***

***

Ads

Sabtu, 04 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 004

Akan tetapi sayang, seperti halnya setiap orang pandai, dia tetap manusia seperti para manusia lain, tetap memiliki kelemahan. Sejak masih mudanya, Hek I Siankouw telah menjadi pendeta, menguasai segala macam nafsunya, terutama nafsu berahi. Akan tetapi ketika dia bertemu dengan seorang pendeta Agama To lain, yaitu Hwa Hwa Cinjin, seorang tosu yang amat sakti, yang bersikap lemah-lembut, yang di waktu mudanya memang tampan sekali, dia tidak kuat menahan gelora hatinya yang tertarik!

Demikian pula Hwa Hwa Cinjin, ketika bertemu dengan Hek I Siankouw yang ketika itu sudah berusia lima puluh tahun, dia tertarik sekali dan terjadilah hal yang aneh di antara kedua orang pendeta ini! Mereka tidak dapat menahan nafsu berahi mereka dan terjadilah hubungan cinta gelap di antara mereka! Memang aneh sekali, akan tetapi kalau diingat bahwa mereka hanyalah manusia-manusia biasa dengan segala macam kelemahan mereka, sebenarnya hal itu tidak pula aneh. Apakah bedanya tua atau muda kalau nafsu sudah menguasai diri?

Baik Hek I Siankouw maupun Hwa Hwa Cinjin, keduanya bukan pula ter¬masuk golongan jahat, bukan tokoh-tokoh kaum sesat. Akan tetapi keadaan me¬nyeret mereka sehingga mereka terpaksa bersekutu dengan kaum sesat dan me¬musuhi golongan pendekar. Yang menjadi sebab adalah karena mendiang suheng dari Hwa Hwa Cinjin yang bernama Toat¬-beng Hoatsu, telah tewas di tangan kaum pendekar.

Untuk membalas dendam kematian suhengnya inilah maka Hwa Hwa Cinjin sampai bermusuhan dengan ketua Cin-ling-pai, yaitu Pendekar Keng Hong! Dan karena Hek I Siankouw adalah kekasih dari Hwa Hwa Cinjin, maka tentu saja tokouw ini membela kekasihnya. Dan karena Cia Keng Hong dan keluarganya adalah keluarga yang memiliki kesaktian hebat, maka mereka terpaksa bergabung dengan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari mereka. Untuk menghadapi keluarga Cia itu sendiri, tentu mereka berdua tidak akan sanggup melawan!

Demikianlah, setelah Hek I Siankouw berdiri di fihak musuh keluarga Cia, dengan sendirinya sebagai murid tokouw itu, Liong Si Kwi terpaksa pula membela gurunya dan berdiri di fihak gurunya bermusuhan dengan kduarga Cia. Akan tetapi sungguh celaka baginya, dia jatuh cinta kepada Cia Bun Houw, putra dari ketua Cin-ling-pai itu, bahkan dia telah menyerahkan kehormatannya kepada pemuda itu!

Semua itu telah dituturkan dalam cerita “Dewi Maut” dengan jelas. Liong Si Kwi bukan keturunan orang jahat, akan tetapi dia terjerumus ke dalam lingkungan jahat sehingga diapun terseret dan menerima akibatnya. Dan kini, sungguh dia merupakan seorang wanita muda yang patut dikasihani. Dia telah kehilangan kehormatannya, kehilangan tangan kirinya, kehilangan pria yang dicintanya, kehilangan harapan, kini setelah melahirkan dia kehilangan anak¬nya pula! Segala-galanya telah habis bagi Si Kwi dan agaknya dia hanya menanti datangnya kematian di tempat sunyi itu seorang diri saja.

Akan tetapi kehidupan manusia selalu berubah. Hidup adalah gerakan seperti air sungai mengalir yang selalu baru dan berubah. Hari ini boleh jadi berduka, besok belum tentu demikian. Hari ini menangis, besok mungkin tertawa. Hari ini melakukan kejahatan, besok mungkin melakukan kebaikan. Sebaliknya kesenang¬an hari ini mungkin berubah menjadi kesusahan di hari esok dan selanjutnya.

Oleh karena itu, kelirulah menilai hidup dan keadaan seseorang dari perbuatan atau keadaannya dimasa lalu! Dan tidak benar pula mengukur baik buruknya se¬seorang dari SATU perbuatan saja!

Keadaan Si Kwi yang sudah putus asa itu, yang menganggap kehidupan sebagai tempat derita belaka, tanpa adanya harapan akan terjadi perubahan yang menganggap bahwa tidak mungkin bagi dia untuk dapat bergembira lagi, ternyata tidaklah demikian. Terjadilah per¬ubahan yang sama sekali tidak pernah dibayangkannya dalam mimpi.






Hari itu, pagi-pagi sekali Si Kwi sudah meninggalkan istana untuk mencari makanan karena perutnya terasa lapar sekali. Dia pergi memetik sayur-sayuran di ladang yang sudah tidak terawat itu dan ketika hendak pulang dia melihat seekor kelinci lari dari ladang. Dia cepat mengejarnya dan kelinci itu memasuki hutan. Dengan sebuah batu yang disambitkannya, dia dapat merobohkan kelinci itu.

Akan tetapi ketika dia mengambil bangkai kelinci dan hendak pulang, dia melihat guha besar dimana dia dahulu melahirkan. Melihat guha ini dari jauh, hatinya tertarik dan seperti di luar kehendaknya sendiri, kedua kakinya melangkah menuju ke guha itu. Setelah tiba di depan guha, niatnya hanya ingin menjenguk ke dalam sebentar lalu pergi lagi. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tangis anak-anak yang aneh sekali dari dalam guha!

Si Kwi terkejut setengah mati. Dengan mata terbelalak dia memandang ke arah guha, sayur dan bangkai kelinci yang dipegangnya terlepas dari kedua tangannya, muka menjadi pucat dan dia merasa bulu tengkuknya meremang. Setan? Roh anaknya? Bermacam bayangan yang mengerikan terbayang dalam benak¬nya. Akan tetapi rasa takutnya itu dibantahnya sendiri. Mana mungkin di siang hari muncul setan? Telah hampir dua tahun dia tinggal seorang diri di tempat itu dan belum pernah dia bertemu setan! Tahyul belaka!

Si Kwi adalah seorang wanita perkasa, maka segera rasa takut itu dibuangnya dan dengan langkah lebar dia memasuki guha besar itu. Tadinya dia hanya berdiri karena menyangka bahwa tentu telinganya yang salah dengar, mungkin karena memikirkan anaknya maka telinganya mendengar suara khayal. Akan tetapi ketika tangis itu terus bahkan makin keras terdengar, dia cepat memasuki guha.

Dan di tengah guha itu, di tempat dimana dia dahulu melahirkan anaknya, nampak seorang anak kecil rebah terlentang sambil menangis! Kaki kiri anak itu membengkak hitam, dan disitu ter¬dapat empat ekor monyet besar-besar yang menjaga anak itu. Seorang anak laki-laki, anak manusia dijaga empat ekor monyet!

Seketika, bagaikan cahaya kilat memasuki benaknya, Si Kwi mengerti bahwa itulah anaknya! Bahwa itulah anak¬nya yang lenyap setahun yang lalu, di¬culik oleh monyet-monyet itu! Dan kini mengertilah dia bahwa yang menukar anaknya dengan monyet adalah monyet-monyet besar ini!

Entah siapa yang lebih dulu mener¬jang maju. Si Kwi sudah marah karena menduga bahwa monyet-monyet itu yang mencuri anaknya, sedangkan empat ekor monyet itu, didahului oleh induk monyet, marah karena melihat wanita itu menghampiri anaknya.

Mereka sudah saling terjang dan Si Kwi dikeroyok oleh empat ekor monyet besar yang mencakar dan menubruk, dengan mulut bertaring dan hendak menggigitnya. Namun, selama dua tahun kurang itu, Si Kwi tidak kehilang¬an kepandaiannya dan kesigapannya biar¬pun dia tidak pernah berlatih. Ilmu silat yang dipelajarinya dan dilatihnya selama bertahun-tahun dahulu itu telah mendarah daging di tubuhnya sehingga gerakannya sudah menjadi otomatis.

Kedua kakinya bergerak-gerak menendang, tangan kanan¬nya menampar dan tubuhnya bergerak dengan sigapnya mengelak dari setiap tubrukan. Tendangan-tendangan dan tam¬parannya mengenai tubuh monyet-monyet itu dengan tepat sehingga dalam beberapa gebrakan saja dia telah dapat menghajar monyet-monyet itu yang ter¬lempar dan terbanting jatuh bergulingan.

Akhirnya, tiga ekor monyet melarikan diri, tinggal seekor monyet betina besar itu yang masih melawan. Akan tetapi dia bukanlah lawan Si Kwi dan beberapa kali dia kena ditendang dan dihantam. Pukulan tangan kanan Si Kwi yang terakhir, tepat mengenai tengkuk monyet betina itu, membuat monyet itu terpelanting roboh dan tak bergerak lagi, pingsan.

Si Kwi lalu menghampiri anak laki-laki yang masih menangis itu. Dia me¬megangnya, akan tetapi dia bergerak kaget dan mengelak ketika anak itu tiba-tiba menggunakan mulut untuk menggigit tangannya sambil mengeluarkan suara gerengan!

Si Kwi berdiri bengong. Benarkah ini anaknya! Benar bahwa anak ini tidak salah lagi adalah seorang anak manusia, bocah laki-laki yang bertubuh sehat dan kuat, akan tetapi kaki kirinya bengkak menghitam, agaknya keracunan. Dan anak ini memang usianya kurang lebih satu tahun, tepat sekali kalau anak ini adalah anak yang dilahirkannya se¬tahun yang lalu.

Akan tetapi anak ini merupakan seekor monyet bertubuh dan berwajah manusia! Kemudian teringatlah dia bahwa mungkin sejak lahir, anak ini tumbuh di tengah-tengah sekumpulan monyet, maka tentu saja tingkah lakunya mirip monyet. Pikiran ini membuat dia merasa terharu sekali.

“Anakku...!” bisiknya dan air matanya jatuh bercucuran.

Dia memondong anak itu, tidak memperdulikan anak itu menggigit lengannya karena dengan kulit tubuhnya yang terlatih dan kuat, tentu saja gigitan anak berusia setahun itu tidak menyakitkan. Melihat keadaan kaki anak itu yang membengkak dan membiru, Si Kwi cepat berlari pulang, memasuki istana dan langsung dia menuju ke dalam kamarnya. Anak itu yang meronta-ronta kini tidak bergerak lagi, agaknya pingsan.

Si Kwi cepat mengambil obat yang banyak terdapat dalam sebuah kamar di istana itu. Sebagai orang-orang sakti yang mempunyai banyak anak buah ketika mereka tinggal di istana ini, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li tentu saja menyimpan segala macam obat-obatan, amat banyak sampai memenuhi satu kamar dan mereka adalah ahli-ahli racun yang tentu menyimpan obat-obat untuk orang keracunan pula.

Sedangkan Si Kwi adalah murid dari Hek I Siankouw yang juga ahli dalam mengobati segala macam luka yang keracunan, kepandaian yang penting bagi orang-orang kang-ouw yang banyak melakukan perantauan, banyak pula menghadapi bahaya dari lawan yang menggunakan senjata beracun, maka tentu saja wanita muda ini mengerti pula tentang pengobatan luka beracun.

Dia telah memeriksa luka di kaki anak itu dan dapat menduga bahwa tentu luka itu disebabkan oleh gigitan binatang beracun, agaknya ular melihat ada lubang kecil di kaki itu, bekas taring ular. Maka dia cepat memilih obat-obat yang khusus untuk menghadapi racun ular.

Dengan hati penuh kekhawatiran dan dengan cekatan sekali dia lalu menggunakan obat gosok untuk pertama-tama mengobati luka itu. Dengan ujung sebatang pisau runcing yang dibakarnya dulu, dia merobek kulit daging betis kaki itu, lalu mengisap dengan mulutnya, mengeluarkan darah menghitam dari dalam luka. Kemudian dia memaksakan obat yang telah digodoknya ke dalam mulut anak itu sedikit demi sedikit.

Dengan penuh ketelitian Si Kwi merawat anak itu dan dalam waktu satu hari satu malam saja dia telah berhasil menolong anak itu terbebas dari ancaman racun yang dapat membawa maut. Anak itu siuman kembali, mula-mula hendak meronta, akan tetapi karena tubuhnya lemah, dia diam saja hanya memandang kepada Si Kwi penuh kecurigaan dan kadang-kadang mengeluarkan suara menggereng dan memperlihatkan giginya!

Si Kwi makin terharu. Anak ini sudah hampir menjadi monyet karena gerak-geriknya! Dia lalu menimang-nimangnya, memberinya makan. Akan tetapi mula-mula anak itu tidak mau makan segala macam masakan, kecuali hanya buah-buahan. Persis seperti seekor monyet.

Naluri seorang ibu amat kuat. Cinta kasih seorang ibu memang memiliki getaran halus yang amat kuat, yang dapat menembus kebodohan anak itu. Agaknya sebagai seorang manusia pula, anak itu juga memiliki perasaan dan dapat menerima getaran cinta kasih ibu kandungnya sehingga dalam waktu beberapa hari saja dia telah menjadi “jinak”!

Makin berkurang kebuasannya, dan dalam waktu sebulan, dia sudah begitu melekat kepada Si Kwi sehingga mau digandeng dan diajar berjalan karena jalannya masih seperti orang hutan, dengan kedua kaki ditekuk rendah, kedua lengan bergantung hampir mencapai tanah dan punggung membungkuk! Kini, dia mulai meniru cara Si Kwi berjalan!

Juga dia mulai mau makan masakan sayuran dan daging yang disuguhkan oleh ibu kandungnya. Pertama kali Si Kwi memberi pakaian kepadanya, dia ketakutan. Ketika pakaian itu oleh Si Kwi dipakaikan di tubuhnya, dia merobek-robeknya. Akan tetapi agak¬nya karena meniru Si Kwi pula, akhirnya dia mau juga mengenakan pakaian, mau pula dimandikan dan lain-lain. Persis seperti menjinakkan seekor kera.

Si Kwi sering kali mengamat-amati anak itu di waktu anak tidur. Hatinya penuh rasa haru, penuh rasa sayang dan dibelainya anak itu, diusapnya dengan jari-jari tangan gemetar luka-luka di tubuh anak itu, terutama sekali luka memanjang di pundak sampai ke pung¬gung. Luka itu memanjang dan bentuknya seperti seekor naga. Bekas luka inilah yang membuat Si Kwi mengambil ke¬putusan untuk memberi nama Liong (Naga) kepada anaknya.

Dan karena dia teringat akan kegagahan ayah kandung anak ini, akan kesaktiannya, maka dia mengharapkan agar anaknya kelak dapat menjadi seorang naga sakti. Maka dia lalu menamakan anak itu Sin Liong (Naga Sakti) dan tentu saja dia me¬nambahkan she Cia kepada Sin Liong. Cia Sin Liong, demikianlah nama anak yang sejak bayi dipelihara oleh monyet, hidup di antara monyet-monyet dan hampir saja dia menjadi seekor monyet yang aneh itu.

Setelah menemukan anaknya, terjadi¬lah perubahan besar sekali dalam ke¬hidupan Si Kwi. Kini dia dapat ter¬senyum lagi, dapat tertawa terkekeh-kekeh melihat kelucuan anaknya, dapat berseru kagum melihat ketangkasan anak berusia setahun lebih itu yang pandai sekali melompat, pandai memanjat pohon dan memiliki kekuatan yang jauh melebihi anak biasa.

Kini Si Kwi mulai merasa gembira, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar dan mulutnya sering kali tersenyum. Mulai pula dia memperhatikan dirinya, membersihkan dirinya dan mengenakan pakaian yang patut-patut. Dia seolah-olah mulai suatu kehidupan baru! Mulai dia mengkhawatirkan sesuatu, memperdulikan sesuatu, tidak lagi seperti biasa hidup seperti mayat berjalan tanpa memperdulikan apa-apa. Mulai dia melihat keindahan-keindahan lagi di dalam kehidupannya.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: