiksa dan rasa nyeri yang hebat itu tidak lagi terlalu mengganggunya. Dia mulai memeriksa keadaan sekelilingnya dengan pandang mata penuh selidik.

Kamar itu amat kuat, tidak berjendela, hanya berpintu sebuah yang terbuat dari besi dan di bagian atasnya berterali. Dari celah-celah terali baja sebesar lengan tangan itu dia melihat kepala banyak orang yang agaknya menjaganya.

Sudah dibelenggu, dikait kedua tulang punggungya, dikeram di dalam kamar yang kokoh kuat, masih dijaga ketat lagi. Bagaimana dia akan mampu membebaskan diri? Bahkan pertolongan dari luarpun, kalau ada, merupakan ketidak mungkinan besar. Dari celah-celah terali itu pula Bun Houw dapat menduga bahwa waktu itu masih malam, terbukti dari penerangan lampu yang menyorot dari luar pintu.

Dia merasa heran sekali. Ketika dia tertawan, hari sudah hampir pagi, kenapa sekarang masih juga gelap? Dia tidak tahu bahwa dia telah pingsan selama satu hari penuh dan sekarang memang telah malam lagi.

Pintu besi terbuka dan muncullah Ciok Lee Kim dan Bu Sit dan pintu segera ditutup kembali. Bun Houw memandang dengan mata terbelalak penuh tantangan.

“Kalian manusia-manusia tak tahu malu, pengecut besar!” Dia memaki.

“Wah, dia sudah siuman sekarang, suci. Lekas suci yang menanyai dia, kalau dia berkeras kepala tidak terus terang, aku yang akan menyiksanya sampai dia mengaku!”

Bu Sit menghampiri pembaringan batu dengan wajah beringas penuh kekejaman siap dengan sebatang jarum panjang hitam. Sekali pandang saja maklumlah Bun Houw bahwa yang dipegang Monyet Pencabut Nyawa yang kini buntung daun telinganya itu tentu sebatang jarum yang mengandung racun hebat. Si muka monyet itupun memegangnya dengan menggunakan saputangan untuk melindungi jari-jarinya yang menjepit ujung gagang jarum.

“Orang she Bun,” Ciok Lee Kim kini menghampiri dan memandang Bun Houw tidak lagi dengan pandang mata penuh gairah berahi seperti kemarin malam, melainkan dengan pandang mata penuh ancaman. “Sudah satu hari kami menunggu dan baru sekarang kau siuman. Kau tahu bahwa kau tidak mungkin dapat meloloskan diri lagi.”

“Tidak perlu banyak cerewet, aku sudah tertangkap karena kalian orang-orang pengecut menggunakan pengeroyokan. Sekarang mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mati?” Bun Houw mengejek.

“Hi-hi-hik, justeru itulah yang tidak kami kehendaki. Terlalu enak kalau kau mati begitu saja. Kau lihat apa yang dipegang oleh Bu-sute itu? Bukan jarum sembarang jarum. Jarum ini sudah direndam dengan racun kelabang hitam yang amat jahat. Kalau jalan darah tertentu di tubuhmu tertusuk jarum ini, engkau akan merasakan siksaan yang belum tentu terdapat di neraka sekalipun. Engkau akan menderita kenyerian hebat dan engkau tidak akan segera mati, melainkan akan hidup selama tiga hari tiga malam terus-menerus menderita siksaan itu. Rasa gatal-gatal seperti ribuan ekor semut menggigiti daging dan tulangmu di sebelah dalam.”

“Banyak mulut, gertak sambal!” Bun Houw membentak.

“Aku sebenarnya kasihan kepadamu. Engkau masih muda, tampan dan gagah. Ada jalan yang lebih baik bagimu, yaitu mati seketika atau mungkin bahkan... kebebasan. Untuk memperoleh itu, engkau hanya mengaku siapa sebetulnya kau ini, apa hubunganmu dengan Cin-ling-pai, apakah hubunganmu dengan Cia Keng Hong?”

Bun Houw membuang muka dan tidak mau menjawab. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya mengaku bahwa dia putera ketua Cin-ling-pai, karena pengakuan ini hanya akan mendatangkan kegirangan dan rasa kemenangan bagi dua Bayangan Dewa itu.

Baik mengaku atau tidak, dia tentu akan dibunuh, maka tidak ada perlunya membuat pengakuan yang akan memuaskan hati musuh-musuh ini. Pula, hal ini tentu akan menjadi bahan hinaan dan ejekan terhadap nama orang tuanya. Tidak, biar dia disiksa atau dibunuh, dia tidak akan membiarkan mereka ini menikmati kemenangan mereka atas nama orang tuanya.

“Bun Houw, kau tetap tidak mau mengaku?”

“Bunuh aku, atau pergilah! Kalian menjijikkan hatiku!” Bun Houw membentak.

Wajah dua orang Bayangan Dewa itu menjadi merah padam.
“Manusia kepala batu dan sombong!” Ciok Lee Kim berseru. “Sudah tak mampu bergerak, masih bermulut lebar.”

“Suci, biar kusiksa dia, dan kita lihat apakah dia masih belum juga mau mengaku.” Bu Sit berkata. Ciok Lee Kim mengangguk dan melangkah mundur.

Dengan wajahnya yang seperti monyet itu menyeringai kejam dan buas, Bu Sit menghampiri Bun Houw. Bu Sit merasa sakit hati sekali kepada pemuda yang membuat daun telinganya buntung itu. Dia mendekatkan mukanya dan dengan mata bersinar-sinar penuh kebencian dia menghardik,

“Kau membuntungi telingaku, akan tetapi aku akan menyiksamu sampai engkau terkuik-kuik seperti anjing, sampai kau minta-minta ampun di depanku, keparat!”

Bun Houw tidak menjawab melainkan tiba-tiba meludahi muka Monyet Pencabut Nyawa itu. Bu Sit mengelak dengan miringkan kepalanya, dan tentu saja dia menjadi semakin marah. Jarum di tangannya didekatkan tengkuk Bun Houw. Pemuda ini siap menerima datangnya maut, karena dia tidak mampu bergerak lagi.

“Creppp...!”

Jarum itu menusuk tengkuk Bun Houw. Pemuda ini menggigit bibirnya ketika merasa tengkuknya ditusuk, tidak berapa nyeri rasanya. Jarum dicabut dan dua kali lagi Bun Houw ditusuk dengan jarum itu di kanan kiri atas pundaknya. Sambil terkekeh Bu Sit melangkah mundur dan memandang puas, membungkus jarum panjang hitam itu dengan saputangan dan mengantonginya.

Bun Houw mula-mula hanya merasa nyeri tusukan biasa saja, akan tetapi tidak lama kemudian mulailah dia merasakan betapa tengkuk dan kedua pundaknya berdenyut-denyut, disusul perasaan seperti kesemutan dan segera datang serangan yang membuat sekujur tubuhnya terasa seperti dibakar dari dalam!

Dia berusaha mengerahkan sin-kangnya untuk melawan akan tetapi rasa panas itu makin lama makin menghebat. Mukanya menjadi merah, matanya melotot dan seluruh tubuhnya mengeluarkan uap tipis. Namun tidak ada sepatahpun kata keluhan keluar dari mulutnya. Dia malah memejamkan mata dan alisnya berkerut-kerut, keringatnya jatuh menetes-netes.

“Hi-hi-hik, kau masih bersikeras? Hayo kau mengaku dan aku akan memberi obat penawar kepadamu sebelum terlambat!” Ciok Lee Kim berkata sedangkan Bu Sit masih tertawa puas.

“Persetan dengan kalian!” Bun Houw membentak.

Akan tetapi segera dia dilanda rasa nyeri yang amat hebat. Kini rasa panas itu berubah dengan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya menggigil! Dia menjadi kaget karena maklum bahwa racun itu sedemikian hebatnya, sehingga mempengaruhi hawa murni di tubuhnya, membangkitkan hawa panas lalu hawa dingin yang terkumpul di tubuhnya berkat latihan di Tibet. Bisa rusak penguasaannya atas tenaga saktinya sendiri!

Betapapun juga, dia tahu bahwa segala siksaan badaniah ada batasnya dan kalau sudah melampaui batas itu, dia akan mati. Paling hebat cuma mati, perlu apa dia takut menghadapinya. Lebih baik mati namun tetap dapat memukul musuh dengan mengecewakan hati mereka daripada mendengar penghinaan terhadap orang tuanya, dan andaikata dia mengaku, sama sekali tidak mungkin dia akan selamat, bahkan hal itu menjadi alasan yang kuat lagi bagi dua Bayangan Dewa untuk menyiksanya lebih hebat dan membunuhnya.

Setelah rasa dingin yang membuat tubuhnya menggigil dan giginya saling beradu itu lenyap, mulailah kini rasa gatal-gatal merayapi seluruh tubuhnya dan benar seperti ancaman Ciok Lee Kim tadi, seperti ada ribuan ekor semut merayap di sebelah dalam tubuhnya, atau di bawah kulit dan semut-semut itu menggigitnya.

Terhadap serangan hawa panas membakar dan dingin luar biasa tadi, Bun Houw masih mampu bertahan dan tidak ada sedikitpun suara keluhan terdengar keluar dari mulutnya.

Akan tetapi rasa gatal-gatal pada seluruh tubuh ini demikian menyiksa, demikian mengganggu urat-urat syarafnya, membuat dia ingin sekali menggaruk-garuk padahal kedua tangannya tidak bebas, sehingga mulailah tubuhnya menggeliat-geliat di luar kekuasaan pertahanannya.

Mendengar Ciok Lee Kim dan Bu Sit tertawa-tawa melihat dia menggeliat-geliat itu, Bun Houw menelan kembali keinginannya untuk bersambat. Dia menggigit bibirnya menahan penderitaan itu sampai kulit bibirnya pecah berdarah, dia berhasil menahan sehingga tidak ada keluhan keluar dari mulut akan tetapi dia tidak mampu menahan agar tubuhnya tidak bergerak. Dia tetap menggeliat-geliat dan makin lama “semut-semut” di bawah kulitnya itu makin hebat menggigiti, menimbulkan kegatalan yang tak tertahankan lagi.

Keringatnya bercucuran, ingin dia menjerit, hampir dia menangis, hampir dia memaksa diri menggerakkan kedua lengan yang tentu akibatnya akan celaka. Akhirnya Bun Houw terkulai lemas dan pingsan!

Melihat korban mereka pingsan, tentu saja Ciok Lee Kim dan Bu Sit kehilangan kegembiraan dan meninggalkannya di dalam tahanan setelah memesan kepada belasan orang anak buah Lembah Bunga Merah untuk menjaga dengan ketat malam itu secara bergiliran.

Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang dialami oleh Bun Houw. Baru saja meninggalkan perguruan di Tibet, dia sudah menghadapi malapetaka yang menimpa keluarganya di Cin-ling-san, dan sekarang baru saja dia bisa menemukan tempat persembunyian dua di antara Lima Bayangan Dewa, dia sudah tertawan dan menderita penyiksaan hebat, bahkan sekaligus nyawanya terancam maut karena tusukan jarum beracun yang dilakukan oleh Bu Sit itu bukan hanya untuk menyiksanya, melainkan juga untuk membunuhnya.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: