***

***

Ads

Minggu, 15 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 123

In Hong memandang terbelalak, namun hatinya girang bukan main. Kiranya gurunya ini di depan Raja Sabutai hanya bersiasat saja, sebenarnya tidak ingin membunuh kaisar, malah hendak menyelamatkannya. Akan tetapi saking herannya dia bertanya,

“Tapi, subo...”

“Hushhh...!” ketua Giok-hong-pang itu mencela muridnya yang membantah, “kita tidak boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan. Kalau Sabutai berhasil, itu baik sekali, kalau tidak, kita dapat mencari kedudukan melalui kaisar itu.”

Hati In Hong kecewa lagi dan diam-diam dia mulai mengenal watak gurunya yang ternyata amat mementingkan dirinya sendiri sehingga untuk membela dia yang dianggapnya telah jatuh cinta kepada Bun Houw, gurunya tidak segan-segan membunuh gadis dusun yang dikira mencinta pemuda itu, dan kini kaisarpun hanya dijadikan jalan untuk mencapai kepentingannya pribadi.

Diam-diam di dalam hati gadis ini timbul rasa tidak suka dan penentangan, akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan dengan terang-terangan. Hanya dia merasa heran, mengapa sebelum ini dia menganggap gurunya sebagai satu-satunya orang yang baik, yang semua tindakannya dia anggap benar belaka.

Mengapa sekarang dia melihat hal-hal yang dianggapnya tidak patut dan tidak benar dalam tindakan gurunya? Mulailah hati In Hong merasa bimbang. Mulailah dia memikirkan dan mencari akal untuk dapat menyelamatkan kaisar, dari tangan Sabutai dan dari tangan subonya sendiri. Dan dia menggantungkan harapannya kepada Khamila, isteri Raja Sabutai. Wanita cantik jelita itu berwajah ramah, sinar matanya lembut.

Dua hari kemudian, mulailah Raja Sabutai yang telah mengerahkan pasukannya itu bergerak ke selatan. Sebagai pimpinan Suku Bangsa Nomad, dan karena khawatir akan keselamatan isterinya, dalam penyerbuan ini, Khamila dan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawananpun dibawa dan selalu berada di bagian belakang di dalam pasukan perbekalan yang juga bertugas mengatur ransum para anak buah pasukan. Yang bertugas menjaga keselamatan Khamila dan menjaga agar kaisar tawanan tidak sampai lolos adalah In Hong, dibantu oleh dua losin pengawal.

Ketika fihak kerajaan mendengar akan gerakan pasukan Sabutai ini, tentu saja merekapun lalu bergerak mengirim bala tentara. Di perbatasan, para komandan pasukan kerajaan bertemu dengan pasukan kecil yang dipimpin oleh Cia Keng Hong dan puteranya, dan dengan gemas Cia Keng Hong dan puteranya mengerti bahwa kerajaan sama sekali tidak memperdulikan nasib Kaisar Ceng Tung, bahkan sama sekali tidak ada pengiriman pasukan dari kerajaan untuk menyelamatkan kaisar yang tertawan.

Tahulah pendekar ketua Cin-ling-pai itu bahwa terjadi pergolakan dan perebutan kekuasaan di kota raja, apalagi ketika dia mendengar bahwa bukan saja tidak ada usaha menyelamatkan Kaisar Ceng Tung, bahkan kini para pembesar mengangkat seorang kaisar baru dan seolah-olah menganggap Kaisar Ceng Tung sudah mati! Dan kini, setelah Sabutai bergerak mengancam kerajaan, barulah bala tentara dikerahkan!

Sebetulnya, di dalam hati, Cia Keng Hong marah kepada para pembesar di kota raja. Akan tetapi karena diapun melihat bahaya dari Sabutai yang bergerak ke selatan, dan karena dia tidak ingin mencampuri pula urusan perebutan tahta kaisar, maka pendekar inipun mengerahkan pasukannya untuk membantu bala tentara kota raja menghadapi musuh. Yang penting baginya adalah membela negara menghadapi musuh Bangsa Mongol yang hendak menjajah itu!






Bentrokan pertama antara pasukan Sabutai dengan pasukan kerajaan terjadi di perbatasan. Dan biarpun mendapat bantuan Cia Keng Hong, Cia Bun Houw, Tio Sun dan orang-orang Mancu dan Khitan, pasukan kerajaan terdesak mundur dan mengalami pukulan hebat!

Di dalam perang besar seperti itu, kepandaian perorangan dari Cia Keng Hong, Cia Bun Houw dan Tio Sun tidak begitu besar artinya. Apalagi di fihak musuh juga banyak sekali terdapat orang pandai seperti tiga orang tokoh Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sinkouw, Bouw Thaisu dan terutama sekali Yo Bi Kiok, Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.

Pihak kerajaan terlalu memandang rendah kepada Sabutai sehingga bala tentara yang dikirimkan itu jauh daripada mencukupi, kalah banyak jumlahnya dan memang kalah kuat para perajuritnya. Pasukan Sabutai terdiri dari perajurit-perajurit gemblengan yang selain terlatih kehidupan yang keras dan sukar, juga bersemangat besar untuk menegakkan kembali kerajaan bangsa mereka, Bangsa Mongol yang pernah menjadi bangsa yang jaya.

Memang hebat gerakan Sabutai dan ternyata tidak kecewa dia mengaku sebagai keturunan Jenderal Sabutai yang pernah menjadi tokoh militer di jaman kejayaan Kerajaan Goan-tiauw, yaitu ketika Bangsa Mongol menguasai seluruh Tiongkok.

Dia menggunakan siasat yang amat hebat sehingga pasukannya bergerak seperti kilat ke selatan, merobohkan semua rintangan sehingga semua pertahanan pasukan Kerajaan Beng terus-menerus dipukul mundur sampai akhirnya pasukan-pasukan pemberontak Mongol ini berhasil tiba di benteng pertama Kota Raja Peking!

Cia Keng Hong prihatin sekali melihat keadaan ini dan dia bersama puteranya dan Tio Sun telah membantu mati-matian, merobohkan dan membunuh entah berapa banyak pasukan musuh. Namun mereka tidak berdaya karena fihak Mongol memang jauh lebih kuat daripada jumlah pasukan kerajaan yang bertahan. Hal ini adalah karena kerajaan sedang kacau dan para pembesar militerpun telah terpecah-pecah oleh suasana perebutan kekuasaan.

Baru setelah bala bantuan datang, yaitu pasukan-pasukan yang ditarik dari semua jurusan, kekuatan pasukan kerajaan terkumpul dan terpusatkan dalam pertahanan, maka gerakan pasukan Sabutai dapat dibendung, bahkan mulai dihalau mundur dari daerah lingkungan kota raja.

Dan di dalam pasukan bala bantuan yang kuat ini muncul pula banyak tokoh kang-ouw yang gagah perkasa yang selalu dalam saat negara terancam bahaya tentu muncul meninggalkan tempat-tempat persembunyian mereka untuk menyumbangkan jiwa raganya tanpa pamrih untuk kepentingan diri pribadi. Dan di antara para orang gagah ini terdapat pula Yap Kun Liong!

Biarpun pendekar ini tadinya sibuk dengan urusan pribadinya sendiri, menyelidiki dan mencari hilangnya Yap Mei Lan, puterinya, juga mencari hilangnya Lie Seng, putera Cia Giok Keng, di samping menyelidiki kematian isterinya, mencari pembunuhnya, akan tetapi begitu mendengar bahwa pasukan Mongol menyerbu ke selatan dan telah tiba di benteng pertama pertahanan Kota Raja Peking, pendekar inipun segera melupakan semua urusan pribadinya dan terus saja menggabungkan diri dengan pasukan kerajaan yang datang dari berbagai jurusan itu, menyumbangkan tenaganya melawan musuh.

Berkali-kali Sabutai mengalami kekalahan sehingga akhirnya dia menarik mundur sisa pasukannya yang hanya tinggal separuhnya! Dia mundur sampai di luar perbatasan kota raja dan membuat pertahanan kokoh di sebuah benteng yang telah dirampasnya ketika dia menyerbu ke selatan.

Sementara itu, In Hong telah menjadi sahabat baik dari Khamila. Dia tahu bahwa ada sesuatu di antara isteri Raja Sabutai itu dengan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan. Hal ini diketahuinya ketika kaisar muda itu jatuh sakit karena cemas memikirkan betapa pasukan Mongol makin mendekati kota raja, Khamila memperlihatkan perhatian luar biasa, bahkan dengan perantaraan In Hong minta agar mengirimkan buah-buah segar kepada kaisar itu. Tentu saja In Hong menjadi heran dan akhirnya dia dapat menduga bahwa isteri Sabutai itu merasa simpati kepada kaisar.

“Kasihan sekali sri baginda kaisar,” pada suatu petang In Hong sengaja memancing di depan Khamila. “Dia menjadi tawanan yang tak berdaya dan hanya mendengar betapa kerajaannya terancam keruntuhan.”

Mendengar ucapan In Hong ini, Khamila memandang tajam, kemudian bertanya lirih,
“Hong-lihiap, engkau adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan berilmu tinggi. Bagaimanakah pendapatmu tentang Kaisar Ceng Tung itu? Dia telah tertawan, akan tetapi dia tidak pernah sudi menyerah, tidak pernah mau tunduk dan sama sekali tidak takut mati.”

Jelas terasa oleh In Hong betapa kekaguman besar terkandung dalam kata-kata ini, maka dia menjawab,

“Dia memang seorang kaisar yang besar, seorang jantan yang mengagumkan.” In Hong memandang tajam, lalu melanjutkan, “Sayang dia menjadi tawanan yang tidak berdaya. Seorang gagah seperti beliau itu sepatutnya tidak menjadi tawanan.”

“Maksudmu... sepatutnya dia bebas?”

In Hong memandang. Dua orang wanita yang sama cantik jelitanya akan tetapi jelas memiliki sifat yang berlawanan itu, yang seorang penuh kelembutan dan kelemahan, yang seorang keras dan gagah, akan tetapi keduanya cantik jelita menggairahkan itu, untuk beberapa lamanya saling pandang. Akhirnya Khamila membuka mulut berkata,

“Kalau begitu, engkau yang menjaganya, engkau yang mengepalai para pengawal di sini, kenapa engkau tidak membebaskannya?”

In Hong tidak kaget mendengar pertanyaan aneh ini. Memang tidak aneh kalau isteri dari Raja Sabutai yang menawan kaisar itu bertanya demikian. Dia sudah menduga bahwa wanita itu suka kepada kaisar, sungguhpun mimpipun tidak pendekar wanita ini bahwa kandungan dalam perut ratu yang hamil muda ini adalah keturunan kaisar yang menjadi tawanan itu!

“Bagaimana saya dapat membebaskan beliau? Para penjaga tentu akan mencegah dan pula... sungguhpun saya tidak takut menghadapi mereka, saya masih harus menjaga keselamatan paduka...”

“Kau bebaskanlah beliau biar aku yang menanggung kalau sampai terjadi apa-apa...” kini wajah puteri itu merah, dan matanya sayu.

“Bagaimana kalau paduka juga ikut lolos?”

“Ehhh...?” Sepasang mata yang lebar dan indah itu terbelalak. “Apa maksudmu...?”

“Saya kira, kaisar hanya dapat diselamatkan kalau paduka suka membantu. Kalau paduka yang keluar dari benteng ini, dikawal oleh saya dan seorang pembantu saya, yaitu kaisar yang menyamar, tentu tidak akan ada pengawal yang berani mencegah atau bercurigai. Kemudian, kalau saya sudah berhasil mengantar kaisar dengan selamat ke kota raja, saya pasti akan membawa paduka kembali kepada Raja Sabutai.”

“Ahhh...!”

Sejenak sepasang mata itu berseri dan bersinar mengingat bahwa dia akan berkesempatan dekat dengan kaisar yang dicintanya, dengan ayah dari anak yang dikandungnya, akan tetapi dia masih ragu-ragu karena, betapapun juga, dia tidak dapat meninggalkan Sabutai yang menjadi suaminya yang amat baik hati itu.

“Tapi... bagaimana kalau suamiku mencegahnya? Suhu dan subonya seperti iblis-iblis mengerikan, belum lagi para pembantu Wang Cin itu...”

“Kita harus cerdik, dan kita bergerak kalau mereka itu keluar dari benteng menyambut musuh.”

Akhirnya Khamila dapat terbujuk juga karena wanita ini ingin sekali memperlihatkan bukti cintanya kepada ayah dari anak yang dikandungnya itu, bukti yang mutlak tentang cintanya sebelum mereka saling berpisah, mungkin untuk selamanya. Dia setuju dan kedua orang wanita yang sifatnya berlawanan ini menjadi akrab dan sama-sama mengatur siasat.

Kemudian In Hong yang sudah memperkenalkan diri sebagai seorang yang berpura-pura berfihak kepada Sabutai untuk menolong kaisar itu membicarakan kepada kaisar tentang rencananya dengan Ratu Khamila. Tentu saja kaisar menjadi girang dan terharu sekali, dan dia segera sembuh dari sakitnya mendengar bahwa terbuka kesempatan baginya untuk lolos dari tawanan.

Saat yang dinanti-nanti oleh In Hong, Khamila, dan Kaisar Ceng Tung tiba tidak lama kemudian. Bala tentara Kerajaan Beng yang telah menyelidiki bahwa musuh membuat pertahanan di dalam benteng yang kokoh itu, datang menyerbu.

Sabutai mengerahkan pasukannya yang tinggal separuhnya, dan melakukan pertahanan di benteng itu, ada pula sebagian yang menjaga pintu-pintu benteng sehingga tidak mudah bagi bala tentara Beng untuk membobolkan benteng yang amat kuat itu.

Kesempatan baik inilah yang ditunggu-tunggu oleh In Hong. Lewat senja, setelah cuaca mulai gelap dan seluruh benteng sedang sibuk menghadapi musuh, suara bising terdengar di luar dan sekeliling benteng besar itu, tampak Ratu Khamila dengan pakaian ringkas tergesa-gesa keluar dari ruangan-ruangan yang menjadi tempat tinggalnya, dikawal oleh In Hong dan seorang pengawal muda yang gagah dan berpakaian sebagai pengawal pribadi sang ratu.

Para penjaga di luar yang melihat sang ratu naik kereta joli keluar, apalagi dikawal sendiri oleh In Hong yang mereka kenal sebagai kepala pengawal pribadi, tidak memperhatikan pengawal pria itu yang mereka anggap tentulah seorang pengawal biasa, seorang perajurit biasa. Tidak ada seorangpun berani membantah atau menentang dan hanya kepala jaga yang bertanya ke mana In Hong hendak mengantar sang ratu pergi dalam keadaan berbahaya seperti itu.

”Justeru karena keadaan bahaya maka Sri Baginda Sabutai mengutus aku untuk menyelamatkan ratu ke tempat aman di luar benteng!” jawab In Hong dan kepala penjaga itu tidak berani membantah lagi.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: