***

***

Ads

Selasa, 10 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 110

Wang Cin menggeleng-geleng kepalanya dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Dengan menggendong kedua tangan di bawah punggung dan menggeleng kepala, lalu berkata setelah kemudian duduk menghadapi delapan orang jenderal itu.

“Tidak, tidak! Tidak ada perlunya itu. Sri baginda kaisar tentu akan kesal hatinya kalau perjalanan dihentikan sampai tiga hari. Kita berangkat besok pagi, melewati pegunungan dan Lembah Nan-kouw dan setelah tiba di Huai-lai, barulah kita berhenti, mengaso dan makan sepuasnya. Apakah perajurit-perajurit Beng begitu lemahnya dan mementingkan makan dan minum saja?”

Mendengar ini, Jenderal Tan Jeng Koan mengepal tinju dan sudah hampir mendampratnya, akan tetapi Jenderal Kho Gwat Leng cepat memberi isyarat sehingga jenderal tinggi besar itu menahan kemarahannya.

“Terserah kepada Wang-taijin yang menjadi komandan pasukan, akan tetapi kalau sampai terjadi hal-hal yang merugikan kita, jangan lupa bahwa kami sudah memberi peringatan,” kata pula Jenderal Kho yang maklum bahwa berdebat melawan orang yang sudah dipercaya penuh oleh kaisar ini akan percuma saja.

Para jenderal ini adalah bekas panglima-panglima pembantu Panglima Besar The Hoo dan sudah mengabdi sejak jaman Kaisar Yung Lo. Seperti umumnya para panglima kuno, kesetiaan mereka terhadap kaisar adalah mutlak, dengan membuta dan keputusan apapun yang diambil oleh Kaisar merupakan perintah yang akan mereka pertahankan dengan pertaruhan nyawa, sungguhpun kesadaran mereka membuat mereka maklum betapa kelirunya keputusan itu sekalipun!

Para jenderal ini tentu saja maklum akan keadaan kaisar muda yang berada di bawah pengaruh Wang Cin itu, akan tetapi mereka tidak berani membantah keputusan kaisar, dan betapapun juga Wang Cin telah diangkat oleh kaisar menjadi komandan pasukan, menjadi atasan mereka yang harus mereka patuhi!

Diam-diam para jenderal yang sudah berpengalaman dan merupakan ahli-ahli perang yang telah puluhan tahun memimpin pasukan itu, telah menyebar penyelidik menyusup ke depan dan menyelidiki keadaan Pegunungan Nan-kouw yang menghalang di depan.

Pada pagi harinya, hanya ada empat orang di antara dua puluh penyelidik itu yang kembali ke perkemahan, dan mereka inipun berada dalam keadaan luka-luka parah. Dengan lemah mereka memberi laporan bahwa pegunungan itu penuh dengan barisan musuh yang dipimpin sendiri oleh Sabutai, pemberontak Mongol yang amat tersohor keberaniannya itu.

Berita ini tentu saja mengejutkan para jenderal dan kembali mereka membujuk Wang Cin untuk mencari perbekalan lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan.

”Kami sanggup mengawal kaisar sampai ke manapun, dan kita memang tidak perlu takut menghadapi para pemberontak liar itu,” kata Jenderal Tan Jeng Koan dengan suara nyaring. “Akan tetapi karena mereka tentu melakukan perang gerilya, maka pertempuran akan makan waktu lama. Tanpa perbekalan yang cukup, terutama sekali air minum, kedudukan kita dapat berbahaya.”

“Aahhhh, laporan para pengecut itu mengapa mengecilkan hati goanswe? Kalau cu-wi (anda sekalian) takut, biarlah saya sendiri yang memimpin pasukan menggempur perampok-perampok laknat itu! Justeru di depan kehadiran sri baginda, mereka berani mengacau, maka harus dibasmi sampai ke akarnya! Sekarang juga kita harus menyerang ke Nan-kouw dan menghancurkan mereka!”






Wang Cin berkata dengan muka merah karena diam-diam dia marah sekali bahwa para jenderal itu telah menyebar mata-mata tanpa dia ketahui dan timbul kekhawatirannya bahwa rencananya akan gagal.

Kembali para jenderal itu tidak dapat membantah dan mereka lalu berunding, kemudian mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaga menghadapi pasukan pemberontak Mongol yang menghadang mereka di Pegunungan Nan-kouw.

Demikianlah, pada hari itu juga pasukan Beng-tiauw yang mengawal rombongan kaisar itu melanjutkan perjalanan mendaki Pegunungan Nan-kouw. Untuk menjaga keselamatan kaisar, kereta yang ditumpangi oleh kaisar dan selirnya tercinta itu berada di tengah-tengah, didahului oleh pasukan pengawal yang dipimpin sendiri oleh empat orang jenderal, sedangkan di belakangnya diiringkan oleh pasukan yang dipimpin oleh empat orang jenderal lainnya.

Delapan orang jenderal itu sudah bersepakat untuk melindungi kaisar sedemikian rupa sehingga sebelum orang terakhir tewas, tak mungkin musuh akan dapat mendekati kaisar. Penjagaan yang mengelilingi kaisar dilakukan berlapis-lapis dan diatur secara ketat sekali.

Hal yang memang sudah diduga-duga dan dikhawatirkanpun terjadilah. Menjelang tengah hari, mulailah pasukan Sabutai menyerang, mula-mula penyerangan itu dilakukan dari arah kiri. Sebagian pasukan pengawal menyambut dan selagi perang terjadi, muncul pasukan musuh menyerang dari kanan, kemudian bertut-turut musuh bermunculan dari depan dan belakang! Mereka telah mengurung rombongan kaisar!

Akan tetapi karena delapan orang jenderal itu sudah bersiap-siap sebelumnya, penyerangan bertubi-tubi dari empat penjuru ini tidak mengacaukan pertahanan pasukan pengawal kaisar. Perlawanan dilakukan dengan baik, dan Jenderal Kho Gwat Leng sendiri yang memimpin pembuatan sebuah perkemahan di tengah-tengah pertahanan mereka untuk kaisar, selirnya, dan para pelayan kaisar.

Dengan kata-kata penuh semangat Jenderal Kho membesarkan hati kaisar dan menghiburnya sehingga kaisar tidaklah begitu khawatir biarpun tahu bahwa ada pasukan pemberontak menyerang karena dia percaya penuh akan kemampuan delapan orang jenderalnya.

Perang terjadi dengan hebatnya dan berkat kemampuan delapan orang jenderal yang mahir ilmu perang itu, biarpun jumlah musuh jauh lebih banyak, namun setelah bertempur sampai hari berganti malam, fihak penyerbu dapat dipukul mundur dan mereka melarikan diri ke dalam hutan-hutan di pegunungan itu.

Betapapun juga, fihak pasukan pengawal juga kehilangan banyak perajurit yang gugur maupun yang terluka sehingga jumlah mereka tinggal tiga perempatnya. Hal ini membuat para jenderal menjadi khawatir akan keselamatan kaisar, maka untuk kesekian kalinya mereka mengusulkan kepada Wang Cin agar rombongan ditarik mundur dan kembali saja ke kota raja sebelum terlambat. Kalau mereka mundur ke selatan, mereka akan lebih mudah memperoleh bantuan dari benteng pasukan Beng-tiauw yang berjaga di tapal batas.

“Tidak, sungguh memalukan kalau kita mundur. Bukankah dalam pertempuran tadi kita telah menang? Musuh telah kacau-balau, terpukul mundur dan kabur. Sebaiknya, besok pagi kita melanjutkan perjalanan ke kota Huai-lai dan di sana kita akan aman dan karena berada dalam benteng.” Wang Cin berkeras melanjutkan perjalanan itu.

“Wang-taijin, biarpun musuh terpukul mundur, namun mereka dapat menyusun kekuatan baru dan kalau mereka melakukan pengurungan di lembah depan, amatlah berbahaya.” Jenderal Kho Gwat Leng memperingatkan. “Terutama sekali karena perbekalan kita sudah menipis.”

“Tidak perlu kita takut. Kita sudah menang perang, mengapa harus melarikan diri dan mundur? Kita bahkan harus menggempur musuh yang sudah lari itu sampai terbasmi habis!” Wang Cin membantah.

Delapan orang jenderal itu kembali tidak berhasil membujuk dan pada keesokan harinya, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota Huai-lai dan menjelang tengah hari tibalah mereka di Lembah Nan-kouw yang amat sukar dilalui dan merupakan tempat berbahaya karena mereka harus melalui lorong yang curam, kanan kirinya menjulang dinding batu yang tinggi.

Terjadilah seperti yang dikhawatirkan oleh para jenderal yang berpengalaman itu. Terdengar suara gemuruh dan dari kedua tebing gunung itu datang hujan batu yang menyerang dan menimpa rombongan kaisar!

Tentu saja pasukan pengawal menjadi panik, dan ketika mereka mundur, ternyata jalan di belakang telah dihadang oleh pasukan musuh, juga di sebelah depan nampak debu mengebul tanda bahwa musuh sudah datang dari depan untuk menyerbu mereka yang terjepit di lorong Lembah Nan-kouw itu.

Delapan orang jenderal cepat membuat perkemahan yang terlindung, dan mengawal sendiri kaisar dan selirnya untuk berlindung ke dalam kemah Jenderal Kho Gwat Leng dan dua orang jenderal lain membantu para pengawal pribadi kaisar, menjaga kaisar di dalam kemah sedangkan Jenderal Tan Jeng Koan bersama empat orang kawannya lari keluar dan ikut memimpin pasukan pengawal untuk melawan musuh yang menyerbu dari depan dan belakang.

Terjadilah pertempuran yang amat hebat, akan tetapi karena pasukan pengawal kaisar berada di tengah-tengah, kanan kiri terhalang dinding gunung dan musuh yang amat banyak jumlahnya menyerang dari depan dan belakang, maka tentu saja mereka terhimpit dan terdesak hebat.

Betapapun juga, para jenderal memberi semangat kepada pasukan dengan amukan mereka. Terutama Jenderal Tan yang amat gagah, mengamuk seperti seekor naga yang sedang marah. Pakaian perangnya telah berobah menjadi merah oleh darah para pengeroyoknya dan darahnya sendiri yang keluar dari luka-lukanya. Demikian pula dengan empat orang jenderal lainnya.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai di sebelah belakang pasukan pengawal dan terjadilah kekacauan di fihak musuh yang menutup jalan keluar di belakang mereka. Ternyata kemudian bahwa datang pasukan campuran dari Suku Bangsa Mancu dan lain-lain, dipimpin oleh seorang kakek yang gagah perkasa menyerbu musuh dan membantu pasukan pengawal kaisar.

Kakek itu bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang memimpin suku-suku liar yang tidak suka melihat pemberontakan Sabutai dan kini membantu kaisar dengan menyerang pasukan Sabutai yang memotong atau menutup jalan keluar dari lorong Lembah Nan-kouw itu.

Akan tetapi, biarpun pasukan bantuan ini dapat mengacaukan fihak musuh di sebelah belakang, musuh yang menyerbu dari depan terlalu banyak sehingga selagi sebagian kekuatan pasukan pengawal mendesak musuh di belakang yang menjadi terjepit dengan datangnya Cia Keng Hong dan pasukannya, sebaliknya pasukan pengawal di fihak depan dapat dihancurkan dan terus didesak oleh fihak musuh sehingga mereka mundur dan bergabung dengan teman-teman yang masih melawan musuh yang menghadang di belakang.

Akhirnya, habislah anggauta pasukan yang mempertahankan diri di depan dan menyerbulah Sabutai yang dibantu oleh tiga orang tamunya yang lihai, yaitu Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, terus menerjang maju sampai akhirnya tidak ada lagi perajurit yang dapat melawan.

Bahkan delapan orang jenderal yang tadi mengamuk dahsyat itu tidak nampak lagi karena mereka itu semua sudah masuk ke dalam perkemahan kaisar untuk menyerahkan sisa darah dan nyawa mereka demi untuk melindungi junjungan mereka.

Ketika akhirnya Sabutai yang diiringkan oleh belasan orang pengawalnya, termasuk pula tiga orang tua lihai yang menjadi utusan Wang Cin itu, menyerbu ke dalam tenda besar dimana Kaisar Ceng Tung berada, nampak pemandangan yang amat mengharukan.

Kaisar yang masih amat muda itu duduk dengan sikap tenang sekali, tenang dan agung, di atas kursi sambil memeluk seorang wanita cantik yang nampak ketakutan. Wanita ini adalah Azisha, selir terkasih itu. Di dekat pintu tenda nampak bergelimpangan mayat delapan orang jenderal dengan tubuh penuh luka! Akan tetapi agaknya yang menewaskan mereka adalah luka-luka terakhir yang mereka terima dari serangan para pengawal Thaikam Wang Cin!

Ketika itu, delapan jenderal yang melindungi kaisar telah luka-luka parah, namun di bawah pimpinan Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan, mereka delapan orang kakek itu dengan pedang di tangan masih berjaga di pintu kemah kaisar. Tiba-tiba para pengawal Wang Cin, di antaranya terdapat Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, maju dan menyerang delapan orang jenderal itu dari belakang sehingga tewaslah mereka!

Kaisar terkejut sekali, hendak menegur perbuatan Wang Cin itu, akan tetapi thaikam ini berkata,

“Merekalah yang mencelakakan kita, sri baginda. Sekarang hamba dan para pengawal hamba yang melindungi paduka!”

Akan tetapi, begitu Sabutai dan para pengawalnya memasuki perkemahan itu, Wang Cin menyambut kepala pemberontak Mongol ini dengan senyum dan mereka saling memberi salam, demikian pula para pengawalnya segera beramah-tamah dengan para pengawal musuh!

“Hemmm... kiranya engkau seorang pengkhianat!”

Kaisar berseru dan membuang muka tidak mau memandang wajah Thaikam Wang Cin yang tersenyum-senyum menyeringai itu. Kemudian, setelah akhirnya pasukan Sabutai bersatu padu dan berhasil pula mengusir pasukan Cia Keng Hong yang tidak berapa banyak jumlahnya, Sabutai cepat-cepat menggiring kaisar sebagai tawanannya bersama Azisha yang tidak kelihatan takut lagi, dan kembali ke bentengnya di utara bersama Wang Cin dan para pengawalnya.

Diam-diam Sabutai merasa kagum bukan main kepada delapan orang jenderal itu, dan juga merasa kagum melihat sikap Kaisar Ceng Tung yang demikian tenang dan agung, sedikitpun tidak merasa takut dan biarpun telah menjadi tawanan, namun memperlihatkan sikap agung dan penuh wibawa sehingga membuat dia diam-diam merasa tunduk!

Sabutai adalah seorang yang menjunjung tinggi kegagahan dan amat membenci kecurangan dan pengkhianatan. Oleh karena itu, biarpun pada lahirnya dia mau dipersekutu oleh Wang Cin si pengkhianat, namun diam-diam di dalam hatinya dia sangat kagum kepada kaisar muda itu dan amat benci kepada Wang Cin.

Hanya karena dia ingin mempergunakan Wang Cin untuk usahanya menyerbu ke selatan, maka dia menahan diri dan tidak memperlihatkan kebenciannya itu. Akan tetapi dengan keras dia memerintahkan para pembantunya agar melayani kaisar dengan baik dan tidak boleh seorangpun ada yang bersikap kasar atau mengganggu kaisar muda ini dan selirnya. Bahkan Kaisar Ceng Tung dan selirnya ditempatkan di sebuah bangunan tersendiri, lengkap dengan taman dan diberi kebebasan, karena yang dijaga hanya sekeliling bangunan itu.

Wang Cin berusaha membujuk kaisar untuk membuat dan menandatangani surat kekuasaan dan pengangkatan kaisar baru, tentu saja dengan nama Wang Cin sebagai penggantinya, akan tetapi mendengar usul ini, Kaisar Ceng Tung hanya menjawabnya dengan meludah ke muka thaikam itu!

Kalau saja tidak dicegah oleh Sabutai, tentu Wang Cin sudah membunuh kaisar. Diam-diam Sabutai tertawa di dalam hatinya, melihat betapa pertemuan antara kaisar dan Wang Cin itu seperti pertemuan antara seekor burung hong dan seekor tikus!

Dia maklum bahwa membujuk atau mengancam seorang yang demikian gagah perkasa dan berwibawa seperti Kaisar Ceng Tung tidak ada gunanya sama sekali, dan kaisar itu jauh lebih baik dijadikan sandera. Sabutai memang cerdik bukan main. Dia tahu benar bahwa selama kaisar itu menjadi tawanannya, bala tentara Beng-tiauw tidak nanti akan berani menyerangnya.

Dan kalau dia memperlakukan kaisar itu dengan baik, sebagai seorang tamu terhormat, hal ini saja sudah cukup merupakan jaminan bahwa kelak, andaikata cita-citanya menyerbu ke selatan gagal dan dia kalah, Pemerintah Beng tentu suka akan memaafkannya, mengingat bahwa dia telah bersikap baik kepada kaisar. Maka dia melarang Wang Cin untuk bertemu sendiri dengan kaisar, selalu di bawah pengawasannya. Bahkan tempat yang dijadikan tempat tawanan atau lebih tepat disebut gedung tamu itu bersambung dengan istananya sendiri sehingga dengan demikian leluasalah dia untuk keluar masuk gedung tamu itu.

**** 110 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: