***

***

Ads

Minggu, 15 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 125

In Hong mengangkat dadanya yang sudah membusung itu sehingga makin menonjol karena dia merasa kebanggaannya timbul dapat melindungi kaisar yang begini gagah sikapnya.

“Tentu saja hamba berani!” jawabnya tegas.

“Nah, aku perintahkan engkau untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat bangsa seperti mereka itu, nona!” kata pula kaisar dan dengan sikap tenang dia lalu menggandeng tangan Khamila, diajaknya duduk di bawah sebatang pohon agar wanita muda itu tidak kepanasan, duduk di atas rumput hijau sambil siap untuk menonton pertandingan.

Biarpun dia yang terancam bahaya, namun kaisar bersikap tenang saja seolah-olah dia yakin akan kemenangan In Hong, atau seolah-olah dia tidak perduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.

“Enci Hong, hati-hatilah...!” Ratu Khamila juga berseru ke arah In Hong.

In Hong menoleh dan memandang ke arah ratu yang cantik itu dengan senyum terima kasih. Dia makin bangga. Kaisar itu muda dan gagah berani, ratu itu cantik jelita dan manis budi, sungguh tidak percuma membela orang-orang seperti mereka. Apalagi dia sendiri memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada empat orang ini, terutama kepada Go-bi Sin-kouw karena dia masih teringat akan kematian kakak iparnya, isteri dari kakak kandungnya, Yap Kun Liong, yaitu wanita cantik yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu. Sampai sekarang, dia mempunyai dugaan keras bahwa nenek inilah yang telah membunuh isteri kakak kandungnya itu.

In Hong melangkah maju menghadapi empat orang itu, sinar matanya menyambar-nyambar, kemudian dia berkata,

“Aku tahu bahwa tiga orang locianpwe, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu hanyalah terbawa-bawa saja oleh Lima Bayangan Dewa dan yang menjadi perantara adalah Go-bi Sin-kouw! Kalau sam-wi locianpwe masih dapat menyadari kesalahan, boleh meninggalkan tempat ini dan kembali ke tempat masing-masing, akan tetapi kalau hendak menemani Go-bi Sin-kouw mati di sini, silakan!”

Hebat sekali ucapan gadis muda ini, karena biarpun kata-kata yang halus itu ditujukan kepada tiga orang tokoh yang merupakan datuk-datuk golongan hitam itu, namun jelas bahwa dia merendahkan Go-bi Sin-kouw dan juga membayangkan bahwa dia tidak takut menghadapi pengeroyokan mereka berempat!

“Heh-heh-heh, sungguh lancang mulutmu, bocah setan! Kau kira menghadapi kami akan semudah itu? Kau kira membunuh kami akan semudah kau membunuh isteri Yap Kun Liong yang tidak berdaya itu? Heh-heh, jangan mimpi!”

Kata-kata Go-bi Sin-kouw ini membuat seseorang yang sejak tadi bersembunyi di balik sebatang pohon besar hampir saja berseru kaget. Mukanya berobah dan dia mengintai dengan hati-hati dan perhatiannya makin tercurah karena hatinya tertarik sekali. Dia seorang laki-laki tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan sikapnya masih gagah sekali.






Tiba-tiba laki-laki tua ini menyelinap, gerakannya cepat bukan main dan tahu-tahu dia telah lenyap ke dalam semak-semak belukar. Yang menyebabkan dia menghilang ini adalah karena dia melihat berkelebatnya seorang lain yang baru datang, seorang yang juga seperti dia, menyelinap dan mengintai ke depan dan kini orang itu, seorang wanita cantik, dengan gerakan ringan sekali telah meloncat ke atas sebatang pohon besar dan dari cabang ke cabang dia berloncatan seperti seekor tupai saja, mendekati tempat In Hong menghadapi empat orang tua itu.

In Hong dan empat orang tua yang dihadapinya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka sedang dalam keadaan siap untuk bertanding, dalam keadaan tegang dan perhatian mereka tercurah kepada lawan yang berada di depan masing-masing. Andaikata tidak sedang demikian, betapapun ringan dan cepat gerakan laki-laki tua dan wanita cantik itu, agaknya mereka berempat tentu akan dapat melihatnya atau setidaknya dapat menimbulkan kecurigaan mereka akan adanya orang yang mengintai.

Mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw itu, In Hong menjadi merah mukanya, matanya menyorotkan sinar berkilat dan dia tersenyum mengejek.

“Memang engkau seorang yang rendah, Go-bi Sin-kouw. Sejak dulu aku tahu bahwa engkau seorang pengecut yang suka memutarbalikkan kenyataan! Kau mengatakan bahwa aku membunuh isteri kakakku itu, akan tetapi tuduhanmu itu hanya untuk menutupi perbuatanmu yang hina! Tidak ada alasan bagiku mengapa aku harus membunuh isteri kakakku, sungguhpun aku tidak berhubungan dengan kakakku. Sebaliknya, isteri kakakku itu adalah bekas muridmu, dan sejak dahulu kau tidak setuju muridmu itu menjadi isteri kakakku. Kau memang nenek tua bangka hina...”

“Bocah setan, makanlah tongkatku!” teriak Go-bi Sin-kouw yang sudah marah sekali dan tongkatnya yang butut dan berwarna hitam itu sudah meluncur digerakkan oleh tangannya, mengirim serangan kilat ke arah perut In Hong.

“Huh!”

In Hong mendengus dengan nada mengejek, lalu dia mengelak dengan mudah dan di detik berikutnya, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam telah menyambar ganas ke arah leher Go-bi Sin-kouw.

“Tranggg...!”

Bunga api berpijar ketika tongkat nenek itu menangkis pedang akan tetapi nenek itu terhuyung dan hampir jatuh. Go-bi Sin-kouw sudah terlalu tua, usianya sudah tujuh puluh lima tahunan, tenaganya sudah banyak berkurang maka biarpun dia masih lihai dan ilmu pedangnya yang dimainkan dengan tongkat, yaitu Pek-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Garuda Putih) amat berbahaya namun karena sudah mulai lemah maka benturan tongkat dengan pedang In Hong yang masih memiliki tenaga sepenuhnya membuat dia hampir roboh.

Kembali kakek yang mengintai dari dalam semak-semak belukar itu membelalakkan matanya ketika melihat pedang di tangan In Hong yang tadinya dipakai sebagai sabuk. Dia memandang heran dan juga kagum, apalagi ketika kini tanpa banyak cakap Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu maju mengeroyok!

Kakek yang bersembunyi itu mengerutkan alisnya dan seluruh urat di tubuhnya menegang. Dia melirik ke arah kaisar dan kakek ini menggeleng-geleng kepala dengan kagum. Kaisar muda itu menonton dengan tenang, sedikitpun tidak khawatir dan dia masih merangkul leher Khamila yang cantik itu dengan amat mesra, kadang-kadang mencium rambut atau muka wanita itu sekilas dengan gerakan penuh kasih sayang!

“Gila... sungguh gila!” Kakek yang bersembunyi itu mengomel seorang diri. “Gila dan aneh.”

Akan tetapi perhatiannya kembali tercurah ke tempat pertempuran di mana In Hong menghadapi pengeroyokan empat orang tua itu dari empat penjuru.

Gadis itu memang hebat sekali. Tubuhnya sampai lenyap terbungkus sinar pedang keemasan yang bergulung-gulung menyelimuti dirinya, bahkan kadang-kadang sinar pedang yang bergulung-gulung itu mencuat ke sana-sini menyambar ke arah empat orang pengeroyoknya secara yang tidak tersangka-sangka dan dengan kecepatan kilat.

Go-bi Sin-kouw menggerakkan tongkat butut hitam dengan penasaran. Dia masih berusaha mendapatkan kembali ketangkasannya puluhan tahun yang lalu, namun percuma, karena memang tenaganya sudah banyak berkurang, padahal Pek-eng Kiam-sut membutuhkan gin-kang hebat dan kecepatan seperti seekor burung garuda.

Hwa Hwa Cinjin memainkan kebutannya yang terbuat dari bulu monyet salju yang hanya hidup di kutub utara dan kebutan ini amat kuat. Karena maklum bahwa gadis itu tidak boleh dipandang ringan, tosu ini tidak malu-malu untuk ikut mengeroyok dengan senjata di tangan, ditemani pula oleh Hek I Siankouw yang sudah menyerang pula dengan pedang hitamnya yang berbahaya.

Akan tetapi, yang paling berbahaya di antara ketiga orang tua itu adalah Bouw Thaisu. Biarpun pertapa ini hanya mempergunakan lengan baju kanan kiri, akan tetapi ternyata sambaran lengan bajunya sedemikian kuatnya sehingga mengejutkan hati In Hong. Dia dapat menangkis semua senjata yang tiga macam itu dengan baik, bahkan setiap kali bertemu senjata, Go-bi Sin-kouw dan Hek I Siankouw selalu terhuyung atau terpental senjata mereka, dan Hwa Hwa Cinjinpun dengan susah payah dapat mengimbangi tenaganya, akan tetapi setiap kali pedangnya bertemu dengan lengan baju Bouw Thaisu, dia merasa betapa telapak tangannya tergetar!

Lima puluh jurus telah lewat dan tetap saja empat orang tua itu belum dapat merobohkan In Hong. Jangankan merobohkan, mendesakpun tidak mampu dan dara itu dapat membalas setiap serangan lawan dengan serangannya yang tidak kalah ampuhnya.

Bahkan ujung baju Go-bi Sin-kouw telah putus terbabat pedang dan paha Hwa Hwa Cinjin tercium ujung sepatu In Hong, merobek celana tosu itu dan membuat pahanya terasa nyeri. Marahlah Hwa Hwa Cinjin dan dia memberi tanda kepada partnernya, yaitu Hek I Siankouw dan mereka mulai bergerak dengan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun! Dengan ilmu ini, gerakan mereka berdua menjadi otomatis dan saling melindungi, dan mereka berdua benar-benar merupakan pasangan yang amat tangguh setelah menggunakan ilmu ini.

Bouw Thaisu sendiri juga merasa malu bahwa sampai demikian lamanya dia dan teman-temannya belum juga mampu mengalahkan dara muda ini, maka dia berseru melengking nyaring dan gerakan sepasang lengan bajunya meniadi lebih antep dan kuat.

In Hong terkejut. Melihat pedang hitam menyambar dari kanan dan tongkat hitam menyambar dari depan, dia cepat mengelebatkan pedangnya.

“Cring-cring... singggg...!”

Sekaligus pedangnya menangkis pedang dan tongkat, dan terus meluncur ke arah Bouw Thaisu.

“Wuuttt... plakkk!”

Pedang di tangan In Hong terpukul sampai terpental dan membuat tubuh dara itu miring. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwa Hwa Cinjin yang cepat “memasuki” lowongan itu dengan totokan kebutannya. Hudtim yang terbuat dari rambut monyet yang lemas itu digerakkan dengan pengerahan sin-kang keras, sehingga rambut itu menjadi kaku sehingga hudtim itu seolah-olah berobah menjadi sebatang pedang yang menotok ke arah ulu hatinya!

Terkejutlah In Hong karena pada saat itu, pedangnya sudah diputarnya lagi untuk menghalau sinar hitam dari pedang di tangan Hek I Siankouw sehingga tidak mungkin dipakai menangkis hudtim yang mengancam ulu hati, sedangkan untuk mengelak, kedudukan tubuhnya tidak mengijinkan. Otomatis tangan kirinya bergerak dan otomatis pula dia telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang yang pernah dia terima sebagal “hadiah” dari Kok Beng Lama.

“Wuuuttt...plakkk...dessss...! Aughhhhh...!”

Tubuh Hwa Hwa Cinjin melayang dan terhuyung seperti sebuah layang-layang putus talinya karena tadi begitu dapat menangkis hudtim, tangan yang digerakkan secara aneh itu dan mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang, terus meluncur dan berhasil menggempur dada kakek itu.

Tubuh Hwa Hwa Cinjin terbanting ke atas tanah dan tak dapat bergerak lagi, mulutnya mengeluarkan banyak darah dan agaknya nyawanya hampir putus di saat itu juga. Tubuhnya yang sudah tua tidak kuat menerima gempuran Thian-te Sin-ciang!

Melihat ini, Hek I Siankouw menjerit dan bersama Go-bi Sin-kouw dia sudah menyerang dengan nekat, pedang hitamnya mengeluarkan bunyi mendesing-desing ketika menyerang In Hong secara bertubi-tubi, diseling oleh totokan-totokan maut yang dilakukan Go-bi Sin-kouw dengan tongkat hitamnya.

In Hong yang juga tergetar ketika melakukan serangan tangan kiri dengan Thian-te Sin-ciang tadi kini cepat memutar pedangnya menangkis. Dia harus cepat-cepat menggerakkan pedang kerena dua orang nenek itu kini benar-benar nekat dan marah sekali, dan dia sampai terdesak ke belakang, akan tetapi dengan mengeluarkan suara berdencingan nyaring, pedangnya berhasil juga menghalau dua senjata nenek itu.

Akan tetapi pada saat itu, Hwa Hwa Cinjin yang sudah sekarat, tiba-tiba menggerakkan hudtimnya. Dari tempat dia rebah, bulu-bulu hudtim itu meluncur seperti anak panah menuju ke arah tubuh In Hong! Setelah bulu-bulu hudtim itu melesat cepat, barulah kakek itu terkulai dan tewas.

In Hong terkejut bukan main, tidak mengira bahwa kakek yang disangkanya sudah tewas itu dapat menyerang sedemikian hebatnya. Cepat dia menjejak tanah dan tubuhnya mencelat ke atas, pedangnya masih sempat diputar menangkis senjata dua orang nenek yang lagi-lagi sudah menyerangnya.

Akan tetapi pada saat itu, Bouw Thaisu yang penasaran dan agaknya sudah menanti-nanti kesempatan itu, membentak keras, kedua tangannya bergerak dan dua lengan bajunya menyerang dengan amat hebatnya!

Karena tubuh In Hong masih di udara, dia berusaha menghindarkan serangan maut ini dengan elakan, dan tangan kirinya menyambar, menangkis dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, gerakan untung-untungan karena dia tahu bahwa ujung lengan baju kakek itu kuat seperti senjata pusaka, dan dia menangkis dengan tangan kosong saja!

Akan tetapi dia teringat akan pesan Kok Beng Lama bahwa Thian-te Sin-ciang cukup kuat melindungi tangan kosong untuk menangkis senjata pusaka, maka daripada tubuhnya di“makan” senjata ujung lengan baju, lebih baik dia mencoba tangan kirinya.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: