***

***

Ads

Minggu, 15 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 130

Sementara itu, dengan bantuan Cia Keng Hong, Kaisar Ceng Tung cepat mengadakan kontak dengan para menteri dan jenderal yang setia kepadanya. Untung baginya, kebetulan sekali bala tentara yang dikerahkan ke utara untuk menghalau pasukan-pasukan Sabutai, dipimpin oleh Jenderal Bao Ciang, seorang jenderal yang setia kepadanya dan menjadi sahabat baik pendekar Cia Keng Hong.

Mula-mula kaisar oleh Cia Keng Hong disembunyikan lebih dulu dan dia sendiri pergi menghadap Jenderal Bao Ciang. Di tempat ini, Cia Keng Hong berjumpa dengan Yap Kun Liong yang seperti banyak orang-orang gagah dari seluruh penjuru beramai-ramai menjadi sukarelawan membantu bala tentara pemerintah untuk menghadapi pemberontak dari utara.

Sebelum bicara dengan Jenderal Bao Ciang, Cia Keng Hong menemui Kun Liong lebih dulu dan dari Yap Kun Liong inilah dia menyelidiki keadaan jenderal itu sekarang sehingga dia merasa yakin bahwa Jenderal Bao inipun tidak setuju akan pengangkatan Cing Ti yang dipaksa menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan pemberontak.

Dengan singkat Cia Keng Hong lalu bercerita kepada Yap Kun Liong betapa adik kandung Kun Liong yang bernama In Hong telah berhasil menyelamatkan dan meloloskan kaisar dari dalam tahanan pemberontak.

Kun Liong terkejut dan girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa kehilangan adiknya yang dianggapnya telah menyeleweng dan menjadi seorang yang kejam seperti gurunya, Yo Bi Kiok. Akan tetapi siapa tahu kini malah berjasa besar!

“Supek, di manakah dia sekarang?”

“Dia menjadi pengawal ratu, isteri Sabutai. Dia kembali ke benteng Sabutai, dan aku sudah menyuruh Bun Houw untuk menyusul dan melindunginya kalau-kalau ada bahaya mengancamnya. Karena aku sendiri harus cepat membantu sri baginda kaisar menghubungi para jenderal...”

“Kalau begitu saya akan menyusul ke sana, supek.”

“Sebaiknya begitulah.”

Kun Liong memberi hormat dan berkelebat pergi, diikuti pandang mata Cia Keng Hong yang merasa kasihan sekali kepada pendekar itu. Dia tahu bahwa sampai sekarang, kematian isteri Kun Liong yang mengakibatkan banyak malapetaka itu masih juga belum terbongkar rahasianya dan tentu usaha penyelidikan semua terhenti oleh adanya perang melawan pemberontakan.

Bahkan penyelidikan puteranya dan dia sendiri tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiampun terhenti. Semua kepentingan pribadi memang terpaksa harus dikesampingkan untuk mendahulukan kepentingan negara dan bangsa. Apalagi menghadapi ancaman dari orang-orang Mongol yang pernah menjajah tanah air selama hampir satu abad lamanya itu.






Kemudian Cia Keng Hong pergi menghadap Jenderal Bao dan dalam pertemuan antara dua sahabat lama, karena keduanya dahulu merupakan pembantu-pembantu Panglima Besar The Hoo, terdapat kegembiraan besar dan di sini Cia Keng Hong menjajagi isi hati Jenderal Bao, karena biarpun dia sudah mendengar keterangan dari Kun Liong, namun dalam urusan diri kaisar dia harus berhati-hati.

Setelah dia yakin benar bahwa jenderal ini benar-benar masih setia kepada Kaisar Ceng Tung, Cia Keng Hong memancing.

“Akan tetapi, Bao-goanswe, bukankah Kaisar Ceng Tung adalah kaisar yang lemah sekali, yang mudah saja dipermainkan oleh thaikam yang khianat, dan mudah tunduk oleh selirnya yang bernama Azisha?”

Jenderal Bao mengerutkan alisnya yang tebal.
“Memang benar, akan tetapi saya mengenal betul watak beliau sejak kecil, Cia-taihiap! Beliau adalah seorang yang sesungguhnya memiliki budi baik, dan seorang yang memiliki kecerdasan dan kemampuan besar untuk menjadi seorang kaisar yang baik. Pribadinya baik, dia gagah berani menentang segala kesukaran. Kalau dia berobah lemah, hal itu adalah karena pengaruh si laknat Wang Cin, si kebiri pengkhianat itu. Betapapun juga, pengangkatan Kaisar Cing Ti hanya terpaksa karena Kaisar Ceng Tung tidak ada beritanya, mungkin sudah tewas di dalam tahanan dan untuk itu, kami telah bersumpah untuk membalas dendam, untuk membasmi Sabutai dan semua anak buahnya!” Dia memukulkan tinjunya yang besar ke atas meja.

“Seandainya Kaisar Ceng Tung ternyata masih hidup dan berhasil meloloskan diri dari tawanan, bagaimana, Bao-goanswe?”

Mata yang lebar itu memandang tajam.
“Tidak mungkin! Sudah terlambat. Mereka yang berambisi mencari kedudukan tinggi sudah memperjuangkan agar Kaisar Ceng Tung tidak ditolong selama ini dan agar mereka dapat mengangkat kaisar lain yang dapat mereka permainkan. Kelompok pengganti orang-orang macam Wang Cin memang banyak terdapat di istana dan tak lama lagi kaisar baru akan jauh lebih lemah lagi daripada Kaiar Ceng Tung.”

“Akan tetapi seandainya Kaisar Ceng Tung masih hidup dan lolos?”

“Tidak mungkin! Harapan kosong belaka!”

“Goanswe, lupakah goanswe kepada ajaran Panglima The Hoo bahwa dalam setiap keadaan kita tidak boleh sekali-kali berputus asa? Kalau belum ada bukti-bukti bahwa Kaisar Ceng Tung telah meninggal dunia, mengapa goanswe mengatakan tidak mungkin dan harapan kosong belaka? Jawablah, andaikata beliau masih hidup dan sekarang dapat muncul di sini, apa yang akan kau lakukan?”

Jenderal itu bangkit berdiri, menatap wajah pendekar itu penuh selidik, tiba-tiba memegang dan menekan tangan pendekar itu dengan tangannya yang besar dan kuat, dan matanya menjadi basah.

“Cia-taihiap! Engkau satu-satunya orang yang paling kuhormat karena kegagahanmu dan kupercaya karena kesetiaanmu, katakanlah. Benarkah beliau masih hidup?”

“Duduklah, goanswe. Lebih baik kau jawab dulu pertanyaanku tadi. Apa yang akan kau lakukan kalau beliau masih hidup dan muncul di sini?”

“Demi Tuhan! Aku akan membantu beliau memperoleh kembali singgasana beliau karena itu adalah haknya! Kalau Sri Baginda Kaisar Ceng Tung masih hidup, maka kaisar yang baru itu tidak sah!”

“Hemm, bagaimana akan kau lakukan hal itu begitu mudahnya? Kaisar yang baru memiliki banyak pendukung dan tentu akan terjadi perang saudara.”

“Tidak! Sebagian besar bala tentara berada di bawah komandoku. Dan sisa pasukan di dalampun dipimpin oleh sahabat-sahabatku yang setia kepada Kaisar Ceng Tung. Hanya ada beberapa orang jenderal yang mengepalai pasukan-pasukan pengawal dan pasukan-pasukan pinggiran yang tidak berarti kekuatannya. Aku akan lebih dulu mengadakan pembersihan, menekan mereka atau menyingkirkan mereka kalau perlu. Akan tetapi betulkah...?” Dia memandang penuh harap.

Cia Keng Hong sudah merasa yakin sekarang. Dia mengangguk dan berkata,
“Lekas sediakan pasukan penjemput dan kereta.”

Jenderal Bao merangkul Cia Keng Hong dan kepalan tangannya yang besar menghapus dua titik air matanya.

“Kau hebat, taihiap! Kau hebat sekali telah menyelamatkan kaisar! Usaha puluhan ribu perajurit tidak berhasil, akan tetapi engkau seorang diri dapat...”

“Ssssstt... jangan tergesa-gesa memuji. Engkau akan mendengar sendiri dari beliau siapa yang menyelamatkan beliau. Mari!”

Malam itu juga, Jenderal Bao Ciang sendiri bersama Cia Keng Hong memimpin pasukan menjemput Kaisar Ceng Tung. Setelah berhadapan dengan kaisar, Jenderal Bao menjatuhkan diri berlutut sambil meruntuhkan beberapa titik air mata! Akan tetapi, dengan manis budi dan tenang kaisar itu berkata,

“Bangkitlah, jenderalku yang setia! Dan mulai saat ini, perintahkan untuk menarik mundur semua pasukan, jangan lagi mengejar pasukan Sabutai.”

Jenderal itu bangkit dan memberi hormat, terkejut menerima perintah pertama yang aneh itu.

“Siap, sri baginda. Akan tetapi, bolehkah hamba menerima penjelasan?”

Kaisar tersenyum angkuh.
“Kalau dia diserang, dia akan mempertahankan mati-matian dan mungkin akan mengorbankan banyak pasukan kita yang kini perlu kita kerahkan ke selatan. Dan aku menjamin bahwa kalau dia tidak diserang, dia akan mundur. Dia telah tahu kini akan kekuatan kita dan kekalahannya merupakan pelajaran baginya. Dia kelak dapat menjadi sahabat yang baik.”

Kaisar tersenyum lagi, teringat akan suratnya dan akan pengaruh Khamila atas diri suaminya. Cia Keng Hong yang tidak tahu akan urusan sedalam-dalamnya, diam-diam juga merasa heran sekali.

Kaisar lalu diiringkan ke dalam benteng dan taat akan perintah kaisar, Jenderal Bao menarik kembali semua pasukan yang mengurung benteng. Sabutai hanya meninggalkan sedikit pasukan untuk melakukan pengintaian. Hal inipun segera diketahui oleh Sabutai yang tertawa dan mengangguk-angguk.

“Hebat...” kata Raja Mongol ini. “Memang dia hebat, jauh hebat daripada aku, dalam banyak hal... dalam banyak hal...” dia teringat akan kandungan di dalam perut istrinya dan tersenyum lebar penuh kebanggaan bahwa dia akan menjadi ayah dari seorang anak keturunan kaisar yang demikian hebat!

Setelah berunding dengan kaisar, Jenderal Bao yang dibantu oleh Cia Keng Hong yang kini bertindak sebagai pengawal kaisar pribadi untuk sementara, segera melaksanakan rencananya.

Tentang kembalinya Kaisar Ceng Tung masih dirahasiakan dan jenderal itu menyusun kekuatan untuk mengembalikan singgasana kepada Kaisar Ceng Tung. Para menteri dan jenderal yang setia kepada Kaisar Ceng Tung tentu saja menyambut dengan penuh kegembiraan, akan tetapi di fihak para pengejar ambisi yang telah mengangkat Kaisar Ceng Ti secara paksa, tentu saja dengan mati-matian mempertahankan Kaisar Ceng Ti, karena turunnya kaisar baru dari tahta dan kembalinya kaisar lama ke istana berarti hilangnya kedudukan baru mereka yang mulia!

Kembali merupakan bukti yang nyata betapa semenjak sejarah tercatat orang, semua pertikaian, semua permusuhan dan semua peperangan terjadi sebagai akibat daripada pengejaran ambisi dan cita-cita, baik perorangan maupun kelompok yang sesungguhnya sama saja, karena kelompok hanyalah merupakan sekumpulan orang-orang lemah yang tidak percaya kepada diri sendiri lalu menggantungkan kepercayaan mereka kepada beberapa gelintir orang dan mengoper ambisi beberapa gelintir orang itu sebagai tujuan cita-cita mereka sendiri.

Betapa banyak terjadi sejak dahulu. Raja demi raja ditumbangkan dari kekuasaannya oleh raja lain yang pada gilirannya selalu terancam akan digulingkan pula oleh kekuasaan lain yang ingin mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang diinginkannya dan yang dinamakan cita-cita atau ambisi.

Cita-cita atau ambisi bukan lain hanyalah keinginan kita akan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang lain daripada yang ada sekarang, yang lain daripada apa yang berada di tangan kita, lain daripada apa yang kita miliki, yang kita anggap jauh lebih bagus dan lebih menyenangkan daripada yang ada sekarang. Dengan pandangan seperti ini, mata yang ditujukan kepada hal-hal yang belum ada, yang dianggap lebih menyenangkan, tentu saja yang ada sekarang tampak sama sekali tidak menyenangkan, atau bahkan tidak nampak sama sekali.

Jelaslah bahwa cita-cita atau ambisi itu hanyalah pengejaran kesenangan belaka, kesenangan yang dibayang-bayangkan akan membuatnya bahagia. Padahal kalau yang dinamakan cita-cita itu tercapai, kepuasan hanya dirasakan sebentar saja karena mata sudah mulai lagi memandang jauh, bercita-cita yang lain lagi, mengejar kesenangan yang lain lagi, yang dianggap lebih daripada yang telah diperolehnya itu.

Demikianlah, hidup lalu menjadi gelanggang pengejaran cita-cita yang akibatnya hanya dua, yaitu kalau tidak tercapai menjadikan kecewa dan putus asa, kalau tereapai menjadikan bosan dan mengejar yang lain lagi. Dan lebih celaka lagi, pengejaran-pengejaran demi tercapainya cita-cita atau ambisi yang pada hakekatnya hanyalah kesenangan terselubung itu, seringkali dilakukan dengan cara bagaimana saja, kadang-kadang kotor dan kejam bukan main, demi untuk memperoleh yang dicita-cita atau dikejarnya.

Betapapun cara pengejaran keinginan itu diperhalus, dijaga agar tidak menyeleweng daripada kebenaran, tetap saja di dalamnya mengandung unsur untuk kepentingan diri pribadi, dan karena setiap orang mengejar keinginan masing-masing, maka tentu saja tidak mungkin dapat dlielakkan lagi terjadilah bentrokan-bentrokan, sikut-sikutan, jegal-jegalan demi untuk memperoleh apa yang diinginkan.
.
Seperti sekelompok kanak-kanak memperebutkan layang-layang yang putus talinya. Apapun akan mereka lakukan demi memperoleh layang-layang itu. Oleh karena cita-cita inilah maka timbul perbuatan-perbuatan yang rendah, timbul perang dan permusuhan dan timbul cara-cara yang kotor dan keji, timbul pegangan kejam bahwa cita-cita atau tujuan menghalalkan segala cara! Dan kalau sudah begitu, celakalah manusia.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: