***

***

Ads

Jumat, 13 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 119

Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang sudah tahu bahwa gadis lihai ini memang hanya mendatangkan kesulitan saja, sudah melangkah maju. Juga tiga orang Bayangan Dewa sudah saling pandang, karena mereka telah mendengar akan kematian Toat-beng-kauw Bu Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan menurut pendengaran mereka, Ciok Lee Kim terbunuh oleh seorang gadis cantik yang agaknya gadis inilah karena memang mereka tahu akan kelihaian Yap In Hong.

Melihat gelagat tidak baik ini, In Hong hanya tersenyum saja. Dia seorang yang amat tabah dan ketenangannya itu membuat dia lebih dapat menguasai keadaan dan sekali pandang saja dia sudah dapat menduga yang mana adanya Raja Sabutai yang terkenal itu. Maka cepat dia menoleh ke arah raja ini yang kebetulan memang sejak tadi memandangnya penuh selidik, dan In Hong lalu menjura dengan hormat ke arah raja yang bersikap gagah itu dan berkata,

“Kedatangan saya untuk menawarkan bantuan kepada sri baginda raja melalui Go-bi Sin-kouw yang telah saya kenal, akan tetapi ternyata kedatangan saya tidak diterima sebagaimana patutnya.”

Sejenak pandang mata mereka saling bertemu, bertaut dan akhirnya Sabutai tersenyum. Raja inipun bukan seorang biasa, melainkan murid dua orang sakti Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Maka dia sudah dapat menyelami sikap gadis cantik itu yang kini jelas mengharapkan bantuan darinya untuk bersikap gagah.

Maka raja ini lalu bangkit berdiri ketika melihat beberapa orang kakek dan nenek pembantu Wang Cin sudah bangkit dengan sikap mengancam untuk mengeroyok gadis itu, dan dia berkata nyaring.

“Tahan dulu...!”

Mendengar seruan ini, tentu saja Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya lalu mundur kembali, menoleh dan memandang dengan alis berkerut, sedangkan Wang Cin sendiri memandang dengan sinar mata tidak senang. Namun Sabutai tidak memperdulikan semua itu, dia tersenyum lebar dan melanjutkan kata-katanya,

“Setiap orang yang berani memasuki benteng ini, haruslah diketahui lebih dulu dengan jelas maksud kedatangannya baru diambil keputusan sikap apa yang akan kami ambil. Mengeroyok seorang gadis muda di depanku, sungguh merupakan hal yang amat memalukan dan merendahkan nama sendiri!”

Wajah Go-bi Sin-kouw menjadi merah dan dia cepat memberi hormat kepada raja itu sambil berkata,

“Harap paduka sudi memaafkan, akan tetapi gadis ini...”

“Cukup!” Sabutai membentak. “Ingat bahwa cu-wi sekalian hanya tamu dan akulah tuan rumahnya dan akulah yang berhak menerima dan memeriksa tamu yang datang memasuki bentengku!”

Ucapan ini cukup keras nadanya dan Go-bi Sin-kouw menunduk, melirik ke arah Wang Cin yang memberi isyarat agar nenek itu mundur.

Sabutai bersikap seolah-olah dia tidak melihat itu semua dan kini dia menggapai ke arah In Hong sambil berkata,






“Majulah ke sini, nona!”

Dengan langkah gagah dan tenang, namun membayangkan keluwesan dan kepadatan tubuh seorang gadis dewasa, In Hong menghampiri raja itu, lalu menjura dan berdiri dengan sikap hormat.

Melihat gadis itu tidak mau berlutut, dua orang pengawal sudah maju dan hendak menghardiknya, akan tetapi pandang mata Sabutai melarang mereka dan raja ini lalu menyambar sebuah bangku di sebelah kanannya, kemudian tersenyum dan berkata kepada In Hong,

“Terimalah bangku ini untuk tempat dudukmu, nona! Tidak enak bicara sambil berdiri saja!”

Setelah berkata demikian, Raja Sabutai yang pada saat itu masih diliputi kegembiraan karena isterinya mengandung itu lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya, dan bangku itu melayang ke atas, berputaran seperti seekor burung hidup dan tiba-tiba bangku itu melayang turun ke arah kepala In Hong!

Dara ini terkejut juga, tidak mengira bahwa raja kaum pemberontak liar itu ternyata memiliki kepandaian yang cukup hebat! Akan tetapi dia tidak menjadi gentar, bahkan ikut pula terbawa oleh kegembiraan Sabutai yang tersenyum ramah itu. In Hong mengerahkan tenaga gin-kangnya dan sambil mengeluarkan seruan tinggi tubuhnya mencelat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas bangku yang masih melayang turun dan ketika bangku itu tiba di atas lantai, dia masih duduk, sedikitpun tidak terguncang tubuhnya seolah-olah dia tadi dibawa terbang oleh bangku yang telah “dijinakkan” itu.

“Terima kasih atas keramahan paduka.”

In Hong menjura dari tempat duduknya ke arah Sabutai yang menjadi kagum. Dia tadi memperlihatkan tenaga dalamnya dan gadis itu mengimbangi dengan mendemonstrasikan gin-kang yang luar biasa!

“Ha-ha-ha, benar dugaanku. Tamu kami seorang yang lihai sekali. Nona, siapakah namamu?”

“Nama saya... hanya Hong saja.”

In Hong memperkenalkan dirinya dengan setengah hati karena memang dia tidak ingin memperkenalkan diri selengkapnya.

“Apakah benar engkau sahabat Go-bi Sin-kouw?”

“Saya tidak pernah bersahabat dan tidak pemah mengaku bersababat dengan dia,” jawab In Hong sambil melirik ke arah nenek itu. “Kepada para penjaga benteng tadipun saya hanya mengatakan bahwa saya kenal baik dengan Go-bi Sin-kouw dan hal itu saya lakukan agar saya diperbolehkan masuk ke sini. Sebenarnya saya ingin bertemu dengan paduka untuk menawarkan tenaga bantuan saya.”

“Harap paduka jangan percaya!” Tiba-tiba Go-bi Sin-kouw berseru. “Dia tentu mata-mata musuh dan tentu dia datang untuk menyelidiki keadaan kita!”

Sabutai memandang In Hong dengan pandang mata tajam penuh selidlk, kemudian dia bertanya,

“Nona Hong, benarkah apa yang dituduhkan oleh Go-bi Sin-kouw itu bahwa engkau seorang mata-mata Kerajaan Beng?”

“Bohong, sri baginda! Saya bersumpah bahwa saya bukan mata-mata manapun juga. Dan memang, Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya itu bukan orang baik-baik dan pernah bentrok dengan saya maka kini mereka hendak menjatuhkan fitnah kepada saya.”

Go-bi Sin-kouw bangkit berdiri dengan marah dan menuding,
“Bocah setan! Engkau telah melarikan muridku. Engkau masuk ke sini pura-pura hendak bertemu dengan aku, akan tetapi siapa tidak tahu bahwa di luar sana ada gerombolan yang dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai? Dan engkau adalah calon mantu Cin-ling-pai, bukan? Tentu engkau mata-mata, kalau bukan mata-mata Kerajaan Beng, setidaknya engkau dikirim oleh calon mertuamu itu!”

“Tutup mulutmu yang busuk! Engkau tahu betul bahwa tidak demikian halnya.” In Hong juga membentak marah.

“Heh-heh-heh, engkau selalu memperlihatkan sikap bermusuh, juga terhadap Lima Bayangan Dewa. Kami masih merasa heran apakah bukan engkau yang telah membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim.”

“Benar aku! Karena dia hendak melakukan perbuatan keji dan tidak patut terhadap seorang pemuda.”

Mendengar pengakuan ini, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang marah.

“Kalau begitu, aku harus membalas kematian sumoi!”

Melihat para pembantu Wang Cin sudah bergerak dan bangkit hendak mengeroyok, Sabutai mengangkat tangan dan berkata nyaring,

“Urusan pribadi tidak perlu dibawa-bawa ke sini! Aku memang membutuhkan pembantu, akan tetapi aku belum melihat kehebatan nona ini, maka perlu diuji! Dan aku tidak akan membiarkan orang-orang gagah seperti cu-wi, yang menjadi pembantu-pembantu Wang-taijin untuk melakukan perbuatan rendah mengeroyok seorang wanita muda. Sebaiknya urusan pertikaian pribadi kalian itu diselesaikan sekarang juga, dengan pertandingan satu lawan satu. Nona Hong, apakah engkau berani menghadapi mereka itu, satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang benar melalui keunggulan ilmu silat?'

In Hong tersenyum, lalu bangkit berdiri dan mundur ke tengah ruangan yang luas itu, berdiri tegak dan menjawab,

“Menghadapi manusia-manusia iblis ini, jangankan satu lawan satu, biarpun dikeroyok saya tidak akan takut, sri beginda.”

Ucapan In Hong ini bukan semata-mata karena kesombongan belaka, melainkan dilakukan dengan sengaja sebagai siasatnya memancing kepercayaan dan kekaguman raja itu, karena yang menjadi tujuannya adalah dapat berada dalam benteng dan selain melindungi kaisar yang tertawan, juga hendak menentang pasukan yang dipimpin oleh Bun Houw.

Siasatnya berhasil. Sabutai tersenyum lebar penuh kekaguman, lalu raja ini bangkit berdiri, memberi isyarat kepada dua orang gurunya yang juga bangkit dan berkatalah raja ini,

“Demi kegagahan, aku tidak akan membiarkan terjadinya pengeroyokan. Wang-taijin, biarkan orang-orangmu maju satu demi satu melawan nona ini, dan siapa menggunakan kecurangan dan pengeroyokan, akan dihukum. Dua orang guruku akan menjadi pengawas.”

Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko tertawa, lalu duduk kembali. Akan tetapi tiba-tiba bangku yang mereka duduki itu “terbang” ke atas dengan tubuh mereka masih duduk di atasnya dan bangku-bangku itu melayang turun di sudut kanan kiri ruangan itu, di mana mereka duduk dengan tenang, memegangi tongkat butut mereka.

Diam-diam In Hong terkejut sekali. Pantas saja Raja Sabutai demikian lihainya, kiranya dia memiliki dua orang guru yang sakti. Gadis ini menjadi makin berhati-hati dan dengan wajah tersenyum dingin dia kini memandang ke arah rombongan pembesar thaikam yang berkhianat itu, sikapnya menantang. Kalau harus menghadapi mereka satu lawan satu, dia sama sekali tidak merasa jerih.

Go-bi Sin-kouw menjadi gentar juga ketika melihat bahwa dia tidak dapat mengajak teman-temannya untuk mengeroyok gadis itu, maka dia berkata kepada Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok,

“Phang-sicu, dialah yang membunuh sumoimu, maka sepatutnya kalau engkau sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa membalas kematian sumoimu.”

Di antara Lima Bayangan Dewa, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah orang pertama yang memiliki kepandaian paling tinggi dan dia sendiri belum pernah bertemu dengan In Hong. Melihat gadis muda itu tentu saja dia memandang rendah dan memang sejak tadi hatinya sudah diliputi kemarahan melihat gadis yang membunuh sumoinya ini, maka mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw, dia cepat menengok ke arah Wang Cin dan dengan pandang matanya dia minta persetujuan majikannya itu.

Wang Cin mengangguk-angguk.
“Sri baginda telah menurunkan perintah, engkau harus mentaatinya.”

Phang Tui Lok lalu menjura kepada Wang Cin, kemudian menjura ke arah Sabutai, lalu dia melangkah lebar dan tenang ke tengah ruangan, menghampiri In Hong. Tokoh pertama dari Lima Bayangan Dewa ini sudah berusia enam puluh tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih tampan dan gagah seperti orang yang usianya paling banyak empat puluh tahun.

Pakaiannya serba putih dan sepatunya hitam. Laki-laki peranakan Mongol ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara datuk-datuk golongan hitam puluhan tahun yang lalu. Tentu saja ilmu silatnya amat hebat.

Seperti kita ketahui, kemunculan Pat-pi Lo-sian (Dewa Berlengan Delapan) Phang Tui Lok di dunia persilatan telah menggemparkan kaum kang-ouw karena begitu muncul dia dan sekutunya telah berani melakukan hal yang amat hebat yaitu membunuhi Cap-it Ho-han murid-murid Cin-ling-pai dan bahkan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Perbuatan itu, biarpun dia lakukan selagi ketua Cin-ling-pai dan isterinya tidak berada di Cin-ling-san, setidaknya telah mengangkat namanya cukup tinggi dan membuat nama Lima Bayangan Dewa dibicarakan orang secara bisik-bisik penuh rasa segan dan takut. Hal ini tentu saja mendorong kesombongan muncul dalam hati Phang Tui Lok, maka kematian sumoinya merupakan pukulan hebat, juga kematian Toat-beng-kauw Bu Sit.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: