***

***

Ads

Minggu, 22 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 156

“Ha-ha-ha, aku berjanji demi nama beliau berdua! Kau baik sekali mau menerima penghormatanku dan ucapanku selamat jalan, nona!”

Ang-bin Ciu-kwi lalu menuangkan arak dari gucinya ke dalam cawan itu, lalu menyodorkannya kepada Si Kwi. Tanpa ragu-ragu lagi gadis itu lalu menenggak arak dari dalam cawan sampal habis, kemudian mengembalikan cawannya.

Sambil menerima cawan itu dan menyimpannya, Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. Arak di dalam cawannya itu sudah dimasukinya obat bubuk pemberian isterinya dan tentu saja bagi dia tidak ada bahayanya karena dia telah lebih dulu minum obat penawarnya. Kini dia melihat wajah gadis itu menjadi kemerahan dan pandang mata gadis itu kelihatan aneh!

“Ha-ha-ha, selamat jalan, nona manis!”

Si Kwi menggerakkan kedua kaki hendak pergi dari situ, akan tetapi tiba-tiba dia terhuyung.

“Ouhhhh...!”

Dia mengeluh dan berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, pandang matanya berkunang dan kepalanya terasa pening sekali, jantungnya berdebar aneh dan biarpun dia masih memiliki kesadaran bahwa dia merasakan segala keanehan ini, namun kemauannya lenyap sama sekali dan dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, seolah-olah semangatnya terbang melayang.

“Kau kenapa, nona manis...?” Ang-bin Ciu-kwi sudah berada di sampingnya dan merangkul lehernya.

“Auhhh... aku... auhhhh...!”

Si Kwi hanya dapat mengeluh den merintih, bahkan dia memegang lengan Ang-bin Ciu-kwi, sama sekali tidak menolak ketika laki-laki itu merangkul lehernya dan mengecup pipinya sambil tertawa girang. Biarpun dia sama sekali tidak pernah melakukan penyelewengan, namun sebagai seorang gadis berusia dua puluh lima tahun yang sehat dan normal, karena kesukaran gurunya memilih jodoh untuk muridnya ini, tentu saja di dalam diri Si Kwi terdapat api gairah yang wajar, dorongan nafsu berahi yang normal bagi seorang dewasa yang sehat.

Api gairah ini selalu ditekannya dan hanya dilepaskan di alam mimpi dimana dia bermimpi dengan bebas, bercumbu dengan pria yang dibayangkannya di dalam mimpi. Maka biarpun lahiriah Si Kwi merupakan seorang gadis yang alim, akan tetapi di dalam tubuhnya terkandung api yang bergairah sekali, maka kini setelah dia minum racun yang membiusnya, dia merasa seperti dalam mimpi dan bercumbu dengan pria yang dirindukannya!

“Ha-ha-ha, marilah manis!”

Ang-bin Ciu-kwi lalu menuntunnya dan merebahkan gadis ini di atas rumput alang-alang. Si Kwi hanya memejamkan matanya dan seperti seekor domba jinak dia menurut saja apa yang dilakukan oleh Ciu-kwi yang menurut perasaan hatinya seperti pria di dalam mimpinya selama ini.

Kini Ang-bin Ciu-kwi tidak perlu lagi merenggut dan merobek baju gadis itu, karena Si Kwi sama sekali tidak menolak ketika sambil membelai dan menciumnya Ang-bin Ciu-kwi menanggalkan pakaiannya.






“Bedebah!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

Ang-bin Ciu-kwi terkejut sekali dan menghentikan usahanya menanggalkan pakaian gadis itu. Ketika melihat ada seorang pemuda berdiri di jalan sambil memandangnya dengan mata tajam dan penuh kemarahan,

Ang-bin Cui-kwi merasa heran dan marah. Orang ini bukan anak buahnya, jadi jelas adalah seorang luar! Maka dia meloncat meninggalkan Si Kwi yang masih rebah terlentang. Ketika merasa ditinggalkan orang, Si Kwi merintih, membuka matanya sedikit dan mengulurkan kedua lengannya ke arah pemuda itu sambil tersenyum penuh arti!

“Keparat, siapa kau berani memasuki wilayah ini?” bentak Ang-bin Ciu-kwi sambil memegang guci araknya erat-erat.

“Manusia iblis, siapapun adanya aku bukan hal yang penting. Akan tetapi setelah aku berada di sini, jangan harap engkau akan dapat melanjutkan perbuatanmu yang terkutuk itu!” jawab si pemuda yang memperhatikan keadaan gadis setengah telanjang itu dengan alis berkerut karena dia masih merasa heran akan keadaan dan sikap gadis itu. Kemudian dia dapat menduga mendengar rintihan gadis yang seperti orang mabok itu. “Hemm, keparat, engkau tentu menggunakan racun untuk membiusnya, bukan?”

Ang-bin Ciu-kwi yang merasa marah sekali karena kesenangannya diganggu, sudah membentak keras.

“Bocah yang bosan hidup!”

Dan tangan kanannya menyambar dengan cepat sekali, juga amat kuat karena dia mengerahkan tenaganya untuk sekali pukul merobohkan pemuda yang mengganggunya ini.

“Wuuuuuttt... dukkkk!”

Ang-bin Ciu-kwi terpelanting dan dia memekik dengan kaget bukan main ketika merasakan betapa lengan tangannya nyeri sekali beradu dengan lengan pemuda itu. Akan tetapi dia meloncat berdiri lagi dan memandang penuh perhatian. Pemuda yang berpakaian sederhana namun tampan bukan main, tampan dan gagah dan tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada isterinya tadi dan tertawalah Ang-bin Ciu-kwi!

“Ha-ha-ha, bagus! Engkau ternyata tampan dan gagah, cocok sekali untuk isteriku! Ha-ha-ha! Orang muda, lebih baik kita bersahabat. Aku adalah Ang-bin Ciu-kwi dan mari kuperkenalkan dengan isteriku di rumah.”

Pemuda itu memandang tajam dan alisnya berkerut. Celaka, pikirnya. Orang ini kalau bukan pemabok besar tentu miring otaknya. Akan tetapi betapapun juga, orang ini bukan orang sembarangan karena dalam pukulannya tadi terkandung tenaga yang hanya dimiliki orang yang lihai.

“Aihhhh... peluklah aku... peluklah...”

Si Kwi kini rebah dengan gelisah, tubuhnya bergoyang ke kanan kiri dan mulutnya berbisik-bisik matanya setengah dipejamkan.

“Ha-ha-ha, apakah tidak sayang dia dibiarkan sendiri saja?” Ang-bin Ciu-kwi tertawa. “Dan isteriku lebih hebat dari dia, orang muda.”

“Jahanam busuk engkau!”

Kini pemuda itu menjadi marah dan tangannya menyambar. Ang-bin Ciu-kwi yang masih tertawa itu dengan cepat mengelak dan balas memukul, kini menggunakan guci araknya yang merupakan senjata ampuh memukul ke arah kepala pemuda itu.

Akan tetapi, dengan mudah pemuda itu mengelak dan sekali tangannya digerakkan dengan gerakan mendorong, hawa pukulan yang dahsyat menyambar dan Ang-bin Ciu-kwi terjengkang dan roboh! Si pemabok ini terkejut bukan main, cepat dia meloncat bangun lagi dan kini pandang matanya berbeda.

“Siapa engkau? Mau apa engkau?” tanyanya, tidak lagi tertawa-tawa seperti tadi.

“Tak perlu kau kenal dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Aku hendak pergi ke Lembah Naga...”

“Heii, keparat!” Ang-bin Ciu-kwi kini tidak ragu-ragu lagi. Ini tentu seorang musuh yang harus dijaganya agar jangan sampai ke Lembah Naga. “Memang kau harus mampus!”

Dia menerjang lagi, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun pemuda itu, sedangkan guci araknya menyambar ke arah lambung, ada arak muncrat dari dalam mulut guci menyambar ke arah kedua mata lawan! Memang hebat serangan dari Ang-bin Ciu-kwi ini, dan muncratnya arak itupun merupakan serangannya yang istimewa.

Namun, sekali ini Ang-bin Ciu-kwi menemukan tandingannya. Dengan tenang saja pemuda itu miringkan kepala untuk menghindarkan sambaran arak, kemudian tangan kiri menangkis cengkeraman ke arah ubun-ubun sedangkan hantaman guci itu diterimanya begitu saja dengan lambung yang terbuka. Ang-bin Ciu-kwi sudah girang sekali karena isi perut pemuda itu tentu akan berantakan terkena hantaman gucinya.

“Bukkk! Plakk!”

Lambung itu tepat kena dihantam guci akan tetapi bukan si pemuda yang roboh, melainkan Ang-bin Ciu-kwi sendiri yang terpelanting dan hampir pingsan dia karena lehernya yang ditampar oleh tangan pemuda itu rasanya seperti remuk dan patah-patah, kepalanya menjadi pening dan dengan susah payah barulah dia bisa bangkit berdiri.

Dia memandang sejenak, kemudian larilah Ang-bin Ciu-kwi kembali ke Padang Bangkai, bahkan sedikitpun tidak lagi menengok ke arah Si Kwi yang masih rebah di atas rumput alang-alang tebal yang lunak seperti kasur!

Pemuda itu memandang ke arah larinya lawan dan selagi dia hendak melanjutkan langkahnya, terdengar rintihan dan teringatlah dia kepada gadis setengah telanjang yang masih rebah merintih-rintih di atas rumput itu. Pemuda itu menarik napas panjang dan menghampiri, lalu berjongkok di dekat wanita itu.

“Engkau siapakah? Apa yang telah dilakukan terhadapmu? Engkau diberi minum apa?” Suara pemuda itu halus namun mengandung wibawa.

Si Kwi membuka matanya, menggigit bibirnya, kelihatannya tersiksa sekali.
“Si iblis... Ang-bin Ciu-kwi... aku minum arak... ahhhh, kau... kau... peluklah aku...”

Pemuda itu meraba dahi gadis itu, meraba pergelangan tangannya dan gadis itu bangkit duduk, merangkul pemuda itu dan menciuminya dengan mata terpejam.

“Ah, tenanglah...” Pemuda itu memalingkan mukanya menghindarkan ciuman. “Engkau keracunan, terbius, biar kucoba mengusir hawa beracun dari tubuhmu.”

Karena Si Kwi terus menggeliat dan hendak merangkul dan menggelutnya, pemuda itu menjadi repot juga, maka sekali dia menotok, Si Kwi mengeluh panjang dan terkulai lemas. Pemuda itu lalu menelungkupkan gadis itu, dan dengan tangan kirinya ditempelkan di punggung gadis itu, dia mengerahkan sin-kangnya, mengusir hawa beracun yang membuat gadis itu seperti orang mabok yang dirangsang nafsu berahi.

Tenaga sin-kang pemuda itu memang luar biasa kuatnya. Hanya sepuluh menit kemudian, terdengar Si Kwi mengeluh normal dan pemuda itu lalu menotok pundaknya untuk membebaskannya. Si Kwi mengeluh lagi, membalikkan tubuhnya dan melihat pemuda itu, dia cepat meloncat dan dengan gerakan cepat dia sudah menghantam pemuda ini!

“Eh, sabar dan tenanglah...!” Pemuda itu menangkis dan tubuh Si Kwi terhuyung ke belakang.

Kini agaknya Si Kwi baru sadar benar dan melihat pemuda yang asing itu, dia terkejut dan heran, kemudian dia melihat betapa tubuhnya hanya tertutup pakaian dalam sedangkan pakaian luarnya telah tertumpuk di atas rumput.

“Ihhhhh...!”

Dia menjerit dan dengan gerakan canggung dan repot dia berusaha menutupi dada dan bawah pusarnya, kemudian membalikkan tubuh membelakangi pemuda itu.

Pemuda itu tersenyum, lalu mengambil tumpukan pakaian dan melemparkannya kepada dara itu, tepat menutup di pundaknya.

“Kau pakailah kembali pakaianmu.”

Tanpa menjawab, Si Kwi mengenakan lagi pakaian luarnya, barulah dia membalik dan memandang pemuda itu dengan muka merah dan sinar mata masih bingung.

“Apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan?”

“Aku? Aku hanya mengusir hawa beracun yang menguasaimu, nona.”

“Mana dia? Mana iblis itu?”

“Kau maksudkan si pemabok tadi? Dia sudah lari.”

Si Kwi mulai teringat semuanya. Betapa dia minum arak dari cawan dan menjadi pening, kemudian betapa dia senang sekali dirangkul dan diciumi Ang-bin Ciu-kwi, bahkan dibaringkan di atas rumput alang-alang.

“Cuhhh...!” Tiga kali dia meludah ke arah rumput alang-alang tadi, penuh kejijikan.

Pemuda itu tersenyum.
“Jangan khawatir, nona. Belum terlambat si bedebah itu melanjutkan perbuatannya yang terkutuk.”

Si Kwi memandang pemuda itu, menatap wajah yang tampan dan gagah itu dan mukanya menjadi makin merah. Dia telah terlihat oleh pemuda ini dalam keadaan setengah telanjang!

“Engkau mengusirnya?” tanyanya hampir tidak percaya bahkan pemuda tampan sederhana ini telah menyebabkan Ang-bin Ciu-kwi melarikan diri.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: