***

***

Ads

Sabtu, 04 Februari 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 005

Tiga bulan kemudian, keadaan di Istana Lembah Naga itu telah berubah sama sekali. Dari dusun-dusun yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, Si Kwi mengundang lima orang wanita yang dipekerjakan sebagai pelayan. Istana itu dibersihkan, dirawat baik-baik, ladang-ladangnya ditanami sayur-sayur lagi, bahkan di samping istana dibuat sebuah taman yang penuh bunga.

Pendeknya, dalam waktu beberapa bulan saja, keadaan diri Si Kwi dan sekelilingnya telah mengalami perubahan luar biasa. Wanita itu kini mau berdandan kembali, mengenakan pakaian indah karena memang banyak terdapat kain-kain yang serba indah di dalam istana itu, semangatnya bangkit dan hidup kembali.

Lima orang wanita yang menjadi pelayan-pelayan itu juga suka bekerja di situ. Dua orang diantara mereka adalah orang-orang Han dan yang tiga lagi peranakan Mongol. Mereka itu biasanya ikut dengan rombongan suku bangsa yang suka berpindah-pindah, hidup serba kekurangan dan selalu menghadapi kesukaran. Kini, mereka hidup di istana yang besar dan indah, dan tidak kekurangan makan dan pakaian, tentu saja mereka suka berada di situ. Apalagi, mereka hanya melayani seorang ibu dan seorang anak, tentu saja pekerjaan mereka tidak berat.

Akan tetapi, ternyata tidaklah mudah untuk mengasuh Sin Liong. Anak ini sudah mulai belajar bicara, akan tetapi sekali waktu, dalam keadaan marah atau khawatir, timbul saja semacam sifat monyetnya, menggereng, mencakar dan hendak menggigit, bahkan lari memanjat pohon sampai di ranting yang paling puncak, tidak mau turun!

Akan tetapi sisa watak seperti monyet ini makin lama makin menipis sungguhpun tidak dapat lenyap sama sekali seperti luka di pundak dan betisnya, biarpun sudah sembuh sama sekali, namun masih ada saja nampak bekas-bekasnya.

SERING sekali para pelayan dan juga Si Kwi sendiri, memergoki monyet mendekati istana, bahkan ada satu dua kali mereka melihat Sin Liong bermain-main dengan mereka.

Dan pada suatu malam, ketika anak itu sudah berusia dua tahun, anak itu lenyap dari dalam kamarnya! Sudah tentu saja para pelayan menjadi panik. Akan tetapi Si Kwi yang melihat jendela kamar itu terbuka, bersikap tenang biarpun jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kegelisahan. Dia tidak mau kehilangan putranya untuk kedua kali!

Akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu anaknya itu pergi “mengunjungi” teman-temannya, yaitu rombongan monyet-monyet itu. Maka pada pagi hari itu, dia bersama para pelayannya lalu menuju ke sebuah hutan lebat tak jauh dari situ karena dia tahu bahwa di hutan inilah monyet-monyet itu berkumpul dan hidup.

Setelah mereka berenam tiba di tengah hutan, benar saja mereka melihat Sin Liong berada di antara monyet-monyet besar. Si Kwi mengerutkan alisnya dan marah sekali melihat betapa anak itu bermain-main, berloncatan dengan pakaian sudah cabik-cabik tidak karuan, bersama monyet-monyet kecil makan ulat dan cacing!

Monyet-monyet besar itu jumlahnya hanya belasan ekor, tidak lebih dari lima belas ekor. Banyak memang monyet-monyet kecil di situ dari lain jenis, akan tetapi monyet-monyet kera kecil ini tidak berani mendekati monyet-monyet orang hutan yang besar-besar itu, yaitu kelompok yang menjadi teman Sin Liong.






“Sin Liong...!”

Si Kwi memanggil sambil memandang ke atas pohon dimana anak itu nongkrong dengan sikap gembira.

Sin Liong memandang ke bawah dan mengeluarkan suara teriakan,
“Ibu...!”

Hanya satu kata inilah yang selalu teringat oleh anak itu dan yang diucapkan¬nya dengan baik. Akan tetapi dia tidak mau turun, bahkan meloncat ke dahan yang lebih tinggi lagi.

“Sin Liong, kau turunlah! Mari pulang bersama ibu!” teriak Si Kwi lagi.

Sin Liong tetap tidak mau turun dan kini yang turun malah seekor orang utan jantan yang amat besar. Orang utan ini adalah pemimpin dari kelompok itu, orang utan jantan yang paling besar dan kuat. Dia berloncatan turun diikuti oleh lima ekor orang utan jantan yang lain, sikap mereka mengancam dan pemimpin monyet itu sudah memperlihatkan taring¬nya.

Akan tetapi Si Kwi tidak merasa gentar dan dia tetap berdiri tegak di bawah pohon sambil memanggil-manggil Sin Liong. Lima orang pelayannya, biar¬pun sudah mulai dilatih silat oteh Si Kwi, merasa ngeri dan mundur-mundur ketakutan, menjauhi pohon itu.

Kini enam monyet besar itu sudah menghadapi Si Kwi. Pemimpin monyet menggereng-gereng seperti menggertak, diikuti oleh lima ekor anak buahnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar gerengan lain dan sesosok tubuh kecil melayang turun dari atas pohon, dari cabang pohon paling rendah dan tahu-tahu Sin Liong sudah berada di situ, di tengah-tengah antara monyet-monyet itu dan ibunya.

Dan anak inipun menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya yang kecil-kecil dan sama sekali tidak menyeramkan, menghadapi monyet-monyet seolah-olah dia marah kepada mereka dan hendak membela ibunya. Melihat pertunjukan ini, jantung di dalam dada Si Kwi berdebar penuh keharuan dan kekaguman. Anaknya, yang baru berusia dua tahun itu telah tahu bagaimana membela ibunya!

Akan tetapi, monyet besar itu menggereng dan tangannya bergerak hendak mencengkeram atau mendorong pergi Sin Liong. Seperti sikap seekor monyet kecil menghadapi monyet besar, Sin Liong mengelak dan tidak berani melawan, hanya menggereng-gereng dan memperlihatkan giginya menyeringai.

Si Kwi menjadi marah.
“Sin Liong, minggirlah! Biar kuhajar monyet-monyet biadab ini!”

Setelah berkata demikian, Si Kwi menerjang maju, dua kali kakinya bergerak dan dua ekor monyet terpelanting! Empat ekor lainnya maju, akan tetapi Si Kwi yang sudah marah itu kini tidak mau membuang waktu lagi. Dengan gerakannya yang amat gesit, dia mengelak ke kanan kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya dan dengan pukulan tangan kanannya.

Akan tetapi, tubuh monyet-monyet besar itu kebal dan kuat sekali. Begitu mereka roboh, mereka sudah meloncat bangun lagi dan menyerang makin ganas, dengan mata merah dan mulut membusa, menyerang kalang kabut dengan tubrukan-tubrukan dahsyat!

Si Kwi merasa kewalahan juga karena sudah tiga empat kali dia merobohkan monyet-monyet itu, namun untuk kesekian kalinya kembali mereka bangkit dan menyerang makin ganas.

“Hemm, kalian ingin mampus!”

Si Kwi berteriak marah sambil meloncat ke belakang. Ketika pemimpin monyet yang terbesar dan paling ganas itu menyerang ke depan, Si Kwi menggerakkan tangan kanannya dan sebatang paku hitam meluncur.

“Capp...!”

Paku itu menancap dan lenyap ke dalam tenggorokan monyet besar itu. Monyet itu mengeluarkan pekik aneh dan roboh bergulingan, berkelojotan dan tak lama kemudian tewaslah monyet itu. Monyet-monyet yang lain, aneh sekali, menjadi ketakutan dan lari berloncatan ke atas pohon.

“Grrhhhh...!”

Tiba-tiba Si Kwi mengelak dan alangkah kagetnya ketika dia melihat anaknya sudah menerjang dan mencakarnya! Dia menangkap tangan anaknya, lalu diangkatnya, dipondongnya dan diciuminya, dipeluk erat-erat.

“Sin Liong... aku terpaksa membunuhnya... terpaksa...!”

Lalu dia mengajak anaknya itu pulang dengan setengah memaksa. Sin Liong tidak meronta lagi, akan tetapi dia diam saja, dan wajahnya memperlihatkan kemarahan.

Semenjak peristiwa pembunuhan pimpinan monyet itu, watak Sin Liong menjadi pendiam dan sering kali dia memandang kepada Si Kwi dengan curiga.

Akan tetapi karena sikap Si Kwi yang amat baik kepadanya, akhirnya kecurigaannya itu lenyap dan dia mulai mau tersenyum lagi kepada ibunya itu.

Liong Si Kwi juga bersikap bijaksana. Dia tahu bahwa putranya itu tidak akan mudah menghapuskan kenangan lama, kebiasaan lama ketika hidup selama setahun bersama monyet-monyet itu, maka diapun tidak melarang anaknya untuk bermain-main dengan monyet-monyet itu.

Betapapun juga, ada rasa terima kasih di hatinya terhadap monyet-monyet itu, karena tanpa adanya monyet-monyet itu, entah apa jadinya dengan anaknya karena ketika melahirkan, dia terus pingsan!

Diam-diam Si Kwi membayangkan betapa anehnya kehidupan ini. Anaknya terlahir tanpa bantuan, kemudian begitu lahir diculik oleh monyet besar. Heran, dia memikirkan bagaimana dan apa jadinya dengah ari-ari yang ikut keluar bersama anaknya itu. Bagaimana caranya monyet¬-monyet itu memelihara bayinya? Bagaimana cara pemotongan pusarnya? Dia melihat pusar Sin Liong biasa saja seperti anak-anak lainnya.

Memang demikianlah. Kita manusia lupa bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah dalam keadaan tertib, dan sudah tertib dengan sendirinya, sempurna segala-galanya. Karena manusia berakal budi, maka manusia senantiasa mempunyai kecondongan untuk membantu jalannya kekuasaan alam, membantu kelancarannya. Dan karena semenjak jutaan tahun bantuan-bantuan manusia ini makin berkembang, maka manusiapun telah menjadi terbiasa karenanya, dan manusia merasa kehilangan tanpa adanya bantuan-bantuan itu.

Dan mungkin sekali, karena terbisa oleh bantuan-bantuan dari luar ini, jasmani manusia kehilangan kepekaannya, kehilangan kecerdasannya, bahkan mungkin juga daya ketertiban yang ajaib itu bahkan berkurang sehingga manusia akan merasa tidak berdaya tanpa adanya bantuan-bantuan luar yang sudah biasa diterimanya itu.

Kita dapat melihat bukti adanya ketertiban alamiah yang amat dahsyat dan ajaib itu dalam kehidupan binatang-binatang hutan yang masih jauh dari “peradaban” manusia. Kelahiran diantara binatang-binatang itu terjadi di mana-mana, dan tentu saja di dunia mereka itu tidak mengenal adanya bantuan dari luar! Namun, semua kelahiran berjalan lancar dan sempurna!

Hanya binatang-binatang, yang sudah dekat dengan manusia saja, yang biasa menerima bantuan-bantuan dari manusia, akan merasa kehilangan dan mungkin akan terancam bahaya kegagalan apabila mereka terlepas daripada bantuan manusia yang sudah biasa mereka terima turun-temurun itu.

Kini Sin Liong sering kali bermain-¬main dengan para monyet, bahkan melihat betapa Si Kwi tidak pernah marah dan tidak pernah mengganggu mereka, monyet-monyet itu mulai berani men¬dekati istana, bahkan berani bermain-main dengan Sin Liong di istana.

Si Kwi memesan kepada para pelayannya agar jangan mengganggu mereka. Di dalam hatinya wanita muda ini dapat me¬maklumi bahwa tidak mungkin Sin Liong dapat melupakan kehidupan di antara para monyet setelah sejak bayi dia minum air susu dari dada monyet betina besar yang dia lihat sering kali datang dan memandang kepada Sin Liong dengan matanya yang seperti mata seorang manusia! Monyet betina besar yang hanya memandang dari jauh, bersikap diam saja, namun sinar matanya penuh dengan kasih sayang yang dapat terasa oleh Si Kwi.

Malam itu bulan bersinar terang. Si Kwi bermain-main dengan anaknya di serambi depan, sedangkan para pelayan telah mengaso di kamar belakang. Para pelayan itu kini telah merupakan wanita-wanita yang tidak lemah lagi. Telah beberapa bulan lamanya mereka dilatih ilmu silat oleh Si Kwi dan biarpun mereka tentu saja belum dapat menguasai jurus-jurus silat yang tinggi, namun setidaknya mereka telah memperoleh kesigapan dan kekuatan yang lumayan.

Si Kwi sedang mengajar anaknya ber¬cakap-cakap. Sudah lumayan juga kemaju¬an yang diperoleh Sin Liong dalam hal ini. Tentu saja kalau dibandingkan dengan anak-anak biasa, dia ketinggalan jauh sekali. Usianya sudah dua tahun setengah, namun dia hanya baru bisa mengeluarkan beberapa patah kata saja, di antaranya yang paling jelas adalah “ibu”, “makan”, “minum”, “tidur”, “ya” dan “tidak”.

Akan tetapi dengan bahasa isyarat dia sudah mengerti jauh lebih banyak dan pengertiannya menangkap kata-kata jauh lebih daripada kepandaiannya mengucapkan kata-kata. Juga kini dia sering kali ter¬tawa-tawa ditimang oleh Si Kwi, dan dapat pula menunjukkan kasih sayangnya dengan memeluk leher ibunya kalau dia dipangku.

Tiba-tiba terdengar bunyi cecowetan dan di antara bayangan pohon-pohon nampak beberapa ekor monyet kecil menghampiri serambi itu. Si Kwi me¬ngerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak melarang ketika Sin Liong merosot turun dari atas pangkuannya dan berlari keluar, menyambut kedatangan monyet-monyet itu.

Biarlah, pikirnya. Anak itu berhak untuk bergembira dan bermain-main, seperti anak-anak lain. Dan karena di situ tidak ada anak lain, maka tentu saja anak itu bersababat dengan monyet-monyet yang memang sejak lahir telah menjadi sababatnya. Hatinya lega ketika melihat Sin Liong tidak merobek-robek pakaiannya lagi dan bahkan dalam kegembiraamya itu, terdengar gelak tawanya seperti seorang anak manusia diantara suara cecowetan monyet.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: