***

***

Ads

Jumat, 20 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 145

“Tio-twako...!”

“Eh, Tio-twako datang...!”

Kwi Beng dan Kwi Eng yang sedang duduk di serambi depan rumah mereka di Yen-tai, meloncat dengan girang dan lari ke pekarangan menyambut kedatangan seorang pemuda yang tinggi kurus, bersikap gagah dan berpakaian sederhana, berwarna kuning dan yang memasuki pekarangan itu dengan sikap ragu-ragu.

Pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun. Begitu bertemu dan melihat wajah Maria de Gama atau Souw Kwi Eng, sepasang mata Tio Sun bersinar-sinar, kedua pipinya menjadi agak kemerahan dan jantungnya berdebar keras. Betapa hebat rasa rindu hatinya terhadap dara ini, baru sekarang benar-benar terasa olehnya setelah berhadapan muka! Akan tetapi, tentu saja dia menekan perasaannya ini dan cepat menjura.

“Beng-te dan Eng-moi, apa kabar? Kuharap kalian baik-baik saja selama ini. Apakah aku tidak mengganggu kalian dengan kunjunganku ini?”

“Ahhhh, Tio-twako kenapa begini sungkan?” Kwi Eng yang memang berwatak bebas dan ramah itu menegur. “Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik?”

“Tio-twako, marilah masuk menemui ayah dan ibu kami, kemudian kami ingin banyak bicara, banyak bertanya kepadamu, twako.” Kwi Beng lalu menggandeng tangan tamunya itu.

“Aih, dia ingin banyak bertanya tentang enci Hong yang dirindukannya, hi-hik!” Souw Kwi Eng menggoda.

“Hushh, jangan main-main kau!”

Kwi Beng membentak dan melototkan matanya. Tio Sun tersenyum menyaksikan dua orang yang wajahnya serupa hanya bedanya pria dan wanita itu berkelakar dan bergurau.

Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, segera keluar menyambut dengan ramah ketika mendengar akan kedatangan sahabat kedua orang anak mereka itu. Tentu saja mereka telah mendengar penuturan kedua orang anak mereka tentang Tio Sun yang dahulu telah membantu Kwi Eng ketika hendak menyelamatkan Kwi Beng yang diculik oleh Tokugawa.

Tentu saja mereka berterima kasih sekali kepada Tio Sun, apalagi ketika mendengar bahwa Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, Souw Li Hwa makin suka dan ramah kepada pemuda sederhana itu.

“Aku mengenal baik ayahmu itu,” katanya. “Dia seorang pengawal yang amat setia dan berlimu tinggi.”

Tio Sun memandang dengan wajah berseri dan menjura.
“Ayah banyak bercerita tentang toanio sebagai murid yang amat lihai dari mendiang Panglima The Hoo.”

“Aih, jangan menyebut aku toanio, Tio Sun. Sebut saja bibi, karena sesungguhnya kita adalah orang-orang sendiri bukan?” kata Souw Li Hwa dengan ramah sambil tersenyum dan biarpun usia nyonya ini sudah sekitar empat puluh tahun, namun dia masih nampak muda dan cantik.






“Terima kasih, bibi.”

“Dan kau boleh menyebut aku paman, Tio Sun.” kata pula Yuan de Gama yang sudah pandai sekali berbahasa daerah sehingga tidak seperti orang asing, sungguhpun kebiruan matanya dan kekuningan rambutnya tentu saja tidak dapat menyembunyikan keasingannya.

Suami isteri itu mengajak Tio Sun bercakap-cakap sejenak dan mereka berdua menyatakan terima kasih mereka kepada pemuda ini yang telah menolong anak-anak mereka ketika mereka dahulu sedang berlayar ke barat.

Tio Sun merendahkan diri dan akhirnya menerima penawaran mereka untuk bermalam di rumah mereka selama beberapa hari dan untuk mempererat persahabatan. Kemudian, suami isteri itu meninggalkan tiga orang muda itu untuk bercakap-cakap sendiri.

Setelah ayah bundanya maninggalkan mereka, dan pelayan membawa buntalan pakaian Tio Sun ke sebuah kamar serta mengeluarkan makanan dan minuman, Kwi Eng lalu berkata,

“Tio-twako, dia itu sudah tidak sabar menanti ceritamu.”

“Eh, cerita apa?” Tio Sun balas menanya.

“Jangan pura-pura, twako, lihat dia seperti ikan di darat. Lekas kau ceritakan apakah kau pernah bertemu dengan enci Hong itu?” Kwi Eng berkata pula.

“Enci Hong...? Ah, tentu kau maksudkan nona Yap In Hong itu? Hemmm, memang menarik sekali ceritanya.”

Kini Kwi Beng benar-benar tidak dapat menahan keinginan tahunya.
“Kau berjumpa dengan dia, twako? Dimana? Bagaimana dengan dia? Bagaimana ceritanya?”

Tio Sun memegang tangan pemuda itu dan diam-diam dia menghela napas panjang. Jelas bahwa pemuda remaja ini yang usianya kurang lebih tujuh belas tahun, telah jatuh cinta kepada Yap In Hong!

“Bertemu sih tidak, akan tetapi nona Yap In Hong...”

“Begitukah namanya? Setahu kami hanya Hong saja...” kata pula Kwi Beng dengan girang. “Yap In Hong... sungguh tepat, namanya memang sesuai dengan orangnya yang...”

“Cantik manis!” Kwi Eng menggoda.

“Yang amat lihai,” Kwi Beng melanjutkan tanpa memperdulikan godaan saudaranya.

Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tidak tahan dia melihat gerak-gerik Kwi Eng yang serba membetot semangat dan menarik hatinya. Pandang mata yang biru itu, kerlingnya, senyumnya, gerakan bibirnya, cara dara itu menggerakkan kepala untuk menyingkapkan rambut yang selalu turun menutupi mukanya, ahhhh... sungguh sukar baginya untuk bercerita, apalagi menceritakan orang lain. Kalau boleh, dia hanya akan duduk saja memandangi dara itu yang demikian lincah, demikian jelita, demikian...

“Eh, kenapa kau bengong saja, twako?” tiba-tiba Kwi Beng menegur.

“Dan kau memandang saja padaku, ada apa sih pada wajahku? Apa ada kotorannya?” Kwi Eng sibuk mengusap hidung dan pipinya.

“Tio-twako tentu jengkel karena kau menyela terus, sih!”

Kwi Beng mengomel. Bagi Kwi Beng, tentu saja amat sukar membayangkan ada orang laki-laki bisa tergila-gila kepada saudara kembarnya ini!

“Tidak apa-apa, maafkan aku...” Tio Sun menunduk dan menelan ludah menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan. “Sebetulnya... eh, banyak sekali hal-hal aneh kudengar tentang nona Yap In Hong itu. Dia benar-benar amat luar biasa, di luar dugaan dan hebat!”

“Nah, apa kataku? Dia memang wanita paling hebat di dunia ini!” kata Kwi Beng sambil memandang kepada adiknya.

“Siapa yang menyangkal?” Kwi Eng menjawab. “Akan tetapi dia terlalu hebat untukmu. Tio-twako, ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya,” kata Kwi Eng sambil menyentuh tangan pemuda tinggi kurus itu.

Tersirap darah ke leher dan muka Tio Sun dan tangannya yang tersentuh itu menggigil. Dia merasa heran sendiri mengapa dia menjadi lemah seperti ini menghadapi gadis itu. Untuk menenangkan jantungnya yang bergelora, Tio Sun meneguk air teh di depannya, kemudian dia bercerita.

“Pertama-tama, dara perkasa yang kita kenal sebagai nona Hong itu bernama Yap In Hong, adik kandung dari paman Yap Kun Liong...”

“Ahhh...!” Seruan ini keluar dari dua mulut yang bentuknya sama, mulut Kwi Eng dan mulut Kwi Beng. “Tapi... tapi paman Yap Kun Liong sudah setengah tua dan nona Hong...”

“Tentu lebih tua daripada kita!” kata Kwi Eng.

“Paling banyak selisih dua tahun!” kata Kwi Beng membantah.

“Entahlah. Akan tetapi kenyataannya demikian, dia adalah adik kandung paman Yap Kun Liong dan dia memang memiliki ilmu tinggi sekali karena kabarnya dia itu adalah murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang. Yang paling hebat adalah karena dialah yang berhasil menyelamatkan kaisar.”

“Hebat...!” seru Kwi Eng.

“Twako, bukankah kabarnya kaisar telah ditawan oleh raja liar dan kini telah kembali lagi ke kota raja?” tanya Kwi Beng.

“Benar, dan Yap In Hong itulah yang menyelamatkan kaisar, menolong kaisar lolos dari tawanan benteng Raja Sabutai.”

“Luar biasa! Dia seorang pahlawan kalau begitu!” Souw Kwi Beng berseru gembira.

“Memang hebat dia, bahkan ketua Cin-ling-pai sendiri, dengan bantuan banyak orang pandai, tidak mampu menyelamatkan kaisar yang ditawan. Akan tetapi nona Yap In Hong seorang diri menyelundup ke dalam benteng musuh, pura-pura menjadi kaki tangan Raja Sabutai, akan tetapi tahu-tahu dialah yang meloloskan kaisar dari tawanan.”

“Bukan main...! Dimana sekarang dia berada, twako?” Kwi Beng bertanya.

“Entah, saya belum mendengar lagi, akan tetapi ada berita bahwa nona Yap In Hong kini berada di kota raja.”

“Dan bagaimana kabarnya dengan... kanda Cia Bun Houw...?” tiba-tiba Kwi Eng bertanya.

“Ehm, ehm...!” Kwi Beng terbatuk-batuk, dehem buatan dan Kwi Eng melotot kepadanya.

Tio Sun merasa jantungnya tertusuk. Dahulupun dia sudah melihat bahwa dara ini tertarik kepada Bun Houw.

“Dia...? Dia bersama dengan aku membantu ayahnya ketika kami berusaha menyerbu benteng Sabutai untuk menolong kaisar, akan tetapi gagal. Kemudian, setelah kaisar dapat diselamatkan oleh nona Yap In Hong, agaknya terjadi perdamaian antara kaisar dan Raja Sabutai, dan Cia-taihiap lalu pergi menyusul nona Yap In Hong yang setelah berhasil menolong kaisar lalu kembali ke dalam banteng Raja Sabutai.”

“Aih, berbahaya sekali! Lalu apa yang terjadi?” Kwi Eng bertanya kaget mendengar betapa Bun Houw memasuki benteng Raja Sabutai.

“Kabarnya banyak yang terjadi di sana. Banyak terjadi pertempuran antara orang-orang pandai yang sengaja diadu oleh Raja Sabutai dan katanya tiga orang Bayangan Dewa telah tewas di tangan Cia-taihiap.”

“Hebat...!” Kwi Eng bersorak girang.

“Lalu bagaimana, twako? Pedang Siang-bhok-kiam tentu sudah kembali kepada Houw-koko, bukan?”

“Entahlah, aku sendiri belum sempat bertemu lagi dengan dia.”

“Sayang, kami berduapun belum lama kembali dari Cin-ling-san, akan tetapi juga tidak berjumpa dengan dia,” kata Kwi Eng.

“Cin-ling-san?” Tio Sun bertanya heran.

“Ya, bersama ibu,” jawab Kwi Eng dan tiba-tiba dia menunduk dengan kedua pipi berobah merah sekali.

“Ha, dia sudah amat rindu kepada Houw-koko, Tio-twako, rindu kepada tunangannya! Ha-ha!”

“Ihhh, tak tahu malu kau!” Kwi Eng mencubit lengan saudaranya lalu lari ke dalam.

Seketika wajah Tio Sun berobah pucat.
“Tunangan...?” Dia berbisik.

“Kami kesana bersama ibu dan ibu membicarakan tentang pertunangan mereka, dan sudah disetujui. Adikku yang bengal itu beruntung sekali telah dijodohkan dengan kanda Cia Bun Houw... eh, kau kenapa, Tio-twako?” Kwi Beng bertanya kaget melihat wajah yang menjadi pucat dan mata yang dipejamkan itu.

“Ahh... ehh, tidak apa-apa...”

Dewi Maut







Tidak ada komentar: