***

***

Ads

Senin, 02 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 076

Mata Yok-mo tertutup seperti orang bingung. Kemudian dia menarik napas panjang.
“Hwesio Lama, baru sekarang aku dapat melihat kebenaran omonganmu. Akupun pembunuh! Benar! Entah sudah berapa banyaknya orang yang kubunuh, mereka yang kutolak untuk diobati sehingga mereka itu mati karena luka-luka mereka. Padahal kalau aku mengobati mereka, mereka itu tentu sembuh dan belum mati. Aku pembunuh dan aku melihat ini karena ucapan seorang pendeta Lama gendeng!” Kakek itu menepuk dahinya dan menggeleng kepalanya.

“Lama, engkau menderita tekanan batin hebat sehingga otakmu tergoncang dan tidak waras, namun engkau yang gendeng, masih mampu mengucapkan kata-kata yang menyadarkan aku. Engkau benar! Bunuh-membunuh timbul karena perbedaan perasaan antara cinta dan benci, karena memilih-milih, yang menguntungkan menjadi sahabat yang merugikan menjadi musuh, dibenci dan dibunuh. Kalau dalam mengobati orang aku juga membeda-bedakan, memilih-milih, apa bedanya dengan kalian yang membawa-bawa senjata? Lama, majulah, engkau menderita tekanan batin hebat, akan tetapi aku bukanlah Yok-mo kalau tidak mampu menyembuhkanmu!”

“Ha-ha-ha, kakek gila! Engkau selain pembunuh jahat juga gila! Aku datang membawa muridku untuk kau obati, bukan aku. Mau atau tidak engkau harus mengobati muridku ini!”

Yok-mo menoleh ke arah Lie Seng.
“Dia terkena racun jahat pula, dan untuk menyembuhkannya membutuhkan waktu panjang, sedikitnya dua pekan perawatan yang teliti...”

“Kakek Yok-mo!” In Hong berseru dengan hati khawatir. Setelah kini ahli obat itu mau mengobati orang, kalau harus menanti sampai dua pekan, pemuda yang ditolongnya itu keburu mati! “Aku adalah orang yang datang lebih dulu, karena itu sudah sepatutnya dan seadilnya kalau engkau lebih dulu memberi obat kepadaku.”

“Heiiittt!” Kok Beng Lama meloncat dan berdiri di depan In Hong, matanya terbelalak marah. “Engkau ini bayi kemarin sore berani hendak mendahului aku? Ha-ha-ha, aku lahir puluhan tahun lebih dulu daripada kau, maka harus aku yang lebih dulu mendapat giliran pertolongan Yok-mo!”

Sebetulnya Kok Beng Lama hendak mengatakan bahwa sebagai orang muda, sudah sepatutnya kalau gadis itu mengalah terhadap seorang yang jauh lebih tua, apalagi dia datang membawa muridnya, yang sudah empas-empis napasnya, akan tetapi karena pikirannya tidak waras, maka kata-katanya melantur tidak karuan!

“Tidak perduli!” In Hong membentak. “Biar kau seratus tahun lebih tua, engkau datang belakangan dan orang yang hendak kumintakan obat itu amat payah keadaannya.”

“Eh, kau berani menentangku?” Kok Beng Lama menantang.

“Karena aku benar, mengapa tidak berani?”

“Bocah sombong engkau! Sombong dan lancang!”






Kok Beng Lama sudah membentak marah dan kedua tangannya bergerak. In Hong kaget bukan main karena dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main. Cepat dia melempar tubuh ke belakang berjungkir balik sambil mencabut pedangnya dan ketika tubuhnya meluncur turun dia langsung membalas dengan serangan pedangnya yang juga amat dahsyatnya.

“Aihhh... plak-plak-plak...!”

Kok Beng Lama terkejut bukan main. Dia tadi memandang rendah, mengira bahwa seorang dara remaja seperti ini mana bisa memiliki kepandaian tinggi? Disangkanya bahwa sekali dia menyerang dengan hawa pukulan sin-kang tentu akan membuat dara itu jatuh bangun kemudian lari tunggang langgang ketakutan.

Siapa kira, bukan saja dara itu mampu menghindarkan diri dari serangan pukulan jarak jauhnya, akan tetapi bahkan mampu membalas dengan serangan pedang yang amat dahsyat dan bertubi-tubi datangnya. Dan karena sambaran pedang yang bertubi-tubi itu mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya, terpaksa kakek itu menangkis sampai tiga kali berturut-turut dengan lengan kirinya.

In Hong meloncat turun dengan muka berobah. Kakek itu mampu menangkis pedangnya dengan tangan kosong! Seolah-olah pedangnya yang merupakan pedang pilihan itu, yang digerakkan dengan pengerahan sin-kang yang mampu menabas putus senjata-senjata lawan, hanyalah merupakan pedang-pedangan kayu belaka. Dia makin yakin bahwa kakek ini memang benar-benar hebat, lawan terhebat yang pernah dihadapinya semenjak dia memasuki dunia ramai.

Akan tetapi, bukan watak In Hong untuk merasa jerih menghadapi lawan tangguh. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya mencelat ke depan, seperti seekor burung walet saja cepatnya dia menerjang kakek itu dan pedangnya bergulung-gulung menjadi sinar berkilauan menyilaukan mata.

Timbul kegembiraan hati Kok Beng Lama dan dia melayani In Hong dengan tangkisan-tangkisan kedua lengannya dan membalas dengan totokan-totokan jari tangannya yang lihai.

“Wah-wah-wah, jangan berkelahi! Jangan bertempur di sini! Celaka...! Kalian manusia-manusia celaka...jangan mengotori tempatku dengan pertempuran! Heii, bocah perempuan, jangan ugal-ugalan kau. Simpan kembali pedangmu!” Yok-mo berteriak-teriak dan menggerak-gerakkan kedua lengannya. “Dan kau Lama gila, hentikan perkelahian itu!”

Akan tetapi, seorang dara berhati sekeras baja seperti In Hong, mana mau berhenti setelah ada orang menentang dan menantangya? Dan Kok Beng Lama, sebelum otaknya agak miringpun sudah berwatak aneh sekali, suka berkelahi, sekarang setelah otaknya tidak waras, tentu saja kegemarannya itu timbul kembali, dan dia melayani In Hong sambil tertawa-tawa dan memuji-muji dengan suara keheranan.

“Bagus! Kiam-hoat (ilmu pedang) hebat...! Akan tetapi engkau tidak akan mampu mengalahkan aku, bocah! Ha-ha-ha!”

Memang benar teriakannya ini. Betapapun In Hong mengamuk dan menggerakkan senjatanya secara hebat, sama sekali pedangnya tidak pernah dapat melukai lawannya.

Dia sudah mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya berkelebat tidak tampak lagi, yang kelihatan hanya bayangannya, namun kecepatannya itu sia-sia belaka terhadap kakek ini yang selalu dapat mengikutinya. Juga pengerahan sing-kangnya tidak ada gunanya karena dia memang jauh kalah kuat.

Yang membuat In Hong terheran-heran adalah kekuatan tangan kakek itu yang mampu menangkis pedangnya dan setiap kali kakek itu mendorong dengan pengerahan tenaga sin-kang, dia pasti terhuyung-huyung ke belakang.

“Bagus, masih begini muda sudah amat lihai...ha-ha, akan tetapi kalau tidak diberi rasa, kau akan tetap sombong! Plak-plak-desss...!”

Tubuh In Hong terlempar dan bergulingan. Akan tetapi dara itu biarpun terkejut sekali karena terdorong oleh tamparan yang amat dahsyat, sudah mencelat bangkit kembali dan menyerang makin nekat.

“Plak-plak-plak...desss...!”

Kembali dia terlempar dan roboh, sekali ini lebih keras, terbanting sampai kepalanya menjadi pening. Dan pada saat itu, sambil tertawa-tawa Kok Beng Lama sudah berada di dekatnya, sudah mengangkat tangan menghantam.

“Plakkk...!”

In Hong menangkis dengan pedangnya, akan tetapi pedang itu terlepas dari tangannya, menancap di atas tanah sedangkan kakek itu sudah mengangkat lagi tangannya yang ampuh. Sekali ini In Hong maklum bahwa dia bertemu dengan orang yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya, bahkan jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian gurunya sendiri, maka dia hanya memandang, siap menghadapi pukulan maut.

“Locianpwe, jangan membunuh orang...!”

Tiba-tiba terdengar suara anak dan kiranya Lie Seng yang berteriak itu. Dia tadi siuman dan melihat pertandingan antara kakek itu dan seorang gadis, kini melihat kakek itu hendak membunub lawannya, dia merasa kasihan dan meneriaki orang tua itu dengan suara nyaring.

Kok Beng Lama menahan tangannya dan menoleh.
“Ha-ha-ha, kau kira aku akan membunuhnya? Tidak, aku tidak bisa membunuhnya...dia...dia mirip anakku...!” Dia kini menoleh lagi ke arah In Hong. “Ehhh...?” Gadis itu telah lenyap dari tempatnya ketika terjatuh tadi, bahkan pedangnya juga lenyap.

“Kalau kau menyerang lagi, aku akan membunuh Yok-mo!”

Tiba-tiba kakek itu mendengar suara In Hong. Dia cepat menengok dan terbelalak memandang kepada gadis itu yang sudah menangkap lengan Yok-mo dan menekankan pedangnya di leher kakek ahli obat itu!

“Dia harus memberi obat kepadaku lebih dulu, kalau kau menentang, Lama, biar dia kubunuh lebih dulu dan kita sama-sama tidak memperoleh obat!”

Kok Beng Lama terbelalak, kemudian menggeram.
“Bocah licik, kalau kau melakukan itu, engkau akan mati di tanganku!”

“Aku sudah berani berbuat berani pula bertanggung jawab, Lama. Mati bukan apa-apa bagiku, dan biarpun sesudah itu kau membunuhku, namun kematian tetap tidak akan menolong nyawa muridmu, bagaimana?”

Kok Beng Lama menjadi bengong. Semenjak dia menghadapi tekanan batin hebat, dimulai dari matinya puterinya sampai peristiwa di Cin-ling-san, dia sering menjadi bingung bahkan banyak hal-hal lampau yang dilupakannya.

“Wah, kau bocah memang cerdik! Ha-ha-ha, engkau memang hebat. Biar aku mengaku kalah. Heii, Yok-mo, bukankah sudah sepatutnya kalau tua bangka-tua bangka macam kita yang sudah mendekati lubang kubur ini mengalah terhadap anak muda? Hayo kau berikan obat untuk bocah cerdik ini, sesudah itu baru kau obati dan sembuhkan muridku!”

In Hong maklum bahwa seorang seperti pendeta Lama yang memiliki kelihaian hebat itu, biarpun wataknya aneh dan seperti orang gila, namun sudah tentu tidak sudi menarik omongannya kembali, mempunyai keangkuhan besar dan tinggi hati, maka diapun menarik kembali pedangnya dari leher Yok-mo. Kakek ini menghela napas panjang dan mengomel,

“Kekerasan...! Hemm...di mana-mana manusia mempergunakan kekerasan...”

In Hong tidak membuang-buang waktu lagi, segera dia menceritakan keadaan Bun Houw kepada kakek itu, menceritakan betapa pemuda itu ditusuk dengan jarum yang mengandung racun kelabang hitam, menceritakan dengan jelas di bagian mana yang ditusuk dan gejala-gejala apa yang nampak pada tubuh pemuda itu.

Yok-mo mengomel lagi.
”Biar di dalam dongeng tentang neraka sekalipun, belum tentu ada iblis penyiksa di neraka yang sekejam itu! Jalan darah Tiong-cu-hiat di tengkuk ditusuknya, hal itu berarti bahwa si korban paling lama dapat hidup tiga hari saja. Tusukan di jalan darah itupun mendatangkan siksaan luar biasa, seluruh tubuhnya akan terasa gatal-gatal di sebelah dalam seperti digigiti ribuan ekor semut. Hemm, kalau pemuda itu masih dapat bertahan, sungguh amat luar biasa...”

“Dua tulang pundaknya juga dikait dengan baja kaitan, Yok-mo.”

In Hong menceritakan lagi dengan nada suara bangga. Heran dia mengapa dia berbangga hati karena pemuda itu, demikian tahan derita!

“Hemm, untung engkau datang kepadaku, nona. Bukan karena aku pandai mengobatinya, melainkan karena kebetulan sekali aku ada menyimpan obat yang mujarab untuk melawan racun kelabang hitam. Andaikata aku tidak manyimpan obat itu, biar aku sendiri tidak mungkin dapat menolongnya, karena mencari obat itu harus di tempat asal kelabang hitam itu sendiri, yaitu tahi kelabang hitam yang menjadi bahan bakunya. Dan binatang seperti itu jarang sekali muncul di permukaan bumi, selalu bersembunyi di dalam tanah.”

Kakek tua renta itu lalu masuk ke dalam gubuknya dan keluar lagi membawa beberapa butir obat pulung, semacam pel kasar yang berwarna hitam.

“Ini ada sembilan butir pel, sehari beri dia tiga kali, setiap kali sebutir dan dalam waktu tiga hari, setelah pel ini habis, aku tanggung dia sembuh kembali.

In Hong girang bukan main dan cepat menerima bungkusan pel itu, menjura dan menghaturkan terima kasih.

“Harap engkau sudi memaafkan kekasaranku tadi, locianpwe, dan saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu!”

“Ha-ha-ha-ha, palsunya! Sebelum diberi marah-marah dan mengancam, sesudah diberi merendah dan berterima kasih. Itulah manusia!”

Kok Beng Lama tertawa bergelak dan In Hong memandang dengan muka berobah merah. Betapapun kasarnya pendeta Lama itu, kata-katanya amat jitu menancap di ulu hatinya dan dia merasa malu kalau mengingat akan sikapnya sendiri tadi. Dia tidak segera pergi karena dia ingin melihat bagaimana Yok-mo akan menyembuhkan anak itu, yang dia yakin pasti terluka oleh serangan Siang-tok-swa.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: