***

***

Ads

Jumat, 13 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 114

Terdengar dua orang tua itu terkekeh, lalu tiba-tiba mereka meloncat dan nampak segulungan sinar ketika mereka menggerakkan tongkat.

“Cring-cring-tranggg...!”

Empat batang golok yang menyambar itu bertemu dengan gulungan sinar, seperti dibelit oleh sinar itu dan terdengar teriakan mengerikan ketika senjata-senjata itu seperti dipaksa membalik dan menghunjam dada pemegangnya sendiri!

Cia Keng Hong menjadi marah sekali. Cepat dia meloncat ke depan, kedua tangannya menyerang dengan pukulan tangan terbuka ke arah kakek dan nenek itu.

“Ihhhh...!” Hek-hiat Mo-li memekik.

“Aihh...!”

Pek-hiat Mo-ko juga berteriak. Keduanya meloncat ke belakang dan robohlah empat orang pimpinan Suku Nomad itu, dengan golok menembus dada dan tewas seketika! Keng Hong memandang dengan penuh penyesalan. Akan tetapi, para suku Nomad yang melihat pemimpin mereka tewas, menjadi marah sekali. Sambil berteriak-teriak mereka mendekat dengan sikap mengancam.

Keng Hong yang maklum bahwa kalau mereka maju berarti hanya mengantar nyawa secara sia-sia belaka, lalu mengangkat tangan dan berseru nyaring penuh wibawa,

“Mundur semua! Biarkan aku menghadapi dua iblis ini!”

Semua orang mentaati dan mengurung tempat itu. Sedangkan Keng Hong yang maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai sekali, sudah mengeluarkan suara melengking nyaring dan panjang seperti pekik seekor burung rajawali yang menantang musuh, kemudian dengan tangan kosong tubuhnya sudah mencelat ke depan dan menyerang nenek dan kakek itu dengan jurus-jurus maut dari Ilmu Silat San-in-kun-hoat.

Dalam segebrakan saja pendekar ini telah menghantam ke arah ulu hati Pek-hiat Mo-ko dan sekaligus tangannya menampar ke arah ubun-ubun kepala nenek Hek-hiat Mo-li dan sukar dikatakan mana di antara kedua serangan ini yang lebih berbahaya karena keduanya adalah gerakan maut yang kalau mengenai sasaran sukar bagi lawan untuk membebaskan diri dari maut.

Kedua orang tua yang amat lihai itu terkejut, akan tetapi ternyata kakek dan nenek tua yang kelihatan sudah pikun itu masih memiliki kesigapan yang mengagumkan. Mereka berdua tidak saja dapat meloncat sambil mengelak, malah lompatan mereka itu membuat mereka berpencar dan mengurung Keng Hong dari depan belakang, kemudian secara langsung mereka membalas.

Mereka berdua mengeluarkan teriakan-teriakan mengerikan dan Hek-hiat Mo-li sudah menghantamkan tangan kanannya dari belakang ke arah punggung Keng Hong. Sedangkan Pek-hiat Mo-ko juga menampar dengan telapak tangan ke arah dada pendekar sakti itu. Dari telapak tangan Hek-hiat Mo-li mengepul asap hitam, sedangkan dari tangan Pek-hiat Mo-ko mengepul asap atau uap putih! Itulah bukti betapa hebatnya sin-kang mereka dan tangan beracun mereka.






Cia Keng Hong mengenal lawan tangguh. Secara otomatis kuda-kuda kedua kakinya bergerak ke kiri seperempat lingkaran sehingga kalau tadi kedua lawan berada di depan dan belakang, kini yang di depan menjadi di sebelah kanannya sedangkan yang tadinya di belakang menjadi di sebelah kirinya. Kedua lengannya dikembangkan ke kanan kiri dan dengan tepat sekali dia telah menyambut pukulan kedua orang lawannya dari kanan kiri itu dengan dorongan tangannya yang terbuka sambil mengerahkan tenaga sin-kang.

“Plak! Plakk!”

Hek-hiat Mo-li terpekik dan terhuyung dua langkah ke belakang, sedangkan Pek-hiat Mo-ko hanya terhuyung satu langkah ke belakang. Kedua kaki Cia Keng Hong sendiri ambles ke tanah sampai beberapa senti dalamnya.

Diam-diam pendekar ini terkejut, maklum bahwa tenaga kedua orang lawan itu hampir setingkat kuatnya dengan tenaganya sendiri, dan ternyata si kakek itu sedikit lebih kuat daripada si nenek.

“Cia Keng Hong, engkau akan mampus di tanganku!” teriak Pek-hiat Mo-ko.

“Biar kau menyampaikan tantangan kami kepada The Hoo si keparat yang berada di neraka!” Hek-hiat Mo-li juga berteriak.

Dua orang tua itu lalu menancapkan tongkat masing-masing di atas tanah, kemudian mereka menggosok-gosok kedua tangan mereka sehingga nampak uap mengepul makin tebal dan terasa ada hawa panas datang dari tubuh nenek itu, akan tetapi dari tubuh kakek itu menyambar hawa dingin!

Kembali Keng Hong terkejut, namun dia tidak kehilangan ketenangannya dan berdiri di tengah-tengah, kedua kakinya memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, yaitu kedua kaki terpentang lebar, lutut ditekuk dan tubuh tegak seperti seorang yang menunggang kuda.

Memang pasangan kuda-kuda itu adalah yang disebut “Menunggang Kuda”, kokoh kuatnya seperti kedua kaki telah berakar di bumi, namun ringannya seperti kaki burung yang siap terbang.

Tangan kanan di pinggang kanan, jari-jarinya terbuka dan membentuk cakar garuda, sedangkan jari-jari tangan kiri lurus di depan dada kiri. Seluruh tubuhnya sama sekali tidak bergerak, seolah-olah dia telah menjadi patung, dan hanya sepasang matanya yang masih tajam itu mengerling ke kanan kiri, mengikuti gerak-gerik kedua orang musuhnya yang lihai itu.

“Yieeeehhh...!”

Hek-hiat Mo-li sudah menerjang dari kiri, menggunakan kedua tangannya yang berobah hitam itu untuk mencengkeram.

“Aarrggghhhh...!”

Pek-hiat Mo-ko juga mengeluarkan suara gerengan seperti biruang, kedua tangannya menyerang pula dengan pukulan-pukulan tangan kosong dari kanan.

Keng Hong maklum bahwa dengan menancapkan tongkat di tangan lalu menyerang dengan tangan kosong, tentu kakek dan nenek itu lebih mengandalkan kelihaian tangan mereka yang jelas mengandung hawa beracun yang jahat. Maka dia tidak berani memandang rendah dan melihat betapa serangan nenek itu lebih dulu sedetik, dia cepat menghadapinya dengan memutar tubuh ke kiri tanpa mengalihkan kedua kakinya yang terpentang lebar.

Dengan tangan berputar, jari-jarinya menuding ke atas dan ke bawah, dia memapaki serangan nenek yang mencengkeramnya. Pendekar sakti ini menggunakan gerakan “Menyembah Langit dan Bumi”, suatu gerakan yang amat ampuh, apalagi karena dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang yang kuat sehingga dari gerakan kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan dahsyat.

Akan tetapi, pendekar ini hanya menangkis saja karena dari sambaran angin di sebelah kanannya, dia maklum bahwa serangan Pek-hiat Mo-ko sudah tiba pula.

“Desss! Plakk!”

Tubuh nenek itu mencelat ke belakang dan Keng Hong sudah memutar tubuh ke kanan, melengkungkan tubuh ke kiri dan meluruskan kaki kanan sehingga tubuh atasnya menjauh. Dia melihat pukulan kedua tangan kakek itu datang mengancamnya dengan hebat, tangan kanan kakek itu menusuk ke arah matanya sedangkan tangan kiri digerakkan seperti sebatang golok menusuk ke arah ulu hatinya!

Datangnya serangan amat cepat, didahului uap putih yang mengeluarkan hawa dingin sekali! Untuk mengelak sudah tidak ada waktu, maka Keng Hong lalu menyambut serangan ke matanya dengan tangan kiri, sedangkan tusukan ke dadanya dia terima begitu saja! Dia tidak berani menggunakan tangan kanannya karena tangan itu perlu dia persiapkan untuk menghadapi serangan nenek dari belakangnya.

“Plakk! Bukk!”

Tangan kanan kakek bermuka putih itu bertemu dengan tangan kiri Cia Keng Hong, sedangkan jari-jari tangan kiri kakek itu menghantam dengan jari-jari terbuka ke dada pendekar sakti ketua Cin-ling-pai.

Akibatnya hebat! Kakek bermuka putih itu terbelalak, mukanya yang putih itu menjadi makin pucat dan matanya bergerak liar, mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan aneh dalam bahasa asing.

Kiranya Cia Keng Hong telah mempergunakan ilmunya yang amat hebat, yaitu Thi-khi-i-beng, sehingga begitu kedua tangan Pek-hiat Mo-ko bertemu dengan tangan kiri dan dadanya, kedua tangan kakek muka putih itu melekat dan langsung saja tenaga sin-kangnya membanjir keluar, tersedot melalui tangan dan dada ketua Cin-ling-pai!

Akan tetapi Keng Hong juga merasa khawatir karena sin-kang yang memasuki tubuhnya itu mengandung racun yang berhawa dingin, mengendalikan tenaganya agar tidak menyedot terlampau banyak dan Thi-khi-i-beng itu hanya dipergunakan untuk menundukkan lawan saja.

“Ahhhhh...!”

Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan pekik nyaring dan mukanya menunjukkan kekagetan dan kengerian. Melihat ini, Hek-hiat Mo-li dapat menduga bahwa temannya itu terancam bahaya, apalagi dia melihat betapa kedua tangan temannya seperti melekat pada tubuh ketua Cin-ling-pai, maka sambil mengeluarkan suara melengking nyaring nenek inipun menyerang hebat dengan pukulan tangannya ke arah tengkuk Keng Hong.

“Wuuuuttt... plak! Plak!”

Kembali Keng Hong menghadapi musuhnya yang tidak kalah lihainya daripada kakek itu dengan penggunaan Thi-khi-i-beng yang tersalur di seluruh tubuhnya. Tangan kanannya menyambut hantaman nenek itu sehingga kedua tangan mereka bertemu dan saling menempel, sedangkan tamparan tangan kanan nenek itu ke arah punggungnya dia biarkan saja karena Ilmu Thi-khi-i-beng menyambut pukulan itu, membuat tangan si nenek melekat di punggungnya.

“Aihhhh...!”

Hek-hiat Mo-li juga memekik ngeri ketika merasa betapa tenaga sin-kangnya membanjir keluar tanpa dapat dicegahnya, sedangkan ketika dia hendak menarik kedua tangannya, ternyata dua tangan itu sudah melekat pada tubuh lawan dan tidak dapat ditariknya lepas!

Akan tetapi, pada saat dua orang kakek dan nenek itu terkejut dan khawatir sekali menghadapi ilmu aneh yang selamanya belum pernah mereka hadapi itu, ilmu yang membuat kedua tangan mereka melekat pada tubuh lawan dan yang membuat tenaga sakti mereka membanjir keluar, di lain fihak Cia Keng Hong juga terkejut dan maklum bahwa kalau dia melanjutkan penggunaan Thi-khi-i-beng, dia sendiri tidak urung akan celaka karena tenaga sin-kang yang membanjir keluar dari tubuh dua orang lawannya itu mengandung hawa beracun yang amat jahat dan berlawanan sifatnya, yaitu hawa beracun dari kakek itu amat dingin sebaliknya tubuh nenek itu mengeluarkan hawa yang amat panas. Di sebelah dalam tubuhnya bisa keracunan dan rusak oleh dua hawa beracun yang saling berlawanan ini.

Pendekar sakti dari Cin-ling-pai ini tentu saja tidak sudi untuk mengadu nyawa dengan kedua orang lawannya, maka dia cepat merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya, kemudian dengan berbareng dia melepaskan tenaga sakti Thi-khi-i-beng dan pada saat itu juga tubuhnya meluncur ke depan sehingga terlepaslah dia dari kedua orang lawannya.

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang merasa betapa tenaga mujijat yang membuat tangan mereka melekat itu tiba-tiba lenyap, kalah cepat dan sebelum mereka sempat memukul, tubuh lawan yang sakti itu telah meluncur ke depan. Mereka menjadi marah sekali, akan tetapi juga agak jerih karena mereka maklum bahwa lawan ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan aneh.

Dengan hati-hati dan dengan mata mengandung sinar berapi, nenek dan kakek itu kembali menerjang Keng Hong dengan pukulan-pukulan yang dikerahkan sekuatnya, mengandung hawa beracun bergulung-gulung berbentuk uap hitam dan putih.

Cia Keng Hong yang sudah maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan ini tidak banyak selisihnya dengan tingkatnya sendiri, menghadapi mereka dengan waspada dan hati-hati, kini bersilat dengan dasar ilmu silat tinggi Thai-kek-sin-kun sehingga tubuhnya seolah-olah berobah menjadi bayang-bayang saja yang sukar sekali dapat disentuh oleh kedua orang lawan.

Tiba-tiba Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengeluarkan pekik panjang dan mereka merobah gerakan mereka. Keng Hong terkejut sekali. Kini dua orang itu tidak bergerak menyendiri, melainkan mereka bersilat dengan gerakan bergabung!

Pek-hiat Mo-ko berputaran dan kaki tangannya menghujankan serangan dari kanan ke kiri, sedangkan Hek-hiat Mo-li berputar dari kiri ke kanan. Gerakan mereka saling membantu dan saling mengisi sehingga Keng Hong menjadi sibuk menghadapi lawan yang seolah-olah merupakan seorang lawan yang dapat memecah diri menjadi dua, yang gerakan-gerakannya demikian otomatis sambung-menyambung, saling melindungi dan saling membantu.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: