***

***

Ads

Rabu, 04 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 088

“Tahaaann...!”

Tiba-tiba Tokugawa berseru sebelum anak buahnya bertempur melawan anak buah Kwi Eng. Dia mengangkat langan ke atas dan Kwi Eng juga cepat memberi aba-aba agar orang-orangnya menahan senjata.

“Nona Souw, engkau ternyata curang! Engkau menyembunyikan kaki tanganmu di dalam kapal yang katanya hendak kau tukarkan dengan kakakmu!”

Tokugawa berteriak, diam-diam matanya menghitung dan mengukur kekuatan lawan, kemudian mengerling tajam ke arah pemuda berpakaian kuning sederhana yang memiliki kekuatan dahsyat tadi.

“Tokugawa, manusia tak tahu malu, kau masih berani bicara tentang kecurangan orang lain? Engkau lari bersembunyi ketika ayah ibu kami masih berada di Yen-tai, kemudian engkau muncul ketika mereka melakukan perjalanan keluar negeri, dan engkau menculik kakakku. Adakah yang lebih curang dari itu? Sekarang aku datang dengan pasukanku untuk membasmimu, dan engkau bilang aku curang?”

“Bocah she Souw yang sombong! Karena aku kagum kepada ibumu dan karena aku cinta kepadamu maka aku tidak membunuh kakakmu, aku perlakukan dengan baik. Daripada engkau dan kakakmu mati konyol, lebih baik engkau menurut saja menjadi isteriku dan kita semua menjadi keluarga, bukankah kedudukan kita akan menjadi lebih kuat?”

“Jahanam hina! Manusia macam engkau ingin memperisteri aku? Lebih baik aku mati bersama kakakku daripada dijamah tangan kotormu yang berlumuran darah manusia tak berdosa itu. Kau orang hina dan curang, yang hendak bersembunyi di belakang samuraimu yang sudah berkarat!”

Hebat bukan main hinaan ini bagi seorang jagoan samurai. Tio Sun menjadi terkejut mendengar kata-kata dara itu, karena kata-kata itu luar biasa tajamnya menusuk perasaan.

“Bocah bermulut lancang! Kau menghina Tokugawa? Ayahmu sendiri seorang pengecut, bersembunyi di balik nama seorang kapten gagah perkasa yang tewas bersama kapalnya, tapi diam-diam melarikan diri dan hidup dengan sembunyi-sembunyi...! Kalau memang kalian keluarga gagah, hayo lawan Tokugawa satu lawan satu!”

Tio Sun mengangguk dan dia melangkah maju menghadapi Tokugawa.
“Tokugawa, akulah lawanmu. Kita bertanding satu lawan satu ataukah hendak main keroyokan?”

“Siapa kau?”

Tokugawa membentak dengan suara yang agaknya keluar dari dalam perutnya yang gendut.

“Namaku Tio Sun.”

“Kenapa kau mencampuri urusan ini? Apakah engkau kaki tangan bayaran dari keluarga berdarah campuran ini? Sungguh memalukan sekali seorang pendekar menjadi antek orang asing!”






“Tokugawa, mulutmu kotor seperti pecomberan!” Kwi Eng membentak, akan tetapi Tio Sun tersenyum kepadanya.

“Tokugawa, dengarlah baik-baik. Ayahku adalah seorang bekas pengawal yang paling dipercaya dari mendiang Panglima Besar The Hoo, oleh karena itu, biarpun aku tidak bekerja kepada pemerintah, namun melihat bahwa engkau adalah kepala bajak laut yang jahat dan mengganggu ketenteraman, sudah menjadi kewajibanku untuk menentang dan membasmimu.”

“Keparat, bocah sombong engkau. Sudah bosan hidup agaknya. Hyaaaaattttt...!”

Dengan tiba-tiba Tokugawa menyerang dengan kedua lengannya yang pendek-pendek namun kuat sekali itu. Caranya menyerang seperti seekor kerbau hendak menyeruduk, kepalanya di depan dan kedua lengannya menyambar dari kanan kiri, agaknya hendak meringkus tubuh Tio Sun yang dibandingkan dengan dia hanya kecil saja sungguhpun jauh lebih jangkung.

Tio Sun yang maklum bahwa orang ini mungkin ahli bermain pedang, akan tetapi bukan ahli berkelahi dengan tangan kosong, hanya mengandalkan tenaga kasarnya saja, maka dia sengaja tidak mau mengelak, melainkan menangkis pula dengan kedua lengannya yang dikembangkan ke kanan kiri.

“Plak! Plakk!”

Untuk kedua kalinya mereka mengadu tenaga, kini dengan kedua lengan, dan akibatnya, lengan mereka terpental. Akan tetapi, tiba-tiba Tio Sun menjadi terkejut bukan main karena entah bagaimana, tahu-tahu tangan Tokugawa telah dapat menangkap lengannya, dengan cara yang aneh dan cepat lengannya diputar dan sebelum Tio Sun sempat membebaskan diri, tubuhnya sudah terlempar!

Untung pemuda ini memiliki gin-kang yang baik sekali dan cepat dia dapat menguasai keseimbangan tubuhnya sehingga dia dapat terhindar dari bantingan, dan dari kejaran Tokugawa yang sudah tertawa-tawa.

“Keparat, siapa takut padamu?” kini Souw Kwi Beng hendak meloncat ke depan, akan tetapi adiknya memegang lengannya dan menoleh ke arah Tio Sun.

“Tio-twako, maukah kau mewakili kami memberi hajaran kepada bajak sombong ini?” katanya.

“Plak! Desss!”

Tokugawa yang kini terkejut ketika tubuhnya terkena tamparan dan perutnya tercium ujung kaki lawan ketika dia hendak mengejar lawan yang telah dibantingnya itu.

Keduanya lalu meloncat bangun lagi, saling pandang dengan sinar mata saling mengukur dan marah seperti lagak dua ekor ayam jago yang berlaga hendak saling terjang.

Tio Sun merasa kecelik. Biarpun mungkin Tokugawa tidak memiliki ilmu pukulan yang membahayakan, namun ternyata kepala bajak ini memiliki kepandaian gulat dan gerakan seperti Ilmu Kim-na-jiu yang mengandalkan kecepatan kedua tangan dan mematahkan kedudukan kaki lawan.

Tahulah dia bagaimana harus menghadapi lawan yang pandai Ilmu Kim-na-jiu (Ilmu Silat Cengkeraman dan Pegangan) ini. Sama sekali tidak boleh merapat atau mengadu tangan! Maka Tio Sun lalu menerjang dengan cepat sekali, mengirim pukulan-pukulan mengandalkan kecepatan gerakannya dan sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk merapat.

“Bukkk...desss...!”

Tubuh Tokugawa terpelanting, akan tetapi tubuhnya menang kuat dan kebal sehingga hantaman tangan kiri Tio Sun yang mengenai pundak kanannya disusul tendangan pemuda itu yang mengenai lambungnya tidak membuat si kate kekar ini kalah. Dia terpelanting dan bergulingan lalu meloncat dekat lawan, langsung dia menerkam seperti seekor burung garuda menyambar anak kambing.

Kini Tio Sun mengelak cepat, meloncat ke kiri dan sengaja berlaku sedikit lambat sehingga lawan lewat dekat di sampingnya. Sikunya menyambar disusul tamparan pada tengkuk lawan.

“Plakkk... desss...!”

Kembali tubuh Tokugawa terjungkal dan bergulingan, akan tetapi tetap saja dia meloncat bangun lagi. Kedua matanya menjadi merah, mulutnya mengeluarkan busa dan jenggot serta kumisnya bergerak-gerak, dari mulutnya terdengar bunyi kerot gigi beradu.

Kedua tangannya direnggangkan dengan jari-jari tangan terbuka, buku-buku jari tangannya mengeluarkan bunyi berkerotokan dan tiba-tiba tampak sinar kilat menyambar ketika dia mencabut samurainya yang gemerlapan saking tajamnya itu.

Setelah mencabut samurainya, agaknya bangkit semangat jagoan samurai dalam diri Tokugawa. Sikapnya menjadi gagah sekali, gagah dan tenang, agaknya dia telah mampu menguasai kemarahannya setelah melihat samurainya yang diagungkannya itu.

Kedua tangan memegang gagang samurai yang panjang, tubuhnya agak membongkok, kedua kakinya memasang kuda-kuda, matanya terang dan tajam memandang gerak-gerik lawan, dan sedikitpun dia tidak bergerak seolah-olah telah berobah menjadi arca batu.

Tio Sun juga sudah mencabut pedangnya. Pemuda itu sama sekali tidak berani memandang rendah karena biarpun cara memegang pedang lawannya begitu aneh, menggunakan dua tangan, namun sikap lawannya, pasangan kuda-kudanya, gerak-geriknya, jelas membayangkan keahlian.

Pula, selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan lawan yang menggunakan pedang samurai, maka dia tidak tahu bagaimana sifat ilmu pedang ini. Oleh karena itu, setelah menghunus pedangnya dan memegang pedang dengan tangan kanan, Tio Sun juga memasang kuda-kuda yang gagah, kaki kiri tegak, kaki kanan diangkat dan ditekuk lututnya sehingga ujung sepatu kanan menyentuh lutut kiri, pedangnya di depan tubuh menuding ke bawah, ujungnya menyentuh tanah dan tangan kiri di atas kepala menuding ke langit, mata mengerling ke kanan, ke arah lawan dengan pandang mata tajam. Inilah pembukaan kuda-kuda yang disebut Menunjuk Bumi dan Langit yang merupakan pembukaan pertahanan yang amat kuat.

Melihat lawannya tidak dapat dipancing untuk menyerang lebih dulu, Tokugawa yang menjadi penasaran itu lalu menggerakkan pedangnya.

“Singgg... hyyyaaaatttt!”

Dia berlari ke depan, pedangnya digerakkan dengan cepat sekali, terputar-putar berobah menjadi gulungan sinar pedang kilat yang bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi dahsyat.

“Sing-singggg... wuuutt-wuuutt-wuutt...!”

Tio Sun cepat mengelak dan kini dia mulai mengerti akan kedahsyatan ilmu pedang yang dimainkan oleh dua tangan itu. Pedang itu melengkung dan panjang lagi berat, digerakkan oleh kekuatan dua buah tangan maka tentu saja amat hebat dan dahsyat, sekali saja mengenai tubuh lawan pasti berarti maut dan gerakan lawan itu sembilan puluh prosen berupa serangan, dan sedikit sekali mementingkan pertahanan karena tentu menurut perhitungan Tokugawa, serangannya yang dahsyat dan bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan kepada lawan itu pasti membuat lawan tidak mampu balas menyerang. Jadi inti gerakan Tokugawa itu adalah semata-mata menekan lawan dan tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas!

Tio Sun sejak kecil digembleng oleh ayahnya sendiri dan ayahnya itu, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, adalah seorang bekas pengawal Panglima Besar The Hoo sehingga telah melakukan ribuan pertempuran dan telah memiliki pengalaman yang luas sekali menghadapi orang-orang pandai dari berbagai aliran.

Karena tidak mungkin baginya untuk menceritakan semua teori aliran-aliran ilmu silat yang demikian banyaknya, maka dia hanya memesan kepada puteranya itu agar setiap kali menghadapi lawan yang tidak dikenal ilmunya, janganlah terburu nafsu untuk mengalahkan lawan itu sebelum tahu benar-benar akan kelemahan-kelemahannya.

Terburu nafsu ini mungkin akan mencelakakan diri sendiri karena dalam keadaan terdesak, lawan itu mungkin memiliki suatu ilmu simpanan yang akan berbalik mencelakakan penyerangnya.

Oleh karena itu, biarpun Tio Sun sudah tahu bahwa lawannya lebih menekankan penyerangan sehingga pertahanannya menjadi lemah, dia tidak mau tergesa-gesa membalas serangan lawannya, apalagi karena dia maklum bahwa lawannya ini memiliki ilmu yang aneh-aneh dan tentu saja sebagai seorang tokoh sesat telah memiliki pengalaman pertempuran yang amat luas.

Oleh karena itu, dia hanya mengelak dan kadang-kadang menangkis dan setiap kali tangkisan, pedangnya tentu terpental karena tenaga sebelah tangannya, betapapun kuatnya, tidak mampu menandingi tenaga kedua tangan Tokugawa.

“Sing-sing-wuuut-wuuuttt... trang-cringggg...!”

Sampai lewat lima puluh jurus Tio Sun kelihatan seolah-olah terdesak oleh Tokugawa dan anak buah Tokugawa sudah menyeringai dan tersenyum-senyum girang. Mereka itu agaknya maklum bahwa pemuda itu adalah “jagoan” yang dibawa oleh musuh, dan kalau sang jagoan itu sudah dirobohkan, tentu akan mudah membasmi pasukan lawan yang sudah kehilangan jagoannya yang diandalkan.

Akan tetapi, di fihak Kwi Eng dan Kwi Beng, hanya para anak buah mereka saja yang kelihatan gelisah melihat Tio Sun terus didesak mundur, bahkan sering kali samurai yang tajam bukan main itu hanya berselisih sedikit dari tubuh jagoan mereka! Akan tetapi Kwi Eng dan Kwi Beng menonton dengan tenang-tenang saja.

Dua orang muda ini adalah putera-puteri pendekar wanita Souw Li Hwa dan mereka itu dapat melihat betapa Tio Sun bertanding dengan hati-hati dan tenang, tanda bahwa pemuda itu memang berkepandaian tinggi dan tidak sembarangan main seruduk saja yang kemudian akan mengakibatkan kekalahan di fihaknya.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: