***

***

Ads

Jumat, 13 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 115

Dia terkejut dan kagum sekali karena dia maklum bahwa dua orang ini telah menciptakan semacam ilmu silat mujijat yang dimainkan secara berbareng oleh dua orang. Dia percaya bahwa kalau dua orang ini bersilat seperti itu, mereka kuat sekali dan biar menghadapi pengeroyokan banyak orangpun akan mampu saling melindungi.

Dia sendiri mulai terdesak dan dua kali sudah dia terkena pukulan pada pundak kirinya dan totokan pada pangkal lengannya. Untung dia masih sempat melindungi bagian yang terpukul dan tertotok itu dengan sin-kang, kalau tidak tentu dia sudah terluka keracunan. Betapapun juga, pendekar sakti ketua Cin-ling-pai ini terdesak hebat dan harus diakuinya bahwa baru sekarang selama puluhan tahun ini dia bertemu tanding yang demikian lihainya.

Hanya karena Cia Keng Hong mahir ilmu silat sakti Thai-kek-sin-kun sajalah maka dia masih mampu bertahan, sungguhpun dia terdesak dan tidak mampu melakukan serangan balasan. Sayang, pikirnya. Kalau Siang-bhok-kiam berada di tangannya, dia tidak akan gentar menghadapi dua orang ini, dan tentu dia tidak akan terdesak seperti sekarang ini.

“Desss...! Plak-plak...!”

Kembali Cia Keng Hong terpaksa menerima dua kali tamparan Hek-hiat Mo-li yang mengenai punggung dan pundaknya setelah dia menangkis hantaman Pek-hiat Mo-ko. Sekali ini, hebatnya tamparan membuat kepalanya pening dan tubuhnya terhuyung dan dadanya sesak. Untung baginya bahwa tangkisannya yang keras sebelumnya telah membuat tubuh Pek-hiat Mo-ko terpelanting. Kalau tidak, dalam keadaan terhuyung itu tentu sukar baginya untuk menyelamatkan diri.

Melihat betapa jago mereka terhuyung-huyung, sedangkan pertempuran itu berjalan lambat sehingga mereka memandang rendah kepada kakek dan nenek itu, empat orang anggauta pasukan Mancu menyerbu dengan tombak di tangan, langsung menyerang kakek dan nenek itu.

“Jangan...!”

Cia Keng Hong membentak, namun terlambat. Empat orang itu telah menyerang dan menusukkan tombak mereka.

“Trakk-trakkk... desss!”

Empat batang tombak itu memang mengenai tubuh kakek dan nenek yang menerimanya sambil tersenyum mengejek dan patah-patahlah empat gagang tombak itu, kemudian begitu kedua tangan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko bergerak, empat orang Mancu itu berteriak mengerikan dan tubuh mereka terlempar dengan kepala pecah dan tewas seketika itu juga!

Keng Hong yang masih merasa pening itu menjadi marah sekali. Dia meloncat ke depan, kedua tangannya memukul dengan tangan terbuka, sambil mengerahkan sin-kangnya. Angin pukulan menyambar dahsyat ke arah tubuh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.

Akan tetapi dua orang tua itu sudah siap siaga, mereka menekuk lutut, mengerahkan tenaga dan mendorongkan kedua tangan ke depan, masing-masing menyambut pukulan Cia Keng Hong.






“Desss! Desss...!”

Tubuh Cia Keng Hong kembali terjengkang dan terhuyung ke belakang. Tidak kuat dia menghadapi tenaga yang bergabung itu dan pendekar ini merasa dadanya sesak dan mencium bau darah, tanda bahwa dia menderita luka yang biarpun tidak parah dan tidak berbahaya akan tetapi mengurangi daya tempurnya. Sedangkan tubuh kedua lawannya hanya bergoyang-goyang saja.

“Cia Keng Hong, bersiaplah untuk mampus!”

Hek-hiat Mo-li berseru keras dan bersama temannya dia sudah siap untuk menyerang lagi.

“Ayah, biarkan saya mengambil bagian!”

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu telah muncul seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Cia Bun Houw! Tak lama kemudian muncul pula seorang pemuda lain yang berpakaian sederhana berwama kuning, pemuda ini adalah Tio Sun yang datang bersama Cia Bun Houw.

Seperti telah dituturkan di bagian depan Cia Bun Houw bersama Tio Sun berpisah dari encinya, dari Kwi Beng dan Kwi Eng untuk pergi melakukan penyelidikan terhadap musuh-musuh Cin-ling-pai yang telah melarikan diri ke utara. Di dalam perjalanan itu, mereka mendengar pula akan peristiwa hebat yang menimpa kaisar, yang kabarnya tertawan oleh musuh. Juga mereka mendengar berita angin bahwa para musuhnya kini bekerja kepada Thaikam Wang Cin yang menjadi biang keladi jatuhnya malapetaka atas diri kaisar yang tertawan gerombolan liar.

Maka dua orang muda perkasa ini lalu mengambil keputusan untuk menyusul ke utara, kini dengan dua tujuan. Pertama untuk mencari musuh-musuh Cin-ling-pai, kedua untuk berusaha membantu dan menyelamatkan kaisar. Demikian, pada hari itu mereka tiba di dalam hutan yang menjadi markas dari pasukan-pasukan Mancu dan Khitan yang dipimpin oleh Cia Keng Hong dan secara kebetulan sekali melihat betapa ketua Cin-ling-pai dikeroyok oleh dua orang tua yang amat lihai. Tentu saja Bun Houw menjadi kaget dan marah, lalu meloncat mendahului Tio Sun untuk membantu ayahnya.

Lega hati Cia Keng Hong melihat munculnya pemuda ini. Dia sudah pernah menguji kepandaian Bun Houw dan maklum bahwa tingkat kepandaian puteranya yang telah menerima gemblengan manusia sakti Kok Beng Lama kini telah cukup tinggi untuk menghadapi seorang lawan seperti kakek dan nenek ini. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian Pek-hiat Mo-ko masih lebih tinggi sedikit daripada tingkat kepandaian si nenek, maka dia cepat menghadapi kakek itu dan berkata kepada puteranya,

“Houw-ji, (anak Houw), kau lawanlah Hek-hiat Mo-li dan hati-hatilah terhadap hawa beracun dari tangannya yang mengandung tenaga Yang-kang yang cukup kuat.”

“Jangan khawatir, ayah,”

Bun Houw berkata dan pemuda yang merasa penasaran dan marah melihat ayahnya tadi terdesak, langsung saja bergerak cepat, menyerang Hek-hiat Mo-li dengan tamparan tangan kiri ke arah kepala nenek itu.

Hek-hiat Mo-li adalah seorang tokoh tua yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan bagian barat, sudah banyak menghadapi lawan-lawan tangguh. Tentu saja dia memandang rendah kepada seorang pemuda yang menurut taksirannya tidak akan lebih dari dua puluh tahun usianya itu.

Maka, melihat tamparan yang datang dengan perlahan itu, dia hanya terkekeh dan mengangkat lengan kanan untuk menangkis sambil mengerahkan hawa mujijatnya sehingga gerakan tangan itu didahului oleh uap hitam, lalu disusul tangan kirinya yang menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah lambung lawan sebagai serangan balasan.

“Dess... takkk!”

Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang. Ketika dia menangkis, dan tusukan tangannya juga tertangkis oleh pemuda itu, kedua tangannya bertemu dengan tangan pemuda yang memiliki tenaga dahsyat sekali.

Akan tetapi gerakan tangan itu, dan kedahsyatan tenaga yang menggetar-getar itu, membuat dia terbelalak karena dia mengenal gerakan tangan sakti itu. Pernah dia dan Pek-hiat Mo-ko hampir celaka oleh gerakan tangan seperti itu, ketika mereka merantau sampai ke Tibet.

“Apa hubunganmu dengan Kok Beng Lama...?” bentaknya dan mendengar bentakan ini, Pek-hiat Mo-ko juga menunda gerakannya menyerang Cia Keng Hong dan ikut memandang ke arah pemuda itu.

Bun Houw tersenyum.
“Kok Beng Lama adalah suhuku, mau apa kau tanya-tanya?”

Mendengar ini, kakek dan nenek itu terkejut bukan main, lalu si nenek mengeluarkan kata-kata dalam bahasa asing, kemudian kakek dan nenek itu menggerakkan tangan dan segumpal uap putih dan hitam menyambar ke arah Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw.

Serangan ini hebat sekali, karena selain uap itu mengandung racun berbahaya, juga di dalamnya terdapat senjata rahasia berbentuk jarum-jarum halus yang meluncur ganas dan tersembunyi.

“Houw-ji, awas...!”

Keng Hong berseru, maklum akan bahayanya senjata rahasia itu. Akan tetapi, seperti juga ayahnya, dengan mudah saja Bun Houw menghindarkan diri dari serangan uap hitam dengan miringkan tubuh dan menggunakan pukulan tangan yang mengeluarkan angin dahsyat meruntuhkan uap hitam dan jarum-jarum di dalamnya.

“Hendak lari ke mana kalian?” Bun Houw membentak.

“Houw-ji, jangan kejar. Biarkan mereka pergi!” Keng Hong mencegah puteranya dan Bun Houw tidak melanjutkan pengejarannya.

Keng Hong yang sudah mendengar tentang puteranya ini dari penuturan Cia Giok Keng yang pulang ke Cin-ling-pai, kini menceritakan kepada pemuda itu tentang kaisar yang ditawan musuh dan tentang usahanya untuk menyelamatkan kaisar. Dia merasa girang mendengar bahwa Tio Sun yang gagah perkasa itu adalah putera Tio Hok Gwan sahabat baiknya.

Mendengar betapa beberapa kali usaha pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu dalam menyelamatkan kaisar gagal, Bun Houw dan Tio Sun menyatakan hendak membantu.

“Cia-locianpwe, biarlah saya dan adik Bun Houw menyelundup ke benteng musuh untuk menyelamatkan sri baginda kaisar,” kata Tio Sun penuh semangat.

Sebagai putera seorang bekas pengawal kaisar yang setia, tentu saja pemuda ini ingin sekali membuktikan dharma baktinya terhadap kaisar.

Bun Houw juga menyetujui usul Tio Sun ini, akan tetapi Cia Keng Hong menggeleng kepalanya.

“Berbahaya sekali...” orang tua sakti ini berkata perlahan.

“Ayah, kami tidak takut menghadapi bahaya untuk menyelamatkan kaisar!” Bun Houw berkata nyaring.

“Hemm, aku tahu. Akan tetapi bahayanya bukan hanya mengancam kalian berdua kalau kalian menyelundup ke sana, melainkan terutama sekali mengancam keselamatan nyawa kaisar.”

“Eh, mengapa begitu?” Bun Houw bertanya kaget.

“Apa maksud locianpwe?” Tio Sun juga bertanya karena merasa heran.

“Menurut penyelidikanku, biarpun menjadi tawanan musuh, kaisar mendapat pelayanan baik dan selama ini tidak pernah diganggu keselamatannya. Besar kemungkinan Sabutai hendak mempergunakan kaisar sebagai sandera, atau hendak membujuk kaisar agar dengan suka rela menyerahkan tahta kerajaan kepadanya. Maka, kalau dia melihat kalian mengancam, bukan tidak mungkin dia akan merobah sikapnya terhadap kaisar.”

Tio Sun dan Bun Houw mengangguk-angguk.
“Habis, bagaimana baiknya, ayah? Tidak mungkin pula kita mendiamkan saja kaisar menjadi tawanan gerombolan liar.”

“Satu-satunya jalan hanya menyerbu secara terbuka. Akan tetapi kekuatan pasukan yang berhasil kukumpulkan tidak berapa besar dan kita masih menanti datangnya bala tentara kerajaan yang tak kunjung datang. Sementara itu, kembali kita kehilangan beberapa orang, termasuk Yalu, yang tewas dalam tangan kakek dan nenek iblis itu. Tak kusangka bahwa Sabutai mempunyai guru-guru yang demikian lihainya. Pantas dia berani mengadakan pemberontakan dan menawan kaisar.”

Dua orang pemuda itu maklum bahwa kalau mereka bertindak secara lancang, selain mereka sendiri terancam bahaya, juga mereka belum tentu dapat menolong kaisar, malah mungkin membahayakan nyawa kaisar.

Oleh karena itu, mereka menyerahkan siasat kepada ketua Cin-ling-pai dan menyatakan hendak membantu sekuat tenaga. Tentu saja Cia Keng Hong merasa girang sekali memperoleh bantuan puteranya dan Tio Sun, hatinya menjadi besar, semangat dan harapannya timbul kembali untuk menyelamatkan kaisar.

**** 115 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: