***

***

Ads

Selasa, 24 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 168

Meriah sekali pesta yang diadakan oleb Raja Sabutai di tempat tinggalnya yang baru itu, di tepi sungai yang bergabung dengan Sungai Nun-kiang di utara. Pesta besar itu dirayakan karena lahirnya sang putera, hal yang amat dinanti-nantikan dan diidam-idamkan selama bertahun-tahun oleh Sabutai.

Isterinya yang tercinta, Khamila, telah melahirkan seorang putera yang sehat dan montok, dan yang tangisnya amat nyaring dan terdengar sebagai nyanyian yang paling merdu bagi telinga Sabutai dan Khamila.

Pesta untuk merayakan kelahiran putera Sabutai itu dihadiri oleh semua kepala Suku Nomad yang banyak terdapat di luar tembok besar utara, dari suku-suku kelompok kecil sampai yang besar, dan di antara para tamu itu terdapat pula orang-orang Han dari dalam tembok besar. Mereka ini adalah pedagang-pedagang yang suka membawa barang-barang dagangan dari selatan, untuk diperdagangkan dan ditukar dengan barang-barang dari utara.

Biarpun perjalanan yang mereka tempuh amat jauh dan sukar, namun karena keuntungannya cukup baik, maka banyak pula yang berani menempuhnya. Selain para pedagang, juga banyak hadir tokoh-tokoh persilatan di perbatasan, karena Sabutai selain terkenal sebagai seorang raja atau kepala suku yang besar, juga dia terkenal pula di antara tokoh-tokoh kang-ouw sebagai seorang ahli silat yang lihai.

Selain hidangan yang berlimpah-limpah dan tari-tarian serta nyanyian daerah yang diselenggerakan untuk menghibur para tamu, juga Sabutai mengadakan pertandingan silat dan gulat dengan hadiah-hadiah yang menarik. Hal ini dilakukan dengan harapan agar kelak puteranya menjadi seorang gagah perkasa, maka kelahirannya disambut dengan pertandingan-pertandingan ketangkasan, yaitu yang umum di antara mereka adalah silat terutama sekali gulat.

Banyak juga yang mendaftarkan diri untuk mengikuti pertandingan itu. Akan tetapi, Raja Sabutai kecewa melihat bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kepandaian biasa saja. Maka ketika menurut giliran maju seorang pegulat yang sudah cukup terkenal di antara para Suku Nomad, seorang pegulat yang tubuhnya seperti gajah, kokoh kuat dan kekar, berhadapan dengan seorang ahli silat bangsa Han di antara para tokoh perbatasan, Sabutai menjadi girang dan tertarik sekali.

“Akan kutambah hadiahnya!” dia berseru girang. “Siapa di antara kalian yang menang, selain hadiah yang telah disediakan untuk tiap pemenang, akan kutambah dengan sebuah hadiah lagi yang boleh dipilih oleh si pemenang di antara barang-barang sumbangan yang kuterima hari ini!”

Dia menudingkan telunjuknya ke arah meja besar yang penuh dengan barang sumbangan yang ditumpuk di situ setelah dicatatkan satu demi satu oleh pembantu yang menerimanya.

Tentu saja semua orang menjadi gembira dan tegang. Jarang dipertandingkan seorang ahli silat melawan seorang ahli gulat, dan kini timbullah pertaruhan-pertaruhan di antara mereka. Bagi yang belum mengenal kebiasaan mereka, tentu akan merasa heran mendengar betapa di antara para kepala Suku Nomad itu, selain mempertaruhkan kuda mereka yang terbaik, atau ternak mereka, juga ada yang mempertaruhkan anak perempuan mereka, bahkan ada pula yang mempertaruhkan isteri atau selir mereka!

Sabutai memandang penuh perhatian. Dia sudah mengenal jago gulat itu dan tahu akan ketangguhannya. Tentu saja bagi dia sendiri, jago gulat itu bukan apa-apa, karena dia tahu bahwa jago gulat itu hanya mengandalkan tenaga besar dan cara-cara meringkus dan melontarkan lawan, di samping memiliki tubuh yang kuat dan kebal seperti gajah.






Akan tetapi yang menarik perhatiannya adalah ahli silat itu. Dia tidak mengenal tokoh-tokoh kang-ouw perbatasan ini secara dekat, dan melihat cara jago silat itu memasang kuda-kuda, dia maklum bahwa akan terjadi pertandingan yang seru dan menarik. Ahli silat itu mempunyai kuda-kuda yang kuat dan sikapnya begitu meyakinkan, dengan kedua lutut ditekuk seperti orang menunggang kuda, lengan kanan ditekuk di depan dada dengan tangan miring di depan dada, lengan kiri di depan pusar, juga ditekuk dan tangan kirinya miring di depan pusar.

Dengan kuda-kuda seperti itu, maka bagian tubuh atas bawah telah terjaga rapat dan kedua tanganpun sudah siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu melakukan penyerangan dari atas atau bawah.

Seorang wasit yang mewakili Raja Sabutai, yaitu seorang di antara panglimanya yang juga merupakan seorang ahli, baik dalam ilmu gulat maupun silat, memberi tanda dengan tangannya ke arah pembantunya yang segera membunyikan canang tanda dimulainya pertandingan itu. Si wasit lalu berdiri di sudut dan mulailah dua orang itu bergerak.

Memang menegangkan sekali pertandingan ini. Bukan seperti pertandingan antara dua orang jago gulat yang saling tubruk den saling cengkeram, berusaha saling banting, mengandalkan ketepatan saat dan gerak reflex dibantu oleh penggunaan tenaga besar yang tepat pada waktunya, atau seperti pertandingan antara dua orang jago silat yang saling serang mengandalkan kecepatan den ketepatan pukulan atau tendangan, akan tetapi karena masing-masing menghadapi lawan yang memiliki kepandaian berbeda, mereka berdua menjadi hati-hati sekali.

Si jago gulat berdiri dengan kedua lengan dikembangkan di kanan kiri tubuhnya, tangannya siap untuk menangkap atau mencengkeram di depan, kedua kakinya agak terpentang dan dia agak membungkuk, sikapnya seperti seekor orang hutan besar menghadapi lawan. Ke manapun lawan bergerak, dia memutar tubuh menghadapinya!

Sedangkan si jago silat masih menanti-nanti saat yang tepat, memilih-milih sasaran untuk serangannya dan dia mengatur langkah, digesernya dan perlahan-lahan memutari tubuh si jago gulat dengan perlahan, merobah-robah kedudukan kedua tangannya sesuai dengan kedudukan kedua kakinya, apakah menghadapi lawan dengan miring ataukah langsung berhadapan.

“Hyaaaattt...!”

Tiba-tiba si jago silat itu menyerang dari samping setelah dengan cepat dia melangkah ke samping kiri lawan, dengan pukulan cepat ke arah lambung.

“Hehhh!”

Si jago gulat mengelak dan tangannya yang panjang mencengkeram ke arah rambut kepala lawan. Akan tetapi jago silat itupun sudah cepat melompat ke belakang menghindarkan diri, memutar tubuhnya dan menendang dari depan ke arah perut lawan.

“Dukkk!”

Lengan yang besar itu menangkis dan ketika tangannya menyambar, kembali lawannya dapat menarik kaki sehingga sambaran itu luput.

Kembali ahli silat itu bergerak mengitari si ahli gulat yang tetap tenang, sama-sama mencari kesempatan. Tiba-tiba, sekali ini tanpa mengeluarkan teriakan, jago silat itu meloncat ke atas, kakinya melayang ke arah muka jago gulat itu dengan kerasnya. Jago gulat itu menghindarkan diri dengan elakan, akan tetapi dengan cepat sekali tangan kanan jago silat itu menghantam tengkuknya. Jago gulat yang melihat kecepatan ini kaget, dia miringkan tubuh mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya terkena pukulan.

“Bukkk!”

Dia terhuyung, akan tetapi pemukulnya juga cepat meloncat ke belakang karena tangannya bertemu dengan daging yang tebal dan keras! Karena berbesar hati telah dapat menghantam pundak, jago silat itu kini melakukan serangan bertubi-tubi dengan gerak cepat dan ternyata siasatnya berhasil baik.

Berkali-kali dia dapat menggunakan kedua tangan atau kakinya untuk menghantam dan menendang lawan dan ada beberapa di antaranya yang mengenai tubuh lawan. Terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan-pukulan itu mengenai tubuh si jago gulat, akan tetapi pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan itu tidak merobohkan lawan, hanya membuat si jago gulat terhuyung.

Sorak-sorai dan tepuk tangan mulai terdengar, ada pula ejekan-ejekan terhadap si jago gulat, terutama mereka yang bertaruh memegang ahli silat itu. Tentu saja di depan Raja Sabutai, para tamu tidak berani bersikap melampaui batas, akan tetapi di dalam kesempatan seperti ini di tempat ini, bukan hal mustahil kalau gelanggang pertandingan menjadi gelanggang pertempuran antara para penjudi itu yang tentu saja dibela oleh anak buah masing-masing!

Pertandingan dilangsungkan terus dengan serunya. Jago silat itu telah berhasil memukul beberapa kali sehingga pukulan yang mengenai muka jago gulat itu membuat bibirnya pecah dan berdarah. Akan tetapi si ahli silat ketika menendang tulang kering kakinya bertemu dengan tulang kaki si jago guiat yang besar dan kuat, sehingga biarpun tulang kakinya yang kecil itu tidak patah, cukup mendatangkan rasa nyeri dan membuat dia agak terpincang!

Jago gulat itu menjadi marah sekali. Seperti seekor kerbau yang terluka, dia kini mulai aktip menyerang. Namun serangan-serangannya yang berupa cengkeraman dan tangkapan kedua tangan itu selalu dapat dielakkan oleh si jago silat yang lincah, selalu menubruk atau menangkap angin kosong belaka, dan sebagai jawabannya, tentu terdengar suara “Tak!” atau “Plak!” karena tangan jago silat itu berhasil memukul atau menampar.

Kini lebih banyak darah lagi keluar ketika sebuah pukulan si jago silat tepat mengenai hidung si jago gulat sehingga muncratlah darah segar dari lubang hidung raksasa itu. Bagaikan serigala-serigala yang haus darah, para penonton berteriak-teriak penuh nafsu menjagoi pilihan masing-masing.

Yang menjagoi ahli silat menjadi besar hati karena melihat jagonya lebih banyak membagi pukulan, sedangkan yang menjagoi si ahli gulat juga tidak putus harapan karena biarpun seringkali dipukul, si jago gulat yang kokoh kuat itu belum juga roboh, sedangkan si jago silat sebaliknya malah kelihatan lelah sekali. Hal ini karena si jago silat lebih banyak bergerak, sedangkan si jago gulat hanya berdiri dan bergerak sedikit sekali.

Setelah beberapa kali menerima hantaman dan tendangan berturut-turut, tiba-tiba si jago gulat berhasil menangkap pergelangan lengan lawannya! Si jago silat meronta, namun percuma saja karena pegangan itu bukan main kuatnya. Karena maklum bahwa dia tidak akan mampu melepaskan diri, si jago silat lalu menggunakan sebelah tangannya lagi untuk menusuk mata lawan dengan jari tangan. Jago gulat itu miringkan mukanya, akan tetapi tetap saja pipinya kena ditusuk dan kembali darah mengucur.

“Haarrgghhh...!”

Jago gulat mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang. Dia maklum betapa bahayanya untuk terus memegang lengan lawannya itu, maka sekali dia merendahkan diri dan mengerahkan tenaga sambil memegang pinggang lawan, dia telah mengangkat tubuh si jago silat tinggi-tinggi di atas kepalanya.

Terdengar pekik dan sorak-sorai menyambut kemenangan si jago gulat ini ketika tiba-tiba si jago gulat melontarkan tubuh jago silat yang tak berapa besar itu sehingga terlempar sampai jauh ke arah para tamu!

Jago silat itu berteriak kaget, maklum bahwa nyawanya terancam bahaya. Tubuhnya sudah tidak dapat dikuasainya lagi dan dia dilontarkan seperti peluru cepatnya, menimpa ke arah dua orang tamu yang duduk semeja di sudut yang agak sunyi.

Akan tetapi, tiba-tiba seorang di antara dua tamu itu, yang berpakaian sederhana, berbangsa Han, bertubuh tinggi kurus dan bermata sipit, pakaiannya yang berwarna kuning itu penuh debu tanda bahwa dia telah melakukan perjalanan jauh, bangkit berdiri dan dengan tenangnya dia mengulur tangan kirinya dan ketika tubuh si jago silat itu menimpa ke arah mejanya, dia menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu tubuh itu mencelat ke atas mematahkan daya luncurnya, dan ketika turun kembali, disambutnya dengan tangan kiri dan si jago silat itu dapat turun dengan lunak dan sama sekali tidak terluka.

Si jago silat memandang pemuda berusia dua puluh tahun lebih yang berpakaian kuning sederhana itu dengan mata terbelalak, kemudian dia menjura sambil berkata perlahan,

“Terima kasih,” dan berjalan terhuyung kembali ke tempatnya, disambut oleh penyesalan dan celaan teman-temannya yang merasa kecewa mengapa ahli silat yang sudah lebih banyak membagi pukulan itu sampai dapat terpegang kalah, dan lain-lain.

Sabutai bermata tajam sekali, dan dia mengenal orang pandai ketika melihat pemuda pakaian kuning tadi menerima tubuh si jago silat secara demikian mudahnya. Biarpun sebagian besar para tamu tidak tahu akan hal itu, namun dia sendiri mengerti bahwa orang yang memiliki sin-kang amat kuat saja yang akan mampu menyambut tubuh yang dilontarkan demikian kuatnya itu secara demikian rupa. Maka Sabutai lalu memberi perintah kepada seorang pengawalnya dan pengawal ini lalu cepat menghampiri dua orang tamu tadi tanpa diketahui orang lain.

Pengawal itu dengan suara perlahan menyampaikan perintah atau pesan Sabutai bahwa dua orang itu dipanggil menghadap Raja Sabutai itu karena hendak ditanya tentang suatu urusan penting sekali.

Dua orang pemuda itu saling pandang dan merasa girang karena memang kedatangan mereka di tempat ini adalah untuk bicara dengan Sabutai. Hanya kebetulan saja ketika mereka datang, tempat itu sedang penuh tamu karena Sabutai mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran puteranya.

Siapakah mereka itu? Tentu saja dari pakaian pemuda yang tadi secara mengagumkan menerima tubuh si jago silat, mudah diduga bahwa dia bukan lain adalah Tio Sun, sedangkan pemuda kedua yang berambut agak kuning keemasan sedangkan matanya agak biru itu bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Richardo de Gama!

Dewi Maut







Tidak ada komentar: