***

***

Ads

Jumat, 06 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 093

Bun Houw terkejut, mukanya menjadi merah sekali dan dia memandang kepada mereka bertiga dengan mata bersinar-sinar.

“Sungguh mati saya amat terkejut mendengar betapa sam-wi menyebut-nyebut soal Lima Bayangan Dewa dan hendak membela Cin-ling-pai. Kalau boleh saya bertanya, apakah hubungan antara sam-wi dengan Cin-ling-pai?”

Kini Tio Sun dan dua orang saudara kembar itu yang menatap wajah Bun Houw dengan tajam penuh selidik.

“Bun-hiante... tahu soal... Lima Bayangan Dewa dan Cin-ling-pai?” Tio Sun bertanya.

Bun Houw mengangguk.
“Tentu saja, dan saya bahkan tersangkut secara langsung. Akan tetapi sebelum aku dapat menceritakan hal itu, harap sam-wi lebih dulu menerangkan apa hubungan sam-wi dengan Cin-ling-pai?”

Tio Sun menghadapi Bun Houw, memandang dengan sinar mata tajam sejenak, lalu berkata,

“Biarpun baru berjumpa pertama kali dan tidak mengenal benar siapa adanya dirimu, Bun-hiante, akan tetapi aku telah percaya benar kepadamu, maka biarlah aku mengaku terus terang. Seperti telah kukatakan kepadamu, aku adalah putera dari bekas pengawal Panglima The Hoo, ayahku bernama Tio Hok Gwan dan ayah adalah seorang sahabat baik dari Cia Keng Hong locianpwe, ketua Cin-ling-pai. Agaknya tentu engkau telah mendengar kegemparan di dunia kang-ouw dengan adanya penyerbuan Lima Bayangan Dewa di Cin-ling-san yang membunuh anak-anak murid Cin-ling-pai bahkan telah mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam.

Nah, mengingat akan hubungan persababatan yang amat baik dengan Cin-ling-pai, ayah lalu mengutus aku untuk mewakili ayah, membantu Cin-ling-pai mencari Lima Bayangan Dewa dan kalau mungkin merampas kembali pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Demi persahabatan itu, aku melupakan kebodohanku sendiri, melakukan penyelidikan sampai di Yen-tai dimana aku bertemu dan berkenalan dengan kedua orang saudara Souw ini yang ternyata adalah cucu murid sendiri dari mendiang Panglima The Hoo.”

“Adapun kami berdua, setelah terjadi peristiwa di Yen-tai, kami juga sudah sepakat untuk membantu Tio-twako mencari Lima Bayangan Dewa, karena ibu kami pernah bercerita kepada kami tentang kegagahan ketua Cin-ling-pai yang patut kami bantu pula,” kata Kwi Eng.

Mendengar ini, Bun Houw segera bangkit dari atas batu dan dia lalu memberi hormat kepada tiga orang itu dengan menjura. Hal ini mengejutkan dan mengherankan mereka yang segera bangkit pula untuk membalas penghormatan itu. Dengan suara terharu Bun Houw lalu berkata,

“Atas nama Cin-ling-pai, saya menghaturkan banyak terima kasih atas bantuan sam-wi yang demikian budiman.”

“Eh, siapakah sesungguhnya Bun-taihiap?” tanya Tio Sun yang kembali menyebut taihiap karena dia menduga bahwa pemuda ini tentulah bukan orang sembarangan.

“Maafkan kalau saya tadi kurang berterus terang. Sebetulnya saya she Cia dan bernama Bun Houw...”

“Aih...! Kiranya Cia-taihiap, putera dari ketua Cin-ling-pai?” Tio Sun berteriak girang. “Pantas saja demikian lihai, kiranya Cia-taihiap sendiri orangnya! Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat.”






“Putera Pendekar Sakti Cia Keng Hong...?”

Kwi Eng berseru dan memandang dengan wajah bersinar penuh kekaguman. Juga Kwi Beng memandang kagum dan hal ini membuat Bun Houw menjadi makin sungkan dan malu.

“Harap sam-wi jangan berlebihan. Marilah kita duduk kembali dan bicara dengan leluasa.”

Mereka duduk kembali dan Bun Houw lalu memandang mereka dengan bergantian.
“Tidak kukira bahwa ayah mempunyai demikian banyak sahabat yang diam-diam membela Cin-ling-pai dan hal ini amat mengharukan hatiku. Akan tetapi sebelum kita bicara, di antara kita adalah orang segolongan, apalagi sam-wi adalah penolong-penolong Cin-ling-pai, maka harap tinggalkan saja sebutan taihiap yang tidak pada tempatnya. Tio-twako, harap kau suka menyebutku adik saja, dan kedua adik Souw juga hendaknya menyebutku kakak saja. Bukankah sebagai orang-orang segolongan kita boleh dibilang bersaudara atau bersahabat baik?”

Tiga orang gagah itu menjadi girang melihat sikap putera ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi akan tetapi bersikap sederhana dan tidak tinggi hati itu.

“Baiklah, Houw-te (adik Houw),” kata Tio Sun.

“Terima kasih, Houw-ko,” kata Kwi Eng dan Kwi Bun hampir berbareng.

Bun Houw menghela napas.
“Niat kalian untuk membantu kami amat baik dan tentu saja saya merasa amat bersyukur. Akan tetapi apakah kalian tahu dimana tinggalnya Lima Bayangan Dewa dan ke mana kalian hendak mencari mereka?”

“Tadinya kami mendengar bahwa seorang di antara mereka yang bernama Liok-te Sin-mo Gu Lo It tinggal di pantai Laut Timur, akan tetapi setelah kami selidiki, ternyata dia sudah pergi ke pedalaman dan kami hendak mencari jejaknya di pedalaman.”

“Pedalaman Tiongkok berarti merupakan daerah yang puluhan ribu mil luasnya, bagaimana kita dapat menyelidiki mereka? Pula, tingkat kepandaian Lima Bayangan Dewa itu amat tinggi sehingga kalau sam-wi membantu kami, besar bahayanya sam-wi akan menghadapi malapetaka. Bukan aku tidak tahu terima kasih, akan tetapi ayahku yang telah menugaskan aku menghadapi mereka tentu akan marah kepadaku kalau aku membiarkan orang lain menjadi korban kejahatan Lima Bayangan Dewa. Maka, kuharap sam-wi suka kembali saja,” Bun Houw berkata dengan suara sungguh-sungguh.

“Adik Cia Bun Houw mengapa berkata demikian?” Tio Sun membantah dengan suara keras. “Biarpun kepandaianku masih amat rendah, akan tetapi aku bukan orang yang takut menghadapi bahaya. Ayah sudah menugaskan kepadaku, bagaimana bisa pulang sebelum lecet kulitku, sebelum patah tulangku? Demi melaksanakan tugas yang diperintah ayah, selembar nyawaku menjadi taruhan!”

“Kami berduapun tidak mempunyai tempat tinggal lagi sebelum orang tua kami pulang, maka harap Houw-ko tidak menolak bantuan kami yang juga tidak takut bahaya dalam menentang kejahatan!” Kwi Eng berkata, sikapnya gagah sekali dan Bun Houw menjadi makin kagum saja.

“Kalau begitu besar tekad sam-wi, saya tidak berani mencegah dan saya makin berterima kasih. Ketahuilah bahwa saya sendiri telah memperoleh jejak mereka, bahkan telah bertemu dengan dua orang di antara mereka. Sayang saya tidak berhasil merobohkan mereka dan sekarang mereka telah melarikan diri. Menurut penyelidikan saya, Lima Bayangan Dewa itu kini agaknya berkumpul di Ngo-sian-chung, tidak jauh dari sini, di lembah muara Huang-ho.”

“Bagus! Kalau begitu mari kita berempat menyerbu ke sana, Houw-te!” Tio Sun berseru penuh semangat.

“Mereka itu selain lihai juga amat curang, maka kita harus berlaku hati-hati sekali!” Bun Houw menerangkan. “Belum lama ini aku sendiri terjebak dan hampir tewas oleh mereka, kalau tidak tertolong oleh seorang sahabat. Dan saya minta kepada sam-wi agar nama saya dirahasiakan sebagai putera Cin-ling-pai, karena selama ini saya hanya dikenal sebagai seorang she Bun bernama Houw. Sebelum berhasil meringkus atau membasmi mereka, saya tidak akan menggunakan nama sendiri, dan hanya kepada sam-wi saja yang saya tahu adalah putera-puteri sahabat dari ayah maka saya memperkenalkan diri secara sesungguhnya.”

Empat orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan sepanjang Sungai Huang-ho menuju ke timur. Kwi Eng yang berwatak terbuka dan tidak pemalu, dengan terang-terangan mengatakan sikap kagumnya terhadap putera ketua Cin-ling-pai ini, selalu berjalan di dekat Bun Houw dan ada saja hal yang dibicarakan, nampaknya begitu akrab dan sedikitpun Kwi Eng tidak menyembunyikan rasa tertarik dan sukanya.

Di lain fihak, karena memang Kwi Eng amat cantik jelita, memiliki daya tarik yang keras, tentu saja Bun Houw juga senang sekali berdekatan dan bercakap-cakap dengan gadis ini.

Kwi Beng sebagai saudara kembar memilki hubungan jiwa yang amat dekat dengan adiknya, maka tentu saja dia segera dapat merasakan debaran jantung adiknya yang mulai disentuh asmara itu. Sambil berjalan di dekat Tio Sun, Kwi Beng berbisik kepada pendekar muda itu tentang adiknya, menunjuk dengan gerakan mukanya ke depan,

“Tio-twako, lihat betapa cocoknya mereka berdua... aihhh, betapa akan senang hatiku kalau saja adikku bisa menjadi jodohnya kelak...”

Kwi Beng sama sekali tidak mengira bahwa bisikannya itu sebenarnya merupakan ujung pisau berkarat yang menghujam di ulu hati Tio Sun! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa sebetulnya Tio Sun inilah yang sudah bertekuk lutut, jatuh hati kepada adiknya semenjak saat mereka saling jumpa. Tio Sun sudah jatuh cinta kepada Kwi Eng, dara jelita yang bermata lebar kebiruan dan berambut hitam agak pirang keemasan itu!

Hanya karena Tio Sun orangnya pendiam dan pemalu, maka sedikitpun tidak pernah tampak perasaan cinta itu, baik pada pandang matanya, kata-katanya maupun gerak-geriknya.

“Hemmm...”

Hanya begitulah Tio Sun menjawab sambil menundukkan mukanya, tidak tahan melihat betapa Kwi Eng sambil tersenyum-senyum bicara kepada Bun Houw yang jalan berendeng demikian dekatnya sehingga seolah-olah lengan mereka saling bersentuhan.

Dan Bun Houw demikian gagahnya, demikian tampannya, juga memiliki kepandaian demikian tingginya. Putera ketua Cin-ling-pai pula. Seorang pemuda gagah perkasa, putera pendekar sakti yang dijunjung tinggi dan dihormati oleh semua orang kang-ouw. Sedangkan dia? Hanya putera seorang bekas pengawal miskin dan tidak terkenal. Tio Sun makin menunduk, berusaha mengusir rasa tidak enak dan sakit yang berada di rongga dadanya.

Malam itu mereka melewatkan malam di sebuah hutan di tepi sungai karena menurut nasihat Tio Sun, lebih baik berhati-hati menyelidiki tempat Lima Bayangan Dewa yang selain lihai tentu juga memiliki banyak anak buah itu. Dia sendiri lalu membuat api unggun, dan kedua orang saudara Souw pergi menangkap beberapa ekor kelinci dan ayam hutan.

Kwi Eng segera sibuk menguliti dan memanggang kelinci dan ayam hutan, sedangkan Bun Houw sudah duduk bersama Kwi Beng dan Tio Sun bercakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing di dekat api unggun.

Ketika Tio Sun bercerita tentang pengalamannya menolong seorang gadis cilik kemudian bertemu dengan Bun Hwat Tosu, Bun Houw dan Kwi Beng merasa kagum sekali. Terutama Bun Houw yang sudah sering mendengar dari ayahnya bahwa di jaman itu, Bun Hwat Tosu merupakan seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang jarang muncul di dunia persilatan, yang merupakan seorang manusia setengah dewa.

Tentu saja Bun Houw sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cilik yang diselamatkan kawannya itu sebetulnya adalah Yap Mei Lan, anak dari Yap Kun Liong yang masih terhitung suhengnya itu!

“Aku mendengar dari ayah bahwa ilmu kepandaian bekas ketua Hoa-san-pai itu seperti dewa. Dan Yap Kun Liong suheng juga menerima sebagian dari ilmu-ilmunya dari kakek dewa itu,” kata Bun Houw kagum. “Untung sekali engkau dapat bertemu dengan beliau, Tio-twako.”

“Akan tetapi engkau sendiripun murid seorang manusia dewa, Houw-te. Aku pernah mendengar dari ayah yang mengenal baik keadaan Cin-ling-pai bahwa engkau sejak kecil telah menjadi murid Kok Beng Lama di Tibet yang kepandaiannya sukar dibicarakan saking tingginya.”

“Ahhh, engkau terlalu memuji, twako. Memang, suhu Kok Beng Lama seorang sakti luar biasa, akan tetapi aku yang muda dan bodoh mana bisa mewarisi seluruh kepandaiannya? Sayang bahwa begitu pulang ke Cin-ling-pai, terdapat malapetaka itu sehingga aku terus saja berangkat menyelidiki Lima Bayangan Dewa, tidak sempat mengunjungi enciku yang tinggal di Sin-yang dan mengunjungi Yap-suheng yang tinggal di Leng-kok. Sungguh menggemaskan sekali Lima Bayangan Dewa itu.”

“Mereka itu pengecut kalau berani bergerak selagi ayahmu tidak berada di Cin-ling-san, Houw-ko,” Kwi Beng ikut pula bicara.

“Aiiiihhh...!”

Tiga orang pemuda itu terkejut sekali, Bun Houw sudah mencelat dan diikuti oleh Tio Sun dan Kwi Beng. Yang menjerit adalah Kwi Eng dan kini dara itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya kelihatan bayangan orang berkelebat ke barat.

Bun Houw yang memiliki gerakan paling ringan dan cepat sudah meloncat seperti terbang cepatnya, disusul oleh Tio Sun dan Kwi Beng lari paling akhir karena pemuda peranakan ini biarpun juga memiliki kepandaian cukup tinggi, masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan Bun Houw dan kalah setingkat oleh Tio Sun.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: