***

***

Ads

Minggu, 15 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 127

Yo Bi Kiok tertawa.
“Tak kau sangka, ya? Engkau sama bodohnya dengan para datuk yang pernah memperebutkannya. Dan dengan kepandaian yang kuperoleh ini, dengan mudah aku akan dapat mengalahkan engkau, orang she Cia!”

“Subo, harap subo bersabar. Apa perlunya mencari keributan lagi?”

In Hong yang merasa betapa sikap gurunya itu keterlaluan sekali, tak dapat tinggal diam lagi dan menegur dengan halus.

Yo Bi Kiok menoleh kepadanya.
“Huh, kau penakut! In Hong, mari kita bawa tawanan itu kembali kepada Raja Sabutai.”

Sambil berkata demikian, tanpa menghiraukan lagi kepada kakek itu, dia menghampiri Kaisar Ceng Tung.

Akan tetapi tiba-tiba Cia Keng Hong melangkah maju dan menghadang di depan Yo Bi Kiok.

“Pangcu dari Giok-hong-pang, engkau tidak boleh membawa pergi kaisar karena aku akan mengantar beliau kembali ke kota raja!”

Tiba-tiba Bi Kiok menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya dengan sikap penuh ancaman kepada Cia Keng Hong.

“Orang tua...” geramnya. “Mengingat akan nama baikmu, aku masih berlaku sabar dan tidak menyerangmu! Akan tetapi sekarang engkau malah menantangku!”

“Tidak ada siapa-siapa yang kutantang, akan tetapi sri baginda kaisar telah berhasil lolos dari tawanan. Itu baik sekali dan aku akan mengawalnya ke kota raja.”

“Enak saja kau bicara! Akulah yang menentukan dia hendak dibawa ke mana! Dan aku akan membawanya kembali kepada Raja Sabutai.”

“Tidak! Terpaksa aku akan menentangmu, Yo-pangcu.”

“Subo, biarlah sri baginda kaisar dikawal ke kota raja oleh Cia-locianpwe, dan kita mengantar Ratu Khamila kembali,”

In Hong berkata dan Cia Keng Hong menoleh ke arah gadis itu dengan pandang mata senang.

Akan tetapi, pada saat itu dia mendengar sambaran angin yang dahsyat sekali dari arah Yo Bi Kiok berdiri. Tahulah pendekar sakti ini bahwa ketua Giok-hong-pang itu telah menyerangnya. Dia tadi sudah menyaksikan gerak-gerik Yo Bi Kiok dan mengenal sebagian dari gerakan yang bersumber pada ilmu kepandaian Panglima The Hoo, maka dia segera menduga bahwa tentu wanita inilah yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari bokor emas itu.

Yo Bi Kiok telah menyerang dengan pukulan kilat yang bertubi-tubi, juga mengandung tenaga sakti yang hebat sekali, Cia Keng Hong tidak berani memandang rendah, juga pendekar ini mengerahkan tenaga saktinya, menggerakkan kedua tangannya menangkis.






“Wuuuutttt... plak-plak-duk-duk-dukk!”

Berkali-kali kedua pasang lengan yang sama-sama mengandung tenaga sakti itu bertemu dan akibatnya kedudukan kaki Yo Bi Kiok tergeser mundur sampai dua langkah jauhnya!

Wanita itu terkejut bukan main. Ketua Cin-ling-pai itu hanya menangkis saja berkali-kali, namun tenaga tangkisan itu telah membuat dia terdorong ke belakang. Padahal baru menangkis, belum menyerang!

“Orang she Cia yang sombong, lihat pedangku ini!”

“Singggg...!” Tampak sinar kilat ketika Lui-kong-kiam dicabut.

Cia Keng Hong lalu memungut sebatang ranting dari atas tanah, sebatang ranting yang panjangnya tidak melebihi lengannya.

“Yo-pangcu, bukankah itu Lui-kong-kiam yang dahulu pernah menjadi milik Liong Bu Kong?” tanyanya sambil memandang pedang bersinar kilat yang berada di tangan ketua Giok-hong-pang itu.

Yo Bi Kiok tersenyum mengejek.
“Dia mampus di tanganku seperti juga engkau akan mati di tanganku sekarang, orang she Cia. Hayo kau keluarkan pedangmu Siang-bhok-kiam yang terkenal itu!”

Cia Keng Hong menghela napas panjang. Dia merasa betapa wanita ini seperti seorang anak kecil saja.

“Yo Bi Kiok, sembarang rantingpun cukuplah untuk menghadapi pedangmu itu.”

Tentu saja Yo Bi Kiok menjadi marah sekali. Selama ini, kecuali ketika bertemu dengan pendeta Lama tinggi besar yang seperti setan itu, dia tidak pernah menemui tandingan. Kini, kakek Cin-ling-pai ini menghadapi pedangnya dengan hanya sebatang ranting! Tentu saja dia merasa dipandang rendah dan dihina sekali.

Sambil berteriak mengeluarkan suara lengkingan tajam tinggi dan panjang, tubuhnya menerjang ke depan, pedang kilatnya menjadi sinar bergulung-gulung. In Hong memandang dengan khawatir. Dia tahu akan kelihaian ketua Cin-ling-pai itu, akan tetapi hanya menggunakan ranting menghadapi pedang subonya, benar-benar merupakan bunuh diri!

Tampak sinar hijau di antara sinar kilat itu, sinar hijau yang meluncur dan membelit-belit di antara sinar kilat, disusul suara berdencingan dan tiba-tiba terdengar jeritan Yo Bi Kiok yang meloncat ke belakang dan dia mengusap lengan kanannya yang kena disabet oleh ranting itu, sakitnya bukan kepalang dan menimbulkan goresan panjang, padahal lengan bajunya tidak robek!

Yo Bi Kiok memandang terbelalak, hidungnya kembang-kempis dan kemarahannya memuncak. Kemudian dia menjerit dan menyerang lebih hebat daripada tadi.

“Suboooo... jangan...!”

In Hong yang melihat kehebatan serangan ini, serangan maut yang juga merupakan serangan mengadu nyawa karena dalam serangan ini, seluruhnya dicurahkan kepada penyerangan tanpa memperhatikan pertahanan sama sekali.

“Cringgg... ceppppp!!”

Ranting di tangan Cia Keng Hong patah menjadi dua, akan tetapi, pedang Lui-kong-kiam itu terlepas dari tangan pemiliknya dan menancap di atas tanah di depan kaki Yo Bi Kiok.

Sejenak wanita itu terbelalak, hampir tidak mempercayai pandangan matanya sendiri bahwa pedangnya benar-benar sampai dapat terpukul lepas dari tangannya. Tahulah dia bahwa pendekar di depannya ini benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa, maka dia menjadi malu sekali.

Dia menyambar pedangnya, kemudian lari dari situ dan dari tenggorokannya keluar suara yang sukar ditentukan apakah itu suara ketawa ataukah suara menangis!

Cia Keng Hong menghela napas dan menoleh kepada In Hong yang memandangnya dengan penuh kagum.

“Gurumu itu tinggi sekali ilmunya, sayang dia dikuasai oleh watak yang ganas dan aneh, mendekati kegilaan,” katanya.

“Memang dia mendekati kegilaan oleh perasaan hatinya yang gagal karena ditolak oleh Kun Liong koko,” kata In Hong.

“Ahhhhh... begitukah...?”

Cia Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. Dia tidak merasa heran karena dia tahu bahwa akibat cinta gagal banyak mendatangkan bencana pada manusia, sejak jaman gurunya masih muda (baca cerita Siang-bhok-kiam) sampai pengalamannya sendiri.

“In Hong,” katanya teringat kepada orang tua gadis itu dan memanggil nama gadis itu dengan mesra. “Kau telah melakukan perbuatan baik sekali dengan melindungi sri baginda. Sekarang, aku akan mengawal sri baginda kaisar kembali ke kota raja.”

In Hong mengangguk. Dia tunduk dan kagum kepada kakek ini sekarang, tidak hanya kagum akan kepandaiannya yang benar-benar hebat, akan tetapi juga kagum akan sikapnya.

“Baiklah, locianpwe. Saya akan mengantar ratu kembali ke benteng Raja Sabutai.”

Cia Keng Hong menghampiri sri baginda dan menjura dengan hormat.
“Marilah, sri baginda, hamba mengawal paduka kembali ke kota raja.”

Kaisar Ceng Tung saling pandang dengan Khamila dan wanita cantik itu sudah bercucuran air mata. Mereka saling pandang, juga kaisar itu kelihatan berduka dan terharu sekali. Kemudian, Khamila mengeluarkan suara jerit lirih dan mereka saling rangkul.

In Hong menundukkan kepala dan Keng Hong membalikkan tubuhnya dengan alis berkerut. Tentu saja dia tidak tahu apa yang terjadi antara dua orang ini, seorang tawanan dan seorang isteri dari si penawan. Akan tetapi hal itu bukan urusannya dan dia tidak ingin mengetahuinya, akan tetapi telinganya tetap saja mendengar isak tangis Khamila.

“Sri baginda... terpaksa... terpaksa saya harus meninggalkan paduka...” terdengar Khamila terisak.

“Khamila, tidak bisakah... kau ikut dengan aku untuk selamanya?” suara kaisar penuh kelembutan dan permohonan seperti suara seorang pemuda biasa merayu dan membujuk kekasihnya.

“Tidak mungkin, paduka juga tahu... betapa baiknya Sabutai... sudah menjadi kewajibanku untuk kembali kepadanya... selamat tinggal, sri baginda.”

“Khamila... ah, perpisahan ini... mungkinkah pertemuan ini yang penghabisan? Bila kita dapat berjumpa kembali...?”

“Agaknya hanya di alam baka kita dapat saling bertemu kembali, baginda. Biarlah kalau di dunia ini kita tidak dapat berjodoh, di dalam kehidupan kelak hamba akan menjadi pelayan paduka, menjadi...”

“Ssstttt... di dalam pertemuan antara kita kelak, aku ingin menjadi suamimu, Khamila...”

Kaisar muda yang lagi gandrung asmara itu lalu melepaskan sebuah kalung dari lehernya dan mengalungkan benda itu ke leher Khamila sambil barbisik,

“Khamila, kalung ini pemberian ibundaku dan hanya boleh diberikan kepada permaisuriku.”

Khamila menggenggam kalung yang melingkari lehernya itu, matanya yang berair memandang terbelalak.

“Tapi... tapi... kita...”

“Kita berpisah, akan tetapi hati kita tidak. Kau akan kukenang sebagai satu-satunya isteriku yang tercinta, biar aku lahiriah akan dilayani seribu orang wanita sekalipun.”

“Ah, sri baginda...” Khamila menangis dan makin terharu dan beratlah hatinya untuk berpisah.

“Kau mintalah kebijaksanaan suamimu, Sabutai, agar jika engkau melahirkan seorang putera, di samping nama pemberian Sabutai, juga diberi alias nama pemberianku, yaitu Ceng Han Houw.”

Khamila membisikkan nama itu untuk menghafalnya sambil mengangguk, kemudian berbisik,

“Kalau perempuan?”

“Terserah kepadamu.”

Setelah mendekap sekali lagi mereka berpisah. Khamila digandeng tangannya oleh In Hong dan pergi dari situ, diikuti pandang mata kaisar yang berdiri dengan muka pucat. Ratu Khamila juga beberapa kali menoleh dan agaknya dia tentu akan lari kembali kepada kekasihnya kalau saja tidak digandeng dengan kuat oleh In Hong.

Setelah bayangan dua orang wanita itu lenyap, barulah kaisar menghela napas panjang dan bertanya kepada kakek Cin-ling-pai yang masih menantinya itu,

“Cia-locianpwe, apakah yang lebih menyedihkan daripada dua orang yang saling mencinta terpaksa harus berpisah?”

Cia Keng Hong yang semasa mudanya juga banyak mengalami suka dukanya cinta, dapat memaklumi perasaan kaisar saat itu, akan tetapi dengan jujur dia mengingatkan.

“Maaf, sri baginda, akan tetapi hamba kira bahwa cinta antara pria dan wanitapun hanya merupakan sebagian saja daripada hidup yang luas ini, apalagi bagi paduka sebagai kaisar, karena di sana masih menanti tugas yang menyangkut kehidupan rakyat senegara. Dan kedudukan paduka kini telah dipegang oleh lain orang.”

Ini merupakan berita baru bagi kaisar dan dia cepat mendekati Keng Hong, memandang tajam dan bertanya,

“Siapa dia?”

“Beliau itu bukan lain adalah Pangeran Cing Ti, adik paduka sendiri yang dipaksa oleh para pembesar yang tidak setia kepada paduka, macam Wang Cin dan kawan-kawannya itu.:.”

Kaisar mengerutkan alisnya.
“Sungguh benar kata orang bijak jaman dahulu bahwa lebih mudah membedakan mana binatang buas dan mana yang jinak, karena manusia sukar ditentukan keadaan hatinya dari wajahnya. Locianpwe, engkau yang sejak dahulu sudah menjadi sahabat dan pembantu mendiang Panglima Besar The Hoo, yang sudah kuketahui sejak kecil akan kesetiaanmu terhadap negara dan bangsa, ceritakanlah apa yang terjadi semenjak aku ditawan oleh Sabutai.”

Cia Keng Hong lalu menuturkan semua yang dialaminya dan diketahuinya melalui penyelidikannya selama ini. Diceritakannya betapa pasukan orang-orang Mancu dan Khitan yang dipimpinnya tidak berhasil menolong sri baginda yang ditawan karena tidak ada bantuan sama sekali dari fihak kota raja, kemudian betapa dia pergi menyelidiki kota raja dan tahu bahwa pembesar-pembesar yang berkuasa, yang menjadi sekutu Wang Cin, sengaja membiarkan kaisar tertawan tanpa ada usaha untuk menolong, kemudian malah mereka itu menentang para pembesar yang setia dan memaksa pengangkatan Pangeran Cing Ti sebagai pengganti kaisar.

Kaisar mengangguk-angguk dan kini kedukaannya karena perpisahan dengan Khamila itu sama sekali telah terlupakan olehnya! Kini pikirannya terisi penuh dengan persoalan kerajaan, maka persoalan lain terusir sama sekali.

Demikianlah keadaan pikiran manusia pada umumnya. Kita dipermainkan oleh pikiran yang selalu mengejar pengalaman yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan. Selama keinginan mengejar kesenangan ini masih menguasai kita, maka kita tidak akan pernah merasa tenteram.

Kalau sudah terpegang kesenangan yang kita kejar-kejar itu, maka hal itu bukan hanya berhenti sampai sekian saja karena pikiran kita sudah bergerak lagi mengejar kesenangan yang lain. Padahal setiap kesenangan itu selalu disanding oleh kekecewaan, kebosanan, dan kedukaan, juga ketakutan.

Kita sendirilah yang membuatnya, bukan orang lain. Sumber segala kedukaan berada di dalam diri kita sendiri. Juga sumber dari segala kebijaksanaan dan kebahagiaan juga berada di dalam diri kita sendiri. Oleh karena itu, memandang atau mengawasi diri sendiri, mengamatinya setiap saat lahir batin kita membuat kita mengenal diri sendiri yang akan menimbulkan pengertian dan kesadaran. Pengertian mendalam ini akan mengakibatkan terjadinya perobahan mujijat dalam diri kita.

“Bagaimana dengan para petugas kami yang setia?” kaisar bertanya.

“Sebetulnya masih banyak menteri dan jenderal yang setia terhadap paduka, akan tetapi karena paduka tidak ada dan mereka tidak menghendaki perang saudara, tidak berani bertindak tanpa perintah paduka, maka sekarang hamba ingin mengantar paduka kepada mereka di kota raja.”

“Hemm, baiklah. Mari kita berangkat, Cia Keng Hong locianpwe.”

**** 127 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: