***

***

Ads

Sabtu, 28 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 190

“Lepaskan tanganku!” bentaknya dan dia menendang ke arah bawah pusar Bun Houw!

Inilah yang dikehendaki oleh pemuda itu! Dia hendak memaksa lawannya untuk melakukan tendangan karena hanya di waktu menendang sajalah telapak kaki dari lawannya itu “terbuka” dan tidak terlindung atau tersembunyi. Akan tetapi Bun Houw memang cerdik. Dia tidak terlalu membiarkan kegirangan menguasainya dan dia maklum bahwa sekali dia tidak berhasil merobohkan kakek itu melalui serangan pada telapak kakinya, berarti dia gagal dan kakek itu tentu akan menjadi lebih berhati-hati menyembunyikan rahasianya.

Maka dia masih berpura-pura tidak tahu bahwa rahasia kelemahan itu terletak di telapak kaki, maka ketika tendangan menyambar ke arah bawah pusar, dia cepat miringkan tubuhnya untuk mengelak, dan sengaja dia membiarkan pahanya tertendang dengan mengurangi gerakan elakannya.

“Desss...!”

Bun Houw menyeringai tanda kesakitan dan kakek itu tertawa bergelak, merasa bahwa dia berada dalam keadaan unggul maka selagi pemuda itu menyeringai kesakitan, dia sudah menggerakkan kaki kirinya menendang lagi mengarah paha yang baru saja tertendang, yang dianggapnya merupakan tempat yang baik untuk dihantam terus selagi bagian itu terasa nyeri.

Namun, pemuda perkasa itu telah memperhitungkan saat ini dengan tepat dan dia sudah mengumpulkan seluruh tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam lengan kanannya sampai ke ujung jari kanan.

Melihat kaki kiri mulai menyambar, secara tiba-tiba dia melepaskan cekalan tangan kanannya dari pergelangan tangan lawan dan tangan itu menyambar ke bawah, mencengkeram ke arah telapak kaki kiri lawan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat bukan main. Batu karang yang bagaimana kerasnyapun akan hancur lebur oleh cengkeraman yang mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu.

Dan ternyata, tidak seperti anggauta badan di bagian lain yang telah membuktikan kekebalannya terhadap kedahsyatan Thian-te Sin-ciang, ketika telapak kaki kiri dari Pek-hiat Mo-ko itu kena dicengkeram, kaki itu menjadi remuk-remuk tulangnya dan hancur kulit dagingnya!

Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan pekik mengerikan, matanya terbelalak ketika mulutnya memekik dan pada saat itu, tangan kiri Bun Houw yang sudah melepaskan pegangan pada pergelangan tangan lawan sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah dadanya.

“Krekkk...!”

Tubuh Pek-hiat Mo-ko terpelanting, tulang iganya patah-patah dan seluruh isi dadanya terguncang hebat. Kekebalannya telah lenyap setelah telapak kakinya hancur. Namun, dalam keadaan yang sudah seperti itu, yang tentu merupakan sebab kematian bagi orang lain yang bagaimana kuatpun, kakek bermuka putih itu masih dapat meloncat bangun dan seperti sebuah mayat hidup dia menubruk ke arah Bun Houw! Namun, pemuda ini dengan gerakan lincah telah menggeser kaki miringkan tubuh dan kakinya menyambar.

“Desss...!”

Tubuh yang seperti mayat hidup itu terjengkang, roboh terbanting dan tidak bergerak lagi karena memang Pek-hiat Mo-ko telah menghembuskan napas terakhir di waktu dia mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk menubruk tadi.






“Hong-moi, mundurlah, biarkan aku menghadapinya,” kata Bun Houw sambil mendekati In Hong yang masih bertempur dengan mati-matian melawan Hek-hiat Mo-li.

“Tidak, aku harus dapat merobohkan dia sendiri, Houw-ko. Mundurlah dan jangan khawatir!”

In Hong menjawab. Gadis ini merasa penasaran sekali. Bun Houw telah berhasil merobohkan lawan, namun dia masih juga belum berhasil. Dia tahu bahwa memang Bun Houw memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, akan tetapi dengan ilmu kepandainya, apalagi setelah dia berhasil menyempurnakan tenaga Thian-te Sin-ciang, dia merasa sanggup untuk mengalahkan nenek ini, lebih-lebih lagi karena dia sudah mendapat bisikan dari Kok Beng Lama.

Akan tetapi, biarpun dia terus mengarahkan semua serangan pukulan mautnya ke arah kaki dan sudah beberapa kali mengenai kaki lawan, tetap saja nenek itu belum dapat dia robohkan. Dia tidak dapat melihat bagaimana Bun Houw tadi merobohkan Pek-hiat Mo-ko, maka diapun belum tahu dimana sesungguhnya letak kelemahan lawannya.

Akan tetapi, biarpun demikian, dia merasa enggan dan malu kalau harus menyerahkan lawan ini kepada Bun Houw, apalagi karena pertempuran itu ditonton oleh banyak orang, di antaranya terdapat kakak kandungnya sendiri yaitu Yap Kun Liong, ada lagi Cia Giok Keng, Cia Keng Hong, Kok Beng Lama, Souw Kwi Beng, Tio Sun dan masih banyak lagi yang lain, bahkan semua perajurit pasukan kota raja juga menonton!

Dengan alis berkerut Bun Houw mundur lagi kemudian dia lari meninggalkan tempat itu menuju ke sebelah dalam dan tak lama kemudian muncullah pemuda ini membawa sebatang pedang yang bukan lain adalah pedangnya sendiri yang tadinya dirampas oleh musuh, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Dia menanti kesempatan baik lalu melontarkan pedang itu ke arah In Hong sambil berseru,

“Hong-moi, pakailah pedangmu ini!”

Sekali ini In Hong tidak menolak. Dia menyambut pedang itu dan diputarnya sehingga merupakan gulungan sinar emas yang menyilaukan mata. Dia mau menggunakan pedang karena bukankah lawannya juga menggunakan tongkat? Dan begitu Hong-cu-kiam berada di tangannya, semangat In Hong berkobar lagi. Dia harus dapat merobohkan lawannya. Harus!

“Cring-cring-tranggg...!”

Bunga api berpijar ketika pedang bertemu bertubi-tubi dengan tongkat dan tangan Hek-hiat Mo-li dan nenek itu terhuyung ke belakang ketika tangan kiri In Hong menyusul dengan dorongan-dorongan yang mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang.

Aku harus menyerang kakinya bawah lutut. Akan tetapi bagian yang mana? Demikian In Hong berpikir.

“Telapak kakinya... telepak kakinya...!”

Tiba-tiba dia mendengar bisikan suara Bun Houw. In Hong mengerling dengan bibir tersenyum dan mata berkilat penuh kegirangan. Tahulah dia sekarang. Kiranya di telapak kaki! Pantas saja semua pukulannya yang mengenai kaki tadi tidak berhasil. Habis, siapa yang dapat memukul telapak kaki? Kiranya begitu baik rahasia kelemahan itu tersembunyi.

Akan tetapi, In Hong adalah scorang dara yang selain cantik jelita dan gagah perkasa, juga cerdik sekali. Begitu dia mendengar bisikan ini, tiba-tiba dia merobah caranya menyerang lawan dan kini dia melempar diri ke atas tanah, lalu bergulingan dan sinar emas menyambar-nyambar ke bawah kaki lawan!

“Ihhh...!” Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan memutar tongkat melindungi kakinya.

“Tranggg...!”

Bunga api berpijar dan seperti seekor burung terbang cepatnya, In Hong bergulingan ke arah kiri nenek itu dan tiba-tiba sinar emas pedangnya mencuat ke atas menusuk ke arah mata kanan lawan.

“Ihhhh...!”

Nenek itu menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik. Hampir saja matanya yang tinggal sebelah menjadi korban. Karena mata kirinya sudah buta, maka ketika lawannya tadi bergulingan ke sebelah kirinya, dia tidak dapat memandang dengan cukup jelas gerakan lawan dan tahu-tahu sinar emas menyambar ke arah mata kanannya, padahal sejak tadi dia mencurahkan perhatian untuk melindungi kakinya!

Dan ketika dia berhasil menyelamatkan mata kanannya dan baru saja kakinya menginjak tanah, sinar emas itu menyambar ke bawah, membabat tanah di bawah kaki Hek-hiat Mo-li.

Pada saat itu, Hek-hiat Mo-li sendiri yang menjadi marah sedang menghantamkan tongkatnya ke arah kepala In Hong! Melihat dara itu hanya miringkan kepalanya sehingga hantaman tongkat itu masih menyambar ke pundak, nenek itu menjadi girang sehingga dia kurang waspada. Baru setelah sinar emas membabat tanah dan terus mengenai telapak kaki kirinya, dia menjerit mengerikan.

“Dessss! Crottt...!”

Tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan nenek itu mengangkat kaki kirinya yang berdarah sambil berteriak-teriak kesakitan. Bagian belakang telapak kaki kirinya telah terbabat dan terluka oleh Hong-cu-kiam, sedangkan pundak In Hong juga terkena pukulan tongkat.

“Hong-moi...!”

Bun Houw berseru kaget, akan tetapi hatinya lega ketika dia melihat In Hong dapat bangkit kembali dan dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan dia siap untuk mengejar dan membunuh Hek-hiat Mo-li yang masih mengangkat kaki kiri yang berdarah sambil menjerit-jerit kesakitan.

Akan tetapi pada saat itu terdengar bunyi terompet dan tambur. Semua orang menengok dan terkejutlah mereka karena tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang sedikitnya tentu ada seribu orang jumlahnya.

“Keparat!” Kok Beng Lama berseru dengan suaranya yang besar. “Mari kita amuk mereka!”

“Nanti dulu, locianpwe. Jumlah mereka terlalu banyak dan dalam keadaan seperti ini lebih baik bagi kita untuk menunggu dan membela diri, daripada menyerang,” kata Cia Giok Keng dan Kok Bang Lama tidak jadi bergerak.

Kepala pasukan itu, Panglima Lee Cin, juga menyerukan aba-aba agar semua pasukan tidak bergerak, melainkan membentuk barisan pertahanan.

“Tahan semua senjata!”

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dari dalam pasukan besar itu muncul seorang tinggi besar yang kemudian ternyata adalah Raja Sabutai sendiri!

Semua orang terkejut dan memandang raja liar itu, akan tetapi agaknya In Hong tidak mau perduli dan dia sudah melangkah maju menghampiri Hek-hiat Mo-li dengan pedang di tangan.

“In Hong jangan bergerak...!”

Yap Kun Liong berseru kepada adiknya. Mendengar kesungguhan dalam suara kakaknya itu, In Hong meragu dan menoleh kepada kakaknya. Seperti juga Cia Keng Hong, Kun Liong melihat ancaman bahaya. Kalau Raja Sabutai memerintahkan pasukannya menyerbu, biarpun mereka memiliki kepandaian tinggi, tentu mereka semua akhirnya akan tewas dalam keroyokan ribuan orang perajurit musuh.

Bun Houw dengan cepat meloncat ke dekat In Hong dan memegang lengan dara itu dengan mesra.

“Suheng berkata benar, Hong-moi. Bagaimana dengan pundakmu? Mari kuobati...”

Dengan sikap mesra Bun Houw lalu memeriksa pundak yang terpukul tongkat tadi, kemudian melihat betapa pundak itu tidak terluka, hanya berwarna merah kebiruan, dia merasa lega, karena tulang pundak dara itupun tidak patah. Dengan penyaluran sin-kang yang hangat, dia mengusir rasa nyeri di pundak itu. Tentu saja semua orang melihat kemesraan itu, juga Souw Kwi Beng melihat dengan muka berubah pucat sekali.

Sementara itu, melihat bahwa Raja Sabutai melangkah maju ke dalam kurungan ribuan perajurit itu, menghampiri mereka dan raja itu membawa sebatang pedang yang dikenalnya baik, ketua Cin-ling-pai, Pendekar Sakti Cia Keng Hong lalu melangkah maju menyambut dan menjura kepada raja itu.

“Apa maksud sri baginda datang bersama pasukan dan menghentikan pertandingan?” tanya Cia Keng Hong dengan sikap tenang.

Raja Sabutai tertawa dan memandang kepada mayat-mayat yang bergelimpangan di situ, mayat dari semua pengikut dua orang gurunya, bahkan suhunya, Pek-hiat Mo-ko, juga telah tewas. Dia berhenti tertawa dan menarik napas panjang.

“Cia-taihiap, kami melihat betapa semua pengikut suhu dan subo telah tewas, bahkan suhu telah tewas dan subo terluka hebat. Suhu dan subo tidak mau mendengar bujukan kami bahwa memusuhi jagoan-jagoan dari kota raja merupakan hal yang bodoh sekali. Sekarang mereka telah merasakan sendiri akibatnya dan tentu suhu sudah kapok. Urusan ini dimulai dengan pedang Siang-bhok-kiam. Nah, sekarang kami datang untuk mengembalikan Siang-bhok-kiam yang oleh suhu dititipkan kepada kami kepada pemiliknya, akan tetapi sebagai gantinya, kami harap taihiap dan semua teman taihiap suka membebaskan subo.”

Dewi Maut







Tidak ada komentar: