***

***

Ads

Selasa, 24 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 163

Sementara itu, Hek I Siankouw dan dua orang majikan Padang Bangkai itu berunding tidak jauh dari kamar tahanan sambil berbisik-bisik.

“Jangan khawatir aku akan ikut bertanggung jawab. Bukankah Mo-ko dan Mo-li hanya berpesan agar mereka tidak sakit, mati atau lolos? Nah, ketiganya itu tidak akan terjadi. Aku ingin melihat mereka itu terhina dan rusak nama dan kehormatan mereka sedangkan kalian dapat menikmati tontonan itu!” Demikian antara Lain Hek I Siankouw berkata dan membujuk mereka.

“Memang menyenangkan sekali!” Coa-tok Sian-li berkata.

“Asyik sekali kalau menonton itu!” kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

“Andaikata Mo-ko dan Mo-li mendengarnya, tentu mereka tidak akan marah. Justeru mereka sendiri yang menyuruh mengurung dua orang itu dalam satu kamar, maka kejadian itu bukankah sudah sewajarnya?” kata pula Hek I Siankouw.

“Baiklah, Siankouw. Lihat saja malam nanti, kehendakmu pasti terlaksana dan kami akan menikmati tontonan itu, hik-hik!” Coa-tok Sian-li tertawa-tawa genit.

Sore hari itu, kembali Bun Houw dan In Hong mendapatkan suguhan makanan dan minuman, bahkan ada seguci kecil arak wangi. Lampu penerangan telah dipasang dan karena sinar lampu hanya dapat memasuki kamar tahanan itu melalui lubang-lubang angin kecil, maka kamar tahanan itu biarpun tidak gelap sama sekali, akan tetapi juga tidak terlalu terang, hanya remang-remang saja.

Kini In Hong tidak ragu-ragu lagi untuk makan dan minum, bahkan diapun minum arak wangi yang manis dan lezat itu untuk menghangatkan tubuhnya, ditemani oleh Bun Houw yang sama sekali tidak kelihatan berduka atau khawatir.

Dan memang sesungguhnya, secara aneh sekali kedua orang muda itu tidak merasa khawatir atau tidak senang, bahkan baru sekarang mereka merasakan kegembiraan yang aneh! Mereka tidak sadar bahwa itulah tanda-tanda cinta! Cinta tidak mengenal duka dan khawatir, dalam keadaan bagaimanapun juga.

Ketika mereka selesai makan minum dan Bun Houw menaruh perabot-perabot makan di dekat lubang, lubang itu terbuka dari luar dan dengan cepatnya mangkok piring itu disambar oleh tangan yang tidak nampak, dibawa keluar dan terdengarlah suara terkekeh genit dari Coa-tok Sian-li yang berkata.

“Hi-hi-hik, selamat menikmati malam pengantin!”

Bun Houw mengerutkan alisnya. Ucapan seorang cabul seperti Coa-tok Sian-li memang tidak perlu diperhatikan, akan tetapi di dalam kata-kata itu terkandung sesuatu yang membuat dia menaruh curiga. Apalagi ketika lampu penerangan di luar dibesarkan sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi lebih terang, dan dia mendengar suara-suara manusia di luar kamar seolah-olah ada beberapa orang yang mengintai dari luar! Dia merasa curiga, maka didekatinya In Hong yang duduk di tepi pembaringan sambil berbisik,

“Hong-moi, hati-hatilah...”






“Ada apakah, Houw-koko?”

“Aku menaruh curiga kepada mereka. Agaknya mereka hendak melakukan sesuatu, entah apa.”

Karena merasa tegang, Bun Houw memegang tangan gadis itu dan tanpa disengaja jari-jari tangan mereka saling genggam. Rasa hangat yang aneh menjalar dari sentuhan tangan itu, getaran yang luar biasa menjalar dari ujung-ujung jari yang bersentuhan terus ke lengan dan ke seluruh tubuh, mengguncangkan jantung. Otomatis mereka saling pandang dan sinar mata mereka melekat.

Di dalam cahaya yang remang-remang namun cukup terang itu, Bun Houw melihat wajah yang luar biasa cantiknya, luar biasa manjanya dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Sepasang mata yang bening dan pandang matanya tajam penuh semangat hidup, hangat dan begitu dalam seperti lautan yang sukar dijajagi dalamnya, bibir yang agak terbuka seolah-olah menantangnya, napas yang panjang halus agak tersendat membuat cuping hidung mancung itu agak kembang-kempis, leher yang panjang dan seperti tangkai bunga. Dia terpesona!

Dan sebaliknya, In Hong juga memandang wajah Bun Houw seolah-olah baru sekarang dia menemukan ketampanan dan kegagahan wajah pemuda itu.

“Ahhh...!” In Hong berseru dan cepat menarik tangannya.

“Maaf, Hong-moi...!” Bun Houw juga cepat melangkah mundur. Napas mereka agak memburu.

In Hong menundukkan mukanya. Muka itu tentu merah sekali, pikir Bun Houw, di dalam cuaca yang agak remang-remang kelihatan gelap. Namun mata itu mengerling dari bawah, kerlingan yang seperti menggapai!

Seperti didorong oleh tenaga yang tidak kelihatan, Bun Houw melangkah maju lagi, jantungnya berdebar sampai terdengar di dalam kedua telinganya. Benarkah penglihatannya? Dia melihat gadis yang menundukkan muka itu mengerling malu-malu dan tersenyum! Dan dada yang membusung itu kelihatan naik turun, napasnya memburu.

“Hong-moi...” Kembali jari-jari tangannya menyentuh, perlahan saja, di ujung pundak gadis itu.

Pundak itu tertutup baju dan sentuhan itu hanya perlahan saja, akan tetapi sungguh aneh. Sentuhan yang ringan ini mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh tubuh In Hong menggigil dan juga Bun Houw merasa betapa gairah yang dahsyat mendorongnya untuk merangkul gadis itu dan mendekap sekuatnya. Dengan seluruh kekuatan batinnya, dilawannya gairah ini dan kedua kakinya menggigil!

“Ada apa... koko...?”

Dara itu mengangkat mukanya, mukanya benar saja merah sekali setelah kini tertimpa sinar dari luar dan sepasang mata itu amat bercahaya seperti ada apinya, seolah-olah di dalam tubuh gadis itu terjadi kebakaran!

“Tidak... eh, aku hanya hendak mengatakan eh, kau... kau cantik sekali, Hong-moi!”

Bun Houw sendiri terkejut mendengar kata-katanya ini. Apa yang telah terjadi? Dia menanti kemarahan dara itu andaikata akan menamparnya, dia akan menerimanya dengan rela karena dia menyadari betapa lancang mulutnya.

Akan tetapi aneh! In Hong tidak marah, malah tersenyum, senyum manja dan senyum yang membayangkan kebesaran hati yang bangga!

“Terima kasih... Houw-ko...” suaranya tersendat-sendat.

Mereka masih saling pandang dan akhirnya tak kuat lagi menahan gelora hatinya yang membuatnya seperti mabok dan tidak sadar, Bun Houw merangkul leher gadis itu. Anehnya, In Hong juga balas merangkul pinggangnya, kini muka mereka saling berdekatan, begitu dekat sehingga mereka saling merasakan tiupan nafas masing-masing. Bibir mereka hampir saling bersentuhan, akan tetapi naluri kewanitaannya membuat In Hong menundukkan muka dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw, mendekap dada itu dengan mukanya dan mengeluh,

“Houw-ko...”

“Hong-moi ah, Hong-moi...”

Bun Houw terengah sambil mendekap kepala itu ke dadanya, timbul berahinya yang amat hebat sehingga ingin rasanya dia memasukkan kepala itu, seluruh tubuh gadis itu, ke dalam dirinya agar menjadi satu dan takkan terpisah lagi dengan dia!

“Hi-hi-hik!”

Suara ketawa ini seperti halilintar menyambar Bun Houw dan In Hong. Keadaan setengah sadar tadi kini buyar dan seperti ada sinar terang memasuki benak mereka, membuat mereka maklum bahwa mereka sedang diintai orang! Bun Houw melepaskan pelukannya, berseru kaget dan meloncat ke belakang. Dia terhuyung.

In Hong juga memandangnya dengan mata terbelalak, kedua tangannya menekan pipi sendiri, bingung dan terkejut.

“Hong-moi... celaka... kita keracunan...!”

Bun Houw berseru dan mengepal tinjunya karena ada rangsangan yang makin hebat mendorongnya untuk mendekati gadis itu.

“Ahhh... pantas aku merasa tidak wajar... panas sekali... tentu dalam makanan tadi...”

“Dalam arak mungkin...”

“Ha-ha-ha!” terdengar suata ketawa Ang-bin Ciu-kwi. “Memang kau pintar, putera Cin-ling-pai. Racun itu berada dalam arak tadi dan kalian sudah meminumnya. Kalian tahu racun apa? Eh, isteriku yang cantik dan cerdik, kau ceritakan agar mereka itu dapat bersenang sepuasnya, ha-ha!”

“Hi-hik, sebetulnya bukan racun berbahaya, kalian boleh tenang-tenang saja. Lebih baik dinamakan obat, dan arak itu kuciptakan sendiri, namanya Arak Malam Pengantin! Bersenanglah kalian!”

“Coa-tok Sian-li iblis betina cabul!” In Hong membentak marah. “Kalau sekali aku dapat berhadapan denganmu, akan kuhancurkan kepalamu!”

“Jangan harap kau dapat mempermainkan kami!”

Bun Houw juga berteriak, namun jantungnya berdebar aneh dan ada suatu kekhawatiran besar timbul di dalam hatinya.

“Ha-ha, mari kita sama lihat! Binatang-binatang seperti kuda dan kerbau saja tidak kuat menahan pengaruh obat ciptaan isteriku itu, apalagi manusia, dan masih muda seperti kalian! Ha-ha, ingin kulihat putera ketua Cin-ling-pai berjina di dalam kamar tahanan!” kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

“Dan aku ingin sekali melihat Yap In Hong perawan sombong yang telah membunuh sahabatku Hwa Hwa Cinjin itu menyerahkan kehormatannya secara murah seperti seorang pelacur!” terdengar suara Hek I Siankouw.

Mendengar ini, terkejutlah Bun Houw. Kiranya itulah rencana mereka! Dia dan In Hong sengaja diberi minum racun yang agaknya merupakan racun perangsang nafsu berahi agar mereka berdua dalam keadaan tidak sadar melakukan hubungan kelamin, berjina di dalam kamar tahanan itu dan disaksikan oleh mereka. Maksud mereka tidak lain tentu agar mereka dapat menyebarluaskan peristiwa itu untuk menghancurkan nama dan kehormatan dia sebagai putera ketua Cin-ling-pai dan Yap In Hong sebagai seorang puteri yang dipercaya oleh kaisar!

“Manusia-manusia iblis! Jangan mengharap kalian akan dapat memaksa kami melakukan perbuatan hina! Kami bukanlah manusia-manusia macam kalian!” Bun Houw membentak marah.

“Hayo masuklah kalian ke sini kalau berani!” In Hong juga berteriak. “Akan kuhancurkan kepala kalian satu demi satu!”

“Hi-hik, malam pengantin kenapa diisi dengan ribut-ribut? Yang tidak tahu akan menyangka pengantinnya cekcok!” Coa-tok Sian-li mengejek.

“Sssttt... isteriku, diamlah. Kita beri kesempatan mereka bermesra-mesraan,” terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi dan akhimya mereka bertiga itu tidak bersuara lagi, akan tetapi dua orang muda itu merasa yakin bahwa mereka, setidaknya suami isteri cabul itu, tentu diam-diam mengintai dari luar!

Mereka berdiri berhadapan, hati mereka penuh ketegangan, akan tetapi juga penuh dengan gelora nafsu berahi yang menyesakkan dada.

“Hong-moi... bagaimana rasanya tubuhmu...?”

In Hong yang merasa kepalanya pening itu duduk di tepi pembaringan.
“Kepalaku pening, Houw-ko, dan tubuhku panas sekali... seolah-olah ada api yang membakar di dalam tubuh... hampir tak tertahankan rasanya, Houw-ko...”

“Demikianpun keadaanku, Hong-moi. Kita tahu bahwa ini adalah akibat racun mereka. Kita harus melawannya, Hong-moi. Duduklah dan atur pernapasan, masukkan hawa murni sebanyaknya, pergunakan sin-kang untuk mengusir hawa yang memabokkan.”

Bun Houw sendiri lalu duduk bersila di atas lantai, sedangkan In Hong duduk bersila di atas pembaringan, keduanya memejamkan mata dan melawan dorongan hasrat nafsu berahi yang makin kuat.

Akan tetapi dua orang muda itu tidak tahu bahwa arak beracun buatan Coa-tok Sian-li itu memang amat luar biasa. Arak seperti itu terkenal dimiliki oleh para raja kuno di Sailan. Seperti raja-raja di negara manapun juga di dunia ini di jaman kuno, mereka tidak hanya memiliki seorang isteri, melainkan memelihara banyak selir. Tentu saja jika mereka mendapatkan seorang selir baru, seorang perawan yang usianya baru belasan tahun, raja itu tidak dapat mengharapkan pelayanan yang baik dari dara remaja itu. Pertama-tama karena anak itu memang belum tahu apa-apa, kedua kalinya karena tentu saja wanita muda itu tidak suka melayani seorang pria tua, sungguhpun pria itu seorang raja. Karena ini, untuk menyenangkan hati raja yang pada masa itu dianggap sebagai utusan Tuhan atau manusia pilihan, maka para ahli pengobatan lalu membuatkan minuman arak yang mengandung racun atau obat perangsang yang amat kuat.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: