***

***

Ads

Selasa, 17 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 137

Berkerut alis mata yang panjang melengkung itu dan dagu yang runcing manis itu diangkat.

“Hemm, bocah she Bun, ada apa kau tanya-tanya soal itu?”

“Yo-pangcu! Urusan ini bahkan lebih penting lagi! Aku mendengar tadi bahwa engkau telah menculik Lie Seng, benarkah itu?”

“Bocah she Bun, tidak perlu kau lancang hendak mencampuri urusan orang lain! Aku hendak menyimpan Siang-bhok-kiam hanya untuk melindungimu, mengerti? Sebagai sahabat baik muridku, engkau tak perlu membahayakan diri, engkau harus menjadi seorang...kekasih yang baik, jangan menjadi seorang laki-laki yang berhati palsu. Hati-hati engkau kalau sampai engkau menyakiti hati muridku. Gadis dusun itu menjadi contohnya, dan kalau engkau yang tidak setia, engkaulah yang akan kubunuh. Nah, mundurlah dan hiburlah hati In Hong, biarkan aku yang menghadapi mereka itu. Tak tahukah engkau bahwa mereka berdua itu agaknya tidak akan mengembalikan Siang-bhok-kiam begitu saja?”

Bun Houw terkejut bukan main. Di dalam ucapan wanita itu tadi tersangkut banyak sekali persoalan! Pertama, urusan cinta yang belum diketahui siapapun juga, cinta yang terkandung di dalam hatinya tarhadap In Hong, agaknya telah diketahui oleh wanita ini dan dibicarakan di depan umum begitu saja! Kedua, wanita ini mengaku bahwa dia yang membunuh gadis dusun she Ma itu! Lapanglah hati Bun Houw. Jadi bukan nona Hong yang membunuh, melainkan wanita iblis ini. Dan ketiga, baru dia tahu bahwa dua orang kakek dan nenek itu, yang tadi menyimpan Siang-bhok-kiam, guru-guru dari Raja Sabutai, juga menginginkan pedang pusaka itu!

“Yo-pangcu, semua urusan itu boleh kukesampingkan, karena yang penting sekarang adalah persoalan yang kau lakukan di Sin-yang! Benarkah engkau menculik Lie Seng, cucu ketua Cin-ling-pai?”

“Kalau benar, engkau mau apa?”

Yo Bi Kiok bertanya dengan nada mengejek karena hatinya menjadi jengkel sekali. Dia teringat akan Lie Seng, bocah yang telah menghinanya secara menggemaskan sekali, yang telah menghajarnya babak belur, dan dia tidak mampu berbuat apa-apa karena anak itu dibantu oleh pendeta Lama yang amat sakti. Akan tetapi akhirnya dapat juga dia membalas menyerang anak itu dengan Siang-tok-swa dan agaknya bocah itu sekarang sudah mampus!

“Bagus! Yo-pangcu, kalau begitu aku menantangmu untuk mengadu nyawa di sini!” Bun Houw membentak marah.

“Bun-ko...!”

In Hong berseru kaget dan tubuh dara ini sudah melayang ke tengah ruangan itu, menghadang antara Bun Houw dan gurunya.

“Bun-ko, engkau tidak boleh melawan subo!”

“Hong-moi, aku telah bersalah kepadamu. Engkau tidak berdosa, akan tetapi gurumu itu... dia iblis betina keji yang harus kubasmi. Minggirlah, Hong-moi!”

“Tidak! Engkau tidak boleh melawan Subo...”

“Hong-moi!” Bun Houw membentak.






“Kalau engkau berkeras, terpaksa aku yang mewakili subo menghadapimu, Bun-ko.”

“Hong-moi...!” Bun Houw terkejut, meragu dan bingung.

Pada saat itu, tedengar seruan.
“Tahan...!”

Semua orang terkejut melihat berkelebatnya bayangan orang yang mencelat melalui atas kepala para penjaga, cepat sekali gerakannya seperti burung terbang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki sederhana, berusia tiga puluh tujuh tahun, mukanya kurus sekali dan agak pucat sehingga nampak sepasang matanya yang tajam memenuhi wajah kurus yang masih membayangkan sisa ketampanan itu.

“Sute, mundurlah, biar aku yang menghadapinya!” kata pria itu kepada Bun Houw.

“Suheng...!”

Bun Houw berseru ragu-ragu dan alisnya berkerut. Hati Bun Houw masih penasaran bertemu dengan Yap Kuh Liong ini, yang mengingatkan dia akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga encinya.

In Hong juga terkejut melihat kakak kandungnya, akan tetapi kesempatan itu dipergunakannya untuk mundur dengan hati lega karena diapun melihat Bun Houw mundur dengan muka berobah. In Hong makin terheran-heran mendengar kakak kandungnya menyebut sute kepada Bun Houw.

Sementara itu, begitu melihat pria ini, wajah Yo Bi Kiok berobah, sebentar pucat sebentar merah, mukanya kadang-kadang seperti orang hendak menangis kadang-kadang seperti orang bergembira. Aneh sekali sikap wanita cantik ini.

Orang itu memang Yap Kun Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini bertemu dengan Cia Keng Hong, mendengar bahwa adik kandungnya, Yap In Hong, berada di benteng musuh dan bahwa sutenya, Cia Bun Houw, sedang menyusul untuk melindungi In Hong, maka diapun lalu menyusul.

Ketika dia menyelidiki, dia mendengar bahwa di dalam benteng sedang ramai diadakan pibu antara orang-orang yang berkepandaian tinggi, dan bahwa yang mengadakan pibu itu adalah Raja Sabutai sendiri. Mendengar ini dia lalu mencari jalan masuk dan akhirnya, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil pula masuk dan tiba di tempat itu tepat pada saat Bun Houw mendesak Yo Bi Kiok untuk mengaku tentang Lie Seng.

Mendengar bahwa Lie Seng yang kabarnya terculik itu ternyata diculik oleh Yo Bi Kiok, Kun Liong menjadi kaget dan marah sekali maka tak tertahankan lagi dia berseru dan meloncat ke tengah ruangan dengan hati penuh kemarahan.

Akan tetapi, pendekar ini masih ingat bahwa dia berada di dalam benteng Raja Sabutai yang telah mundur dan menyerang kota raja, maka dia lalu memberi hormat kepada raja itu, berkata,

“Harap sri baginda mengampunkan kelancangan saya yang datang tanpa diundang.”

Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tadi, para pengawal sudah menggerakkan senjata dan memandang kepadanya menanti perintah, juga kedua orang gurunya sudah siap hendak menerjang, hanya menanti isyaratnya, akan tetapi dia memberi isyarat kepada mereka semua agar jangan turun tangan.

Andaikata tidak ada sebutan sute dan suheng antara pendatang baru ini dan Bun Houw, tentu dia telah memberi isyarat untuk menanqkap penyelundup itu. Akan tetapi, ketika melihat bahwa pendatang baru ini adalah suheng dari Bun Houw yang demikian lihai, hatinya tertarik. Akan tetapi kini mendengar ucapan Yap Kuli Liong, Raja Sabutai dengan alis berkerut dan suara marah membentak,

“Siapakah engkau?”

“Sri baginda, dia adalah kakak kandung saya!”

Tiba-tiba In Hong berkata. Kun Liong memutar tubuhnya memandang In Hong dengan wajah berseri. Tidak ada kata-kata yang lebih merdu, lebih menggembirakan daripada suara dara itu yang kini di depan orang banyak mengakui dia sebagai kakak kandungnya.

“Adikku...!”

Dia berbisik dengan hati terharu, akan tetapi In Hong hanya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, karena gadis ini mengakui kakaknya hanya untuk meredakan kemarahan Raja Sabutai.

Dan memang tepatlah dugaannya. Mendengar seruan gadis yang pernah amat dipercayanya, yang menjadi pengawal, pelindung dan juga sahabat isterinya, berkuranglah kemarahan dalam hati Raja Sabutai atas kelancangan Kun Liong.

“Apa keperluanmu datang ke sini tanpa diundang?” Raja Sabutai bertanya lagi.

“Saya bernama Yap Kun Liong dan kedatangan saya secara lancang ini adalah karena saya mendengar bahwa adik kandung saya, Yap In Hong dan sute Cia Bun Houw berada disini...”

“Ouhhh...!”

Yang menjerit ini adalah In Hong. Dan gadis itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Bun Houw yang juga sedang memandang kepadanya dengan bengong. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati In Hong ketika mendengar bahwa pemuda yang selama ini disangkanya orang she Bun, yang baru saja dengan kepandaiannya yang hebat membuat dia terheran-heran, ternyata adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai atau... tunangannya sendiri yang dia batalkan! Cia Bun Houw! Kekasih Yalima!

Tak terasa lagi matanya menjadi panas dan cepat-cepat dia mengusap air mata yang belum keluar itu. Cia Bun Houw! Mengapa dia begitu bodoh? Begitu buta? Orang yang mati-matian membela Cin-ling-pai, orang muda yang begitu lihai, tentu saja Cia Bun Houw! Di lain fihak, Bun Houw juga bengong terlongong. Kiranya gadis yang mengagumkan hatinya, yang menjatuhkan hatinya, ternyata adalah adik Yap Kun Liong sendiri!

“Kedatangan saya ini sama sekali bukan hendak mengacaukan benteng paduka sri baginda. Melainkan karena urusan pribadi. Setelah mendengar bahwa mereka berdua berada di sini, saya menyusul dan tadi hanya mendengar tentang pengakuan wanita bernama Yo Bi Kiok atau Yo-pangcu, ketua Giok-hong-pang ini. Maka saya hendak menyelesaikan urusan pribadi saya dengan dia, jika paduka memperkenankan.”

Melihat sikap gagah dan kata-kata yang lancar dan hormat itu, Raja Sabutai tahu bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka dia menjadi gembira sekali. Akan lebih ramai sekarang! Maka dia mengangguk.

“Baik, silakan.”

Yap Kun Liong kini menghampiri Yo Bi Kiok, alisnya berkerut dan pandang matanya penuh selidik, penuh penyesalan.

“Yo Bi Kiok, sungguh menyesal bahwa kita sekarang saling berhadapan dalam keadaan seperti ini! Sekarang harap engkau suka berterus terang apa saja yang telah kau lakukan di Sin-yang, dan kemana kau membawa Lie Seng putera dari Cia Giok Keng itu.”

Yo Bi Kiok sejenak memandang wajah pria yang sejak dahulu dipuja dan dicintanya itu, memandang mesra, kemudian dia tersenyum.

“Kun Liong, kenapa engkau mencampuri urusan ini? Apa perdulimu tentang urusanku dengan keluarga Cin-ling-pai?”

“Benar! Engkau tidak berhak, Yap-suheng. Mundurlah dan aku yang akan menyelesaikan perhitungan ini dengan Yo-pangcu!”

“Kalau engkau melawan subo, terpaksa aku akan maju menghadapimu... Bun-ko!”

“Ahhh... tapi kau... kau adik Yap-suheng dan dia itu...” Bun Houw bingung.

“Sute, biarkan aku yang menghadapinya. Ini adalah urusan pribadiku. Aku telah bersumpah kepada encimu untuk mencari Lie Seng sampai dapat. Kalau benar dia yang menculik Lie Seng, maka akulah yang akan menghadapinya.” Kun Liong berkata kepada Bun Houw, kemudian dia mendesak. “Bi Kiok, katakanlah, mengapa engkau menculik Lie Seng dan dimana dia sekarang?”

“Kun Liong, engkau terlalu, selalu kau hendak membikin marah aku. Kalau aku tidak menjawab pertanyaanmu, bagaimana?”

“Aku akan memaksamu.”

“Kun Liong... ah, Kun Liong, mengapa kita berdua seperti ini? Berhadapan sebagai musuh? Kun Liong, marilah kita pergi dari sini, meninggalkan semua ini, meninggalkan dunia yang menjemukan ini, mari kita hidup bersama, jauh dari segala pertikaian dan segala urusan... marilah dan aku akan menceritakan segala-galanya kepadamu.”

Kun Liong mengerutkan alisnya, pandang matanya menusuk,
“Tidak perlu banyak membujuk lagi, Yo Bi Kiok. Katakan, apa yang kau lakukan terhadap Lie Seng?”

Tiba-tiba wanita itu meloncat dengan marah, matanya berkilat dan mukanya merah.
“Kau lebih memberatkan anak Cia Giok Keng itu daripada aku? Keparat Yap Kun Liong. Sekali lagi kau mau pergi bersamaku atau hendak memusuhi aku?”

“Kalau kau tidak mengaku, terpaksa aku menggunakan kekerasan.”

“Singgg...!” Yo Bi Kiok sudah mencabut pedang Lui-kong-kiam. “Kalau begitu, aku ingin melihat engkau mampus di tanganku!”

Wanita itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan dia sudah menyerang dengan hebatnya, melakukan tusukan kilat ke arah dada Yap Kun Liong. Pendekar ini cepat mengelak, akan tetapi baru saja dia mengelak, pedang Lui-kong-kiam sudah menyambar lagi ke arah lehernya.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: