***

***

Ads

Sabtu, 04 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 002

Di dalam hutan sekitar Istana Lembah Naga itu terdapat banyak sekali kera dan monyet besar semacan orang hutan. Mereka itu tadinya menjauhkan diri dari istana ketika tempat itu dihuni oleh Pek-hiat Mo-ko, Hek-hiat Mo-li dan anak buah mereka yang seratus orang banyaknya, karena mereka itu suka mengganggu monyet-monyet, bahkan membunuh untuk dimakan dagingnya.

Akan tetapi setelah kini istana itu sunyi dan yang tinggal di situ hanya Si Kwi seorang yang tidak pernah mau memperdulikan monyet-monyet itu, maka mulai berdatangan pulalah binatang-binatang itu karena di sekitar istana itu terdapat banyak pohon-pohon buah yang tadinya ditanam oleh anak buah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

Si Kwi tidak pernah mengganggu mereka karena dia sendiri tidak pernah kekurangan makanan. Di situ terdapat banyak buah-buahan, tanaman-tanaman sayur dan binatang yang dapat dimakan dagingnya seperti kelinci, kijang, burung dan lain-lain. Maka tidak mengherankan apabila binatang-binatang itu menjadi makin jinak, bahkan mereka tidak lari melihat munculnya Si Kwi. Apalagi monyet-monyet yang besar, mereka tidak merasa takut sungguhpun mereka juga tidak pernah mengganggu Si Kwi.

Beberapa ekor monyet besar malah menggunakan sebatang pohon besar di belakang istana sebagai sarang mereka atau tempat berteduh di siang hari. Kalau malam mereka bersembunyi dan tidur di dalam guha-guha yang hanyak terdapat di sekitar tempat itu.

Pada siang hari itu, terdengar suara hiruk-pikuk di atas pohon besar itu. Seekor monyet betina yang besar sedang berkelahi dengan seekor ular yang telah membunuh anaknya. Anak monyet yang masih bayi itu mati dengan kepala berdarah bekas gigitan ular, dan induk monyet menjadi marah, dengan nekat menangkap ular itu dan menggigit lehernya,

Ular itu melawan, membelit-belit tubuh monyet betina, akan tetapi dengan kedua tangan atau kaki depannya, monyet besar itu menarik-narik dengan sekuat tenaga sehingga akhirnya tubuh ular itu tercabik-cabik dan lehernya hampir putus oleh gigitan mulut yang penuh dengan gigi yang kuat terhias beberapa buah gigi taring yang runcing itu. Monyet betina itu lalu memondong anaknya yang telah mati mengeluarkan suara merintih seperti menangis dan menjauhkan diri dari teman-temannya sambil memondong bangkai anaknya itu.

Sementara itu, dari dalam sebuah guha yang besar dan gelap terdengar rintihan pula yang hampir sama suaranya dengan rintihan induk monyet yang kematian anaknya. Rintihan ini keluar dari mulut Liong Si Kwi. Wanita muda ini rebah terlentang di dalam guha, di atas tanah dan punggungnya bersandar pada batu-batuan di dinding guha. Wajahnya pucat sekali, matanya memandang liar dan ketakutan, tubuhnya hanya tertutup jubah panjang karena dia telah melepaskan celananya.

Rintihan dan keluhan yang keluar dari mulutnya sungguh mengenaskan, dan pada saat-saat tertentu Liong Si Kwi menyebut-nyebut ibu dan ayahnya yang telah tiada! Air mata bercucuran, bercampur dengan peluh yang memenuhi dahi dan lehernya, membuat mukanya basah semua. Tubuhnya kadang-kadang menggigil, napasnya sesak dan terengah-engah menahan rasa nyeri yang amat hebat.

Kelahiran merupakan suatu peristiwa yang amat suci, merupakan suatu keajaiban yang amat hebat, merupakan kekuasaan Tuhan yang amat mengharukan. Dalam peristiwa ini terjadilah pengorbanan yang tiada taranya yang dapat dilakukan oleh seorang manusia. Ibu! Betapa luhurnya sebutan ini! Derita kenyerian yang ditanggung seorang ibu dalam melahirkan anaknya saja sudah cukuplah merupakan suatu alasan yang amat kuat bagi seorang anak untuk mencintai ibunya, dan bagi seorang suami untuk menghormati isterinya.






Seorang ibu yang melahirkan menghadapi suatu rasa kenyerian yang sukar dilukiskan, bahkan menghadapi pula ancaman bahaya yang bukan tidak mungkin merenggut nyawanya. Namun betapa kejam dan kejinya, banyak sekali manusia yang melupakan pengorbanan ibunya sendiri ketika mengandung, melahirkan dan menyusuinya ketika dia masih kecil, betapa banyak sekali manusia yang melupakan penderitaan isterinya ketika melahirkan anaknya!

Ibu, betapapun manusia melupakan jasa dan pengorbananmu, namun kenyataan tidak akan dapat disangkal bahwa di waktu melahirkan, engkaulah manusia suci!

Malam mulai tiba. Dalam guha itu gelap sekali. Rintihan dari guha masih terdengar, kadang-kadang mulai lagi, sesuai dengan rasa nyeri yang kadang-kadang terasa oleh Si Kwi dan kadang-kadang lenyap lagi. Tanda-tanda dari seorang yang akan melahirkan.

Perlahan-lahan, sinar bulan merayap mendekati guha dan akhirnya ada sinar bulan yang memasuki guha sampai menerangi bagian bawah tubuh Si Kwi. Si Kwi yang masih tersandar dengan tubuh lemah, mengerang dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, lidahnya menjilat-jilat bibirnya yang kering dan dia berusaha menelan ludah yang kering, kemudian dengan mata masih terpejam dan alis berkerut, bibirnya komat-kamit, terdengar bisikannya,

“Air... air... aku haus... air...!”

Akan tetapi tentu saja tidak ada yang mendengar bisikannya.

“Air... aku ingin minum...!” Dia kini berseru nyaring. “Ibu... ayah... aku ingin minum...! Cia Bun Houw, tolong ambilkan air...!”

Yang menjawab hanya gema suaranya yang membalik keluar dari guha. Anehnya, yang terdengar olehnya hanyalah gema suara yang memanggil,

“Cia Bun Houw...!”

Suara ini membuat dia sadar dan membuka matanya. Ketika dia melihat sinar bulan, dia menoleh ke kiri, lalu dia merangkak menuju ke sebuah poci air yang disediakannya disitu. Diminumnya air jernih itu dengan lahapnya. Dan segarlah rasa tubuhnya. Kemudian dia meletakkan kembali poci air di sudut guha dan matanya memandang ke luar.

Ketika melihat bulan di angkasa, Si Kwi merangkak keluar dari dalam guha. Dia hanya bisa merangkak, tidak kuat bangkit berdiri karena kedua kakinya gemetar, tubuhnya terasa berat. Dia berlutut di luar guha, memandang bulan dan dilihatnya bulan seperti wajah Bun Houw. Diangkatnya kedua tangannya ke atas, tangan kanan dan lengan kiri yang buntung menghadap bulan.

“Bun Houw... Bun Houw... tidak kasihankah kau kepadaku...? Anakmu... anakmu... akan terlahir... ohhh!”

Dia cepat-cepat merangkak kembali ke dalam guha karena merasa betapa perutnya sakit sekali. Dengan terengah-engah dia merebahkan diri terlentang lagi di tempat tadi, menyandarkan punggungnya yang terasa seperti patah-patah itu ke atas batu-batu dinding guha.

Mulailah lagi datang rasa nyeri yang bertubi-tubi, membuat seluruh tubuhnya menggigil, wajahnya makin pucat dan dia memejamkan mata, mengerahkan tenaga untuk mendorong keluar bayi yang meronta dalam perutnya, terengah-engah dan merintih-rintih.

Dia tidak tahu bahwa kemunculannya di luar guha tadi menarik perhatian beberapa ekor monyet yang ketika melihat dia merangkak masuk guha diam-diam lalu berdatangan dan memasuki guha. Melihat Si Kwi ter¬engah-engah itu, monyet-monyet yang mengikutinya masuk ke dalam guha, berjongkok dan memandang dengan sikap seperti menaruh kasihan dan ada yang menyeringai. Mereka seolah-olah me¬ngerti apa yang sedang terjadi dengan manusia wanita ini. Dan di antara monyet-monyet itu terdapat pula monyet betina besar yang masih memondong bangkai anaknya yang mati digigit ular tadi!

Kegelisahan mendesak di dalam hati Si Kwi. Gelisah kalau-kalau anak di dalam kandungannya itu tidak akan dapat keluar. Demikian sukar agaknya. Demi¬kian menyakitkan. Dia tidak perduli lagi bagaimana kalau anak itu sudah keluar nanti. Pikirannya tidak sempat memikir¬kan soal nanti. Rasa nyeri menguasai seluruh pikirannya dan keinginan satu-satunya hanyalah mengeluarkan anak yang menyiksanya itu!

Akhirnya, setelah berkali-kali diserang oleh rasa nyeri yang nyaris membuatnya pingsan, menjelang tengah malam, lahirlah bayi itu. Tangis nyaring meledak dan memecahkan kesunyian di dalam guha. Si Kwi merasa kelegaan yang amat luar biasa menyelubunginya dibarengi keharuan yang membuat dia sesak napas dan begitu mendengar suara jerit tangis pertama dari bayi yang tergolek di antara kedua pahanya, Si Kwi mengeluh dan pingsan.

Segala sesuatu yang terdapat di alam ini memang telah mempunyai ketertiban sendiri. Bukan ketertiban terpisah-pisah dan terpecah-pecah, melainkan ketertiban yang menyelimuti seluruh alam semesta. Segalanya bergerak dengan tertib seolah-olah diatur dengan tenaga tak nampak. Lihatlah keluar, awan berarak di angkasa, berlapis-lapis ada yang ke kanan ada yang ke kiri gerakan mereka, mendung berkumpul di tempat-tempat tertentu digerakkan angin besar sebelum turun hujan. Perjalanan dunia, bulan, bintang, kekuasaan matahari dan kegunaan sinarnya. Tumbuhnya pohon-pohon dengan batangnya, akar-akarnya, daunnya, bunganya, buahnya. Rontoknya daun menguning menjadi satu di antara pupuk menyuburkan tanah.

Kemudian lihatlah ke dalam, lihatlah diri kita sendiri. Setiap bagian tubuh kita mengandung keajaiban yang amat besar, dari pertumbuhan setiap helai rambut di tubuh kita sampai pada denyut jantung, peredaran darah, pemapasan, otak, hati dan segala ini yang membuat kita hidup, bergerak, mengerti, memandang, mendengar dan sebagainya. Betapa ada api panas yang terus-menerus bernyala atau membara dalam diri kita di waktu kita masih hidup. Segala keajaiban ini lewat begitu saja bagi mata kita yang seperti buta, tidak memperhatikannya, tidak memperdulikannya, dan kita mengalihkan pandangan mata kepada hal-hal ajaib lain yang kita anggap menguntungkan kita, mistik, dan sebagainya!

Kekuasaan alam memang amat luar biasa, tidak terukur oleh hati dan pikiran kita. Kelahiran yang terjadi di dalam guha itu, yang dialami oleh Liong Si Kwi, tanpa pembantu sama sekali, merupakan satu di antara keajaiban-keajaiban yang terjadi setiap saat di dunia ini, namun yang tidak nampak oleh orang-orang yang memang tidak memperhatikannya.

Si Kwi pingsan dan segala sesuatunya tergantung sepenuhnya kepada ketertiban alamiah itu. Pemulihan segala yang rusak oleh kelahiran itu, datang dengan sendirinya. Dalam keadaan pingsan itu, pulih kembali kenormalan dalam diri Si Kwi, napasnya menjadi teratur, wajahnya menjadi merah lagi, dan darahpun berhenti mengalir.

Himpitan perasaan batin yang lebih banyak mempengaruhi pingsannya Si Kwi yang membuat dia tak sadarkan diri sampai keesokan harinya, ketika sinar matahari pagi telah menerobos masuk ke dalam guha yang amat sunyi itu. Tidak ada seekorpun monyet yang berada di situ lagi ketika Si Kwi menggerak-gerakkan pelupuk matanya, tanda datangnya kesadaran pertama. Pelupuk mata yang tergetar dan bergerak-gerak itu diikuti gerakan bulu mata, lalu mata itu terbuka. Sinar mata yang lesu menerawang langit-langit guha, kemudian dia mengeluh dan rasa nyeri yang tersisa itu menyadarkannya sama sekali. Teringat dia akan yang terakhir memasuki benaknya, yaitu tangis bayi.

“Ahh...!”

Dia berseru dan cepat dia meluruskan punggungnya, matanya mencari-cari ke bawah, ke atas tanah di antara kedua kakinya. Dia melihat sebuah benda kecil di antara kedua pahanya itu, tidak begitu jelas karena matahari masih muda sinarnya.

Dengan tangan gemetar Si Kwi mengambil benda itu, dibantu oleh lengan kiri yang buntung, mengangkat benda itu dekat dengan matanya, memandang dan tiba-tiba dia menjerit dengan mata terbelalak, melemparkan benda itu dan dia sendiri lalu terkulai dan pingsan lagi! Benda yang dilemparkan itu adalah bangkai seekor monyet kecil yang kepalanya masih berdarah!

Sementara itu, jauh dari tempat itu, di atas cabang pohon tertinggi, induk monyet besar menyusui seorang bayi. Bayi yang tadinya menangis terus itu berhenti menangis ketika mulutnya disumbat puting susu yang besar dari mana mengalir air susu yang cukup banyak.

Dengan penuh sikap sayang monyet betina itu mendekap tubuh bayi manusia itu. Dialah yang tadi menukarkan bangkai bayinya dengan bayi manusia yang baru terlahir. Perbuatannya ini entah digerakkan oleh apa, karena pada umumnya, binatang tidak menggunakan pikiran dan akal budi. Mungkin karena tangis bayi itulah maka dia tergerak, atau oleh naluri yang memberi tahu dia bahwa anaknya telah mati.

Setiap ada seekor monyet lain yang mencoba mendekatinya untuk melihat bayi manusia itu, induk monyet ini meringis dan mengeluarkan bunyi geraman, matanya memandang penuh ancaman dan siap mempertahankan bayinya dengan nyawa. Bahkan ketika seekor monyet jantan besar sekali berani mendekat, tangan kirinya mencakar dan monyet jantan itu terpaksa menjauhkan diri pula. Induk monyet itu menjadi curiga dan tidak percaya kepada siapapun juga se¬telah dia kehilangan bayinya yang digigit ular dan kini memperoleh penggantinya.

Demikianlah, bayi manusia anak Si Kwi itu semenjak lahir dibawa ke atas puncak pohon oleh monyet betina itu. Biarpun tidak secepat bayi-bayi monyet lainnya, namun beberapa hari kemudian bayi itu telah pula pandai bergantung kepada rambut-rambut dada dan leher induknya dan enak saja dibawa berloncat¬an dari cabang ke cabang, disusui diberi makan buah dan kadang-kadang juga ulat dan cacing!

Entah apa pula yang menyebabkan monyet betina itu kini menjauhi Istana Lembah Naga, menjauhi tempat dimana wanita yang melahirkan bayi itu tinggal. Mungkin juga hanya nalurinya, karena dia tidak ingin manusia itu melihat anak yang dirawatnya, yang kini menjadi anak¬nya sendiri. Dia membawa anak itu jauh dari istana, di dalam hutan-hutan yang paling lebat dan liar dan dia jarang se¬kali turun ke tanah kecuali untuk mencari makan.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: