***

***

Ads

Selasa, 17 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 136

Pemuda ini hanya memasang kuda-kuda sederhana saja, dengan kedua kaki agak terpentang, dan tubuh miring sehingga menghadapi kedua orang lawan itu di kanan kirinya, bukan di depan belakang. Tangan kirinya miring di depan dada seperti orang menyembah dengan sebelah tangan, lengan kanan diangkat ke atas dengan pedang-pedangan kayu menuding ke depan, tubuhnya tidak bergerak, dan hanya kedua matanya saja yang hidup, bergerak ke kanan kiri, dan melihat ujung jari-jari tangan kiri dan ujung pedang-pedangan kayu tergetar, kagumlah In Hong.

Kini gadis itu mulai mengerti bahwa pemuda itu sesungguhnya bukan orang sembarangan dan dia tahu pula bahwa seluruh urat syaraf pemuda itu dalam kewaspadaan, dan bahwa seluruh tubuh pemuda itu kini sedang dialiri oleh hawa tenaga sakti yang hebat! Dia menjadi terharu dan mulai dia mencela kebutaannya sendiri karena dia mulai yakin bahwa Bun Houw adalah seorang pendekar muda yang sakti, yang hanya memiliki kepandaian sederhana saja.

“Hyaaaatttt...!” Liok-te Sin-mo membentak.

“Heeeeiiiitttt...!” Pat-pi Lo-sian juga memekik keras.

Keduanya sudah menerjang dengan cepat. Kedua tangan Liok-te Sin-mo menyerang secara bertubi dan pedang ular itu mengimbangi serangan itu, menyambar-nyambar dari atas dan bawah dari lain jurusan.

“Wut-wut-wut, plak-plak-cringgg... tranggg...!”

Dengan gerakan yang amat sigap, terlalu cepat malah sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata, Bun Houw mengelak, menangkis pukulan-pukulan dengan tangan kiri dan menangkis pedang ular dengan kayu di tangannya, semua dilakukan dengan tepat, indah dan kuat.

Kini tubuhnya sudah diam lagi setelah dia berhasil menghalau serangan gelombang pertama dan kembali dia menghadapi dua orang lawan di kanan kirinya. Dalam serangan gebrakan pertama itu saja, Phang Tui Lok dan Gu Lo It sudah menjadi terkejut bukan main.

Ternyata kayu itu berhasil menangkis pedang dan membuat pedang ular terpental dan tangan yang memegangnya tergetar hebat, sedangkan serangan ujung lengan baju yang mengandung baja itu ditangkis begitu saja oleh tangan kiri pemuda itu. Tangan telanjang itu berani menangkis baja yang disembunyikan di dalam lengan baju, dan setiap tangkisan tadi membuat ujung lengan baju itu membalik keras!

In Hong terbelalak. Kagum bukan main dia. Biarpun baru segebrakan, akan tetapi sekarang Bun Houw agaknya baru memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya! Tadi di waktu melawan Hok Hosiang, pemuda itu memang berpura-pura. Baru sekarang, gerakannya tampak indah dan hebat bukan main, cepat dan tepat, kuat dan juga amat luar biasa!

Dan In Hong teringat akan gerakan tangan kiri Bun Houw yang mirip Thian-te Sin-ciang tadi. Siapakah sebenarnya pemuda ini? Dia menduga-duga dan hatinya makin kagum sungguhpun kekhawatiran masih belum meninggalkan hatinya ketika dia melihat dua orang kakek itu kini sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya.

Bun Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang kakek yang berkepandaian tinggi dan yang berkelahi dengan mati-matian, maka diapun tidak berani main-main lagi menghadapi musuh besar ini. Dengan cepat dia menggerakkkan potongan gagang tombak itu di tangannya dan segera kedua orang lawannya terkejut bukan main dan berseru keras, juga semua penonton menjadi bengong ketika melihat betapa cepatnya gerakan pemuda itu sehingga tubuhnya seolah-olah berobah menjadi delapan orang yang menghadapi dua orang pengeroyok itu dari delapan penjuru!






Gagang tombak dari kayu itu mengeluarkan suara mengaung dan berobah menjadi sinar kehijauan dan kini seolah-olah dua orang Bayangan Dewa itu bukan mengeroyok, bahkan mereka berdua merasa seperti dikeroyok banyak orang!

In Hong terbelalak. Gerak kaki pemuda itu jelas mengandung unsur-unsur pokok dari Thian-te Sin-ciang! Dia tidak tahu bahwa memang Bun Houw mainkan Ilmu Pedang Thian-te Sin-kiam ciptaan gurunya, Kok Beng Lama, akan tetapi karena tangannya memegang sebatang kayu, Ilmu Thian-te Sin-ciang ini hanya menjadi gerakan dasar saja, sedangkan kembangannya sudah dia campur dengan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dari ayahnya!

Ilmu pemuda itu memang amat tinggi, apalagi dia mainkan dua ilmu yang digabung menjadi satu, dua ilmu pedang yang merupakan ilmu simpanan dari Kok Bang Lama dan Cia Keng Hong. Dua orang lawannya menjadi silau pandang matanya dan bingung. Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin-mo yang tadinya hendak mendesak dan menghujankan serangan, kini berbalik malah didesak hebat, dihimpit oleh serangan yang datang dari delapan penjuru, dan mereka berdua itu dengan muka pucat kini hanya mampu mengelak dan menangkis saja sambil mundur-mundur.

Bun Houw mempercepat gerakan “pedangnya” dan kini pemuda itu menambah serangannya dengan tamparan-tamparan tangan kiri, tamparan Thian-te Sin-ciang yang mengandung hawa mujijat sepenuhnya!

Melihat tamparan-tamparan ini, In Hong makin terbelalak dan dia kini tidak syak lagi bahwa pemuda itu jelas mempergunakan Thian-te Sin-ciang, ilmu mujijat yang pernah dia pelajari dari pendeta Lama ini, akan tetapi pemuda itu menggunakannya secara matang dan hebat sekali! Dia makin terheran-heran dan menduga-duga. Bagaimana murid Cin-ling-pai bisa memiliki kepandaian demikian hebat dan dapat memiliki limu pukulan pendeta Lama itu?

Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin-mo makin terdesak dan kini keringat dingin membasahi leher dan muka mereka yang pucat, napas mereka mulai memburu dan setiap kali pedang ular bertemu dengan kayu, pedang itu terpental, demikian pula ujung lengan baju Gu Lo It, selalu terpental begitu bertemu dengan pedang kayu atau dengan tangan kiri pemuda itu.

“Bersiaplah kalian untuk membuat perhitungan dengan para suheng Cap-it Ho-han di alam baka!” Tiba-tiba Bun Houw berseru dan gerakannya menjadi makin cepat dan makin kuat.

Pat-pi Lo-sian mengeluarkan suara melengking panjang. Dewa Tua Berlengan Delapan ini mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk ke depan, pedang ularnya menusuk pusar, tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kepalanya digerakkan sehingga kuncir rambutnya yang besar panjang itupun bergerak hidup seperti seekor ular, menyambar dan menotok ke arah kedua mata Bun Houw!

Hebat bukan main serangan dari orang pertama Lima Bayangan Dewa ini. Akan tetapi berbeda dengan para penonton yang menahan napas memandang, Bon Houw bersikap tenang.

Tusukan pedang ular ke arah pusarnya itu dia hindarkan dengan gerakan tubuh yang dimiringkan karena perobahan kuda-kuda kaki sehingga pedang itu menyeleweng ke samping tubuhnya, kemudian dengan kecepatan kilat pedang kayunya membabat putus kuncir rambut mengancam matanya dan sebelum Phang Tui Lok sempat menarik kembali tangan kirinya, Bun Houw sudah menangkap pergelang tangan itu dengan tangan kirinya.

“Aughhhhh...!”

Pat-pi Lo-sian berteriak keras karena dari telapak tangan lawan yang mencengkeram lengannya itu keluar hawa panas yang menjalar dari lengan ke dadanya, seperti membakar tubuhnya. Rasa nyeri dan kemarahan membuat dia nekat dan pedangnya yang mengenai tempat kosong itu sudah ditarik dan ditusukkan kembali ke perut Bun Houw!

Dan pada saat yang hampir bersamaan, Gu Lo It juga sudah menubruk dari belakang pemuda itu, menghantamkan kedua tangannya didahului oleh dua ujung lengan baju yang menyambar ke arah punggung Bun Houw.

“Trakkk! Krekkkk... aaaiiihhhhh...!”

Pedang ular terlepas dari tangan Pat-pi Lo-sian karena didahului oleh pedang kayu yang menotok pergelangan tangan kanan dan lengan kiri Phang Tui Lok itu remuk tulang-tulangnya ketika Bun Houw menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk mencengkeram.

“Buk! Bukk!”

Pukulan Gu Lo It dari belakang sengaja diterima oleh Bun Houw setelah dia melindungi punggungnya dengan sin-kangnya yang amat kuat. Kemudian dia membalik cepat sambil mengangkat tubuh Phang Tui Lok, dilemparkan ke arah Gu Lo It dengan amat kuatnya.

“Brressss...!”

Tubuh Phang Tui Lok yang lengan kirinya sudah patah-patah itu menimpa tubuh Gu Lo It sehingga keduanya jatuh tunggang langgang dan sebelum mereka sempat sadar dari keadaan nanar dan dapat bangkit kembali, nampak sinar hijau berkelebat dua kali dan terdengarlah pekik-pekik mengerikan dan dua orang Bayangan Dewa yang amat terkenal setelah mereka mengacau Cin-ling-pai itu tewas seketika. Hanya ada sedikit darah mengucur keluar dari tengkuk mereka yang ditusuk oleh pedang-pedangan kayu di tangan Bun Houw.

Sejenak suasana menjadi sunyi sekali, seolah-olah semua orang masih termangu-mangu, heran dan terkejut menyaksikan kesudahan pertandingan yang tak tersangka-sangka itu, akan tetapi begitu Raja Sabutai bertepuk tangan memuji, terdengarlah sorak-sorai dan tepuk tangan yang meriah dan di antara mereka yang bertepuk tangan, juga tidak ketinggalan In Hong yang menjadi gembira dan lega bukan main!

Di antara suara sorak-sorak itu, terdengar Yo Bi Kiok berbisik kepada muridnya,
“Kekasihmu itu bisa menjadi orang yang amat berbahaya, muridku. Kau harus dapat menundukkan dia, kalau tidak bisa berbahaya...”

Dan Pek-hiat Mo-ko juga berbisik kepada Raja Sabutai,
“Pemuda itu mencurigakan, sri baginda. Dia bukan orang sembarangan, bukan murid sembarangan...”

Akan tetapi Bun Houw tidak memperdulikan sorak-sorai pujian itu. Dia membiarkan para pengawal menyeret pergi dua mayat musuh-musuhnya itu lalu dia melangkah ke dekat Raja Sabutai, menjura dengan hormat dan berkata,

“Terima kasih atas kemurahan paduka yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh-musuh saya. Setelah mereka semua tewas, saya mohon kembalinya pedang pusaka perkumpulan kami dan mohon perkenan untuk keluar dari tempat ini.”

“Bocah she Bun, nanti dulu!”

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan nampak bayangan berkelebat cepat. Yo Bi Kiok sudah berdiri di tengah ruangan itu dengan sikap menantang!

“Bayangan Dewa memang sudah kalah terhadap engkau, akan tetapi disini masih ada ketua Giok-hong-pang yang juga ingin memperebutkan Siang-bhok-kiam! Memang pibu ini diadakan untuk mengukur siapa yang paling pandai, siapa yang paling tinggi kepandaiannya dan yang paling pandai berhak memiliki Siang-bhok-kiam! Bukankah begitu, sri baginda?”

Raja Sabutai tersenyum. Tentu saja raja ini tidak memperdulikan urusan pribadi orang lain dan dia hanya ingin melihat orang-orang pandai mengadu ilmu. Bagi raja ini, siapapun yang akan memiliki pedang kayu itu tidak ada bedanya.

“Siapapun yang mempunyai urusan pribadi hendak diselesaikan melalui pibu, boleh diselesaikan sekarang disini,” jawabnya mengangguk.

Bun Houw memutar tubuhnya, perlahan-lahan dan kini dia memandang kepada Yo Bi Kiok dengan sinar mata tajam penuh selidik, bahkan mukanya mulai berobah merah karena dia teringat akan ucapan Phang Tui Lok tadi tentang perbuatan Yo Bi Kiok ini.

Menurut pengakuan Phang Tui Lok tadi, Bayangan Dewa itu berhasil membunuh empat murid utama dari Cin-ling-pai, sudah tentu Kwee Kin Ta, Kwee Kin Ci, Louw Bu dan Un Siong Tek, dan juga membunuh besan ayahnya yang tentu adalah Hong Khi Hoatsu di Sin-yang atas bantuan Yo-pangcu ini. Bahkan katanya wanita ini telah menculik Lie Seng, keponakannya, putera dari encinya! Baru sekarang dia mendengar akan hal itu dan belum sempat menyelidikinya, akan tetapi sekarang wanita iblis ini malah mencari gara-gara hendak merampas Siang-bhok-kiam!

“Subo... Bun-ko... jangan...!” terdengar suara In Hong khawatir.

Akan tethpi Bun Houw tidak perduli, dan kini dia sudah melangkah perlahan menghampiri Yo Bi Kiok yang berdiri di tengah ruangan, menantinya sambil tersenyum. Bahkan kini hati Bun Houw menjadi makin panas dan marah mengingat bahwa wanita iblis ini adalah guru dari gadis yang telah merampas hatinya! Gadis yang ternyata juga amat kejam, dan agaknya kekejaman itu diwarisi dari gurunya ini! Maka marahlah dia kepada Yo Bi Kiok.

Kini mereka sudah berhadapan dan sejenak keduanya saling pandang, Bun Houw marah dan Yo Bi Kiok tersenyum mengejek.

“Orang muda she Bun.” Yo Bi Kik berkata. “Demi persahabatanmu dengan muridku, lebih baik kau menyerahkan Siang-bhok-kiam kepadaku, dengan demikian tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk saling bertanding.”

Akan tetapi pada saat itu pikiran Bun Houw sama sekali tidak mengingat Siang-bhok-kiam, melainkan urusan lain lagi.

“Yo-pangcu, Siang-bhok-kiam adalah pusaka Cin-ling-pai dan siapapun juga tidak boleh mengambilnya. Akan tetapi, sekarang aku hendak menuntut pangcu tentang urusan di Sin-yang!”

Dewi Maut







Tidak ada komentar: