***

***

Ads

Selasa, 10 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 103

Tiba-tiba kedua pipi yang sudah kemerahan itu menjadi makin merah. Bukan karena godaan ini, melainkan karena dia teringat akan peristiwa asyik-masyuk dan mesra antara dia dan Bun Houw.

Kwi Eng memejamkan matanya sehingga dua baris bulu matanya yang panjang lentik itu menjadi satu, membentuk bayang-bayang indah di atas pipi bawah matanya. Dia memejamkan mata dan mulutnya tersenyum, mukanya terasa panas ketika dia membayangkan dan mengenangkan ciuman itu!

“Beng-koko, aku lebih baik mati saja kalau tidak bisa menjadi isterinya!”

Kwi Beng terkejut. Kiranya adiknya yang bengal inipun serius sekali! Hatinya menjadi terharu dan dia memegang tangan adiknya.

“Moi-moi, aku doakan semoga akan terkabul cita-citamu dan menjadi isteri Cia Bun Houw yang gagah perkasa itu. Aku akan ikut merasa bangga kalau engkau bisa menjadi isterinya, moi-moi. Akan tetapi, seperti juga aku, apakah engkau tidak mengharap terlampau tinggi? Kita ini hanyalah peranakan-peranakan barat. Dan aku menjangkau burung hong di angkasa, sedangkan engkau menjangkau putera ketua Cin-ling-pai. Apakah kita tidak akan seperti si cebol merindukan bulan?”

Kwi Eng cemberut memandang kakaknya.
“Koko, engkau telah terlalu merendahkan diri sendiri. Aku yakin bahwa Houw-koko cinta padaku.”

“Eh, bagaimana kau bisa tahu? Apakah karena dia telah menolong dan menyelamatkanmu? Adikku yang baik, seorang pendekar seperti dia, siapapun akan ditolongnya dan hal itu sama sekali bukanlah tanda jatuh cinta.”

“Engkau seorang laki-laki, tentu tidak tahu. Akan tetapi aku yakin akan cintanya, koko.” Kwi Eng tersenyum dan mengenangkan ciuman itu dengan mata bersinar-sinar.

“Begitukah? Syukurlah kalau begitu, adikku. Mudah-mudahan engkau berhasil. Andaikata aku gagal menjadi jodoh Hong-moi, akan tetapi melihat engkau bahagia, maka aku rela. Kebahagiaanmu lebih penting bagiku, adikku.”

Kwi Eng memeluk kakaknya.
“Tidak, akupun tidak akan berbahagia kalau melihat engkau gagal, koko. Kita sehidup semati, senasib sependeritaan.”

Kwi Beng menarik napas panjang dan mengelus rambut kepala adiknya. Dia mengerti apa yang dirasakan oleh adiknya yang cantik itu, perasaan yang mungkin hanya terasa oleh mereka berdua, atau oleh orang-orang yang dilahirkan kembar, suatu getaran yang menghubungkan batin mereka berdua.

Beberapa hari kemudian, dengan girang kedua orang kakak beradik kembar ini mendengar akan kedatangan orang tua mereka di Yen-tai. Mereka cepat memasuki kota itu dan seperti biasa terjadilah “jalan damai” yang sudah lajim terjadi di seluruh dunia ini, dimana ada manusia-manusia yang menyalahgunakan kekuasaannya.






Yuan de Gama dan isterinya setelah mendengar urusan anak-anaknya, cepat menghubungi tikoan dan para pembesar setempat, menghaturkan maaf dan tentu saja bukan maaf melalui kata-kata dan sikap yang memegang peran penting, melainkan maaf yang dinyatakan dalam keadaan tertutup dan yang hanya dibuka setelah berada di dalam kamar para pembesar itu, dan setelah dibuka mereka itu masing-masing dengan wajah girang menghitung jumlah emas dan perak yang akan menambah perbendaharaan mereka.

Dari manakah timbulnya peristiwa-peristiwa penyuapan dan penyogokan yang telah menjalar di seluruh dunia ini? Suap dan sogok dalam bentuk apapun juga, bentuk harta benda, kedudukan, nama besar, wanita, kehormatan dan sebagainya terjadi di seluruh dunia dan agaknya telah ada semenjak sejarah berkembang.

Semua ini terjadi karena manusia memegang kekuasaan dan karena manusia itu selalu memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya, maka manusia yang memegang kekuasaan melihat bahwa kekuasaannya itu merupakan alat yang amat berguna untuk mencapai apa yang diinginkannya!

Dipergunakanlah kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, yaitu demi terlaksananya apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Padahal, selama manusia mengejar keinginan, maka tidak akan ada habisnya kebutuhan hidupnya. Dan untuk memenuhi ini, manusia tidak segan-segan melakukan apapun juga sehingga timbullah pencurian, perampokan, penipuan, pemerasan dan termasuk penyuapan dan pemogokan yang menjadi akibat dari pemerasan.

Oleh karena itu, segala tindak korup di dunia ini tidak akan dapat dihentikan oleh apapun juga selama manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Selama manusia belum mengenal diri pribadi dan tidak sadar bahwa dirinyalah sumber segala kebusukan.

Dunia akan menjadi sebuah tempat yang berbeda sekali apabila kita sudah tidak lagi dikejar atau mengejar kebutuhan! Sandang pangan dan tempat tinggal memang merupakan keperluan mutlak bagi manusia hidup, namun sayang, bukan yang tiga itulah sesungguhnya yang kita kejar-kejar, yang menjadi kebutuhan kita, melainkan kesenangan, kepuasan yang tidak ada ukurannya lagi akan besar dan banyaknya.

Maka bahagialah mereka yang TIDAK MEMBUTUHKAN APA-APA. Bukan berarti menolak dan memantang segala sesuatu, melainkan tidak mencari dan tidak akan mengejar. Kalau ada, boleh, kalau tidakpun tidak akan mengejar, karena pengejaran ini yang menimbulkan segala macam bentuk kejahatan di dunia.

Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, bukan orang-orang yang suka menyuap pembesar. Kiranya tidak ada orang, betapapun kayanya dia, yang suka membuang-buang uang untuk menyuap dan menyogok kanan kiri. Hal ini dilakukan dalam keadaan terpaksa, karena itu merupakan satu-satunya jalan untuk keluar dari kesulitan yang sengaja ditekankan oleh mereka yang memegang kedudukan.

Mendengar akan peristiwa anak-anak mereka yang membasmi sarang bajak laut musuh besar mereka Tokugawa, yang kemudian mengakibatkan kemarahan tikoan, maka Yuan de Gama cepat-cepat mengambil jalan damai itu, menggunakan kekayaan untuk menghabiskan persoalan yang tentu akan menjadi berlarut-larut kalau dilawan dengan kekerasan.

“Lain kali, kalau ayah dan ibu tidak berada di rumah, kalian jangan bertindak ceroboh dan menanti saja sampai kami pulang,”

Yuan de Game menegur kedua orang anaknya setelah dia berhasil membereskan urusan itu dengan emas dan perak.

“Ayah, kalau kakak diculik gerombolan Tokugawa, masa aku harus tinggal diam saja?” Kwi Eng membantah ayahnya.

“Anak-anak kita tidak bersalah,” kata Li Hwa dengan sabar kepada suaminya. “Agaknya engkau lupa bahwa kita bukan tinggal di barat, di mana petugas hukum lebih baik daripada di sini, suamiku. Seolah-olah engkau sudah lupa saja akan semua pengalaman kita dahulu.”

Yuan de Gama memegang tangan isterinya penuh kasih sayang.
“Engkau seorang pendekar wanita, isteriku sayang, tentu saja pandanganmu selalu demikian, yaitu menggunakan kekerasan menghadapi kejahatan. Ahh, kalau saja aku tidak kasihan kepadamu yang tidak betah tinggal di barat, tentu akan kuboyong semua keluarga kita ke sana.”

“Kalau ayah ingin tinggal di barat, biar kami berdua tinggal di sini saja!” Kwi Eng tiba-tiba berkata dengan sikap manja? “Kami lahir di sini dan mencintai tanah ini, dan kami bahkan telah bertemu dengan para pendekar yang amat mengagumkan hati kami.”

Yuan de Gama tertawa. Dia paling sayang kepada anaknya yang perempuan ini, yang selalu dimanjanya karena anak itu mirip sekali dengan isterinya.

“Ha-ha-ha, darah ibumu lebih kuat mengalir di tubuhmu daripada darahku, Maria. Tentu saja engkau cinta negara dan bangsa ini.”

Akan tetapi Souw Li Hwa memandang kedua orang anaknya itu penuh perhatian, lalu bertanya,

“Bertemu dengan pendekar-pendekar? Siapa mereka dan di mana?”

“Kami belum menceritakan pengalaman-pengalaman kami yang amat hebat kepada ibu dan ayah,” jawab Kwi Beng. “Sesungguhnya ketika ayah dan ibu pergi, kami berdua telah mengalami hal-hal yang amat luar biasa...”

“Keributan di Pulau Hiu melawan anak buah Tokugawa itu?” tanya Yuan de Gama, diam-diam merasa girang dan kagum bahwa kedua orang anaknya itu mewarisi keberanian dan kepandaian ibu mereka.

“Ahhh, itu sih pengalaman kecil tidak berarti!” kata Kwi Eng.

“Akan tetapi dalam pertempuran kami melawan anak buah Tokugawa, kami sudah bertemu dengan seorang pendekar yang mengenal baik nama ibu. Dia adalah Tio-twako, yang bernama Tio Sun dan tahukah ibu siapa dia? Dia adalah putera tunggal dari seorang bekas pengawal yang setia dari suhu ibu...” kata Kwi Beng.

“Ah, putera Ban-kin-kwi?” Souw Li Hwa bertanya, segera dapat menduga setelah mendengar she orang itu.

“Benar, dia amat lihai dan tanpa bantuan dia, sukar bagiku untuk menolong Beng-koko. Mula-mula aku yang bertemu dengan Tio-twako, ibu.”

Dan Kwi Eng lalu menceritakan pertemuannya dengan Tio Sun ketika pemuda perkasa ini dikeroyok oleh orang-orang mabok dan dia yang sedang kebingungan karena kakaknya diculik Tokugawa, melihat kelihaian Tio Sun lalu belajar kenal dan minta bantuannya.

Girang sekali hati Souw Li Hwa mendengar betapa putera dari bekas pengawal suhunya itu telah menolong menyelamatkan puteranya.

“Di mana dia sekarang, mengapa tidak kalian tahan supaya bertemu dengan kami di sini?”

“Dia sudah pergi, ibu, bersama para pendekar yang lain. Ibu dan ayah tentu terkejut sekali mendengar pengalaman kami selanjutnya,” kata Kwi Beng.

“Beng-koko, biar aku yang bercerita kepada ibu!”

Kwi Eng memotong kata-kata kakaknya. Kwi Beng tersenyum dan menggerakkan pundaknya, kebiasaan yang merupakan ciri khas dari ayahnya!

“Pertama-tama ibu dan ayah berdua agar jangan kaget. Kami berdua telah bertemu dengan putera ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Bun Houw!”

“Aihhh...!”

Souw Li Hwa terkejut dan Yuan de Gama juga tercengang karena tidak menyangka bahwa anak-anaknya akan berjumpa dengan putera Pendekar Sakti Cia Keng Hong.

“Juga dengan seorang pendekar wanita yang kepandaiannya seperti dewi kahyangan, namanya nona Hong. Sayang kami tidak tahu siapa nama lengkapnya dan murid siapa dia itu.”

Kwi Beng yang sudah tidak sabar itu segera memperkenalkan dara yang menjadi pujaan hatinya.

“Dan selain putera ketua Cin-ling-pai, juga kami bertemu dengan puterinya...”

“Apa? Cia Giok Keng?” Souw Li Hwa bertanya dan Kwi Eng mengangguk.

“Aihh, singa betina itu masih muncul di dunia kang-ouw?” Yuan de Gama juga bertanya dengan kagum.

“Masih ada lagi, ibu,” Kwi Eng berkata lagi, gembira menyaksikan betapa ayah dan ibunya dilanda kekagetan yang bertubi-tubi, “dan ibu pasti tidak dapat menduga siapa dia.”

Suami isteri itu bengong terlongong mendengar semua cerita itu, kadang-kadang menahan napas kalau mendengar bagian-bagian yang menegangkan, apalagi ketika mendengar betapa nyaris puteri mereka diperkosa oleh Toat-beng-kauw Bu Sit. Setelah ada kesempatan bicara, Yuan de Gama tertawa.

“Ha-ha-ha, ternyata kalian berdua adalah petualang-petualang seperti juga ibu kalian!”

“Aihh, apakah bapaknya juga bukan seorang petualang besar? Kalau bukan, masa jauh-jauh dari bagian dunia lain di barat datang ke sini dan menikah dengan seorang wanita pribumi?” Souw Li Hwa mencela suaminya dan Yuan de Gama hanya tertawa.

“Ibu, Eng-moi jatuh cinta kepada penolongnya, kepada Cia Bun Houw!” tiba-tiba Kwi Beng berkata.

Sebelum ayah dan ibu itu hilang kagetnya, Kwi Eng juga sudah membalas kakaknya,
“Dan Beng-koko tergila-gila kepada burung... eh, nona Hong yang menyelamatkannya dari Hui-giakang Ciok Lee Kim!”

“Eng-moi bilang lebih baik mati kalau tidak menjadi isteri Cia Bun Houw!” Kwi Beng kembali membalas.

“Dan Beng-ko bersumpah untuk mencari nona Hong yang seperti dewi itu!” Kwi Eng membalas.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: