***

***

Ads

Selasa, 24 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 164

Obat ini juga sekaligus merupakan racun, kalau pada ukuran tertentu merupakan obat mujarab untuk mendatangkan rangsangan berahi sehingga raja yang tua itu akan memperoleh pelayanan istimewa dari seorang gadis yang masih perawan sekalipun, juga untuk raja sendiri yang sudah kekurangan gairah itu dapat dirangsang kembali oleh pengaruh obat. Akan tetapi kalau melewati ukuran tertentu akan dapat mematikan orang yang bagaimana kuatpun.

Coa-tok Sian-li adalah seorang ahli racun, maka tentu saja dia dapat membuat obat perangsang ini yang dibuatnya dari sebangsa lalat istimewa yang hanya terdapat di rawa-rawa di daerah utara Sailan. Lalat-lalat ini dikeringkan dan ditumbuk halus, dicampur beberapa macam akar yang mempunyai daya panas, lalu dicampur arak. Sama sekali tidak merobah rasa arak sehingga mudah saja meracuni orang lain.

Bun Houw dan In Hong adalah dua orang muda yang sudah memiliki dasar sin-kang kuat. Kalau hanya terkena pukulan beracun saja, atau hawa beracun mengeram di tubuh, tentu mereka akan dapat menyelamatkan diri dengan pengerahan sin-kang mengusir hawa beracun itu.

Akan tetapi, arak itu langsung menyerang darah dan otak, langsung menembus bagian otak yang menggerakkan nafsu berahi sehingga biarpun mereka mengerahkan sin-kang, tetap saja tidak mampu mengusir rangsangan berahi itu.

Makin malam, makin tersiksalah mereka berdua. Lebih-lebih lagi In Hong yang pada dasarnya sebetulnya memiliki gairah yang menggelora dan darah yang panas, hanya sejak kecil semua itu ditutupi oleh sikap dingin akibat didikan gurunya. Keadaan dara ini seperti gunung api tertutup salju, kelihatan dingin luarnya, akan tetapi di sebelah dalam menggelora dan panas sekali!

Kini, beberapa kali In Hong mengeluh dan merintih dan duduknya sudah tidak tetap lagi. Beberapa kali dia membuka mata memandang ke arah Bun Houw dengan mata sayu dan setengah terpejam, seperti mata orang mengantuk, agak basah, hidungnya kembang-kempis, mulutnya setengah terbuka, bibirnya bergerak-gerak dan napasnya memburu, terdengar rintihan halus dari dalam kerongkongannya. Semua ini merupakan tanda-tanda seorang wanita yang sedang diamuk rangsangan berahi!

Bun Houw juga sukar dapat mempertahankan dirinya. Diapun sudah membuka mata, memandang ke arah In Hong, melihat gadis itu kini merebahkan diri, menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas.

“Oohhhh... Houw-ko... ahhhh... Houw-ko... tolonglah aku, tolonglah...” In Hong merintih-rintih memelas sekali.

“Pertahankanlah, Hong-moi. Memang, pengerahan sin-kang tidak menolong, jalan satu-satunya hanya bertahan sampai pengaruhnya lenyap kembali bersama waktu. Kita harus mempertahankan... harus ahhh...”

Dan Bun Houw cepat memejamkan matanya kembali karena dalam keadaan terangsang hebat seperti itu, melihat In Hong menggeliat-geliat merupakan pemandangan yang menambah rangsangan makin hebat.

“Houw-koko... aku tidak tahan lagi... Houw-koko... panas sekali... ah, panas sekali tubuhku...”

Dan In Hong mulai melepaskan bajunya, direnggutnya begitu saja sehingga ada yang robek dan nampaklah sebagian dari dadanya yang putih mulus!

“Hong-moi... jangan, Hong-moi!”






Bun Houw meloncat, hampir jatuh karena dia terhuyung dan mendekati pembaringan itu, cepat dia menutupkan kembali baju In Hong yang setengah terbuka.

“Houw-koko, panas sekali... aku tak tahan...” In Hong mengeluh dan setengah terisak.

“Pertahankan, adikku, pertahankan...”

“Ohhh, Houw-ko...”

In Hong merintih dan terisak, merangkul leher pemuda itu. Bun Houw memejamkan matanya dan memalingkan mukanya agar jangan sampai mukanya menyentuh muka dara itu. Akhirnya In Hong terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw.

“Houw-koko...” Suaranya memelas sekali, tergetar dan berbisik serak.

“Bagaimana, Hong-moi...”

“Houw-koko... selama hidupku... belum pernah aku mengalami seperti ini... aku tidak kuat, koko... ah, aku tidak perduli... kaulakukanlah sekehendak hatimu...” kedua lengan In Hong yang merangkul itu makin menguat dan mukanya dibenamkan di dada pemuda itu, tubuhnya tergetar dan panas sekali, matanya terpejam dan ada beberapa titik air mata di atas kedua pipinya.

Bun Houw merasakan suatu dorongan yang amat kuat dan diapun merangkul akan tetapi dia menekan perasaan hatinya sedemikian rupa agar tidak sampai melakukan hal yang lebih jauh daripada berpelukan itu.

“Tidak, Hong-moi, tidak...! Kita harus kuat...! Hong-moi, betapa aku cinta padamu, Hong-moi. Aku cinta padamu...!”

“Houw-ko...”

In Hong terisak, tidak karuan perasaan hatinya mendengar pengakuan ini. Dia masih memejamkan matanya karena kepalanya pening dan dia dalam keadaan hampir tidak sadar, sama sekali tidak ingat lagi berada dimana dan berada dalam keadaan bagaimana

“Kalau kau cinta padaku... apa salahnya lagi... ah, aku... aku rela... menyerahkan jiwa ragaku...”

“Hong-moi, tidak...!”

Bun Houw yang hampir tidak kuat lagi itu melepaskan pelukannya dan meloncat jauh ke belakang, sampai tubuhnya menabrak dinding dan dia roboh terguling. Dia lalu duduk bersila dan memejamkan mata, berusaha sekuatnya untuk melawan dorongan hasrat yang bernyala-nyala itu.

In Hong terisak di atas pembaringan. Selama hidupnya, belum pernah dia menangis, dan baru sekarang ini dara perkasa yang biasanya berhati baja itu terisak dan merintih-rintih.

“Kau benar... Houw-ko, kau benar...”

Hening kini di kamar itu, yang terdengar hanya isak tertahan dari In Hong yang masih rebah di atas pembaringan. Pakaian gadis itu sudah tidak karuan, di sana-sini terbuka karena dia menggeliat-geliat tadi. Beberapa kancing baju terbuka didiamkannya saja karena memang dia pun tidak menyadarinya. Rambutnya morat-marit kondenya terlepas dan rambut yang panjang itu awut-awutan, namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya kalau tak dapat dikatakan bahkan menambah keaslian wajah yang amat jelita itu.

Bun Houw sendiri masih berjuang dengan diri sendiri, karena setelah dia berdiam diri duduk di lantai, dia merasa tubuhnya seperti dibakar dan keadaannva malah makin menderita lagi. Mendengar suara rintihan dan isak tangis tertahan dari In Hong, Bun Houw membuka mata dan mengangkat muka memandang.

Dia melihat betapa In Hong rebah terlentang, dadanya agak diangkat dan terengah-engah, kedua tangan menutupi muka dan gadis itu jelas kelihatan tersiksa sekali. Dia tidak tahan untuk mengawasi saja dan Bun Houw bangkit berdiri, terhuyung menghampiri pembaringan itu, lalu berdiri di dekat pembaringan sambil memandang gadis itu dengan perasaan kasihan sekali.

“Hong-moi, ah, Hong-moi...”

Perasaan kasihan mempunyai daya yang kuat sekali mendorong berahi. Kini Bun Houw yang sudah tidak kuat lagi dan dia lalu memeluk In Hong. Gadis itupun otomatis menggerakkan kedua lengan memeluknya. Bun Houw mendekatkan muka, seperti orang mabok dia berada di antara sadar dan tidak dan akhirnya dorongan nafsu membuat pertahanannya bobol dan dia mencium mulut dara itu.

Begitu bibir mereka saling bertemu, naluri kewanitaan In Hong bangkit dan untuk sekilat cepatnya dia sadar. Dia menjerit dan cepat mendorong dada Bun Houw, lalu bangkit dan kepalanya bergoyang-goyang.

“Tidak...! Jangan, Houw-ko...! Tidak boleh...!” teriaknya.

“Hong-moi... aku tidak tahan lagi... Hong-moi...”

Bun Houw kembali hendak merangkul, akan tetapi untuk kedua kalinya In Hong mendorong dadanya sehingga Bun Houw terjengkang dan jatuh dari atas pembaringan, berdebuk ke atas lantai seperti orang yang sama sekali tidak memiliki kepandaian atau tenaga.

“Houw-ko...!” Melihat pemuda itu terbanting jatuh, In Hong cepat turun dan berlutut. “Kau... kau tidak apa-apa...?”

Dengan mulut mengigau seperti orang mabok Bun Houw kembali memeluknya. Sejenak In Hong membiarkan pemuda itu memeluknya, akan tetapi ketika Bun Houw hendak menciumnya, dara ini sekuat tenaga menekan gairahnya sendiri dan dia memalingkan muka,

“Houw-koko... kau begitu kuat, kenapa sekarang berbalik menjadi lemah? Koko, kita tidak boleh... kita harus mempertahankan sekuat tenaga...”

“Ah, Hong-moi...”

“Maafkan, aku, koko...” In Hong meronta dan melepaskan pelukan pemuda itu, kemudian dia menjauhkan diri.

Bun Houw menjambak rambutnya sendiri.
“Ah, apa yang kulakukan tadi? Kau benar, Hong-moi... lebih baik mati daripada tunduk kepada mereka...”

Untung bagi Bun Houw bahwa In Hong pada saat terakhir itu disadarkan oleh naluri kewanitaannya yang sejak kecil memang jauh daripada penghambaan nafsu berahi sehingga dara itu menolak ketika pemuda ini sudah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dan untung bagi In Hong bahwa tadi, ketika dara ini memuncak nafsunya sehingga dia tidak sadar, Bun Houw yang masih ingat dan yang menyadarkannya.

Dengan demikian, tidak sampai terjadi perjinaan atau hubungan kelamin seperti yang diharapkan oleh dua orang suami isteri di luar tempat tahanan itu dan oleh Hek I Siankouw yang tidak ikut mengintai karena tokouw ini sama sekali tidak cabul seperti mereka, sungguhpun di waktu mudanya Hek I Siankouw juga tidak dapat menahan godaan nafsu sehingga sebagai pendeta dia melakukan perjinaan dengan mendiang Hwa Hwa Cinjin dan hidup seperti suami isteri tidak sah saja dengan pendeta itu.

Waktu itu hampir tengah malam. Pengaruh obat perangsang sudah mencapai puncaknya sehingga kedua orang muda itu mengerang dan menggeliat-geliat di tempat masing-masing!

In Hong di atas pembaringan dan Bun Houw di atas lantai. In Hong sudah hampir telanjang dan dara ini merosot turun dari pembaringan, tidak kuat lagi berdiri dan dengan merangkak dia menghampiri Bun Houw, tangannya meraba-raba karena matanya terpejam dan dia hanya dapat menghampiri karena mendengar suara rintihan Bun Houw saja.

“Koko...”

“Hong-moi...”

Mereka otomatis saling berdekapan dan kini adalah In Hong yang mendahului, mencium atau lebih tepat merapatkan mukanya dengan muka Bun Houw karena dorongan hati hendak membelai pemuda itu dan merapatkan tubuhnya sedekat mungkin.

Bun Houw tidak tahan, lalu dia mencium mulut In Hong. Hanya satu kali saja mereka berciuman sampai napas mereka hampir putus, lalu Bun Houw cepat merenggut dirinya lepas.

“Hong-moi, hanya ini satu-satunya jalan, maafkan aku...”

Tangannya bergerak dan menotok tengkuk In Hong. Karena dia sudah hampir pingsan, maka tentu saja totokannya tidak tepat dan In Hong mengeluh, terkulai. Begitu melihat dara itu terkulai, Bun Houw bangkit, terhuyung menjauhi dan roboh dalam keadaan setengah pingsan pula.

“Terkutuk!”

“Keparat!”

Suami isteri di luar tempat tahanan itu menyumpah-nyumpah karena kecewa. Mereka telah menanggung resiko dimarahi oleh kakek dan nenek iblis itu hanya karena mereka mempunyai kesukaan yang luar biasa, yaitu menonton kecabulan. Dan kini, setelah mereka berhasil meracuni dua orang muda itu, ternyata mereka gagal!

Dewi Maut







Tidak ada komentar: