***

***

Ads

Minggu, 22 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 160

“Singggg...!”

Tangan kanan Hek I Siankouw sudah mencabut pedang hitamnya, sedangkan tangan kiri merogoh kantong senjata rahasianya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).

“Singggg...!”

Coa-tok Sian-li juga sudah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang berlika-liku seperti ular dan berwarna kehijauan, tangan kirinya juga mengambil segenggam jarum racun ular.

“Wuuut-wuuuttt...!” Ang-bin Ciu-kwi menggerakkan guci araknya.

Tiga orang ini karena terpaksa kini bekerja sama dan dengan gerakan dahsyat ketiganya sudah menerjang maju dari tiga jurusan, dua batang pedang dan sebuah guci arak menyambar ganas ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu.

Namun Bun Houw yang sudah bersiap-siap, tidak menjadi gugup menghadapi serangan-serangan itu. Dia adalah murid Kok Beng Lama yang telah mewarisi Thian-te Sin-ciang secara sempurna, sehingga biarpun dia belum dapat menyamai kekuatan Kok Beng Lama yang amat luar biasa, namun kedua tangan dan lengan pemuda itu sudah memiliki kekebalan seperti gurunya, yaitu berani untuk menangkis senjata-senjata pusaka yang tajam!

Kini, menghadapi serangan-serangan itu, dia mengelak dan menangkis dari samping dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga.

“Plak-plak-plakkk...!”

Tiga orang pengeroyoknya itu terdorong ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan otomatis Hek I Slankouw menggerakkan tangannya. Sinar-sinar hitam menyambar dan itulah Hek-tok-ting yang meluncur dari tangannya. Coa-tok Sian-li juga menyambitkan jarum-jarumnya, sedangkan Ang-bin Ciu-kwi yang tadi sudah menenggak araknya, kini menyemburkan arak dari mulutnya dan semburan arak itu berupa uap yang amat kuat menyambar ke depan dan biarpun hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan dorongan tenaga khi-kang yang hebat, tidak kalah berbahayanya dengan senjata rahasia lainnya!

Bun Houw meloncat ke atas dan kedua kakinya bergerak menendangi senjata-senjata rahasia yang masih menyambar ke arah tubuhnya bagian bawah, kemudian tubuhnya itu berjungkir-balik di udara dan bagaikan seekor naga sakti, kini tubuhnya meluncur ke depan, menyerang Ang-bin Ciu-kwi dengan cengkeraman tangan kanan, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka menghantam ke arah Hek I Siankouw yang dia tahu merupakan lawan terlihai di antara mereka bertiga.

Melihat suaminya diserang secara demikian hebat, Coa-tok Sian-li cepat menubruk maju dengan pedangnya, membacok ke arah lengan tangan Bun Houw yang mencengkeram, sedangkan Hek I Siankouw cepat meloncat ke samping. Namun tetap saja hawa pukulan Thian-te Sin-ciang masih menyerempet pundaknya dan pendeta wanita tua ini terhuyung-huyung ke belakang dan mukanya berubah pucat.

Bun Houw menarik kembali tangan yang mencengkeram karena bacokan pedang dari samping itu cukup berbahaya, kemudian tubuhnya sudah tiba di atas tanah lagi. Kini pemuda itu kembali telah dikurung dan dengan isyarat bentakan nyaring, Hek I Siankouw mendahului menyerang, diikuti oleh dua orang temannya, dan terdengar suara Bouw Thaisu,






“Siancai, bocah ini memang lihai. Biar aku membantu kalian!”

“Wuuut-wuuuuuttt...!”

Bun Houw cepat meloncat ke belakang, berjungkir-balik dan mengelak dari sambaran kedua ujung lengan baju Bouw Thaisu. Memang senjata kakek ini hanya ujung lengan baju, ujung kain biasa, akan tetapi Bun Houw maklum betapa ujung lengan baju ini lebih lihai daripada senjata-senjata tajam tiga orang pengeroyoknya yang lain.

“Bagus! Majulah kalian semua! Memang aku sudah mengenal siapa kalian, orang-orang tua pengecut ini!”

Bun Houw berseru dan diapun balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang hebat bukan main, seorang pemuda dikeroyok oleh empat orang tua yang kesemuanya merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan.

Namun, pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali empat orang itu kelihatan terhuyung ke belakang setiap kali hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang dahsyat mendorong mereka biarpun tidak mengenai langsung.

Sementara itu, untuk kedua kalinya, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li terkejut dan kagum melihat kehebatan pemuda itu. Mereka kini tidak begitu jerih lagi menghadapi pukulan-pukulan dahsyat yang mereka kenal sebagai pukulan yang pernah membuat mereka jatuh bangun dan dihajar habis-habisan ketika mereka pernah bentrok dengan pendeta Lama dari Tibet itu. Kini mereka telah menyempurnakan ilmu mereka, ilmu kekebalan yang membuat mereka tidak usah takut lagi menghadapi pukulan seperti Thian-te Sin-ciang dan lain-lain!

“Kalau kita tidak maju, kurasa pembantu-pembantu kita yang tiada gunanya itu tidak akan mampu merobohkannya,” kata Pek-hiat Mo-ko dengan suara tidak puas.

“Bukan salah mereka. Mereka merupakan pembantu-pembantu yang cakap, hanya pemuda inilah yang terlalu lihai. Dia merupakan seorang sandera yang amat baik untuk menjamin kedatangan ayahnya, ketua Cin-ling-pai ke sini,” kata Hek-hiat Mo-li.

“Engkau benar sekali. Sebaiknya kalau kita tangkap dia.”

“Jangan kira mudah menangkap seorang yang memiliki kepandaian seperti dia. Kita harus menggunakan akal. Ingatkah kau betapa tadi dia lebih mementingkan nona itu daripada pedang pusaka Siang-bhok-kiam? Hemm, ini tentu ada apa-apanya. Mo-ko, kau bantulah empat orang itu sebelum mereka terpukul mampus oleh musuh. Aku mempunyai akal untuk menundukkan pemuda itu sehingga dapat menjadi tawanan kita.”

Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah meloncat dan menerjang Bun Houw dengan pukulan dahsyat dari tangan kanannya. Pek-hiat Mo-ko terkenal dengan sin-kangnya yang mengandung hawa beracun dan yang mendatangkan hawa dingin sekali.

Ketika Bun Houw yang sedang berusaha merobohkan empat orang pengeroyoknya itu tiba-tiba merasa ada hawa dingin menyambar dari kiri, tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuat. Cepat diapun mengerahkan tenaganya menangkis ke kiri, disusul oleh tamparan tangan kanannya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang ke arah orang yang baru datang ini.

“Prattt... dessss...!”

Tangkisannya membuat lengan Pek-hiat Mo-ko terpental dan pukulan Thian-te Sin-ciang itu membuat si kakek bermuka putih ini bergulingan, akan tetapi sambil tersenyum dia sudah bangkit kembali, tanda bahwa pukulan sakti itu sama sekali tidak melukainya!

“Ha-ha-ha, Thian-te Sin-ciang ternyata tidak seberapa! Boleh saja Lama busuk dari Tibet itu datang ke sini, kami tidak takut menghadapi pukulannya, ha-ha!”

Pek-hiat Mo-ko tertawa girang. Tadi dia memang hendak menguji keampuhan ilmunya yang baru dan ternyata lulus dengan baik karena pukulan hebat itupun dapat diterimanya tanpa melukai bagian dalam tubuhnya! Dan kini dia menyerang lagi lebih hebat daripada tadi.

Bun Houw menjadi penasaran dan marah. Kakek ini hebat sekali dan kalau dia lebih dulu merobohkan yang empat orang, tentu dia tidak akan dapat mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapinya. Dalam pertandingan satu lawan satu, dia yakin akan dapat mengalahkan kakek ini, biarpun kakek ini memiliki kekebalan yang begitu istimewa. Berpikir demikian, dia lalu mengelak dari semua serangan Pek-hiat Mo-ko, menjauhinya dan dengan sungguh-sungguh dia kini menerjang empat orang yang lain!

Hebat bukan main sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang dari tangannya dan selagi empat orang lawan itu mundur, dia sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pedang Hong-cu-kiam yang mengeluarkan sinar keemasan menyilaukan mata.

“Trang-trang-trakk-breetttt...!”

Sinar emas itu bergulung-gulung dengan amat hebatnya dan itulah Siang-bhok Kiam-sut yang dimainkan oleh pemuda ini dan akibatnya, pedang di tangan Hek I Siankouw rusak ujungnya, guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi menjadi bocor dan ujung lengan baju sebelah kiri dari Bouw Thaisu juga terbabat putus!

Empat orang itu berseru kaget dan cepat mundur, akan tetapi sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam kini bergulung-gulung makin luas dan mengancam mereka tanpa mendekati Pek-hiat Mo-ko. Memang Bun Houw hendak mengalahkan empat orang pengeroyok itu lebih dulu sebelum dia dapat memusatkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menandingi kakek yang amat lihai itu.

“Tahan...! Cia Bun How, lihat ini...!” Terdengar bentakan Hek-hiat Mo-li dengan suara nyaring.

Bun Houw meloncat ke belakang, menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat In Hong dalam keadaan terbelenggu kedua kaki tangannya telah berdiri di situ, dijaga oleh Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakang gadis itu.

“Hong-moi...!”

Tak disadarinya lagi Bun Houw berseru girang melihat gadis itu benar-benar masih dalam keadaan selamat, akan tetapi juga khawatir melihat gadis itu sama sekali tidak berdaya karena selain dibelenggu tangannya, juga tangan nenek yang membentuk cakar di dekat tengkuknya itu merupakan todongan maut!

“Cia Bun Houw, pilihlah. Engkau menyerah baik-baik atau nona ini akan kuhabiskan nyawanya di depan matamu!”

“Jangan dengarkan dia! Aku tidak takut mati!”

Tiba-tiba In Hong berseru yaring dan Bun Houw menjadi terharu. Gadis itu masih sama dengan dulu, gadis lincah dan berani, tidak berkedip menghadapi ancaman maut! Masih sama dengan “nona Hong” yang dulu itu, dengan “Hong-moi” yang dulu itu!

“Hong-moi...!” Kembali dia mengeluh dan meragu.

“Cia Bun Houw, engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai yang perkasa. Tunjukkanlah kejantananmu dan jangan perdulikan aku!” Kembali In Hong berkata. “Jangan kau merendahkan nama ayahmu.”

“Cia Bun Houw, bergeraklah sedikit saja, dan nona ini akan mampus!” Tangan berbentuk cakar itu kini menempel di tengkuk In Hong.

“Hek-hiat Mo-li!” Bun Houw berseru nyaring, mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar amat berwibawa dan menggetarkan jantung mereka yang mendengarnya. “Boleh jadi engkau dapat membunuh nona Yap In Hong akan tetapi akupun dapat membunuh kalian semua!”

“Ha-ha-ha, Cia Bun Houw bocah sombong! Kau kira akan mampu membunuh kami? Ha-ha, nona itu dapat kami bunuh dan kau pun juga! Lihat berapa besar kekuatan kami?”

Ucapan Pek-hiat Mo-ko ini membuat Bun Houw melihat ke sekeliling dan ternyata tempat itu telah terkurung oleh seratus orang anak buah yang kelihatannya kuat-kuat dan bersenjata lengkap. Dia memandang kepada Si Kwi sekejap dan diam-diam dia mengakui kebenaran keterangan gadis itu yang kini kelihatan amat berduka memandang ke arahnya.

“Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Biarpun demikian, tetap saja untuk kematian nona Yap In Hong aku akan dapat membunuh banyak sekali orang di sini! Maka tidak adillah kalau aku menyerah begitu saja tanpa imbalan. Kalian bebaskan nona Yap In Hong dan sebagai gantinya, biar aku yang menjadi tawananmu, mau kalian bunuh atau apa saja terserah. Akan tetapi nona itu harus bebas dulu!”

“Houw-ko, jangan gila...!”

In Hong menjerit dan tanpa disadarinya dia kembali telah menyebut Houw-ko kepada Bun Houw.

Bun Houw tersenyum kepadanya.
“Hong-moi, sudah sepatutnya kalau laki-laki yang menjadi tawanan, bukan wanita. Pula, mereka tidak mempunyai urusan denganmu, melainkan dengan Cin-ling-pai. Kalau engkau yang ditawan, hal itu kiranya belum tentu akan menarik perhatian ketua Cin-ling-pai, berbeda kalau aku yang ditawan!” Sengaja Bun Houw mengucapkan ini keras-keras agar terdengar oleh semua orang.

“Cia Bun Houw, engkau tetap tidak mau menyerah?” Hek-hiat Mo-li berteriak.

“Sesukamulah kalau kau hendak membunuhnya akan tetapi aku bersumpah akan membasmi kalian, akan melawan sampai titik darah terakhir! Hanya kalau dia sudah kalian bebaskan saja, aku mau menyerah tanpa syarat.”

“Houw-ko...!”

In Hong menjerit lagi dan kini kedua matanya menjadi basah. Tak disangkanya pemuda itu kini begitu tabah dan rela mengorbankan dirinya, mengorbankan keselamatan nyawanya untuk menolong dia!

Dewi Maut







Tidak ada komentar: