***

***

Ads

Jumat, 20 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 142

“Bertiga...?”

Kwee Tiong menoleh ke arah Kwee Siong karena dia tidak ingin menyeret adiknya itu dalam urusannya dengan Yalima, akan tetapi dia melihat isterinya mengelus perutnya yang gendut, maka mengertilah dia. Dengan terharu dia merangkul isterinya dan berkata halus,

“Marilah kalau begitu.”

Kwee Tiong dan Yalima sambil bergandeng tangan dan berbesar hati lalu menuruni puncak untuk menyambut kedatangan Bun Houw, diikuti pandang mata Kwee Siong penuh kekhawatiran. Kemudian pemuda remaja ini lalu lari ke gedung tempat tinggal ketua Cin-ling-pai untuk melapor, karena dia mengkhawatirkan keselamatan kakaknya berdua.

“Hong-moi, mengapa engkau menyiksa hatiku seperti ini?” terdengar suara Bun Houw memecah kesunyian ketika dia dan In Hong berjalan mendaki lereng gunung melalui lorong itu.

“Aku tidak merasa menyiksa hati siapapun,” jawaban In Hong kaku dan dingin karena makin dekat dengan Yalima, makin tak senang hatinya.

Akan tetapi dara ini di dalam perjalanan sering melamun dan merasakan betapa rasa tidak senang di hatinya itu kini sama sekali berobah. Bukan lagi condong ke arah ketidak senangan karena Bun Houw mempermainkan Yalima, melainkan tidak senang mengapa pemuda ini mencinta Yalima, rasa tidak senang oleh cemburu.

“Mengapa engkau tidak berterus terang saja, Hong-moi? Apakah sebetulnya segala rahasia sikapmu ini? Engkau mengajak aku ke sini, ke tempat tinggalku, ada urusan apakah?”

In Hong hanya mengerling dan menjawab pendek,
“Engkau akan melihat sendiri nanti...”

“Enci In Hong...!”

“Cia-taihiap...!”

Bun Houw dan In Hong yang sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing, terkejut dan mengangkat muka memandang. Ketika mereka melihat Kwee Tiong dan terutama sekali Yalima datang menuruni lorong itu, keduanya otomatis menghentikan langkah dan memandang dengan mata terbelalak.

Bun Houw yang sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Yalima di situ, terbelalak heran, dan In Hong yang melihat Yalima datang bergandeng tangan bersama seorang pemuda tampan, juga terbelalak heran.

Kwee Tiong yang masih menggandeng tangan isterinya itu segera menarik isterinya dan mereka berlutut di depan kaki Bun Houw! Tentu saja pemuda ini terkejut bukan main sampai melangkah mundur dua tindak.

“Eh... apa yang kalian lakukan ini?”






“Cia-taihiap, kami berdua menyerahkan jiwa raga kami kepada taihiap!”

“Heii, Kwee Tiong koko, apakah kalian sudah gila?”

“Cia-taihiap, kami... telah menjadi suami isteri...”

“Bagus!” Bun Houw berseru girang sekali, merasa seolah-olah batu sebesar gunung dilepaskan dari hatinya yang tertindih. “Biarpun agak terlambat, aku mengucapkan selamat kepada kalian!”

“Terima kasih, taihiap...” Kwee Tiong berkata terharu.

“Terima kasih... aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang berbudi mulia, taihiap, sedangkan aku... aku hanya seorang bodoh...” Yalima terisak dan menutupi mukanya, air matanya mengalir turun.

“Yalima! Apa artinya ini? Engkau... sudah mengandung malah?” Terdengar In Hong berseru, suaranya mengandung kemarahan.

“Enci In Hong... aku... aku telah menikah... dengan suamiku ini... beberapa bulan yang lalu...”

“Singgg...!” Tampak sinar berkelebat. “Keparat kau, perempuan tidak setia dan memalukan!”

Bun Houw terkejut bukan main dan secepat kilat dia meloncat dan berdiri di depan In Hong, menghadang antara In Hong dan Yalima.

“Hong-moi, apa yang hendak kau lakukan ini?”

“Harus kubunuh perempuan tidak setia itu!” bentak In Hong. Kwee Tiong sudah bangkit pula untuk melindungi isterinya.

“Hong-moi, engkau tidak berhak berbuat demikian! Kepada siapakah Yalima tidak setia?”

“Kepadamu! Dia mengaku telah saling mencinta denganmu, akan tetapi mengapa dia sekarang...”

“Hong-moi, waktu itu kami masih seperti kanak-kanak. Yalima mengira dia mencintaku sebelum dia bertemu dengan Kwee Tiong koko yang benar-benar dicintanya. Aku sendiri tidak merasa dikhianati, tidak menganggap bahwa Yalima tidak setia. Kenapa engkau yang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini menjadi marah dan hendak membunuhnya? Hong-moi, apa sih sebenarnya arti perbuatanmu yang aneh ini?”

Mereka saling berhadapan, saling pandang, In Hong dengan muka merah padam dan mata berapi-api, Bun Houw dengan muka agak pucat dan mata penuh keheranan. Akhirnya pedang yang tergetar di tangan In Hong, pedang Hong-cu-kiam itu bergerak, akan tetapi bukan menyerang siapa-siapa, melainkan meluncur ke atas tanah.

“Cappppp...!” Pedang itu menusuk tanah sampai amblas ke gagangnya.

Terdengar suara isak ditahan, dan In Hong lalu membalikkan tubuhnya dan meloncat lalu lari pergi dengan cepat sekali.

“Hong-moi...!”

Bun Houw berseru memanggil akan tetapi dara itu sama sekali tidak menoleh lagi dan sebentar saja lenyap dari pandang mata.

“Hong-moi...!”

Bun Houw hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar suara lirih, suara Yalima yang mengandung tangis.

“Taihiap, harap ampunkan aku...”

Bun Houw menarik napas panjang, tidak jadi mengejar karena dia maklum betapa anehnya watak dara itu sehingga kalau dia kejar dan desak, tentu hanya akan menimbulkan kemarahan yang makin hebat di dalam hati In Hong. Maka dia lalu menoleh lagi.

“Berdirilah dan ceritakanlah semuanya. Bagaimana Yalima tahu-tahu bisa berada di sini, dan mengapa pula In Hong mengenalmu dan kini marah-marah?”

Kwee Tiong menarik isterinya bangkit dan dialah yang menjawab, karena isterinya masih menangis sesenggukan.

“Taihiap, karena isteriku telah menceritakan segalanya kepadaku, maka bolehkah saya yang bercerita kepada taihiap?”

“Silakan, Kwee-koko, sama saja.”

“Yalima dipaksa oleh orang tuanya, akan diberikan kepada seorang yang berkuasa di Tibet. Dia lalu melarikan diri ke timur, dengan maksud untuk pergi menyusul dan mencari taihiap karena taihiap satu-satunya orang yang dapat diharapkan akan menolongnya. Akan tetapi dia terjatuh ke tangan seorang datuk kaum sesat, yaitu Go-bi Sin-kouw...”

“Ahhh...!” Bun Houw terkejut sekali.

“Biar aku yang melanjutkan,” tiba-tiba Yalima berkata kepada suaminya. “Taihiap, aku tentu sudah celaka dan mungkin sudah tewas kalau saja tidak muncul enci In Hong yang menolongku dari tangan orang-orang jahat itu. Karena pertolongan itu, maka aku lalu berterus terang menceritakan riwayatku, juga tentang... taihiap. Sungguh mati aku sama sekali tidak tahu bahwa antara taihiap dan dia... bahwa kalian telah saling bertunangan...”

“Eh, bohong itu! Siapa bilang begitu?” Bun Houw berseru kaget.

“Agaknya taihiap telah ditunangkan dengan enci In Hong oleh ayah bunda taihiap di luar tahumu, dan hal itu telah disampaikan kepada enci In Hong. Oleh karena itu dia menjadi marah sekali mendengar bahwa antara kita... eh, terdapat semacam hubungan. Enci In Hong lalu memaksaku pergi bersama ke Cin-ling-pai dan dengan terang-terangan dia lalu berkata kepada Cia-locianpwe berdua bahwa hubungan jodoh antara dia dan taihiap putus sudah, dan bahwa taihiap adalah tunanganku. Itulah sebabnya dia tadi marah-marah melihat aku telah berjodoh dengan Kwee-koko dan... entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, taihiap. Kami berdua tadinya khawatir bahwa engkaulah yang akan marah-marah, siapa tahu, engkau dapat memaafkan kami, malah sebaliknya enci In Hong yang hampir membunuhku...”

Bun Houw menjadi bengong dan melamun. Sungguh sukar dimengerti sikap In Hong tadi. Dia mencabut pedang Hong-cu-kiam dan hatinya tiba-tiba terasa kosong dan sunyi sekali. Dipungutnya sarung pedang Hong-cu-kiam yang tadi dilemparkan ke atas tanah oleh In Hong yang marah, lalu disimpannya pedang itu Dia teringat akan burung hong kemala di dalam saku bajunya dan otomatis tangannya meraba benda itu dan hatinya makin terasa sedih.

“Sungguh aneh... sungguh tak mengerti aku...” Hatinya berbisik dan pada saat itu terdengar seruan nyaring, “Houw-ji (anak Houw)...!”

Bun Houw mengangkat muka memandang dan melihat ayah dan ibunya turun dari puncak dengan cepat. Mereka tadi mendengar pelaporan Kwee Siong tentang kedatangan putera mereka itu dan karena khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu antara Bun Houw dan Kwee Tiong berdua Yalima, mereka cepat-cepat turun.

“Ayah! Ibu!”

Bun Houw memberi hormat dan ibunya merangkulnya dengan hati lapang. Terutama sekali ibunya merasa lega melihat puteranya kelihatan tidak marah sungguhpun pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa Yalima baru saja menangis dan wajah Kwee Tiong masih pucat, tanda bahwa mereka berdua baru saja mengalami guncangan batin yang hebat.

“Bukankah kau tadi datang bersama In Hong?”

Cia Keng Hong yang tadi menerima laporan Kwee Siong bertanya heran, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.

“Dia sudah pergi, ayah.” jawab Bun Houw dengan lesu dan keadaan puteranya ini tidak terlepas dari pandang mata ayahnya.

“Lebih baik kalau begitu. Bocah galak itu membikin ribut saja.” kata Sie Biauw Eng yang menggandeng tangan puteranya dan mengajaknya naik ke puncak.

Beramai mereka naik ke puncak Cin-ling-san, menuju ke markas Cin-ling-pai yang barada di lereng dekat puncak. Nenek Sie Biauw Eng kelihatan gembira bukan main dan menghujani puteranya dengan pertanyaan-pertanyaan.

Setelah tiba di dalam rumah, Bun Houw lalu lebih dulu menceritakan soal pembunuh isteri Kun Liong yang menjadi pokok dan penyebab semua peristiwa menyedihkan antara keluarga Kun Liong itu.

“Ayah dan ibu, sekarang pembunuh isteri Yap-suheng telah diketahui.”

Tentu saja suami isteri pendekar itu menjadi terkejut dan juga girang.
“Siapa dia?”

“Dia adalah seorang wanita bernama Yo Bi Kiok, ketua dari Giok-hong-pang. Dia lihai sekali karena sebetulnya dialah yang dahulu memperoleh bokor emas pusaka dari Panglima The Hoo, Ayah.”

“Ahhh...!”

Cia Keng Hong terkenang akan keributan puluhan tabun yang lalu ketika pusaka bokor emas itu diperebutkan orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw.

“Di mana sekarang keparat itu? Biar kucari dan kubunuh iblis betina yang menjadi gara-gara itu!” kata nenek Sie Biauw Eng yang masih belum juga kehilangan kegalakannya setiap kali menghadapi kejahatan.

“Dia sudah tewas di tangan Yap-suheng sendiri, ibu. Yo Bi Kiok itu dahulunya adalah seorang sahabat baik dari Yap-suheng sendiri, malah wanita itu... dia adalah guru dari adik Yap In Hong.”

Dewi Maut







Tidak ada komentar: