***

***

Ads

Selasa, 17 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 138

”Plakk!” dengan kecepatan mengagumkan, tangan Kun Liong berhasil menampar lengan kanan Bi Kiok sehingga sambaran pedang menyeleweng.

Namun hal ini membuat Bi Kiok makin marah dan makin hebatlah serangannya yang datang seperti hujan. Dalam waktu singkat saja tubuh Kun Liong sudah digulung oleh sinar pedang. Pendekar ini hanya mengelak ke sana-sini karena dia tidak menggunakan senjata, dan sesungguhnya di dalam hatinya, Yap Kun Liong merasa kasihan kepada Bi Kiok yang sampai saat itu masih tergila-gila dalam cintanya kepadanya, cinta yang tak mungkin dapat dibalasnya.

Bun Houw dan In Hong menonton dengan jantung berdebar. Terlalu banyak peristiwa terjadi dalam waktu singkat, terlalu banyak rahasia yang mengejutkan tersingkap sehingga mereka masih merasa terguncang dan menjadi tegang. Biarpun tadinya dia marah kepada Yap Kun Liong, karena antara pendekar itu dan keluarga encinya terjadi hal yang amat hebat, akan tetapi melihat kini Kun Liong bertanding mati-matian membela keponakannya, yaitu Lie Seng yang terculik oleh ketua Giok-hong-pang, tentu saja hatinya berfihak kepada Yap Kun Liong.

Maka, melihat pendekar itu menghadapi ketua Giok-hong-pang dengan tangan kosong padahal permainan pedang wanita itu lihai bukan main, hatinya menjadi gelisah sekali. Melihat gerakan Yap Kun Liong yang demikian murni, cepat dan tepat, diam-diam dia kagum sekali dan tahulah dia mengapa ayahnya amat memuji-muji suhengnya ini. Gerakan suhengnya sudah demikian matangnya sehingga sukarlah untuk melihat sedikitpun kesalahan, perhitungannya demikian tepat sehingga semua serangan pedang yang demikian berbahayanya itu dapat dihindarkan dengan baik.

Semua orang, termasuk kakek dan nenek guru Raja Sabutai, memandang dengan bengong karena yang disuguhkan oleh dua orang yang sedang bertanding itu adalah betul-betul ilmu yang amat tinggi tingkatnya.

Para penonton yang tidak memiliki kepandaian tinggi menjadi silau matanya dan tidak dapat mengikuti gerakan dua orang itu, hanya melihat betapa mereka itu kadang-kadang lenyap dan kadang-kadang bergerak dengan lambat sekali seperti orang main-main saja!

Yang paling gelisah dan bingung adalah In Hong! Dia sudah dibingungkan oleh kenyataan bahwa Bun Houw adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai yang tadinya ditunangkan dengan dia dan ditolaknya, Cia Bun Houw kekasih Yalima dan sekarang dia menghadapi pertandingan antara kakak kandungnya dan gurunya!

Sekarang, setelah merantau selama satu tahun meninggalkan gurunya, terjadi perobahan besar dalam batin gadis ini. Sekarang dia dapat melihat betapa kejam dan anehnya watak gurunya, dan sekarang baru dia dapat melihat betapa kakak kandungnya telah mengalami peristiwa yang amat hebat!

Kakaknya itu kematian isterinya dan kakaknya itu menolak cinta gurunya karena memang sudah sepatutnya demikian. Kakaknya sudah beristeri, dan sebagai seorang laki-laki yang jantan tentu saja menolak cinta kasih wanita lain. Baru sekarang tampak olehnya bahwa dalam urusan kakaknya dan gurunya, sesungguhnya gurunya yang tidak tahu malu, mencinta suami orang lain.

Betapapun juga, hatinya tetap merasa berat kepada gurunya, maka melihat pertandingan itu, dia gelisah bukan main. Dia tahu betapa lihai gurunya, apalagi memegang Lui-kong-kiam yang ampuh, sedangkan kakaknya bertangan kosong. Ini tidak adil, pikirnya. Dia boleh tidak berfihak kemanapun, akan tetapi pertandingan itu harus dilakukan dengan adil.

Barulah menang atau kalah merupakan suatu kehormatan. Dan pedang ini... pedang Hong-cu-kiam, adalah pedang putera Cin-ling-pai... pedang... tunangannya yang sudah mencinta orang lain, mencinta Yalima...! Tiba-tiba hatinya terasa panas sekali dan dia cepat melolos pedang Hong-cu-kiam, melontarkan pedang itu kepada Kun Liong sambil berkata,






“Koko, pakailah ini, baru adil!”

Sebetulnya Kun Liong tidak mau menggunakan senjata. Dia tahu bahwa kepandaian wanita ini amat tinggi dan aneh, akan tetapi karena Yo Bi Kiok melatih ilmu silat tinggi yang murni dan sukar itu tanpa petunjuk, ilmu silat peninggalan Panglima The Hoo yang amat tinggi dan murni, maka dia melihat kelemahan-kelemahannya.

Dengan mengandalkan Thi-khi-i-beng sehingga kalau perlu dia boleh menggunakannya agar tidak sampai terluka, dan dengan kematangan ilmu silatnya yang telah digemblengnya dengan dasar ilmu mujijat dari kitab Keng-lun Tai-pun dari Bun Ong, maka dia percaya bahwa dia akhirnya akan dapat mengalahkan Yo Bi Kiok tanpa membunuhnya. Dia hanya ingin memaksa wanita itu mengembalikan Lie Seng dalam keadaan selamat dan dia tidak tega untuk membunuh wanita yang sebetulnya amat mencintanya itu.

Akan tetapi, mendengar seruan adik kandungnya yang melemparkan sebatang pedang, hatinya girang bukan main, bukan girang karena memperoleh pedang, melainkan girang karena melihat perobahan pada adiknya. Dahulu, di waktu pertama kali dia bertanding melawan Yo Bi Kiok, adiknya itu malah membantu wanita yang menjadi gurunya ini.

Akan tetapi sekarang, adiknya membantunya dengan meminjamkan pedang. Kegirangan melihat adiknya benar-benar berobah, bahkan telah menyelamatkan kaisar dan kini membantunya, membuat Kun Liong menyambar pedang Hong-cu-kiam dan begitu dia memutar pedang itu, dia terkejut karena yang dimainkannya itu adalah sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya! Dia tidak tahu bahwa itu adalah pedang kepunyaan Cia Bun Houw, pemberian dari Kok Beng Lama.

Terdengar suara mengaung-aung, seperti ada ribuan lebah beterbangan dan baik Bun Houw maupun In Hong memandang kagum sekali. Pedang Hong-cu-kiam itu setelah dimainkan oleh tangan pendekar sakti ini seolah-olah menjadi hidup dan menjadi ribuan lebah yang berbunyi sambung-menyambung. Juga gulungan sinar emas dari pedang itu amat lebar dan panjang, kilatan yang mencuat dan menyambar-nyambar amatlah banyaknya sehingga selain nampaknya amat indah, juga amat berbahaya sehingga Yo Bi Kiok sendiri sampai beberapa kali menjerit kaget!

Tidak disangka sama sekali, bantuan In Hong dan kegembiraan Kun Liong yang membuat permainan pedangnya makin hebat itu dan membuat Yo Bi Kiok seketika terdesak secara berat, membuat wenita ini menjadi marah bukan main. Marah kepada muridnya, kepada In Hong!

Memang, watak Bi Kiok amatlah aneh dan keji, juga ganas. Dia tidak marah kepada Kun Liong atau orang lain, sebaliknya malah marah kepada muridnya yang tidak membantunya malah membantu Kun Liong dengan memberikan pedangnya.

“Murid durhaka...!”

Tiba-tiba dia menjerit dan sekali meloncat, dia telah meninggalkan Kun Liong dan menyerang muridnya!

“Ihhh...!”

In Hong cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindar ketika sinar pedang menyerangnya secara hebat. Serangan itu luput akan tetapi Bi Kiok menyusulkan serangan lain yang lebih berbahaya.

“Subo...!” In Hong kembali mengelak dan nyaris lambungnya keserempet pedang.

“Bi Kiok, gilakah engkau?” Kun Liong juga meloncat dan menggerakkan pedangnya.

“Cringg... cringg... tranggg!”

Tiga kali pedangnya menangkis bacokan-bacokan pedang Bi Kiok yang ditujukan kepada In Hong. Akan tetapi Bi Kiok sudah seperti gila, dia terus menyerang tanpa memperdulikan dirinya sendiri.

“Singgg... Wuuuttt! Murid durhaka!” Kembali pedang Lui-kong-kiam membabat ke arah In Hong yang meloncat mundur.

“Bukk...aihhhh!”

In Hong yang kurang cepat mengelak itu kena ditendang kaki kiri gurunya dan dia terguling. Sesungguhnya tidak akan semudah itu Yo Bi Kiok dapat menendang muridnya sampai terguling kalau saja In Hong berada dalam keadaan biasa. Namun gadis itu memang sedang tertekan hebat batinnya. Hanya dengan hati berat dan sakit dia terpaksa melemparkan pedangnya kepada kakak kandungnya tadi, dan dia menonton dengan wajah pucat, kedua kaki gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan, merasa seolah-olah dia sendiri yang menyerang gurunya, orang yang sejak kecil memelihara, mendidik, dan menyayangnya.

Karena keadaan seperti itulah maka ketika diserang secara hebat oleh gurunya In Hong hanya dapat menghindarkan pedang, tidak menyangkanya akan ditendang oleh gurunya sampai terguling. Dan cepat bagaikan kilat, Yo Bi Kiok sudah menubruk dan menusukkan pedangnya ke arah tubuh muridnya!

“Bi Kiok, terlalu engkau!”

Kun Liong sudah membentak marah sekali, gerakannya lebih cepat sedetik daripada gerakan pedang Yo Bi Kiok yang menusuk In Hong.

“Cringggg... ceppp!”

“Aihhhhhhh...!?”

Tubuh ketua Giok-hong-pang itu terguling dan pedang Lui-kong-kiam terlepas dari pegangannya. Dia jatuh miring dan menggunakan tangan kiri mendekap lambungnya yang mengucurkan darah dari luka bekas tusukan pedang Hong-cu-kiam tadi.

“Bi Kiok...!” Yap Kun Liong terbelalak dan cepat dia berlutut dekat tubuh wanita itu. “Bi Kiok, kau... ampunkan aku...!”

Pendekar ini merasa menyesal bukan main karena tadi dia terpaksa menyerang wanita itu untuk menyelamatkan nyawa adiknya. Kalau tidak terpaksa seperti keadaan tadi, bagaimanapun juga tentu dia akan mengalah dan tidak akan tega melukai apalagi membunuh wanita yang dia tahu hidup sengsara karena cintanya kepadanya tidak dibalasnya itu.

Yo Bi Kiok tersenyum, mengeluh dan darah masih menetes-netes dari celah-celah jari tangannya, membasahi bajunya.

“Kun Liong... aku cinta padamu... uuh, Kun Liong...”

Wanita itu mengulur tangan kanannya dan Kun Liong menangkap tangan itu, mendekapkan tangan itu ke dadanya.

“Ampunkan aku, Bi Kiok...”

Tiba-tiba wanita itu tertawa.
“Hi-hi-hik, heh-heh, aku... tidak menyesal, Kun Liong. Aku tewas di tanganmu, sungguh menyenangkan sekali.”

“Maafkan aku, ampunkan aku...”

“Heh-heh, kau minta maaf? Minta ampun? Ha-ha, Yap Kun Liong... aku... aku tidak pernah minta ampun kepadamu... ahhhh... sungguhpun... aku telah menusukkan pedang itu ke dada isterimu... ah, puas hatiku! Aku membunuhnya, Kun Liong... heh-heh, kau terkejut...? Aku aku membunuh Hong Ing yang telah merampas engkau dariku... ha-ha-ha, dan bocah itu... siapa namanya? Lie Seng... ha-ha, putera Giok Keng itu... aku telah membunuhnya dengan Siang-tok-swa...!”

“Bi Kiok!” Kun Liong yang tadi melepaskan tangan itu dan terbelalak memandang dengan muka pucat, kini berseru keras, seruan yang penuh dengan kejijikan dan penyesalan mengapa wanita yang ketika masih gadis merupakan seorang yang manis dan gagah itu kini berobah menjadi iblis yang demikian kejamnya. “Kau... kau kejam sekali!”

“Heh-heh-heh... aku... kejam...? Bukan aku, melainkan engkau yang kejam, Kun Liong... oughhhh... kalau tidak karena kekejamanmu kepadaku... aku tidak... tidak akan... ahhh, Kun Liong... aku tidak kuat lagi, aku... aku mati dan... kau harus ikut bersamaku!”

“Suheng...!”

“Koko, awas...!”

Bagaikan seekor burung cepatnya, tubuh Kun Liong mencelat ke atas, berjungkir balik sampai lima kali, akan tetapi karena jaraknya yang amat dekat dan karena tangan kiri yang berlumuran darah itu tadi tak tersangka-sangka telah menggenggam pasir beracun, maka betapapun cepat Kun Liong mengelak, tetap saja ada sebagian pasir harum beracun yang menembus kulit dadanya. Tubuh pendekar ini jatuh lagi menimpa mayat Yo Bi Kiok yang mati dengan mata terbelalak. Pendekar itu terkulai dan pingsan!

“Yap-suheng...!”

Bun Houw menubruk ke depan dan hendak memeriksa dada suhengnya, akan tetapi In Hong sudah berlutut dan berkata kepadanya,

“Minggirlah, biarkan aku menolong kakakku!” Suara dara itu kaku dan keras, tanda bahwa dia marah kepada Bun Houw.

Bun Houw maklum bahwa gadis ini tentu saja lebih ahli untuk menolong luka yang terkena Siang-tok-swa, maka dia bangkit berdiri dan melangkah mundur, hanya menonton ketika jari-jari tangan yang mungil dan kuat itu merobek baju di dada Kun Liong, kemudian memeriksa dada kanan yang penuh dengan bintik-bintik hijau bekas terkena Siang-tok-swa itu.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: