***

***

Ads

Kamis, 26 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 175

“Jangan sungkan-sungkan. Silakan saja, Lama. Kau boleh mengumpulkan biji-biji putih itu kalau bisa.”

Sambil berkata demikian, Bun Hwat Tosu menggunakan tangan kanan memegang papan catur pada pinggirnya dan diam-diam dia menyalurkan sin-kangnya.

“Ehhh?”

Kok Beng Lama yang mengambil biji catur, terkejut karena biji catur itu melekat pada papan, seolah-olah berakar. Dia mengangkat mukanya memandang dan dua pasang mata saling bertemu dan kedua pasang mata itu seperti mata anak-anak yang tiba-tiba memperoleh permainan baru yang penuh kegembiraan.

Kok Beng Lama maklum bahwa tosu tua renta ini ternyata lihai bukan main, dan tahu pula bahwa tosu itu agaknya tidak hanya ingin menguji kepandaiannya bermain catur, akan tetapi juga ingin menguji kekuatannya. Maka diapun lalu menyalurkan tenaga sin-kang melalui lengan dan jari-jari tangannya dan dengan pengerahan sin-kang dia berusaha mengambil biji catur putih yang sudah dipegangnya itu, yaitu biji catur raja.

Akan tetapi, Bun Hwat Tosu yang tiba-tiba merasa betapa papan catur itu tergetar hebat dan suatu tenaga sakti yang amat kuat bergelombang menyerangnya, timbul kegembiraannya karena dia tahu bahwa pendeta Lama ini benar-benar merupakan tandingan yang amat tangguh, maka dia pun menghimpun tenaga saktinya mempertahankan raja putih itu dengan tenaga membetot.

Maka terjadilah pertandingan yang amat aneh dan luar biasa, pertandingan yang tidak kelihatan oleh mata namun yang terjadi amat serunya karena masing-masing telah mengerahkan tenaga sin-kang yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah amat tinggi tingkat kepandaiannya.

Baik Bun Hwat Tosu dan Kok Beng Lama, keduanya bukan main kaget dan herannya karena masing-masing sama sekali tidak mengira bahwa lawan ini sungguh tangguh, seorang yang telah mencapai puncak dari tingkat kepandaiannya! Benar-benar mereka tidak pernah mimpi akan dapat saling bertemu di tempat sunyi ini.

Sementara itu, Mei Lan yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya, Yap Kun Liong si pendekar sakti, dan Lie Seng juga merupakan putera suami isteri pendekar dan dari keluarga pendekar sakti ketua Cin-ling-pai, biarpun keduanya belum banyak mewarisi kepandaian dua orang kakek sakti ini, namun sebagai keturunan orang-orang pandai dua bocah itu telah menduga apa yang terjadi ketika melihat Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu duduk bersila berhadapan, pendeta Lama itu memegang biji catur raja putih sedangkan tosu tua itu memegang atau menyentuh papan catur dan keduanya diam saja tanpa bergerak, akan tetapi dari kepala mereka mengepul uap putih!

Keadaan menjadi sunyi, sunyi sekali dan menegangkan karena dua orang kakek itu kelihatannya tidak mau saling mengalah! Dan biarpun mereka tidak saling menyerang secara langsung, namun mengadu kekuatan sin-kang untuk memperebutkan biji catur itu juga amat berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan mengadu pukulan! Bahkan lebih berbahaya lagi karena kalau pukulan atau tendangan dapat dielakkan, akan tetapi getaran sin-kang ini tak dapat dielakkan, harus dihadapi langsung dengan mengadu kekuatan.

Tiba-tiba kesunyian yang mencekam perasaan itu dipecahkan oleh suara nyaring Mei Lan,

“Ji-wi suhu sedang apakah? Katanya hendak bertanding catur! Apakah acara pertandingan telah dirobah?”






Mendengar suara ini, kedua orang kakek itu sadar dan keduanya tertawa dan otomatis keduanya menghentikan saluran sin-kang mereka.

“Ha-ha-ha, pantas berani menantang dewa! Kiranya engkau lihai sekali, tosu!”

“Dan tak kusangka di tempat ini aku dapat bertemu dengan kepala gundul yang sakti seperti engkau, Lama!” kata Bun Hwat Tosu dengan kegembiraan yang tidak disembunyikan lagi. “Mari kita mulai mengatur biji-biji catur!”

Dengan berbareng tangan kanan mereka memunguti biji-biji catur di atas papan, Kok Beng Lama memunguti yang putih sedangkan Bun Hwat Tosu memunguti yang hitam. Begitu tangan mereka bergerak, keduanya segera berlomba pula, bercepat-cepatan mengatur biji-biji catur di atas papan sehingga biarpun masing-masing hanya menggunakan sebelah tangan saja, namun dilihat oleh mata orang biasa, satu tangan itu seperti berubah menjadi banyak sekali.

Banyak tangan bergerak di atas papan catur itu dan keduanya menyelesaikan pekerjaan mengatur biji-biji catur itu dalam waktu yang sama. Tepat pada saat Bun Hwat Tosu melepaskan biji terakhir, demikian pula Kok Beng Lama melepaskan biji terakhir. Kembali mereka tertawa, saling pandang dan wajah mereka berseri gembira sekali. Gembira karena sekaranglah mereka merasa menemukan tanding yang amat menyenangkan dan berharga!

“Kita bertanding catur dengan taruhan apa?” Tiba-tiba Kok Beng Lama menantang.

Bun Hwat Tosu tersenyum.
“Lama, apa sih yang dapat kita pertaruhkan? Pakaianku kumal, jubahmupun butut. Aku tidak mempunyai uang sepeserpun!”

“Dan akupun tidak mempunyai harta secuwilpun!”

Keduanya tertawa lagi dengan gembira.

“Aku sudah tidak menginginkan apa-apa, Lama.”

“Akupun tidak butuh apa-apa. Akan tetapi engkau mempunyai murid.”

“Dan kau juga.”

“Nah, kita berdua tidak butuh apa-apa, akan tetapi murid-murid kita yang masih muda itu tentu membutuhkan sesuatu. Hai, muridmu, gurumu akan bermain catur menandingi tosu tua bangka ini. Kau ingin bertaruh apa?” tanya Kok Beng Lama kepada Lie Seng.

Lie Seng mengerutkan alisnya. Apa yang dapat diharapkan dari tosu tua berpakaian sederhana dan muridnya itu, anak perempuan yang pakaiannya juga tambal-tambalan? Akan tetapi Lie Seng adalah seorang anak yang cerdas dan juga berpandangan tajam. Dari sikap gurunya yang biasanya memandang rendah dan tidak perduli terhadap semua orang, yang kini kelihatan amat bergembira bertemu dengan tosu tua itu, dia dapat menduga bahwa tosu itu adalah seorang tua yang memiliki kesaktian hebat. Maka dengan cepat dia menjawab,

“Teecu ingin agar kalau locianpwe itu kalah dari suhu, dia mengajarkan satu macam ilmu silat kepada teecu!”

“Dan teeeu juga bertaruh demikian, suhu. Kalau locianpwe itu kalah, dia harus mengajarkan semacam ilmu kepada teecu!” kata Yap Mei Lan sambil memandang kepada Kok Beng Lama.

Dua orang kakek itu saling pandang, lalu sama-sama tertawa bergelak.
”Murid-murid kita memang cerdik, bisa mempergunakan kesempatan. Bagaimana pendapatmu, Lama?” tanya Bun Hwat Tosu.

Kok Beng Lama mengangguk-angguk dan tiba-tiba pandang matanya bersinar aneh.
“Mewarisi ilmu dari orang seperti engkau, sungguh amat berguna bagi orang muda, tosu. Eh, tosu tua! Apa yang kau lakukan terhadap aku tadi? Setelah mengadu sin-kang denganmu, aku merasa aneh! Eh, siapakah engkau, orang tua? Dan bagaimana dengan kematian puteriku? Apakah sudah dapat ditemukan pembunuhnya?”

Bun Hwat Tosu memandang tajam, lalu menarik napas panjang.
“Siancai... kiranya baru sekarang engkau dapat pulih kembali ingatanmu, Lama. Terus terang saja, tadi aku melihat sinar aneh di pandang matamu. Aku menduga bahwa tentu engkau menderita semacam penyakit atau keracunan, maka aku tadi sengaja mengerahkan sin-kang untuk membantumu mengusir hawa beracun. Akan tetapi, ternyata sin-kangmu amat kuat, tanda bahwa engkau tidak keracunan. Dan ternyata, tidak gagal sama sekali usahaku, karena ternyata engkau mengalami himpitan batin, pukulan batin yang amat kuat sehingga engkau seperti kehilangan sebagian ingatanmu.”

“Omitohud!” Kok Beng Lama baru sekarang teringat untuk memuji nama Buddha dan dia memandang kakek tua itu dengan mata lebar. “Dan itu berarti bahwa betapapun juga, sin-kangmu masih lebih tinggi setingkat daripada aku, totiang, sehingga tenagamu dapat menyelinap ke dalam tubuhku, akan tetapi bukannya merusak malah menyembuhkan! Ahhh, aku teringat semua sekarang! Puteriku terbunuh orang... hemm, dan kau... bocah, kau menjadi muridku selama ini?” tanyanya kepada Lie Seng.

“Benar, suhu. Setelah suhu menolong saya dari iblis betina itu dan menyembuhkan saya dari luka akibat pasir beracun.”

Kok Beng Lama kini bangkit berdiri dan menjura ke arah Bun Hwat Tosu.
“Aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, sobat. Aku tidak akan melupakan budimu.”

Bun Hwat Tosu cepat balas menjura, lalu duduk bersila kembali dan mengomel,
“Lama yang baik, aku tidak melepas budi apa-apa dan tidak minta balasan apa-apa. Asalkan engkau suka menemani aku main catur dengan taruhan seperti yang sudah dikatakan oleh murid-murid kita tadi, cukup senanglah hatiku. Hayo, kau mulai dan jangan banyak main sungkan-sungkan dan hutang-pihutang budi lagi!”

Kok Beng Lama memandang tosu itu dan tertawa girang.
“Aha, tidak mudah di dunia bertemu dengan seorang luar biasa seperti engkau, sahabat. Baiklah, mari kita buktikan, siapa yang lebih unggul mempermainkan biji-biji catur.”

Mulailah dua orang kakek itu bermain catur dan mulai pulalah dua orang anak itu menjadi tidak tenang dan bosan. Mereka memang ingin sekali melihat guru masing-masing menang agar bisa mendapatkan pelajaran ilmu silat tinggi, akan tetapi menonton mereka bermain catur begitu lambat, dua orang anak ini merasa bosan.

Kadang-kadang sampai hampir satu jam lamanya seorang di antara dua kakek yang bergiliran jalan, hanya termenung memandang papan caturnya, tidak juga menggerakkan biji catur.

Akan tetapi di samping kebosanan mereka, dua orang anak itu tidak berani mengganggu guru masing-masing, maka mereka hanya duduk gelisah, hanya kadang-kadang saja memandang ke arah papan catur, akan tetapi lebih sering mereka memandang ke kanan kiri, dan beberapa kali mereka saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata.

Ketika matahari telah condong ke barat, dua orang bocah itu sudah tidak lagi nonton guru-guru mereka yang bermain catur. Sampai matahari condong ke barat, sudah setengah hari mereka bermain catur, namun belum juga ada yang kalah atau menang, satu permainan juga belum habis!

Kini dua orang anak itu sudah duduk berhadapan, tak jauh dari tempat guru-guru mereka bermain catur. Karena merasa dikesampingkan dan tidak diperhatikan lagi oleh guru-guru mereka, otomatis dua orang anak itu saling memperhatikan. Ketika Mei Lan memetik setangkai bunga merah, Lie Seng berkata, nada suaranya mencela,

“Sayang sekali bunga itu dipetik.”

Mei Lan memandang kepadanya, memegang setangkai bunga itu dan mencium baunya yang harum. Bunga itu adalah bunga mawar hutan.

“Kenapa sayang?” tanyanya.

“Bunga itu sudah baik-baik tumbuh di tangkainya, mengapa dipetik? Kalau dipetik bukankah akan cepat layu dan mati?”

“Hemm, memang bunga sepatutnya dipetik dan dinikmati, dan aku suka sekali kepada bunga. Anak-anak perempuan sudah biasa suka memetik bunga.”

Lie Sang tidak membantah lagi. Dia menoleh kepada suhunya yang masih tenggelam bersama lawannya dalam dunia tersendiri, dunia perang catur yang amat mengasyikkan bagi mereka berdua.

“Gurumu suka sekali bermain catur,” kata Lie Seng pula.

“Gurumu juga,” jawab Mei Lan.

“Biasanya, guruku tidak pernah main catur, juga membicarakan soal caturpun tidak pernah. Heran sekali mengapa dia ternyata suka sekali bermain catur. Apakah kau bisa main catur?”

Mei Lan mengangguk,
“Aku bisa akan tetapi aku tidak begitu suka, tidak enak menanti lawan berlama-lama memikirkan jalan berikutnya, sampai kesal hati menunggu. Lebih senang bermain silat. Apa kau bisa main catur?”

Lie Seng menggeleng. “Tidak. Akan tetapi aku juga senang bermain silat.”

Mereka berdua sampai lama tidak berkata-kata lagi dan ternyata mereka menjadi makin kesal. Mereka sudah lelah dan lapar, akan tetapi dua orang kakek itu terus saja bermain catur tanpa memperdulikan dua orang anak itu, bahkan mereka itupun sama sekali tidak kelihatan lelah atau lapar atau mengantuk.

Ketika hari berganti malam dan cuaca sudah terlalu gelap untuk dapat bermain catur, dua orang kakek itu menyuruh murid-murid mereka untuk mencari kayu dan daun-daun kering dan agar mereka membuatkan dua api unggun di kanan kiri dua orang kakek yang terus melanjutkan permainan mereka itu.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: