***

***

Ads

Minggu, 29 Januari 2017

Dewi Maut Jilid 191

Cia Keng Hong maklum bahwa di balik ucapan itu terkandung ancaman hebat. Kalau dia dan teman-temannya tidak mau menerima penukaran itu, tentu raja ini akan mengerahkan ribuan pasukan mengeroyoknya dan tak mungkin melawan ribuan orang lawan! Maka dia menjura dan menjawab,

“Kami semua datang bukan hanya karena ingin minta kembali Siang-bhok-kiam, melainkan juga untuk menyelamatkan nona Yap In Hong yang diculik oleh kedua guru sri baginda. Setelah sekarang nona Yap In Hong selamat, tentu saja kamipun tidak akan terlalu mendesak. Terima kasih atas kebaikan sri baginda yang suka mengembalikan pedang pusaka kepada yang berhak memiliki.”

“Ha-ha-ha, Cia-taihiap sebagai ketua Cin-ling-pai memang berpandangan bijaksana. Nah, terimalah Siang-bhok-kiam ini,” katanya sambil menyerahkan Pedang Kayu Harum itu kepada Cia Keng Hong yang menerimanya dengan sikap penuh hormat.

“Subo, marilah pergi bersama kami!”

Sabutai berkata sambil menghampiri nenek itu, kemudian dia memondong nenek yang mata kirinya buta dan kaki kirinya terluka pula itu. Semua orang memandang dengan penuh kagum kepada Raja Sabutai. Kiranya orang yang gagah perkasa ini bukan hanya merupakan orang yang mampu menundukkan orang-orang liar di antara para Suku Nomad di utara, akan tetapi juga memiliki watak gagah dan berbakti terhadap gurunya.

Semua orang diam saja ketika Raja Sabutai memerintahkan pasukannya untuk mengangkat semua mayat dari gurunya dan para pengikutnya, lalu pergilah pasukan itu setelah Raja Sabutai menjura kepada para orang gagah dan berkata sambil tersenyum kepada Tio Sun,

“Jangan lupa untuk menyampaikan apa yang kau lihat di tempat kami kepada kaisar, Tio-sicu!”

Tio Sun maklum apa yang dimaksudkan oleh raja itu, maka dia mengangguk. Maka berangkatlah Raja Sabutai pergi dari Lembah Naga, diiringkan oleh ribuan orang pasukannya.

Setelah pasukan itu pergi, barulah semua orang dapat kembali kepada urusan pribadi masing-masing. Cia Giok Keng dan Lie Seng saling lari menghampiri dan ibu dan anaknya ini saling berpelukan dengan linangan air mata, demikian pula Mei Lan berlutut di depan kaki Yap Kun Liong dan ayah itu dengan air mata berlinang juga merangkul puterinya.

Pertemuan yang mengharukan antara ibu dan anak, dan ayah dan anak ini terjadi tanpa banyak kata terucap, hanya pandang mata yang berlinang air mata dari mereka sudah bicara banyak sekali. Semua orang memandang dengan hati penuh keharuan, karena melihat Giok Keng berlutut dan mendekap puteranya sedangkan Kun Liong mengangkat bangun Mei Lan dan dipeluknya puterinya itu penuh kasih sayang dan dengan air mata membasahi pipi karena tentu saja pertemuannya dengan Mei Lan ini mengingatkan Kun Liong akan kematian isterinya.

“Ayah... maafkan aku...”

Mei Lan berbisik lirih, dan Kun Liong menggunakan jari-jari tangannya untuk meraba dan menutup bibir mulut puterinya itu, seolah-olah hendak mencegah gadis cilik itu bicara lebih lanjut karena dia sudah dapat memahami semua persoalannya.

Pada saat itu, nampak seorang wanita berpakaian serba merah lari menghampiri Bun Houw dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda yang telah selesai mengobati luka di dalam pundak In Hong.






“Taihiap... harap taihiap suka mengasihani saya... harap taihiap sudi menerima saya menghambakan diri... setelah semua yang telah terjadi...”

Wanita yang bukan lain adalah Liong Si Kwi itu menangis, tangan kanan mengusap air matanya yang bercucuran, juga tangan kirinya yang buntung itu ikut bergerak ke depan mukanya sehingga kelihatan amat mengerikan dan menyedihkan.

Wajah Bun Houw berubah pucat ketika dia memandang Si Kwi. Terbayanglah semua yang telah terjadi antara dia dan Si Kwi di dalam kamar wanita itu dan marahlah hatinya. Dia tahu bahwa Si Kwi mencintanya, akan tetapi dia marah sekali mengingat betapa wanita ini menggunakan kesempatan selagi dia tercengkeram oleh pengaruh hawa beracun yang membangkitkan berahinya, telah melakukan hubungan kelamin dengan dia dan dia merasa malu, menyesal dan marah sekali dengan terjadinya hal itu.

Kalau saja di situ tidak terdapat banyak orang di antaranya malah ada ayahnya sendiri, tentu telah ditendangnya wanita itu. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan berkata dengan suara dingin.

“Engkau bukan wanita baik-baik. Pergilah kau dari sini!”

“Taihiap...!”

Wajah Si Kwi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada pemuda yang dipuja dan dicintanya itu.

“Pergilah!”

Si Kwi bangkit berdiri, menangis sesenggukan dan lari meninggalkan tempat itu. Semua orang memandang sampai bayangan wanita itu lenyap di antara pohon dan kini Cia Keng Hong memandang puteranya dengan sinar mata penuh selidik. Dia tidak senang melihat sikap puteranya terhadap Si Kwi tadi, yang dianggapnya amat keras dan kejam, sungguhpun dia sendiri tidak tahu apa dan siapa wanita berpakaian merah yang tangan kirinya buntung itu.

“Bun Houw...!”

Dia memanggil dan pemuda itu terkejut, menoleh kepada ayahnya, kemudian dia menggandeng tangan In Hong dan berbisik kepada dara itu untuk ikut bersamanya menghadap ayahnya. In Hong memandang wajah pemuda itu dengan senyum dan sinar mata penuh kemesraan, kemudian mengangguk dan keduanya lalu menghadap Cia Keng Hong dan mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti itu.

Melihat sikap pemuda dan gadis itu, Souw Kwi Beng menarik napas panjang dan ketika dia merasa betapa tangan Tio Sun memegang lengannya, dia menoleh dan tersenyum getir kepada pemuda itu. Mereka sudah sama maklum dan Tio Sun menatapnya dengan sinar mata mengandung iba.

“Houw-ji, bagaimana engkau bisa berada di sini dan tertawan bersama In Hong?” tanya ayah itu yang merasa tidak senang melihat puteranya yang bergandengan tangan demikian mesranya di depan orang banyak dengan In Hong.

Jelas kelihatan oleh semua orang yang berada di situ bahwa ada pertalian cinta kasih mesra antara puteranya dan In Hong, sedikitpun mereka berdua tidak menyembunyikan perasaan saling mencinta itu.

“Ayah, aku mendengar di kota raja bahwa Hong-moi diculik, maka aku melupakan segalanya dan segera mengejar ke sini. Untuk menyelamatkan Hong-moi, terpaksa aku membiarkan diri ditawan dan... untung sekali bahwa ayah, suhu dan para sahabat yang gagah datang menolong...”

“Dan surat untuk ke Yen-tai itu...?”

“Maaf, ayah. Belum sempat kusampaikan... dan... sesungguhnya aku tidak dapat melaksanakan tali perjodohan itu, ayah...”

“Apa...?” Ayahnya membentak.

“Maaf, ayah. Aku... aku dan Hong-moi... kami... saling mencinta dan sudah berjanji untuk hidup berdua dan mati bersama...”

Jantung Cia Keng Hong terasa tergetar hebat yang tidak dia ketahui apa sebabnya, entah marah entah girang. Memang sejak dahulu dia ingin sekali mempunyai mantu keturunan Yap Cong San dan Gui Yan Cu. Mula-mula, niatnya untuk menjodohkan puterinya, Giok Keng dengan Kun Liong mengalami kegagalan karena puterinya tidak mencinta Kun Liong dan Kun Liongpun mencinta gadis lain. Kemudian, dia ingin sekali mengambil adik Kun Liong, yaitu Yap In Hong menjadi mantunya, dijodohkan dengan puteranya, Cia Bun Houw. Akan tetapi hal itupun mengalami kegagalan ketika In Hong mengantar Yalima ke Cin-ling-san dan secara kasar dan keras memutuskan hubungan atau ikatan perjodohan antara In Hong dan Bun Houw itu.

Hal ini amat menyedihkan dan menyakitkan hatinya dan baru saja sakit hati itu sedikit terobati ketika dia dapat menjodohkan puteranya dengan keturunan Souw Li Hwa dan sekarang tiba-tiba dia melihat puteranya dan In Hong berlutut di depannya dan menyatakan bahwa mereka saling mencinta!

Cia Keng Hong mengelus jenggotnya. Dia seperti lupa bahwa banyak sekali orang melihat dan mendengar apa yang terjadi di situ, akan tetapi dia tidak merahasiakan urusan pribadi keluarganya dan langsung dia bertanya kepada In Hong,

“Yap In Hong, benarkah bahwa engkau mencinta Bun Houw?”

Wajah In Hong seketika berubah merah sekali. Sungguh luar biasa sekali ketua Cin-ling-pai ini! Bertanya kepada seorang gadis tentang cinta di depan begitu banyak orang! Akan tetapi, In Hong sejak kecil hidup dalam keadaan penuh kekerasan, penuh keanehan dan penuh bahaya, maka hanya sebentar saja dia merasa canggung dan malu, kemudian dengan lantang dia menjawab,

“Benar, supek, saya mencinta Houw-ko seperti juga dia mencinta saya.”

“Hemmm... benarkah itu? Lupakah engkau, In Hong, baru beberapa bulan yang lalu engkau pernah datang ke Cin-ling-san dan apakah yang kau katakan kepada kami orang tua dari Bun Houw? Bukankah engkau telah memutuskan tali perjodohan yang tadinya telah diikat antara kau dan Bun Houw oleh kakakmu Yap Kun Liong dan kami?”

“Benar, supek, dan saya tidak lupa akan hal itu,” jawab In Hong dengan suara lantang dan tenang.

“Dan engkau sekarang...?”

“Supek, sudah tentu saja keadaannya jauh berbeda antara waktu itu dan sekarang ini. Ketika itu, saya dan Houw-koko tidak saling mengenal, bahkan belum pernah saling bertemu. Mana mungkin ada rasa cinta kasih di antara kami berdua? Pula, karena penuturan Yalima tentang dia dan Houw-koko, mana mungkin saya menerima ikatan jodoh dari seseorang yang telah mempunyai pacar? Sekarang lain lagi keadaannya. Yalima telah bersuami dan urusan dia telah jernih, tidak menghalangi hubungan antara Houw-ko dan saya, dan kami sudah saling mencinta.”

Ketika mengeluarkan kata-kata ini, In Hong masih berlutut di samping Bun Houw, bahkan tangan kanannya masih saling bergandengan dengan tangan kiri pemuda itu, dan jari-jari tangan kiri Bun Houw tergetar dan pegangannya makin erat ketika dia mendengar ucapan kekasihnya dan melihat sikap yang demikian tabah dan tegas.

“Ayah, harap ayah sudi mengampuni semua kesalahanku dan kesalahan Hong-moi, dan sudi merestui cinta kasih antara kami...”

Namun Cia Keng Hong menggeleng kepalanya dengan tegas, wajahnya membayangkan kekerasan dan kedukaan, kedua tangannya dikepal dan dia menarik napas panjang setelah menggelengkan kepalanya.

“Tidak bisa, Bun Houw. Tidak mungkin aku bisa memberi restu dan persetujuanku dan tidak boleh aku membiarkan engkau menjadi seorang yang melanggar peraturan dan kesusilaan. Engkau sudah kami tunangkan dengan puteri Yuan de Gama dan Souw Li Hwa, engkau sudah menjadi calon suami Souw Kwi Eng di Yen-tai.”

“Tidak, ayah! Tidak, aku tidak mau!” tiba-tiba Bun Houw berkata dengan keras, mukanya berubah merah.

“Hemmm, kehormatan lebih berharga daripada nyawa, anakku.”

“Maksud ayah...?”

“Engkau boleh memilih karena aku sebagai ayahmu hanya ingin melihat engkau antara dua pilihan itu, menjadi suami Souw Kwi Eng atau mati sebelum melanggar kehormatan yang akan menjatuhkan nama baik keluarga!”

“Ayah, aku memilih mati! Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dari Hong-moi!” jawab pemuda itu sambil berlutut dan sikapnya menantang.

“Hemmm...!” Wajah pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu berubah agak pucat.

“Dan sebelum supek membunuh Houw-ko, lebih dulu supek harus membunuh saya!”

In Hong juga berkata dan menggeser kedua lututnya, berlutut di depan kekasihnya untuk melindunginya!

“Hemmm, kalian mengira aku akan mengingkari kehormatan demi nyawa anak?”

Sambil berkata demikian, tangan kanan Cia Keng Hong memegang gagang pedang Siang-bhok-kiam dan menghunusnya dari sarung pedang!

Bun Houw dan In Hong masih berlutut dan dahi mereka hampir menempel tanah, mereka siap untuk menyerahkan nyawa mereka berdua, rela untuk mati bersama kalau tidak boleh hidup sebagai suami isteri.

Dewi Maut







Tidak ada komentar: