***

***

Ads

Sabtu, 28 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 183

Biarpun pengalaman mereka bertemu dengan dua orang kakek tadi amat mengejutkan hati akan tetapi tidak membuat dua orang pemuda itu menjadi takut. Setelah berhasil melewati Padang Bangkai dengan selamat, Tio Sun dan Kwi Beng melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga menurut petunjuk yang mereka dapat dari Si Kwi.

Mereka tentu saja maklum bahwa memasuki Lembah Naga sama artinya dengan memasuki guha naga siluman yang berbahaya dan dengan mengandalkan kepandaian mereka saja mereka tentu tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh tempat itu. Akan tetapi mereka bertekad untuk mencari In Hong sampai dapat, dan mereka mengharapkan dapat bertemu dengan In Hong dan Bun Houw agar mereka dapat menyampaikan rahasia kelemahan dua orang kakek dan nenek iblis seperti yang mereka ketahui dari Ratu Khamila.

Akan tetapi, dua orang pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak memasuki Lembah Naga, mereka telah diawasi dan semua gerak-gerik mereka telah ketahuan oleh fihak musuh!

Oleh karena itu terkejutlah mereka ketika mereka melewati dua buah batu besar yang seolah-olah merupakan pintu gerbang, tiba-tiba saja dari balik batu-batu besar itu muncul Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, Ang-bin Ciu-kwi, Coa-tok Sian-li dan belasan orang tinggi besar anak buah Lembah Naga!

Melihat munculnya banyak tokoh ini, Kwi Beng yang berdarah panas dan tidak mengenal takut sudah meraba sisa pisau terbangnya, akan tetapi Tio Sun yang melihat gerakan itu cepat memegang lengannya. Tio Sun memang lebih berhati-hati dan waspada dalam setiap perbuatannya. Melihat bahwa orang-orang yang mengurung mereka, terutama empat orang tua yang berdiri menghadang itu jelas memperlihatkan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang tentu memiliki kepandaian tinggi, Tio Sun lalu menjura dan pura-pura bertanya,

“Kami mohon maaf kalau mengganggu cu-wi sekalian. Kami hendak bertanya di manakah letaknya Lembah Naga?”

“Huah-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya, matanya yang merah itu mengincar dua orang pemuda itu dari balik guci araknya. “Sudah berada di depan mulut naga masih bertanya-tanya. Ha-ha-ha! Thaisu, apakah aku boleh menangkap dua ekor kelinci ini untukmu?” setelah berkata demikian, tiba-tiba Ang-bin Ciu-kwi menyemburkan arak dari mulutnya ke arah Tio Sun dan Kwi Beng.

Tio Sun cepat menyampok dengan lengan bajunya sehingga arak yang menyambarnya tertangkis dan membuyar, akan tetapi Kwi Beng yang menganggap ringan semburan arak itu menghindar dan masih kecipratan arak lehernya, terasa panas dan sakit seperti jarum. Hal ini membuat dia marah dan sekali tangan kirinya bergerak, nampak sinar kilat berkelebat dan sebatang pisau terbang menyambar ke arah leher Ang-bin Ciu-kwi.

“Tranggg!”

Pisau itu tertangkis guci dan menancap di atas tanah. Ang-bin Ciu-kwi menggereng, akan tetapi Bouw Thaisu cepat berkata,

“Ciu-kwi, tahan dulu, jangan engkau menurutkan nafsumu, kita belum tahu siapa yang datang!”

Ang-bin Ciu-kwi mendengar dan kembali minum arak dari gucinya, sedangkan Coa-tok Sian-li sudah berdiri bengong memandang kepada Kwi Beng karena wanita cabul ini sudah terbangkit nafsu berahinya ketika dia melihat seorang pemuda yang bermata kebiruan dan berambut kuning keemasan itu!






“Orang muda, kalian siapakah dan apa maksud kalian datang ke Lembah Naga?” Bouw Thaisu bertanya dengan sikapnya yang memang halus.

Tio Sun melangkah maju dan menjawab. Dia maklum bahwa menghadapi orang-orang pandai ini, biarpun mereka itu agaknya merupakan sekutu fihak lawan, tidak ada gunanya lagi untuk membohong dan sebaiknya bersikap gagah dan terang-terangan.

“Saya bernama Tio Sun, dan sahabatku ini adalah Souw Kwi Beng. Kami berdua sengaja datang ke Lembah Naga, untuk mencari keterangan tentang nona Yap In Hong yang kabarnya dibawa oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li ke Lembah Naga.”

“Hemm, sungguh kalian ini orang-orang muda yang bernyali besar!” Bouw Thaisu berseru kagum juga. “Apakah kalian ini utusan kaisar?”

“Bukan, akan tetapi kami adalah sahabat nona Yap In Hong. Dan biarpun kami bukan langsung menjadi utusan kaisar, namun saya adalah putera dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas pengawal kepercayaan mendiang Panglima Besar The Hoo, dan sahabat saya ini bahkan masih terhitung cucu murid dari mendiang Panglima The Hoo. Oleh karena itu...”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring disusul suara seorang kakek,
“Bagus sekali! Thaisu, Siankouw, tangkaplah mereka hidup-hidup! Mereka adalah keturunan musuh-musuh kami!”

Tio Sun dan Kwi Beng terkejut karena biarpun mereka mendengar jelas suara kakek itu, namun mereka tidak melihat orangnya. Tio Sun maklum bahwa tentu kakek itu seorang sakti yang mengirim suara dari jauh dan agaknya juga memiliki pendengaran sakti sehingga mampu mendengarkan percakapan itu dari jauh pula.

Akan tetapi dia dan Kwi Beng tidak mempunyai kesempatan untuk banyak menduga lagi karena begitu mendengar suara itu, Bouw Thaisu telah menerjang Tio Sun sedangkan Hek I Siankouw telah menyerang Kwi Beng. Dua orang muda ini memang sudah siap menghadapi segala bahaya, maka begitu melihat kakek dan nenek itu bergerak menyerang, mereka cepat mengelak dan menandingi mereka.

“Dukkk!”

Tio Sun terhuyung mundur sampai tiga langkah ketika lengannya beradu dengan lengan kakek tua itu yang terlindung lengan baju. Dia terkejut sekali. Tadi, karena sudah menduga bahwa penyerangnya itu tentu seorang kakek yang berilmu tinggi, pemuda ini telah mengerahkan tenaga Ban-kin-kang sekuatnya untuk menangkis.

Akan tetapi ternyata ujung lengan baju kakek itu mengandung tenaga yang bukan main kuatnya sehingga dia tergetar dan terhuyung. Karena maklum bahwa lawannya ini seorang yang berilmu tinggi, Tio Sun tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang pecut yang sebenarnya adalah sabuknya sendiri di tangan kiri. Dengan sepasang senjata ini di tangan, dia menerjang maju, disambut oleh Bouw Thaisu dengan tenang dan kakek ini seperti biasa hanya mengandalkan kedua lengan bajunya sebagai senjata yang amat berbahaya.

Sementara itu, Kwi Beng yang dihadapi oleh Hek I Siankouw, dalam belasan jurus saja sudah terdesak hebat. Selisih tingkat kepandaian mereka jauh sekali sehingga biarpun Kwi Beng mengamuk, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, namun belum sampai dua puluh jurus saja, pedangnya terampas dan dia roboh tertotok. Setelah merobohkan Kwi Beng yang segera diringkus oleh Ang-bin Ciu-kwi, Hek I Siankouw lalu membantu Bouw Thaisu mengeroyok Tio Sun.

Tentu saja pemuda ini menjadi makin repot. Melawan Bouw Thaisu seorang saja dia sudah kalah lihai dan kalau dilanjutkan akhirnya dia tentu akan roboh, dan kini maju lagi Hek I Siankouw yang juga lebih lihai daripada dia.

Pemuda perkasa ini melawan mati-matian, namun akhirnya, pedang hitam di tangan Hek I Siankouw membuat pedang di tangan Tio Sun terlepas, cambuknya dapat ditangkap oleh Bouw Thaisu dan sebuah tendangan yang secepat kilat dari Hek I Siankouw mengenai lututnya dan membuat dia roboh. Seperti juga Kwi Beng, Tio Sun ditubruk oleh banyak anak buah Lembah Naga dan diringkus.

Tubuh dua orang pemuda yang sudah diringkus kaki tangannya itu diseret ke dalam sebuah rumah besar dan dihadapkan kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang memandang dengan mulut menyeringai girang. Dengan kasar, para anak buah Lembah Naga memaksa Tio Sun dan Kwi Beng duduk di atas lantai menghadapi kakek dan nenek yang duduk di atas kursi itu.

“Benarkah engkau putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan pengawal kepercayaan The Hoo?” Pek-hiat Mo-ko bertanya kepada Tio Sun.

Pemuda ini mengangguk.

“Hemm, kenapa tidak ayahmu sendiri yang datang untuk menghadapi kami? Kenapa mengutus seorang pemuda yang masih hijau seperti engkau?” tanya pula Pek-hiat Mo-ko.

Tio Sun memandang dengan sikap tenang.
“Pek-hiat Mo-ko, ayahku tidak tahu-menahu akan kedatanganku ke sini. Aku datang bersama sahabatku atas kehendak sendiri untuk menentangmu dan menuntut agar engkau membebaskan nona Yap In Hong.”

“Ha-ha-ha, nyalimu besar sekali. Engkau sudah tahu siapa aku?”

“Tentu saja aku tahu. Ketika engkau bersama Hek-hiat Mo-li bertempur dengan ketua Cin-ling-pai, aku melihat kalian.”

Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li yang sejak tadi memandang kepada Kwi Beng, menghardik kepada pemuda itu.

“Kau bukan orang Han! Engkau orang asing dari barat! Bagaimana engkau berani mengaku tadi bahwa engkau cucu murid The Hoo?”

Kwi Beng balas memandang dengan mata melotot,
“Nenek gila! Dengarlah baik-baik. Ibuku adalah pendekar wanita Souw Li Hwa, murid dari mendiang Panglima The Hoo, sedangkan ayah adalah seorang Portugis. Aku datang untuk menuntut kepada kalian agar membebaskan nona Yap In Hong!”

“Heh-heh-heh-hi-hik!” Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh dan mata kananya bersinar-sinar aneh. “Bawa mereka ke lapangan dan ikat di kayu tonggak agar menjadi makanan burung nazar, heh-heh-heh!”

“Benar! Bawa mereka keluar. Terserah nasib mereka. Kalau nasib baik, tentu orang-orang yang lebih penting datang untuk menolong mereka dan menghadapi kita, kalau nasib buruk, biar mereka dicabik-cabik burung-burung nazar!” kata Pek-hiat Mo-ko dan para anak buah Lembah Naga lalu menyeret Tio Sun dan Kwi Beng keluar dari tempat itu, dibawa ke lapangan dan mereka segera sibuk membuat tonggak kayu salib dan mengikat mereka berdua di tonggak kayu itu. Kemudian mereka meninggalkan Tio Sun dan Kwi Beng berdua di tempat itu, tertimpa panas sinar matahari tanpa terlindung apapun.

Kedua orang pemuda itu berusaha untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi Tio Sun segera mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin mereka dapat lolos. Melihat betapa Kwi Beng meronta-ronta dengan beringas dan nampak darah di pergelangan tangan dan kaki pemuda itu karena kulitnya pecah-pecah ketika dia meronta-ronta dengan kuat, Tio Sun berkata,

“Tenanglah, Beng-te. Tali untuk mengikat kaki tangan kita ini adalah tali kulit kerbau yang kuat sekali dan tidak mungkin dapat kita patahkan begitu saja. Tidak baik membuang-buang tenaga dan tidak baik kalau sampai darah kita keluar karena hal itu akan menarik perhatian burung-buruhg di sana-sini.”

Kwi Beng mengikuti pandang mata Tio Sun dan dia melihat beberapa ekor burung yang besar bertengger di atas sebatang pohon dan ada beberapa ekor lagi yang beterbangan di sekitar tempat itu. Itulah burung-burung nazar, burung-burung pemakan bangkai yang liar dan buas!

Wajah Kwi Beng menjadi pucat karena dia merasa ngeri. Melihat ini, Tio Sun bertanya, hatinya penuh iba.

“Engkau takut, Beng-te?”

Kwi Beng memandang kepadanya, lalu mengangguk.

“Tidak aneh, akupun merasa ngeri melihat burung-burung itu. Akan tetapi jangan khawatir, burung-burung yang kelihatan menyeramkan itu sebetulnya adalah binatang-binatang yang penakut dan mereka tidak akan menyerang sesuatu yang hidup. Hanya kalau kita sudah mati saja mereka berani menyerang. Dan kurasa kita tidak akan mudah mati begitu saja. Pula, orang-orang seperti kita, mana takut mati? Hanya sayangnya, kita belum menyampaikan rahasia mereka itu kepada Cia-taihiap atau nona Yap.”

Kwi Beng kelihatan termenung, tidak lagi memperdulikan burung-burung itu.
“Ah, bagaimana dengan dia? Jangan-jangan dia telah mereka bunuh...”

“Nona Yap? Kiranya tidak mungkin. Kalau mereka itu hendak membunuh nona Yap In Hong, perlu apa mereka susah payah menculik dan membawanya ke tempat sejauh ini. Tentu ada maksudnya, dan kurasa kakek dan nenek gila itu tentu menangkap dan menculiknya untuk dipakai sebagai umpan untuk memancing datangnya orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh, seperti Cia-locianpwe ketua Cin-ling-pai dan lain-lain.”

Mereka kini tidak bercakap-cakap lagi dan terik matahari mulai menyengati kulit tubuh mereka. Peluh mulai mengalir keluar. Akan tetapi kini Kwi Beng bersikap tenang saja. Dia merasa malu untuk memperlihatkan kelemahannya. Tidak, dia tidak akan mengeluh dan akan menghadapi kematian dengan gagah kalau perlu. Memang sudah disengaja untuk datang ke tempat berbahaya ini, untuk berusaha menolong In Hong dengan taruhan nyawa. In Hong! Dara yang telah membetot semangatnya, merampas hatinya, dara yang dicintanya, akan tetapi... bagaimana kalau gadis itu tidak membalas cinta kasihnya? Membayangkan hal ini rasanya jauh lebih menyiksa daripada keadaan jasmaninya yang terbelenggu di atas tonggak kayu dan disengati panas matahari ini. Dia melirik ke arah Tio Sun. Pemuda tinggi kurus itu memejamkan mata, seperti orang dalam samadhi.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: