***

***

Ads

Jumat, 06 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 091

Beberapa hari kemudian pasukan yang mengawal kereta berisi dua oran tawanan itu tiba di kota Cin-an. Di sini para pengawal berganti kuda dan membawa perlengkapan dan bekal makanan baru dari para pembesar di Cin-an. Setelah bermalam di kota Cin-an, pasukan melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya menuju ke utara, ke kota raja. Sorenya, mereka sudah tiba di tepi Sungai Huang-ho dimana telah tersedia perahu-perahu besar untuk menyeberangkan mereka.

Akan tetapi karena hari telah mulai gelap, mereka berhenti dan berkemah di dekat sungai sambil beristirahat. Seperti biasa, dua orang tawanan itu menerima makanan dan minuman dan mereka diperbolehkan makan minum dengan kedua pergelangan tangan dibelenggu di depan tubuh mereka dan dipasangi rantai baja yang panjang dan berat. Demikian pula kedua kaki mereka dibelenggu dengan rantai panjang.

Biarpun kedua orang kakak beradik ini dijaga ketat sekali, namun di sepanjang perjalanan mereka diperlakukan dengan baik dan sopan. Hal ini adalah karena si perwira yang memimpin pasukan pengawal itu tahu siapa adanya mereka berdua ini, tahu pula bahwa ibu dua orang muda itu adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai, demikian pula ayah mereka adalah seorang asing yang berpengaruh dan dermawan.

Akan tetapi diapun maklum betapa penting dan beratnya perkara yang membuat mereka dikirim ke kota raja, yaitu tuduhan memberontak dan membunuhi banyak nelayan tidak berdosa!

Tentu saja diapun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan “nelayan-nelayan tidak berdosa” itu sesungguhnya adalah Tokugawa dan kawanan bajak laut. Akan tetapi sebagai seorang bawahan, dia tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani menentang atasannya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu melakukan penyeberangan, menggunakan perahu besar yang telah tersedia di pantai sungai yang amat luas itu.

“Sekarang tiba kesempatan bagi kita, koko. Kau bersiaplah. Rantai tangan kaki kita ini cukup panjang, memudahkan kita bergerak di air.”

“Akan tetapi juga cukup berat untuk membuat kita tenggelam,” bisik kembali Kwi Beng.

“Kita harus berani mengambil resiko. Kesempatan ini yang terbaik dengan mengandalkan kepandaian kita di air,” bisik lagi Kwi Eng dan karena perwira pengawal mendekati mereka, keduanya menghentikan bisikan dan hanya saling pandang dan mereka telah bersepakat untuk mempergunakan kesempatan penyeberangan itu untuk melarikan diri.

Ketika perahu besar yang menyeberang itu mulai meluncur ke tengah sungai, nampak sebuah perahu kecil juga meluncur cepat sekali seiring dengan perahu besar itu. Perahu ini ditumpangi dan didayung oleh seorang pemuda berpakaian kuning yang tidak mencurigakan.

Para pengawal yang melihat pemuda ini mengira bahwa dia adalah seorang nelayan atau seorang pelancong saja. Akan tetapi Kwi Eng menyentuh lengan kakaknya ketika dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun.

Akan tetapi Tio Sun tidak segera turun tangan melainkan terus saja mengikuti perahu itu sampai tiba di dekat pantai sebelah utara. Di pantai selatan dia tidak berani turun tangan karena tempat itu ramai dan dekat dengan kota Cin-an, berbeda dengan pantai utara yang sunyi.

Setelah perahu besar yang membawa dua orang sahabatnya sebagai tawanan itu berada kurang lebih tiga ratus meter lagi dari pantai, tiba-tiba Tio Sun meloncat ke atas perahu besar dan tanpa banyak suara lagi dia meloncat ke arah Kwi Eng dan Kwi Beng yang duduk di atas dek terjaga oleh lima orang pengawal.






“Heii, siapa kau...?”

Seorang pengawal membentak dan suasana menjadi geger. Para perajurit pengawal meloncat bangun dan mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi pada saat itu, Kwi Eng dan Kwi Beng sudah bangkit berdiri, dengan kaki tangan mereka yang terbelenggu itu mereka berhasil menampar dan menendang roboh lima orang penjaganya.

Tio Sun menggunakan pedangnya mematahkan belenggu kaki tangan mereka dengan cepat dan merobohkan setiap orang pengawal yang mencoba untuk menghalanginya.

“Cepat menyingkir...!”

Tio Sun berkata sambil menyerahkan dua batang pedang yang sengaja dibawanya kepada Kwi Eng dan Kwi Beng.

Perwira pengawal berteriak mengumpulkan anak buahnya dan mulailah mereka itu maju mengepung dan mengeroyok.

“Apakah kalian berani hendak memberontak?” Perwira muda itu berseru. “Harap ji-wi jangan menambah dosa ji-wi.”

“Kalian mundurlah!” Kwi Beng yang maklum akan kebaikan perwira itu berseru. “Kalian tahu bahwa kami bukan pemberontak, melainkan Ciang-tikoan yang bersekutu dengan bajak-bajak laut! Mundurlah!”

“Kami hanya menjalankan tugas, kalau sampai kalian lolos tentu kami dihukum!” sang perwira membantah dan terus mengepung ketat.

Kwi Eng, Kwi Beng, dan Tio Sun mengamuk dengan pedang mereka.
“Jangan membunuh orang, mereka hanya petugas-petugas biasa,” kata Kwi Eng dan tentu saja hal ini disetujui oleh Tio Sun yang juga segan untuk memusuhi dan membunuh perajurit pemerintah.

Maka mereka itu hanya menggunakan pedang mereka untuk menghalau semua serangan senjata lawan, dan hanya merobohkan para pengeroyok dengan tendangan kaki atau tamparan tangan kiri saja.

Akan tetapi tiga losin orang perajurit pengawal itu yang tentu saja merasa takut kalau sampai tawanan itu lolos, dengan nekat mengeroyok terus tanpa memperdulikan keselamatan mereka sendiri dan hal ini membuat tiga orang muda itu merasa repot juga.

Andaikata mereka bertiga itu mau membagi-bagi pukulan maut dan merobohkan para pengeroyoknya, agaknya mereka akan berhasil membasmi puluhan orang itu. Akan tetapi, tanpa membunuh para pengeroyok yang nekat itu, tentu saja amat sukar bagi mereka untuk meloloskan diri, bahkan kalau pertandingan itu dilanjutkan, tentu mereka akan terancam bahaya oleh hujan serangan itu.

“Tio-twako, kau pergilah dulu dengan perahumu!” teriak Kwi Eng dan mereka kini mulai bergerak ke pinggir perahu besar.

“Tidak, aku tidak akan meninggalkan kalian!” jawab Tio Sun sambil mengelak dari sambaran dua batang golok dan menggerakkan kakinya menendang roboh seorang pembokong dari belakang.

“Twako, pergilah dulu dengan perahumu, kami akan mengambil jalan dalam air,” kata Kwi Beng dan kini mengertilah Tio Sun.

Teringat dia akan penuturan Kwi Eng betapa kedua orang saudara kembar itu pernah belajar ilmu di dalam air dari nelayan yang dahulu pernah menyelamatkan ayah ibu mereka, maka dia mengangguk dan mengamuk dengan pedangnya sampai semua pengeroyoknya dipaksa mundur.

Setelah tiba di tepi perahu besar dan melihat perahu kecilnya masih berada di dekat perahu besar itu, dia berseru,

“Berhati-hatilah kalian! Aku pergi dulu!”

Sekali mengayun tubuhnya Tio Sun sudah meloncat keluar dari perahu besar, tepat di atas perahunya yang segera didayungnya menuju ke seberang sungai.

Kwi Beng dan Kwi Eng juga mencontoh perbuatan Tio Sun tadi, mereka mengamuk dan makin mendekati pinggiran perahu, kemudian setelah merobohkan beberapa orang pengeroyok, merekapun cepat meloncat keluar dari perahu besar, langsung terjun ke dalam air dengan kedua tangan lebih dulu.

“Cluppp! Cluppp!”

Bagaikan dua ekor ikan lumba-lumba saja mereka terjun tanpa menimbulkan banyak suara dan airpun tidak muncrat banyak, tanda bahwa keduanya memang ahli bermain di air. Lenyaplah kedua orang muda itu dari permukaan air dan para pengawal yang bergegas menuju ke pinggir perahu sambil membawa anak panah, tidak melihat mereka lagi.

Akan tetapi perwira pasukan pengawal itu bersikap tenang-tenang saja.
“Cepat jalankan kembali perahu ke seberang. Mereka tentu sudah ditangkap kembali di sana!”

Semua anak buahnya merasa heran mendengar ucapan ini dan mereka bersicepat meluncurkan perahu besar di tepi sungai sebelah utara. Ketika tiba di tempat itu, benar saja mereka melihat tiga orang muda tadi sudah dikepung dan dikeroyok oleh kurang lebih lima puluh orang perajurit yang bersenjata lengkap!

Tentu saja mereka menjadi girang dan serentak mereka berbondong-bondong mendarat dan bantu mengeroyok pula.

Ternyata siasat dari tiga orang muda itu sia-sia belaka. Mereka tidak memperhitungkan kecerdikan Ciang-tikoan. Pembesar ini tentu saja mengerti akan kelihaian dua orang tawanannya, mendengar pula akan keahlian mereka bermain di air, maka diam-diam dia mengutus seorang pembantu secara rahasia menghubungi rekannya di Cin-an untuk menjaga di seberang sungai kalau-kalau dua orang tahanannya itu mencoba untuk meloloskan diri ketika diseberangkan, mengingat akan kelihaian mereka bermain di air.

Dan memang dugaannya tepat sekali, maka pembesar di Cin-an telah mempersiapkan pasukan dari lima puluh orang yang bersembunyi di pantai sungai sebelah utara. Begitu Tio Sun yang telah mendarat lebih dulu dengan perahunya itu menyambut dua orang temannya yang muncul dari dalam air seperti dua ekor ikan itu, mereka langsung menyergap dan terjadilah pengeroyokan hebat di tepi sungai sebelah utara itu.

Tentu saja mereka bertiga menjadi kaget sekali, dan mereka melawan mati-matian. Akan tetapi, setelah perahu besar pasukan pengawal mendarat pula dan pengeroyokan menjadi makin ketat, mereka benar-benar terdesak hebat dan keadaan mereka amat berbahaya, kalau tidak tertawan kembali tentu akan tewas, atau setidaknya terluka hebat di bawah pengeroyokan lebih dari lima puluh orang itu.

Mereka tanpa dikomando telah membela diri secara saling melindungi, berdiri saling membelakangi dan dengan senjata pedang mereka, dibantu oleh joan-pian di tangan kiri Tio Sun, mereka menangkis semua senjata yang datang bagaikan hujan dan sekali ini terpaksa mereka menggunakan senjata untuk merobohkan pengeroyokan, sungguhpun pedang mereka itu hanya ditujukan kepada bagian-bagian tubuh yang tidak berbahaya.

Belasan orang pengeroyok sudah roboh dengan pundak, lengan atau kaki terluka parah akan tetapi pengeroyokan masih cukup ketat dan tiga orang itu mulai menjadi lelah sekali, bahkan Kwi Beng telah terluka pahanya, dan Kwi Eng telah terluka pangkal lengan kirinya. Namun mereka tidak mau menyerah karena ketiganya maklum bahwa urusan telah menjadi semakin berat sehingga kalau mereka tertawan kembali, hukuman mereka tentu akan jauh lebih berat lagi, mungkin akan dihukum mati sebagai pemberontak-pemberontak hina.

“Tio-twako, kau larilah...!” Tiba-tiba Kwi Eng berkata kepada Tio Sun.

“Benar, kau pergilah, twako dan jangan mengorbankan diri untuk urusan kami!” Kwi Beng juga berkata.

Hati Tio Sun rasanya seperti ditusuk, dia merasa terharu dan juga kagum akan kegagahan dua orang kakak beradik ini yang dalam keadaan seperti itu masih ingat kepadanya dan tidak mau membawa-bawanya mengalami kecelakaan.

“Tidak! Aku akan membela kalian sampai titik darah terakhir!” bentaknya dan pedang serta joan-pian di tangannya bergerak cepat maka robohlah tiga orang pengeroyok.

Akan tetapi karena dia mencurahkan seluruh perhatian untuk merobohkan lawan sebanyak mungkin dalam kemarahannya ini, Tio Sun tak dapat menghindarkan bacokan golok dari samping yang mengenai pundaknya.

“Tio-twako...!” Kwi Eng menjerit ketika melihat darah muncrat dari pundak pemuda itu.

Tio Sun membalikkan pedangnya dan penyerangnya itu menjerit roboh ketika lengannya terbabat pedang hampir putus.

“Tidak apa-apa, nona.”

Tio Sun tersenyum dan mereka bertiga terus mengamuk biarpun mereka telah terluka semua.

“Bunuh saja tiga pemberontak ini!”

Tiba-tiba terdengar komandan pasukan Cin-an berteriak marah. Tadinya perintah atasannya hanyalah untuk membantu para pengawal dari Yen-tai untuk menangkap kembali tawanan itu jika melarikan diri, akan tetapi kini melihat betapa tiga orang itu memberontak dan merobohkan banyak anak buahnya, dia menjadi khawatir dan marah sekali, maka dia mengeluarkan perintah untuk membunuh mereka. Dengan adanya perintah ini, para perajurit kini mendesak makin ketat dan senjata mereka datang bagaikan hujan menyerang tiga orang muda yang membela diri mati-matian itu.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: