***

***

Ads

Jumat, 13 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 117

“Huh, engkau sudah menjadi gila agaknya...”

Dia meremas tangannya sendiri. Suaranya lirih dan mengandung kegemasan. Sejak tadi dia duduk di bawah pohon di dalam hutan lebat itu, seorang diri saja dan kadang-kadang termenung, kadang-kadang berbisik-bisik seorang diri seperti orang yang gila.

Dia seorang gadis yang amat cantik jelita. Usianya paling banyak dua puluh tahun, karena biarpun melihat wajahnya masih kelihatan seperti seorang dara remaja yang tidak akan lebih dari lima belas tahun, namun di balik sinar matanya dan lekuk mulutnya terbayang kematangan seorang gadis yang telah dewasa.

Sepasang matanya tajam dan bening, agak lebar dan dihias bulu mata yang panjang lentik dan yang membentuk bayang-bayang di pipi atasnya. Hidungnya kecil mancung, amat serasi dengan mulutnya yang indah bentuknya, dengan sepasang bibir yang tipis merah dan amat lunak, namun bibir yang seperti buah masak itu membayangkan kekerasan hati terutama sekali lekuk dagunya.

Rambutnya hitam panjang dan halus, digelung ke atas seperti bentuk bunga teratai dan ujung rambutnya dibiarkan terurai di belakang punggungnya. Panjang sekali rambut itu, karena biarpun sudah digelung, sisanya masih mencapai punggung. Agaknya kalau gelung dilepas, rambut itu akan mencapai bawah pinggul panjangnya.

Pakaiannya sederhana potongannya, juga terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mahal, jahitannyapun kasar, akan tetapi setelah menempel di tubuhnya, menjadi patut dan manis sekali. Hal ini adalah karena bentuk tubuhnya memang amat indah, padat dan dengan lekuk lengkung sempurna, bagian atas dan bawah yang padat agaknya dipisahkan dan dibatasi oleh pinggang yang ramping sekali.

Sebatang pedang panjang tergantung di pinggang kirinya dan pedang ini menambah kegagahan di samping kecantikannya yang aseli tanpa bantuan bedak dan gincu. Seorang dara yang cantik jelita, manis, dan gagah perkasa.

Dia adalah Yap In Hong! Pada saat itu, In Hong yang sudah sejak tadi duduk termenung di bawah pohon, nampak kesal dan beberapa kali mengepal tinju, meremas tangan sendiri dan bersungut-sungut memaki diri sendiri.

Dia merasa marah kepada diri sendiri karena semenjak pertemuannya dengan Bun Houw dia merasa tidak sewajarnya, tidak seperti dulu-dulu lagi dan betapapun dia berusaha untuk melupakan pemuda itu, namun setiap saat dia teringat lagi, teringat akan semua peristiwa yang dialaminya bersama pemuda itu, terbayang akan wajahnya, sinar matanya, senyum dan kata-katanya!

Di lubuk hatinya ada perasaan mesra dan kerinduan untuk berdekatan dengan pemuda itu, dan inilah yang membuat dia marah kepada diri sendiri sampai dia memaki dirinya sendiri gila. Memang tanpa disadarinya sendiri, dia telah tergila-gila, telah jatuh cinta kepada pemuda itu.

Pemuda itu merupakan suatu kekecualian. Selama ini, sejak kecil telah ditanamkan di dalam hatinya akan kepalsuan kaum pria, akan kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap kaum wanita sehingga ada dasar tidak suka di dalam hatinya terhadap kaum pria. Akan tetapi, begitu bertemu dengan Bun Houw, melihat sikap pemuda itu yang gagah perkasa, yang jauh daripada mempermainkan wanita, bahkan menolak bujuk rayu wanita, yang bersikap baik, halus dan sopan kepadanya, maka jatuhlah hatinya!






Akan tetapi dia berusaha menyangkal hal ini dan selalu melawan perasaan hatinya. Celakanya, makin dilawan, makin beratlah rasa hatinya, makin kuat dorongan hasratnya untuk selalu berdekatan dengan Bun Houw.

Maka terjadilah perang di dalam hatinya sendiri dan akibatnya membuat gadis ini seperti orang bingung. Kadang-kadang dia menjauhi, akan tetapi tak lama kemudian kembali dia mendekati dan diam-diam membayangi perjalanan Bun Houw.

Bahkan dari jauh dia melihat Bun Houw yang bertemu dengan orang-orang gagah, kemudian dia berkesempatan pula menyelamatkan Souw Kwi Beng dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim dan membunuh orang keempat dari Lima Bayangan Dewa itu.

Akan tetapi dia selalu cepat menghindarkan pertemuan dengan Bun Houw, karena dia merasa malu kalau sampai ketahuan oleh pemuda itu bahwa dia selama ini membayangi pemuda itu! Apalagi ketika dari jauh dia melihat Cia Giok Keng puteri ketua Cin-ling-pai, kemudian melihat pula Yap Kun Liong kakak kandungnya, In Hong terkejut dan cepat menjauhkan diri tidak berani mendekat.

Betapapun juga, perasaan rindunya dan ingin berdekatan dengan Bun Houw membuat dia mengintai lagi dan akhirnya dia membayangi Bun Houw yang melakukan perjalanan ke utara bersama Tio Sun. Setelah Bun Houw dan Tio Sun membantu Cia Keng Hong mengusir dua orang kakek dan nenek yang amat lihai, dua orang pemuda itu masuk ke dalam perkemahan pasukan orang Mancu dan Khitan itu dan sampai berhari-hari lamanya tidak meninggalkan tempat itu.

“Bodoh kau!”

Kembali In Hong mengomeli dirinya sendiri. Betapa dia tidak akan merasa jengkel dan gemas terhadap dirinya sendiri yang selama ini selalu berkeliaran di dalam hutan di sekitar perkemahan itu, menanti-nanti munculnya Bun Houw! Dia telah membiarkan dirinya tersiksa hidup berhari-hari di dalam hutan liar dan lebat, tanpa kawan, dengan hati penuh rasa rindu dan kejengkelan.

Beberapa kali dia ingin memasuki perkemahan itu untuk bertemu dengan Bun Houw, akan tetapi rasa malu membuat dia mundur kembali. Dia telah melakukan penyelidikan sekedarnya dan telah mendengar bahwa kaisar menjadi tawanan Sabutai dan bahwa kelompok orang Mancu dan Khitan yang dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai itu berniat untuk menyelamatkan kaisar, akan tetapi selalu terpukul mundur oleh pasukan Sabutai yang jauh lebih banyak dan kuat.

“Kalau begini terus, aku bisa gila benar-benar!”

Akhirnya In Hong bangkit berdiri dan mengepal tinju, mengambil keputusan bahwa dia akan menemui Bun Houw! Dia sudah mempunyai alasan untuk mengatasi rasa malunya, yaitu bahwa dia akan membantu pemuda itu untuk menolong kaisar yang tertawan musuh!

Akan tetapi In Hong tidak ingin bertemu dengan orang-orang lain, apalagi dengan ketua Cin-ling-pai! Orang tua sakti itu pernah hendak menjodohkan dia dengan puteranya, ingin mengambil mantu padanya. Tentu saja dia merasa malu kalau kelihatan oleh ketua itu bahwa dia ingin membantu Bun Houw dan merasa senang kalau berdekatan dengan pemuda she Bun itu, seorang pemuda biasa saja!

Kecuali kalau pemuda itu sudah menerimanya, kalau kemudian terpaksa bertemu dengan siapapun, tidak mengapa. Yang penting, dia harus bertemu dulu dengan Bun Houw untuk menyatakan keinginannya membantu usaha pemuda itu menolong kaisar.

Dia masih harus menanti sampai tiga hari, barulah pada suatu senja In Hong melihat Bun Houw keluar seorang diri dari daerah perkemahan itu. Dengan girang dia lalu muncul dari atas pohon, meloncat seperti seekor burung garuda ke depan Bun Houw yang memandang dengan kaget sekali, akan tetapi segera wajah pemuda ini berseri ketika dia mengenal siapa yang meloncat turun menghadang di depannya dari atas pohon itu.

“Hong-moi...!”

Seruan yang keluar dari mulut Bun Houw ini mengandung getaran karena memang selama ini seringkali dia mengenangkan dara itu dengan penuh kerinduan hatinya, maka pertemuan yang tidak disangka-sangkanya ini secara tiba-tiba membuat dia terkejut dan girang bukan main.

Hati yang penuh kerinduan membuat matanya melihat gadis itu lebih cantik dan gemilang daripada yang dibayangkan selama ini, membuat jantungnya berdebar penuh kagum, dan membuat dia lupa akan segala hal lain mengenai diri In Hong yang dikenalnya sebagai seorang gadis cantik jelita dan berilmu tinggi dan yang mengaku bernama Hong saja.

Hati gadis itupun girang sekali dan melihat wajah Bun Houw, mendengar suaranya, mendatangkan perasaan aneh di dalam dadanya, membuat jantungnya berdebar tegang dan ada perasaan malu-malu yang aneh sekali, yang membuat wajahnya menjadi merah dan tidak kuat dia menentang pandang mata itu.

“Bun-twako... sudah berhari-hari aku menanti kesempatan ini... akhirnya kau muncul sendirian...” katanya lirih sambil menundukkan pandang mata, akan tetapi segera diangkatnya kembali mukanya dan dia memandang dengan sinar mata tajam berseri.

“Berhari-hari menanti...? Kenapa kau tidak langsung saja masuk ke perkemahan dan menemui aku?”

“Aku tidak ingin bertemu dengan yang lain-lain, terutama dengan ketua Cin-ling-pai, aku mau bicara dulu denganmu, Bun-twako.”

“Engkau sudah tahu keadaan kami...”

Tiba-tiba Bun Houw teringat dan alisnya berkerut, wajahnya yang tadinya berseri itu berobah muram.

“Tentu saja aku tahu semua karena selama ini aku mengikutimu dari jauh, twako.”

“Hemm... aku tahu... engkau telah menyerang dan hampir membunuh Souw Kwi Eng...”

“Aku tidak kenal siapa itu Souw Kwi Eng, akan tetapi aku memang telah membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim dan monolong Souw Kwi Beng...” kata In Hong terheran.

Bun Houw mengangguk-angguk, hatinya mulai panas karena teringat akan perbuatan kejam gadis ini. Tentu dia tidak mau mengakui perbuatan keji itu, pikirnya.

“Aku tahu semua itu... sekarang engkau menemui aku ada keperluan apakah?”

In Hong makin terheran melihat perobahan sikap dan wajah pemuda itu.
“Aku telah mendengar bahwa kaisar ditawan musuh dan aku tahu bahwa engkau hendak menolongnya, Bun-twako. Maka aku hendak menawarkan bantuanku, aku ingin membantumu.”

“Tidak...! Aku tidak mau...!”

Bun Houw menggeleng kepala, suaranya kasar karena dia membayangkan gadis she Ma yang tewas secara mengerikan di dalam kamarnya, tewas oleh seorang wanita lihai yang tentu saja gadis cantik yang berdiri di depannya inilah orangnya!

Saking kaget dan herannya melihat sikap pemuda itu, In Hong melangkah maju mendekat, menatap wajah itu dengan penuh selidik lalu dia bertanya,

“Bun-twako, engkau kenapakah?”

“Aku tidak membutuhkan bantuanmu!”

Bun Houw makin panas hatinya karena terdorong oleh rasa kecewa. Dia amat tertarik oleh dara perkasa ini, dia amat kagum kepada dara ini, bukan hanya kagum oleh kecantikannya yang luar biasa, juga terutama sekali oleh kepandaiannya, akan tetapi rasa kagumnya itu hancur oleh kekejaman gadis ini yang seperti iblis.

“Engkau... engkau Dewi Maut, cantik jelita dan berilmu tinggi akan tetapi ganas dan kejam seperti iblis!”

“Twako...!”

In Hong mengerutkan alisnya dan pandang matanya mulai mengeras. Seketika lenyaplah semua perasaan mesra di hatinya oleh sikap dan kata-kata Bun Houw itu.

“Engkau boleh saja menolak bantuanku akan tetapi engkau tidak berhak memaki aku seperti itu!” bentaknya.

“Aku tidak memaki, hanya berkata sebenarnya. Engkau kejam dan ganas, dan aku tidak sudi kau bantu!”

“Orang she Bun yang sombong!” In Hong sudah naik darah dan kedua tangannya dikepal. “Kau kira aku ini siapa boleh kau hina begitu saja?”

Bun Houw juga marah. Kekecewaan hatinya melihat kenyataan bahwa dara yang dipujanya, yang diam-diam telah mencuri hatinya secara aneh ternyata adalah seorang iblis betina, membuat dia marah sekali.

“Kau hendak membunuhku juga? Ha-ha, majulah, jangan mengira aku takut padamu!”

“Keparat...!”

In Hong sudah hendak menyerang dan Bun Houw sudah siap melawan, akan tetapi tiba-tiba In Hong melangkah mundur dua tindak, mukanya pucat dan mulutnya yang berbentuk indah itu tersenyum, senyum yang menutupi hati yang terasa sakit.

“Tidak... tidak sekarang... aku akan membiarkan kau hidup sementara untuk membuka matamu agar kau melihat betapa tololnya engkau yang telah menuduhku yang bukan-bukan...”

“Bukan menuduh melainkan kenyataannya kau telah membunuh gadis dusun itu secara kejam! Selain membunuh gadis dusun yang tak berdosa, engkaupun telah menyerang dan hampir membunuh Souw Kwi Eng! Kau tidak perlu mungkir lagi.”

“Hemm, betapa mudahnya sekarang aku menggerakkan tangan membunuhmu untuk menghentikan ocehanmu yang penuh kepalsuan ini. Akan tetapi tidak, biar kau melihat kenyataan dan kau menyesali fitnah ini, baru aku akan mencabut nyawamu!” Setelah berkata demikian, In Hong berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: