***

***

Ads

Rabu, 04 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 081

Saking kagumnya dan senang hatinya, terloncat saja ucapan dari mulut Bun Houw.
“Kalau nona suka, biarlah pedang Hong-cu-kiam ini kupersembahkan kepadamu, nona.”

In Hong terkejut dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik.
“Apa?”

“Nona telah...” Dia teringat dan tidak mau mengulangi tentang pertolongan itu, maka dia melanjutkan, “...kita telah menjadi kenalan, bukan? Karena itu, dengan hormat aku menyerahkan pedang Hong-cu-kiam itu kepadamu. Pedang itu ringan dan lemas, memang lebih tepat dipergunakan oleh wanita, pula dapat dipakai sebagai ikat pinggang...”

Wajah In Hong berseri dan tangannya masih membelai pedang itu dengan rasa sayang, akan tetapi pandang matanya kepada Bun Houw masih meragu dan penuh selidik. Melihat wajah pemuda itu terbuka dan polos, dengan pandang mata yang tajam dan membayangkan kejujuran, dia lalu berkata,

“Apakah dengan tulus ikhlas...?”

“Tentu saja nona, dengan sepenuh hatiku yang tulus ikhlas.”

“Terima kasih...!”

In Hong kelihatan girang sekali dan dia lalu memakai pedang Hong-cu-kiam itu sebagai ikat pinggangnya, lalu ditutupi jubahnya sehingga tidak nampak dari luar. Dia lalu meraba-raba pedangnya, akan tetapi tidak jadi diambil dan dia berkata,

“Pedangku ini hanya pedang biasa, sama sekali tidak pantas untuk ditukar dengan pedang pusaka seperti Hong-cu-kiam, akan tetapi ini... Giok-hong-cu (burung hong kumala) ini tak pernah terpisah dari aku sejak aku kecil sehingga bagiku merupakan benda pusaka. Biarlah kuberikan ini kepadamu, Bun-twako (kakak Bun).” Dia menyerahkan burung hong kumala itu kepada Bun Houw.

Bun Houw terkejut dan seketika mukanya menjadi merah sekali, jantungnya berdebar. Dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang amat aneh dalam tukar-menukar benda pusaka ini! Akan tetapi karena maklum akan keanehan watak wanita ini yang agaknya pasti akan merasa tersinggung dan terhina kalau dia menolaknya, dia lalu menerimanya dan memandangi perhiasan rambut itu dengan kagum.

“Sebuah perhiasan yang indah sekali... terima kasih, nona. Sekarang kita benar-benar telah menjadi sahabat, bukan?” Bun Houw bertanya sambil menatap wajah yang cantik jelita dan gagah itu.

In Hong balas memandang, tersenyum dan mengangguk. Sejak pertama kali melihat Bun Houw marah-marah dan menolak bujuk rayu dua orang murid wanita yang genit itu, hatinya sudah kagum dan tertarik sekali.

Kini, setelah pemuda itu siuman dari pingsannya dan sembuh, dia memperoleh kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar tidak seperti kaum laki-laki seperti yang disangkanya semula, yaitu seperti yang sering kali dibicarakan gurunya dan para anggauta Giok-hong-pang, yaitu mata keranjang, cabul, pengganggu wanita dan pengrusak kehidupan wanita. Pemuda ini sama sekali tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar, mata keranjang dan sama sekali tidak pernah mengganggunya.






“Setelah kita menjadi sahabat, apakah engkau masih juga tidak percaya kepadaku dan tidak mau memperkenalkan namamu kepadaku?”

In Hong meraba pedang Hong-cu-kiam di pinggangnya dan memandang perhiasan burung hong kumala di tangan pemuda itu, lalu berkata

“Pedang Hong-cu-kiam kau berikan kepadaku dan perhiasan Giok-hong-cu telah kuberikan kepadamu, keduanya merupakan lambang burung hong. Maka, biarlah aku mengenalmu sebagai Bun-twako dan kau mengenalku sebagai Hong.”

“Hong saja? Apakah namamu Hong?”

In Hong mengangguk.

Bun Houw tidak berani mendesak.
“Baiklah, Hong-moi (adik Hong), memang apakah artinya nama? Persahabatan adalah antara pribadi, bukan antara nama! Tentu tidak perlu lagi aku menceritakan riwayatku atau mendengar riwayatmu, bukan?”

In Hong mengangguk dan Bun Houw menarik napas panjang. Dia mulai tertarik sekali akan pribadi nona ini yang amat aneh, seolah-olah hendak merahasiakan dirinya dan seolah-olah tidak suka berurusan dengan orang-orang lain. Betapapun juga, di balik sikap dingin dan tidak perdulian itu, dia tahu bahwa pada dasarnya dara ini memiliki kegagahan luar biasa dan memiliki jiwa pendekar penentang kejahatan, juga mempunyai sifat-sifat yang budiman dan mulia.

“Kalau begitu, agaknya engkau tidak keberatan untuk mengatakang ke mana tujuanmu sekarang? Kau hendak pergi ke mana, Hong-moi?”

In Hong termenung. Pertanyaan itu dengan tepat mengenai hatinya dan dia menjadi bingung. Hendak ke manakah dia pergi? Apakah tujuan hidupnya? Tidak ada! Tidak ada ketentuan!

“Aku seperti seekor burung di udara,” katanya sambil memandang seekor burung dara kuning yang beterbangan dari dahan ke dahan, mencari-cari ulat, di antara daun-daun hijau. “Entah kemana aku hendak pergi, aku sendiripun tidak tahu, Bun-ko.”

Bun Houw termenung juga, heran mendengar jawaban yang amat aneh ini.
“Apakah engkau tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Hong-moi?”

Dara itu menggeleng kepala.

“Tidak mempunyai keluarga?”

Kembali gelengan kepala.

“Tidak mempunyai orang tua?”

In Hong menggeleng lagi, pandang matanya masih mengikuti burung dara kuning yang telah mendapatkan seekor ulat gemuk yang kini dipatuknya dan dibanting-bantingnya ke atas ranting pohon.

“Ahhhh...!” Bun Houw berseru penuh perasaan haru.

“Kenapa?” In Hong menoleh dan memandangnya, memandang tajam.

“Kasihan kau, Hong-moi.”

“Kenapa kasihan? Kasihankah engkau kepada burung itu?” In Hong membuang muka. “Sudahlah, aku tidak mempunyai tujuan tertentu, akan tetapi engkau sendiri hendak ke manakah, Bun-ko?”

“Yang jelas, aku akan pergi ke Lembah Bunga Merah!”

“Hemm... kau hendak membalas dendam kepada mereka? Berbahaya sekali, Bun-koko, mereka itu lihai.”

“Tidak perduli, aku harus membalas penghinaan dan penyiksaan mereka, terutama dua Bayangan Dewa itu.”

“Dua Bayangan Dewa? Kau tahu itu?”

“Aku mendengar dari Liok-twako bahwa Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit adalah dua orang di antara Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu.”

“Hemm... akupun akan ke sana, twako.”

“Apa? Apakah hubunganmu dengan mereka?”

“Akupun ingin mencari Lima Bayangan Dewa.”

Bun Houw terkejut sekali.
“Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya mendengar bahwa mereka telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai.”

“Hemmm... akupun mendengar itu. Lalu bagaimana kalau begitu?”

“Aku ingin merampas pedang itu, aku mendengar bahwa pedang Siang-bhok-kiam adalah pedang pusaka yang amat hebat dan dahulu pernah diperebutkan oleh para datuk persilatan. Aku ingin merampasnya...”

“Untuk apa, moi-moi?”

“Untuk apa? Mungkin kelak kukembalikan kepada ketua Cin-ling-pai.” In Hong teringat akan kunjungannya ke Cin-ling-pai. “Aku... sekali waktu aku pasti akan pergi ke Cin-ling-san dan aku akan mengembalikan pedang itu kepada Cin-ling-pai kalau aku berhasil merampasnya.”

Engkau aneh sekali, Hong-moi. Tanpa alasan engkau hendak merampas pedang itu dari tangan Lima Baymgan Dewa. Apakah itu tidak amat berbahaya?”

“Justeru karena berbahaya aku menempuhnya. Lima Bayangan Dewa itu, kalau melihat yang dua ini, pastilah orang-orang jahat. Kalau aku tidak merampas kembali pedang itu, mereka akan menjadi sombong, mengira bahwa tidak ada orang berani terhadap mereka satelah mereka menggegerkan dunia kang-ouw dengan penyerbuan mereka ke Cin-ling-pai.”

“Kalau begitu, mari kita sama-sama pergi ke Lembah Bunga Merah, Hong-moi.”

In Hong mengangguk dan berangkatlah mereka meninggalkan kuil itu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba In Hong berhenti.

“Bun-ko, bagaimana dengan kedua pundakmu?”

Bun Houw menggerakkan kedua tangannya, mengayun-ayun kedua legannya. Tidak terasa nyeri lagi.

“Sudah sembuh sama sekali, Hong-moi,” katanya.

“Akan tetapi masih berbahaya kalau bertemu dengan lawan tangguh, dan mereka itu amat lihai. Karena itu, kalau tiba disana, biarkan aku yang turun tangan, kau boleh lihat saja, twako.”

Bun Houw tersenyum dan mengangguk. Mereka melanjutkan perjalanan dan In Hong menggunakan ilmunya berlari cepat. Bun Houw tidak ingin menonjolkan diri dan menimbulkan kecurigaan kepada dara itu. Bukankah dia hanya dikenal sebagai seorang pengawal pribadi Liok Sun yang tentu saja hanya memiliki kepandaian silat biasa saja? Maka dia pura-pura mengerahkan tenaganya untuk mengimbangi kecepatan dara itu, akan tetapi dengan terengah-engah dia tertinggal jauh.

“Aihhh... Hong-moi, harap jangan berlari terlalu cepat...!”

In Hong yang memang hanya ingin mengukur kepandaian pemuda itu, memperlambat larinya dan diam-diam dia tahu bahwa pemuda yang bernyali besar ini sama dengan mengantar kematian kalau ingin mencari lima orang di Lembah Bunga Merah yang berilmu tinggi itu.

Maka dia diam-diam mengambil keputusan untuk melindungi pemuda ini, yang selain tenaganya belum pulih dan pundaknya baru saja sembuh, juga tingkat kepandaiannya masih terlalu rendah untuk menghadapi lawan-lawan tangguh seperti Lima Bayangan Dewa dan sekutu-sekutunya.

“Pedangku ini biarpun bukan pedang pusaka, akan tetapi terbuat dari baja yang cukup baik. Kau bawa pedangku ini untuk menjaga diri, Bun-ko!” In Hong berkata dan menyerahkan pedangnya. “Aku sendiri sudah mempunyai Hong-cu-kiam.”

Bun Houw tidak membantah sungguhpun sebetulnya untuk menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun, dia tidak begitu membutuhkan senjata. Kalau tempo hari dia sampai dapat dirobohkan dan ditawan, adalah karena kenekatan Ai-kiauw. Dia mengucapkan terima kasih dan menggantungkan pedang itu di pinggangnya.

Ketika mereka tiba di daerah Lembah Bunga Merah, suasana di situ sunyi saja dan mereka cepat memasuki daerah itu menuju ke perkampungan yang menjadi sarang Hui-giakang Ciok Lee Kim dan anak buahnya. Akan tetapi di dalam bangunan-bangunan inipun sunyi tidak kelihatan ada manusianya.

“Hati-hati, mungkin mereka akan menjebak kita!”

Bun Houw berkata dan In Hong mengangguk. Bun Houw mencabut senjatanya karena kalau tidak dia khawatir gadis itu akan menjadi curiga akan ketenangannya. Dengan berindap mereka memasuki ruangan depan rumah besar yang tadinya dihuni oleh Ciok Lee Kim dan dimana dia menjamu para tamunya.

“Ada orang-orang mengepung kita... “

In Hong berbisik. Tentu saja Bun Houw juga sudah dapat menangkap gerakan orang-orang itu akan tetapi dia diam saja.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: