***

***

Ads

Rabu, 04 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 082

“Awas senjata rahasia...!”

In Hong berseru dan dara ini cepat meloncat untuk melindungi Bun Houw. Akan tetapi anak panah dan senjata-senjata rahasia yang bagaikan hujan itu datang dari empat penjuru. In Hong menangkisi senjata senjata rahasia itu dengan hawa pukulan kedua tangannya, sedangkan Bun Houw dengan “sibuk” menangkisi dengan pedang di tangan yang diputar-putarnya. Sampai habis senjata-senjata rahasia itu, Bun Houw masih memutar-mutar pedang.

“Siaplah, Bun-ko, biar aku melindungimu, mereka tentu akan muncul.”

In Hong yang merasa geli melihat bagaimana pemuda itu memutar-mutar pedang, memegang lengan pemuda itu dan dia berdiri melindungi Bun Houw.

Benar saja, dari empat penjuru muncul belasan orang anak buah Lembah Bunga Merah dengan segala macam senjata di tangan. Melihat Bun Houw, mereka terkejut sekali, maklum bahwa pemuda yang pernah ditawan dan disiksa ini memiliki kepandaian tinggi.

Akan tetapi karena pemuda itu baru saja terluka parah, bahkan dua tulang pundak juga dikait, mereka kini memandang rendah. Juga mereka memandang rendah kepada gadis muda cantik yang datang bersama pemuda itu.

“Ha-ha-ha, kau sudah berhasil lolos kini kembali lagi mengantar kematian?” teriak seorang di antara mereka yang berhidung besar terhias kumis kecil. “Toanio tentu akan senang sekali. Hayo lekas kawan-kawan tangkap tikus ini!”

Dua belas orang itu menyergap ke depan.

“Bun-ko, biarkan aku membereskan mereka!”

In Hong berseru dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, seperti halilintar, menyambar-nyambar dan terdengarlah pekik-pekik kesakitan, Bun Houw hanya berdiri menonton dan diam-diam diapun terkejut. Dia dapat menduga bahwa gadis yang bernama Hong ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak disangkanya akan selihai itu.

Gerakannya aneh sekali, gerakan ilmu silat yang sama sekali tidak dikenalnya, akan tetapi kecepatannya belum tentu kalah oleh dia sendiri, dan jari-jari tangan yang halus itu seolah-olah berobah menjadi baja-baja yang ampuh. Setiap tamparan membuat lawan terguling roboh, setiap tangkisan membuat lengan lawan patah-patah dan dalam waktu singkat saja, dua belas orang itu sudah roboh semua, merintih-rintih dan mengaduh-aduh!

“Mari kita cari mereka!”

In Hong berkata kepada Bun Houw yang masih bengong, memegang tangan pemuda itu dan menariknya ke dalam. Mereka hanya mendapatkan bangunan kosong. In Hong mengajak Bun Houw menggeledah dan memeriksa di seluruh perkampungan itu, namun tidak menemui lima orang sakti yang mereka cari.






Dengan penasaran In Hong mengajak Bun Houw kembali ke ruangan depan dimana dua belas orang anak buah Lembah Bunga Merah itu masih rebah malang-melintang dan mengeluh kesakitan.

“Hayo katakan dimana adanya nenek cabul Ciok Lee Kim dan teman-temannya!”

In Hong membentak sambil mendekati seorang yang patah-patah tulang lengannya. Orang itu nampak ketakutan, berlutut sambil merintih-rintih.

“Ampunkan kami, lihiap... ampunkan kami... Ciok-toanio dan yang lain telah pergi dua hari yang lalu... meninggalkan kami dua belas orang menjaga di sini...”

“Ke mana mereka pergi?” In Hong membentak lagi.

“Tidak... tidak... tahu...”

“Keparat, kalian layak mampus!” In Hong mengangkat tangan, akan tetapi tiba-tiba Bun Houw berkata, “Hong-moi, nanti dulu...”

In Hong menurunkan kembali tangannya dan menoleh, Bun Houw lalu menghampiri orang itu.

“Srattt...!” Dicabutnya pedang In Hong yang diberikan kepadanya itu dan dengan sikap mengancam dia menempelkan mata pedang di leher orang itu. “Hayo lekas kau mengaku terus terang, kemana perginya Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit! Kalau kau tidak mau mengaku, pedang ini akan memenggal lehermu dan leher semua orang di sini!”

“Ampunkan kami... taihiap, ampunkan kami...” Dua belas orang itu meminta-minta dan seorang diantara mereka berkata, “Ciok-toanio dan yang lain-lain tentu pergi mengunjungi tempat tinggal Phang-loya (tuan besar Phang)...”

“Hemmm, kau maksudkan Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok?” Bun Houw membentak.

“Benar... benar, taihiap...”

“Dimana tempat tinggalnya?”

“Di dusun Ngo-sian-chung, di lembah muara Sungai Huang-ho...”

“Hayo katakan yang jelas, dimana tempat itu!”

“Benar...taihiap... di sebelab timur kota Cin-an... kurang lebih dua puluh lima li jauhnya... saya tidak membohong...”

Bun Houw mengangguk girang. Kiranya dua orang Bayangan Dewa itu pergi ke tempat tinggal orang pertama dari Lima Bayangan Dewa! Alamat orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu saja sudah merupakan keterangan yang amat penting baginya.

“Mari kita menyusul mereka, Hong-moi.”

“Tapi... lebih baik kita bunuh dulu mereka ini!”

In Hong berkata dan kembali tubuhnya bergerak. Akan tetapi lengannya sudah dipegang oleh Bun Houw.

“Jangan, Hong-moi. Mereka tidak perlu dibunuh.”

In Hong mengerutkan alisnya, sejenak mereka saling pandang dan Bun Houw merasa betapa sinar mata gadis itu berapi-api penuh kemarahan dan kebencian, amat mengerikan hatinya. Akan tetapi dia memandang dengan tenang. menentang pandang mata yang berapi-api itu. Perlahan-lahan api dalam mata itu mengecil dan akhirnya In Hong menundukkan mukanya, merenggutkan lengannya dan melompat keluar meninggalkan ruangan itu.

Bun Houw juga meloncat keluar mengikutinya. Tanpa mengeluarkan kata-kata, mereka meninggalkan Lembah Bunga Merah. In Hong berjalan sambil menundukkan mukanya. Bun Houw berjalan di sebelahnya. Sampai lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata.

Tiba-tiba In Hong berhenti melangkah. Bun Houw juga berhenti. In Hong mengangkat muka memandang, alisnya berkerut.

“Kenapa kau tadi menghalangi aku membunuh mereka? Kenapa kau berani menghalangi aku?”

Bun Houw memandang heran.
“Moi-moi, mereka tidak perlu dibunuh.”

“Heran aku, mengapa aku menuruti permintaanmu? Belum pernah ada yang berani menghalangi kehendakku. Hayo katakan, kenapa mereka tidak perlu dibunuh?

Diam-diam Bun Houw bergidik. Gadis aneh dan agaknya gadis ini biasanya tidak pernah mau memberi ampun kepada musuh-musuhnya dan kalau dia membayangkan betapa gadis itu tadi akan membunuh dua belas orang anak buah Lembah Bunga Merah itu dengan darah dingin, begitu saja, dia bergidik ngeri.

“Hong-moi sebelum aku menjawab, lebih dulu katakanlah, apakah engkau tadi hendak membunuh mereka karena engkau membenci mereka?”

“Tentu saja! Aku benci mereka, dan, dan sepatutnya mereka dibunuh!”

“Hong-moi, karena itulah aku mencegahmu. Di antara kita dan mereka itu tidak ada permusuhan langsung, mereka hanyalah orang-orang yang mentaati perintah pemimpin mereka. Dan pula, kita harus turun tangan menghadapi siapapun dengan dasar membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Kalau hati kita dikuasai oleh kebencian, mungkin kita akan membunuh orang yang tidak bersalah hanya berdasarkan perasaan benci itu.”

In Hong masih mengerutkan alisnya, seolah-olah tidak memperdulikan kata-kata itu.
“Baiklah, lain kali harap kau tidak mencegah aku lagi. Sekarang kita hendak kemana?”

“Aku akan menyusul mereka ke Ngo-sian-chung. Dan kau...?”

“Akupun akan mencari mereka, mungkin Lima Bayangan Dewa berkumpul disana dan pedang Siang-bhok-kiam disimpan disana pula.”

“Kalau begitu, mari kita melakukan perjalanan bersama, Hong-moi.”

In Hong tiba-tiba menggeleng kepalanya.
“Tidak! Aku akan pergi sendiri. Sampai jumpa!” Gadis itu hendak membalikkan tubuh untuk pergi meninggalkan Bun Houw.

“Akan tetapi, mengapa, moi-moi? Bukankah tujuan kita sama?”

“Kalau kita melakukan perjalanan bersama, kita tentu akan saling bentrok!”

“Tidak mungkin!”

“Kau mau berjanji babwa lain kali tidak akan mencegah aku lagi?”

“Kalau aku melihat engkau melakukan sesuatu yang tidak benar, sudah semestinya aku mencegah dan mengingatkan engkau, Hong-moi.”

“Nah, kalau begitu, selamat tinggal!”

“Hong-moi...!”

Bun Houw berteriak memanggil namun bayangan gadis itu sudah lenyap. Dia hanya dapat menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. Gadis yang hebat, lihai sekali dan cantik jelita, akan tetapi juga liar dan kadang-kadang berwatak aneh dan dingin sekali, seperti setan!

Terpaksa dia melanjutkan perjalanan dengan perlahan seorang diri, kadang-kadang berhenti untuk memulihkan tenaganya, terutama sekali menyembuhkan luka di kedua pundaknya.

**** 082 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: