***

***

Ads

Selasa, 24 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 162

Bun Houw siuman lebih dulu dan segera dia bangkit di atas lantai dimana tadi ia menggeletak. Yang pertama-tama menarik matanya adalah tubuh In Hong yang rebah pula di lantai itu, masih pingsan akan tetapi dalam keadaan sehat. Hal kedua yang lebih menarik perhatiannya adalah bahwa dia dan In Hong sama sekali tidak terbelenggu. Hal ini menenangkan hatinya dan mulailah dia memeriksa keadaan di dalam kamar tahanan itu.

Sebuah kamar yang tidak begitu besar, kurang lebih empat meter persegi, dindingnya terbuat dari baja yang amat kuat dan hanya ada sebuah daun pintu yang juga terbuat dari baja tebal. Pergantian udara hanya melalui lubang-lubang di atas pintu yang cukup banyak sehingga mereka tidak akan mati pengap, akan tetapi terlalu sedikit sehingga mereka tidak dapat merasa enak bernapas. Betapapun juga, mereka tidak akan mati tinggal di kamar ini. Dari lubang-lubang itu, kadang-kadang dia melihat bayangan orang di luar daun pintu.

Bun Houw melihat ada sebuah pembaringan di dalam kamar dan di sudut kamar terdapat sebuah lubang di lantai, agaknya dimaksudkan untuk tempat buang air! Kemudian dia melihat sebuah lubang yang lebarnya kurang lebih tiga puluh sentimeter persegi di bagian bawah pintu, akan tetapi lubang ini ditutup dari luar oleh baja pula dan agaknya lubang itu adalah tempat untuk memasukkan makanan dan lain-lain ke dalam kamar.

Paling penting adalah menyadarkan In Hong, pikirnya dan dipondongnya tubuh nona itu, dibaringkannya terlentang di atas pembaringan. Kemudian Bun Houw mengurut tengkuk gadis itu yang tadi kena pukul. Tak lama kemudian gadis itu mengeluh perlahan dan membuka mata. Begitu melihat Bun Houw, dia cepat bangkit duduk, menoleh ke kanan kiri, melihat kaki tangannya dan serunya pertama,

“Kita bebas...!”

Bun Houw mengangguk.
“Ya, akan tetapi kita dikurung di dalam kamar tahanan yang kuat sekali.”

In Hong lalu turun, memeriksa kamar itu, melangkah hilir-mudik dan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Bun Houw dan berkata,

“Kita tidak ditotok, tidak dibius dan tidak dibelenggu. Kita bebas dan kalau kita berdua mengamuk, apa sukarnya kita basmi mereka dan lolos dari sini?”

Bun Houw menggeleng kepala dan duduk di sudut pembaringan yang juga terbuat dari baja!

“Kurasa tidak begitu mudah, Hong-moi. Merekapun bukan orang-orang bodoh. Sudah kuperiksa tadi dan jelas bahwa kita tidak mungkin membobol kamar ini. Pula, kalau kita memberontak dan mengamuk di dalam kamar ini, betapa akan mudahnya bagi mereka untuk membuat kita tidak berdaya dengan asap beracun atau serangan lain.”

In Hong terkejut.
“Aihhh... habis bagaimana?”

“Hong-moi, tadi engkau sudah dapat lolos, kenapa engkau kembali?”

Bun Houw tidak menegur, melainkan menyesal karena melihat dara itu tertawan kembali.






In Hong kini berdiri dan memandang wajah pemuda itu dengan angkuh, mengingatkan Bun Houw akan sifat dara ini yang memang keras, akan tetapi keangkuhan itu baginya amat menarik karena dara itu tidak berpura-pura dan di dalam keangkuhan itu terdapat keagungan yang membuat dara itu menjadi makin menarik.

“Kau kira aku ini orang macam apa, Houw-ko? Engkau mengorbankan dirimu untuk kebebasanku. Aku bebas akan tetapi engkau tertawan dan terancam nyawamu. Aturan mana itu? Mana bisa aku diam saja? Tentu selama hidupku aku akan merasa tersiksa oleh penyesalan kalau sampai terjadi sesuatu dengan engkau yang mengorbankan diri untukku. Tidak! Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan kebebasanku dan aku nekat kembali untuk mencoba menolongmu dan membebaskanmu.”

“Dan kau gagal...”

“Lebih baik gagal dan sama-sama menghadapi kematian daripada mati sedikit demi sedikit digerogoti penyesalan kelak.”

Hening sejenak.
“Hong-moi...”

“Hemm...?”

“Agaknya engkau ini...”

“Ya...?”

“Angkuh bukan main!”

“Maksudmu?”

“Sedikitpun engkau tidak sudi menerima budi orang...”

“Tentu tidak! Sejak kecil aku hidup sendiri, bersama subo yang kini sudah tidak ada. Aku tidak mengemis budi, tidak mengharapkan budi, dari siapapun!”

“Hemm, engkau menjadi keras oleh keadaan, Hong-moi. Sungguh kasihan...”

“Aku tidak mengharapkan kasihan orang...!”

“Akan tetapi aku bukan orang biasa. Aku adalah seorang sahabatmu, Hong-moi. Lupakah engkau akan itu? Engkau malah sudah memberi Giok-hong-cu (Burung Hong Kumala) kepadaku dan aku memberikan Hong-cu-kiam padamu. Berarti kita telah terikat oleh persahabatan!”

“Dan pedang itu terampas oleh mereka!” In Hong berkata kecewa.

“Akan tetapi Giok-hong-cu pemberianmu masih kusimpan!”

Bun Houw berkata dan tangannya merogoh ke saku baju sebelah dalam dan dikeluarkanlah hiasan rambut yang terbuat dari batu kumala indah berbentuk burung hong itu,

“Benda ini selamanya tidak pernah terpisah dari badanku, Hong-moi!”

Melihat pemuda itu memegang burung hong kumala dan menyatakan demikian, tiba-tiba saja jantung In Hong berdebar keras dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah dan dia merasa senang bukan main!

“Kita harus mencari akal untuk dapat lolos dari kurungan ini, Houw-ko, kemudian kita serbu mereka, rampas kembali Siang-bhok-kiam dan...”

“Ssstt, jangan terburu nafsu, Hong-moi. Tidak akan mudah. Kita harus bersabar dulu.”

“Tapi kita akan celaka...”

“Kurasa tidak, Hong-moi. Sebetulnya, yang diinginkan oleh kakek dan nenek itu adalah ayahku dan para panglima bekas pembantu Panglima The Hoo, bukan kita. Kita ini hanya dijadikan umpan belaka. Kalau mereka hendak membunuh kita, tentu agaknya engkau sudah mereka bunuh, dan aku juga.”

“Ssstt...!”

In Hong memberi tanda agar pemuda itu jangan mengeluarkan kata-kata, dan keduanya memandang dengan penuh perhatian kepada lubang kecil yang tiba-tiba terbuka dari luar pintu. Kalau saja ada tangan diulur masuk, tentu In Hong yang sudah siap itu akan menangkapnya.

Akan tetapi, terdengar suara ketawa Coa-tok Sian-li di luar pintu itu dan sebuah panci besar dan beberapa mangkok didorong masuk ke dalam satu demi satu tanpa memperlihatkan tangan yang mendorongnya. Kemudian juga sebuah poci minuman. Panci itu berisi masakan sayur mayur dan daging, baunya cukup sedap merangsang selera dan nasi itu putih dan masih mengebulkan uap, masih panas. Poci itu berisi air teh.

“Iblis, aku tidak sudi makan dan minum suguhanmu!”

In Hong hendak menendang hidangan itu, akan tetapi cepat-cepat Bun Houw mencegahnya dan memegang lengannya.

“Hong-moi, apa gunanya itu?”

Ketika gadis itu memandangnya, dia berkedip dan menggelengkan kepalanya. In Hong tidak berkata apa-apa dan keduanya diam.

“Ha-ha-ha!”

Terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi di luar. Kiranya suami isteri itu menjaga di luar.

Bun Houw dan In Hong cepat mengintai dari lubang-lubang angin dan benar saja. Di luar terdapat Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li duduk berjaga dan kini Ang-bin Ciu-kwi berkata,

“Memang bocah she Cia itu pintar! Tidak seperti gadis itu yang liar!”

Tiba-tiba terdengar suara Hek I Siankouw.
“Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kalian dan aku adalah sekawan, lupakanlah pertikaian antara kita dan kalian turutilah permintaanku sedikit.”

“Hemm, apakah permintaanmu itu, Siankouw?”

“Biarkan aku memotong tangan kanan gadis bernama Yap In Hong itu untuk membalas kematian sahabatku.”

“Wah, wah, dalam keadaan biasa aku sendiri akan suka menonton kau melakukan penyembelihan terhadap dia, akan tetapi kami berdua bertugas jaga di sini, tidak saja menjaga agar mereka jangan lolos, juga jangan mereka sakit atau mampus. Bagaimana mungkin kami berani membiarkan kau memotong lengannya? Tentu lengan kami akan hilang pula sebagai gantinya!” kata Ang-bin Ciu-kwi.

“Siankouw, harap kau jangan cari-cari perkara. Kau tahu bahwa yang menentukan hanyalah dua orang locianpwe yang berkuasa di sini. Kalau engkau hendak minta sesuatu, mintalah kepada beliau berdua. Kalau sudah ada perkenan beliau, biar kau bunuh gadis itupun kami tidak mencampuri,” kata Coa-tok Sian-li.

Hek I Siankouw menghela napas panjang. Diapun tidak berani melanggar perintah dua orang kakek dan nenek iblis itu, betapapun sakitnya hatinya dan betapa inginnya untuk segera membalas dendam.

Tiga orang itu tiba-tiba bicara bisik-bisik dan menjauhi pintu kamar itu sehingga Bun Houw dan In Hong tidak lagi melihat atau mendengar mereka.

“Hong-moi, mari kita makan, mumpung masih panas-panas.”

Bun Houw mengangkati semua hidangan itu ke atas pembaringan besi dan mempersilakan gadis itu makan.

“Uhhh! Aku tidak sudi makan hidangan mereka.”

“Hong-moi, pikirlah dengan tenang. Kita perlu memelihara kesehatan dan mengumpulkan tenaga, bukan? Sekali waktu akan ada gunanya bagi kita. Kalau kau tidak mau makan sampai jatuh sakit dan lemah, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka kalau saatnya tiba?”

Dibujuk demikian, In Hong termenung, lalu dengan cemberut dia duduk pula di atas pembaringan dan menerima semangkok nasi dan sumpitnya. Akan tetapi ketika dia hendak menyendok sayur, dia berkata penuh curiga,

“Siapa tahu masakan ini mengandung racun!”

Bun Houw tersenyum, menyendok sayur dan daging lalu memakannya dengan enak.
“Tidak mungkin,” katanya.

“Mereka perlu dengan kita sebagai sandera, mengapa mereka harus meracun kita? Pula banyak jalan untuk membunuh kita yang sudah tidak berdaya, mengapa menggunakan racun dalam makanan seperti perbuatan orang-orang lemah? Aku yakin mereka tidak akan meracun makanan kita.”

In Hong lalu mau makan juga dan karena memang dia amat lapar, maka sebentar saja dia makan sama lahapnya dengan Bun Houw. Mereka lalu minum teh dan tak lama kemudian In Hong duduk melenggut karena mengantuk. Badannya terasa segar dan sehat, dan Bun Houw lalu turun dari pembaringan setelah menaruh semua perabot makan di depan lubang bagian bawah pintu yang sudah tertutup lagi dari luar itu. Dia mengintai dari lubang-lubang angin yang kecil, akan tetapi karena tidak dapat melihat Hek I Siankouw maupun Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, juga tidak mendengar suara mereka maka diapun lalu membiarkan In Hong istirahat dan mulailah dia memeriksa keadaan kamar tahanan itu lebih teliti.

Akan tetapi, tepat seperti telah diduganya, tempat itu amat kuat dan kokoh, tidak mungkin meloloskan diri dari tempat itu dengan menggunakan tenaga saja. Bagian depan yang ada pintunya terbuat dari baja, demikian pula seluruh dindingnya. Hanya lantainya saja terbuat dari batu. Akan tetapi untuk apa membongkar lantai? Selain tidak mudah, juga tentu nampak dari luar sebelum dia dan In Hong berhasil lolos. Setelah memerika dengan teliti, Bun Houw juga duduk bersila di atas lantai batu untuk menghimpun tenaga.

**** 162 ****
Dewi Maut







Tidak ada komentar: