***

***

Ads

Minggu, 15 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 121

Wajah kakek dan nenek itu menjadi merah sekali. Ucapan In Hong ini sekaligus menantang dan merendahkan mereka. Mereka maklum bahwa kalau mereka maju satu demi satu, belum tentu mereka dapat menangkan dara yang benar-benar amat hebat kepandaiannya itu, akan tetapi kalau mereka boleh maju bersama, dengan ilmu silat gabungan yang mereka ciptakan, mereka merasa yakin akan dapat merobohkan dara perkasa ini.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar,
“Heiiii... berhenti...! Tahan... tidak boleh masuk ke situ...!”

Semua orang menoleh dan nampaklah bayangan seorang wanita cantik berlari cepat menuju ke tempat itu, dikejar dari belakang oleh banyak pengawal. Dengan beberapa kali lompatan saja wanita itu telah tiba di ruangan.

Melihat ini, terdengar suara melengking dan Hek-hiat Mo-li bersama Pek-hiat Mo-ko sudah meloncat dari tempat duduk masing-masing, sekaligus seperti dua ekor burung rajawali mereka menerkam dan menyerang wanita yang baru datang itu.

Wanita itu cantik sekali, usianya antara tiga puluh lima tahun, pakaiannya indah dan sikapnya angkuh, sepasang matanya tajam bersinar-sinar. Melihat dua bayangan yang menerjangnya seperti dua ekor burung menyambar, wanita itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya dan kedua tangannya bergerak ke depan dengan jari tangan terbuka.

“Plak! Plakk!”

Tubuh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li terdorong ke belakang oleh tangkisan itu dan mereka harus berjungkir balik dua kali ke belakang agar jangan sampai terjengkang atau terbanting oleh hawa pukulan yang dahsyat dari tangkisan itu. Mereka terkejut sekali dan siap menyerang dengan tongkatnya.

“Subo...!”

In Hong berseru dan seruan ini membuat Raja Sabutai cepat mengeluarkan kata-kata mencegah kedua orang gurunya dalam Bahasa Mongol. Kakek bermuka putih dan nenek bermuka hitam itu lalu kembali ke tempat duduk masing-masing, akan tetapi pandang mata mereka masih marah dan penuh curiga kepada wanita cantik yang baru datang itu.

Wanita yang baru datang itu memang Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, ketua dari Giok-hong-pang di Telaga Setan. Burung batu kumala yang menghias rambutnya amat indah, membuat dia kelihatan seperti seorang ratu yang memakai mahkota, pedang panjang tergantung di pinggang dan gagang dua batang pedang pendek tersembul di pinggangnya. Wanita setengah tua yang masih cantik ini kelihatan gagah dan penuh wibawa.

Raja Sabutai yang merasa tertarik dan kagum kepada In Hong, menjadi terkejut dan juga kagum melihat wanita cantik yang disebut subo oleh nona itu, apalagi melihat betapa wanita itu sekali tangkis dapat membuat dua orang gurunya terdorong ke belakang. Cepat dia berkata kepada Yo Bi Kiok,






“Jadi toanio adalah subo dari nona Hong yang gagah perkasa ini?”

Pertanyaan ini diajukan dengan pandang mata tajam penuh selidik, dan diam-diam Raja Sabutai merasa heran bagaimana nyonya cantik itu dapat memasuki tempat itu dan menerobos penjagaan yang amat ketat.

“Benar, sri baginda. Dia adalah murid saya,” jawab Giok-hong-cu Yo Bi Kiok sambil menjura.

“Muridmu datang menawarkan bantuannya kepada kami dan sedang kami uji kepandaiannya. Toanio datang seperti ini ada maksud hati apakah?”

Biarpun di dalam hati merasa tidak senang melihat kedatangan nyonya ini secara paksa dan tanpa minta perkenan terlebih dahulu, namun dia membutuhkan bantuan orang-orang pandai, maka Sabutai menahan sabar, apalagi karena dia maklum bahwa orang-orang sakti di dunia kang-ouw memang tidak suka memakai banyak peraturan.

“Saya bersama pasukan Giok-hong-pang sedang mencari murid saya ini, dan mendengar bahwa murid saya memasuki benteng paduka, maka saya menyusul ke sini. Saya setuju sekali dia membantu paduka, bahkan saya sendiripun dengan seluruh pasukan Giok-hong-pang siap membantu paduka. Akan tetapi kalau paduka hanya ingin menguji murid saya, kiranya tua bangka-tua bangka ini bukan sekedar menguji. Tua bangka-tua bangka seperti mereka hendak mengeroyok seorang bocah seperti murid saya, sungguh tidak adil, maka saya akan membantu murid saya agar dua lawan dua dan barulah adil. Tentu saja kalau mereka berani!”

Mendengar ini, Raja Sabutai mengangguk dengan girang.
“Bagus! Memang adil kalau begitu dan kami juga ingin sekali melihat kepandaian ketua Giok-hong-pang yang hendak membantu kami.”

Raja ini lalu memandang kepada Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang kelihatan meragu. Tentu saja mereka telah mendengar nama ketua Giok-hong-pang yang baru saja menggegerkan dunia kang-ouw itu, sungguhpun baru sekarang mereka melihat orangnya.

Betapapun juga, tosu dan tokouw yang berilmu tinggi itu tidak merasa takut, apalagi mereka memang mengandalkan ilmu silat pasangan yang mereka ciptakan bersama.

“Siancai...!” Hwa Hwa Cinjin berkata halus. “Kiranya yang datang adalah Giok-hong-pangcu! Kami tadi sudah mengatakan kepada muridmu, bahwa kami memang selalu maju bersama. Baik menghadapi lawan satu orang atau sepuluh orang, bagi kami sama saja asal kami maju berdua. Bukan sekali-kali kami ingin mengeroyok muridmu.”

“Subo, biarlah teecu menghadapi mereka sendiri, teecu tidak takut,” In Hong berkata.

“Apa? Tentu saja kau tidak takut, akan tetapi mana mungkin aku diam saja? Kau lihatlah, gurumu akan membereskan mereka!” Yo Bi Kiok berkata dan tiba-tiba dia berseru nyaring. “Tua bangka-tua bangka tak tahu malu, sambutlah seranganku!”

Tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan hanya bayangannya saja yang tahu-tahu sudah menyambar ke arah Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw secepat kilat.

Kakek dan nenek itu terkejut sekali karena sambil melompat secepat itu, ketua Giok-hong-pang ini telah melancarkan pukulan bertubi ke arah mereka dengan gerakan yang amat aneh dan juga kuat sekali. Maka mereka cepat bergerak dan mainkan ilmu silat gabungan yang mereka ciptakan berdua, yaitu ilmu silat tangan kosong yang dapat pula dimainkan dengan senjata, yaitu yang mereka namakan Im-yang-lian-hoan-kun.

Ilmu silat ini sengaja mereka ciptakan untuk dimainkan bersama dan terdiri dari dua macam silat dan tenaga yang saling bertentangan namun saling membela. Kalau mereka mainkan ilmu silat ini dengan tangan kosong, Hwa Hwa Cinjin mengambil peran sebagai pemain ilmu silat yang mengandung tenaga keras sedangkan Hek I Siankouw mainkan ilmu yang berdasarkan tenaga halus (Im).

Akan tetapi sebaliknya kalau mereka mainkan ilmu ini dengan senjata, Hwa Hwa Cinjin yang bersenjata hudtim bulu monyet maju menggunakan tenaga Im sedangkan Hek I Siankouw yang memegang sebatang pedang hitam menggunakan tenaga Yang. Karena ilmu ini mereka ciptakan berdua, tentu saja mereka dapat bekerja sama amat baiknya, saling melindungi seolah-olah mereka itu terdiri dari dua badan dengan satu hati dan pikiran.

“Plak-plak! Duk-duk-duk-dukk!” bertubi-tubi datangnya pukulan kedua tangan Yo Bi Kiok, serangan dengan jurus-jurus yang amat aneh dan cepat.

Namun karena kedua orang kakek dan nenek itu bekerja sama sehingga mereka seolah-olah memiliki empat mata, mereka dapat saling melindungi dan menangkis semua serangan itu.

Akibat adu tenaga ini, mereka terhuyung ke belakang, akan tetapi Yo Bi Kiok juga terhuyung dengan kaget sekali karena pertemuan tenaga antara kedua tangannya dengan tangan mereka yang menangkis itu membuat tenaganya buyar dan dia menjadi bingung menghadapi tenaga Im dan Yang, yaitu tenaga lemas dan keras yang dipergunakan kedua orang lawannya secara saling membantu.

Maklumlah dia bahwa kedua orang itu, biarpun andaikata maju satu lawan satu bukan merupakan lawan berbahaya, akan tetapi setelah maju berdua ternyata dapat bekerja sama baik sekali dan merupakan lawan yang tangguh. Mengertilah dia mengapa dua orang itu berkeras untuk maju bersama.

Ketua Giok-hong-pang ini belum lama telah mengalami peristiwa yang amat memalukan, yaitu ketika dia dipermainkan oleh Kok Beng Lama, maka kini menghadapi kakek dan nenek yang berkepandaian luar biasa itu dia tidak ingin gagal dan kedua tangannya sudah meraba gagang pedang panjang dan sepasang pedang pendek.

Tiba-tiba In Hong meloncat ke dekat subonya dan berbisik,
“Subo, sri baginda melarang penggunaan senjata dalam adu kepandaian ini, biar teecu menghadapi Hek I Siankouw!”

Tanpa menanti jawaban gurunya, In Hong sudah meloncat ke depan dan menyerang Hek I Siankouw dengan pukulan tangan kirinya. Akan tetapi, tepat pada saat Hek I Siankouw menghindarkan serangan ini dengan tubuh berputar, tiba-tiba Hwa Hwa Cinjin sudah melayangkan tangan menampar ke arah tengkuk In Hong. Elakan dan serangan ini datangnya begitu otomatis, seolah-olah Hek I Siankouw sendiri yang membalas serangan dengan menggunakan tangan Hwa Hwa Cinjin!

Hampir saja tengkuk In Hong kena ditampar dan biarpun dia sudah miringkan tubuhnya, tetap saja pundaknya tercium ujung jari tangan Hwa Hwa Cinjin dan terasa panas sekali!

Pada saat itu terdengar suara melengking nyaring dan Yo Bi Kiok sudah menyerang kakek itu dengan dahsyatnya. Hwa Hwa Cinjin mengelak dan Hek I Siankouw membantunya menangkis. Melihat cara kerja sama yang amat cepat dan serba otomatis itu, In Hong cepat membantu subonya dan terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat.

Sesungguhnya, apabila pertandingan itu dilakukan satu lawan satu, baik Hwa Hwa Cinjin maupun Hek I Siankouw bukanlah lawan guru dan murid Giok-hong-pang ini, dan kiranya mereka tidak akan dapat meanahan lebih dari tiga puluh jurus. Akan tetapi, dengan kerja sama amat baiknya dalam ilmu Im-yang-lian-hoat-kun, mereka berdua dapat menghadapi Yo Bi Kiok dan In Hong dengan amat baiknya.

Guru dan murid ini tidak dapat bertempur saling bantu seperti kedua orang lawannya, melainkan bertanding mengandalkan gerakan dan tenaga sendiri masing-masing. Beberapa kali mereka mencoba untuk memancing atau memaksa kedua orang kakek dan nenek itu agar berpisah, agar pertandingan dapat dilakukan menjadi dua kelompok, namun mereka selalu gagal karena kakek dan nenek itu tidak mau saling meninggalkan dan terus bergerak mengelak, menangkis atau membalas serangan secara otomatis dan saling melindungi.

“Tiat-po-san...!”

Tiba-tiba Yo Bi Kiok berbisik kepada muridnya sambil menubruk ke arah Hek I Siankouw.

In Hong maklum akan maksud subonya. Dia dan subonya memiliki ilmu kekebalan yang disebut Tiat¬po-san (Ilmu Kebal Baju Besi), yaitu pengerahan sin-kang untuk melindungi tubuh dengan hawa murni sehingga pada suatu saat berani menerima pukulan karena tubuh di bagian tertentu yang terpukul itu menjadi kebal seperti besi. Tentu subonya ingin merobohkan lawan dengan Tiat-po-san, membarengi pukulan lawan yang dibiarkan mengenai tubuh yang kebal sambil melancarkan serangan balasan.

Akan tetapi, In Hong tidak ingin tubuhnya sampai terpukul lawan sungguhpun belum tentu lawan akan cukup kuat untuk menembus pertahanan Tiat-po-san. Dia teringat akan ilmu pukulan ampuh yang dia terima dari pendeta Lama yang amat sakti itu sebagai penukaran obatnya untuk menyembuhkan luka-luka akibat Siang-tok-swa yang diderita oleh anak laki-laki murid pendeta Lama itu.

“Hyaaaatttt...!”

In Hong mengeluarkan suara melengking tinggi sesuai dengan ajaran yang diterimanya dari pendeta Lama, dan karena gurunya menyerang Hek I Siankouw, maka dia lalu menyerang Hwa Hwa Cinjin dengan pukulan Thian-te Sin-ciang. Angin pukulan dahsyat menyambar ganas ke depan, bukan hanya mengejutkan Hwa Hwa Cinjin yang diserangnya, melainkan juga Hek I Siankouw memekik dan Yo Bi Kiok sendiri terbelalak.

Pada saat itu, Hwa Hwa Cinjin sudah melindungi Hek I Siankouw yang diserang oleh Yo Bi Kiok tadi, menangkiskan serangan Yo Bi Kiok terhadap Hek I Siankouw dan tokouw ini otomatis lalu menggerakkan tangan memukul ke arah lambung Yo Bi Kiok.

Akan tetapi, Yo Bi Kiok yang sudah mengerahkan Tiat-po-san tidak mengelak atau menangkis, melainkan langsung saja membalas pukulan itu dengan tamparan ke arah dada nenek baju hitam itu. Tentu saja hal ini sama sekali tidak disangka oleh Hek I Siankouw yang sudah kegirangan karena pukulannya mengenai lambung, akan tetapi pada saat itu dia terkejut merasa betapa pukulannya bertemu dengan lambung yang keras seperti baja dan dia sendiri terancam pukulan lawan ke arah dada.

Cepat dia miringkan tubuhnya dan selagi Hwa Hwa Cinjin hendak turun tangan melindunginya, tiba-tiba datang pukulan dahsyat bukan main dari In Hong yang menggunakan Thian-te Sin-ciang!

“Plakk! Dessss...!”

Hek I Siankouw miringkan tubuhnya sehingga pukulan Yo Bi Kiok mengenai pundaknya, membuat dia terpelanting. Sedangkan Hwa Hwa Cinjin yang berusaha mengelak sambil menangkis pukulan In Hong, tetap saja terlempar dan terbanting jatuh sampai bergulingan, bahkan Yo Bi Kiok yang hanya kena sambaran hawa pukulan muridnyapun terhuyung dengan kaget dan heran sekali.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: